ma.ni.pu.la.si: 14

⭐Now Playing: Guruku - Nasyid Gontor (sangat direkomendasikan)⭐

Apa-apaan? Kenapa sampai sejauh ini? 

Panik. Dengan tatapan mata yang resah nan gelisah, Zafi-Zifa mengguncangkan bahu wanita berusia dua puluhan itu. Tetap tidak ada respons. Qonita terkulai lemas tak sadarkan diri di mejanya. "Ustazah ... tidak! Ayo, Zaf, kita carikan pertolongan!"

Ricuh sekali. Baik Zifa maupun Zafi, yang biasanya cenderung apatis dan tidak begitu peduli atas segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya, kini pontang-panting berlarian keluar dari ruang guru. Zafi mengedarkan pandangan ke sepanjang koridor. Tidak. Di sini hanya ada beberapa kerumunan siswa yang tampak buru-buru menuju kantin dengan muka riang, senang karena bisa terlepas dari rumus-rumus rumit fisika. Di saat seperti ini, guru-guru maupun penjaga sekolah akan sukar sekali dicari.

Aduh, Zifa ... kenapa anak itu malah ikut berlari mencari pertolongan bersama Zafi? Seharusnya, Zifa duduk dan menjaga Ustazah Qonita saja di ruang guru! Siapa tahu, kedatangan guru bisa lebih cepat dibandingkan mencarinya lebih dulu seperti ini.

Akan tetapi, guru yang tiba ke ruang guru pun belum tentu menyadari kondisi Ustazah Qonita, mengingat mejanya yang memang di pojokan, dan posisi Qonita layaknya seorang tenaga pendidik yang kelelahan dan jatuh tertidur. Beda ceritanya kalua Nazifa stand by di tempat dan lekas memberitahukannya pada guru.

Aih! Sudahlah. Pusing sekali Zafi memikirkannya. Tidak ada waktu untuk sekadar briefing pembagian tugas, kali ini. Tanpa instruksi maupun sepatah kata lainnya, Zafi dan Zifa bergerak cepat melintasi koridor, menuju kelas sepuluh di lantai satu. Zafi membuka satu persatu pintu kelas. Namun, semua kegiatan belajar mengajar sudah dijeda untuk jam istirahat ini. Tidak ada guru di sana. Dua kelas terlalui.

Tiba-tiba saja, dari kelokan koridor, muncullah figur lelaki bertubuh tinggi. Jika saja lupa mengerem, bisa-bisa Zafira menabrak laki-laki tersebut. 

"Haitsam! Itu, Ustazah ...."

Belum tuntas kalimatnya, Nazifa langsung menutup mulut rapat-rapat. Sekali lagi, diamatinya dengan saksama setiap senti telapak tangan Haitsam. Atensi Zafi maupun Zifa memang langsung terarah ke sana, mengingat gelagat aneh Haitsam yang sibuk menggosok-gosok kedua tangannya. Sadar dengan perubahan suasana di sekitarnya, Haitsam pun mengangkat kedua tangan, tepat ke hadapan Zafi-Zifa. "Ah ... iya, benar. Pulpennya bocor. Sayang sekali. Susah dibersihkannya, tahu."

Berbanding terbalik dengan Nazifa yang masih mencerna sekitar sembari berusaha mencari berbagai celah untuk tidak berburuk sangka, Zafira justru langsung sampai pada kesimpulan akhirnya. Sistem kehidupan di semesta Zafi berhenti berdetak untuk sejenak, seolah terserap black hole tak kasat mata, seutuhnya. Manik hitam legam itu menyorotkan sesuatu yang tak mampu terbahasakan. Tak berkedip, tak berpaling ... jiwa Zafi serasa hirap tersirap seluruhnya.

"Afiliasi ...," lirih Zafira. Telunjuknya teracung sempurna ke arah muka Haitsam. "Afiliasi yang dijalin ... terdeteksi."

Lama, Haitsam mengamati Zafira lekat-lekat, seolah berniat memangsanya hidup-hidup. Oh, ya. Ini sisi kelam Haitsam yang tak pernah ia biarkan orang lain melihatnya. Tidak ada.

Kali ini, Haitsam akan menyingkapnya begitu saja? Sebuah kekehan berhasil lolos dari bibir tipis lelaki tersebut. "Secepat ini? Yah ... lima belas menit lebih cepat dari dugaanku. Semua ini gara-gara pulpen bocor itu. Aku jadi terpaksa keluar untuk membersihkan tangan, sekaligus membuka topengku pada saudara kembar yang sok pahlawan, tukang cepu, dan sangat merepotkan ini ... lalat pengganggu."

"Kau! Kau ...."

"Ya, ya ... aku!" Haitsam malah tergelak puas. Kedua tangannya membentuk tanda peace yang diacungkan pada Zafi. Begitu tawanya habis, barulah Haitsam membalas tetapan tajam Zafi dengan tatapan nyalang. Salah satu sudut bibirnya terangkat ke atas, puas sekali. "Gotcha, Zafira Humaira."

Kini, kepingan puzzle misteri di kepalanya sudah sempurna terisi. Bait terakhir di buku bendahara Rohis Ruwada tahun 2015-2016 itu ....

Kontradiksi dua sisi,
Dalam suatu kesatuan substansi.

Kontradiksi dua sisi ... sisi gelap dan sisi terang. Karena itu pulalah Haitsam menyebut dirinya sebagai abu dalam surat teror yang disimpan di meja Qonita. Abu-abu, kelabu, warna perpaduan antara hitam dan putih. Misterius, merupakan persimpangan dan titik temu antara sisi gelap dan sisi terang.

Dalam suatu kesatuan substansi ... ketika kedua sisi yang saling terjalin dalam kontradiksi itu menjadi satu ... bukankah akan sulit sekali mengidentifikasikannya? Rohis dan korupsi, organisasi keagamaan dan penyelewengan dana infak siswa ....

Ma - ni - pu - la - si.

Penggalan kata di kalimat terakhir itu merangkum segalanya dalam kata manipulasi. Ketika sekat antara gelap dan terang tak lagi memiliki eksistensi. Adanya manipulasi-lah yang membuat Zafira terlambat sekali menyadari pelaku di balik bayangannya. Haitsam, lelaki itu ....

"Enggak waras."

Dua kata itu terlontar dari mulut Zafi sebagai kalimat perpisahan. Tidak ada waktu lagi. Haitsam bisa diurus nanti-nanti. Kalaupun berhadapan langsung di sini, Zafi tidak bisa membayangkan akan segila apa lagi tindakannya. Prioritas Zafi adalah penanganan Ustazah Qonita.

Dengan kondisi setengah melamun karena belum mampu menerima berbagai informasi tidak jelas di kepalanya, Nazifa pun bersuara, "Apa? Ada apa? Sebenarnya, apakah Haitsam ...."

"Dia afiliasi, oknum di balik bayangan yang bekerja sama dengan Pak Adnan dalam mengorupsi dana infak. Semuanya sudah jelas sekarang, Zifa."

Tidak. Ini terlalu mendadak dan mengejutkan. Haitsam Ibrahim, anak pesantren, kelas XI MIPA-2, Ketua Rohis Ruwada, peraih berbagai macam piagam penghargaan bergengsi di nusantara, manusia dengan label sempurna di pundaknya ... mengapa?

Zafi menggelengkan kepalanya berulang-ulang. Tidak. Tentu saja ia sendiri pun tidak tahu motif jelasnya seperti apa. "Yang pasti dan harus kita ingat seterusnya, Haitsam enggak aman. Dia bukan di pihak kita."

"Tapi dia ... selama ini ...."

"Bukan soal Ketua Rohis, pemimpin kita, atau soal seberapa kerennya image dia selama ini," sambar Zafi.

Sesaat, anak perempuan itu menarik napas panjang tanpa menghentikan langkah cepatnya sebagai usaha mencari orang dewasa yang bisa dimintai pertolongan untuk menangani Ustazah Qonita.

Sejujurnya, ada rasa sesak yang mengimpit. Mengingat sudah seberapa percayanya Zafi dan anak Rohis lainnya pada Haitsam. Mengingat Haitsam yang selalu menjadi pendengar terbaik, bahkan ketika Zafi menceritakan kegelisahannya soal hubungan antara Hilwa dan Pak Adnan, ketika di depan bingkai pintu masjid, setelah mengaji habis Ashar di hari-hari sebelumnya.

Namun, pada akhirnya, ternyata Haitsam sebenarnya sedang menguping untuk menyerang balik di balik topeng kawan, bukan untuk menjadi pendengar maupun sebagai Ketua Rohis yang hendak menuntaskan tanggung jawabnya dengan menawarkan solusi pada anggota.

Kenapa jadi begini? Padahal, Zafi sudah mencurigai Hilwa selaku Bendahara II yang tampak begitu dekat dan diandalkan oleh Pak Adnan. Zafi bahkan tidak waspada dan memasukkan nama Haitsam ke dalam daftar tersangka yang ia buat. Tidak ada ... semua ini masih terasa bagai kebohongan yang nyata bagi Zafi.

Dengan nada yang sangat tidak enak, Zafi meneruskan kalimatnya, "Tapi ... detergen itu salah satu bahan utama kloroform sintesis, dan tinta merah itu menjelaskan segalanya. Yah ... kita tahu sendiri sebelum bel masuk, kan, soal pulpen merah Ustazah yang bocor?"

"Tapi, Zaf ... kenapa bisa?"

Ya Allah ... Nazifa malah menanyainya sesuatu yang jelas saja belum Zafi ketahui jawabannya. Begitu saja seterusnya. Seraya berusaha meredam emosi yang meledak-ledak, Zafira pun bicara lagi. "Intinya, sekarang kita harus hati-hati. Enggak heran kalau Pak Adnan tiba-tiba kirim dokumentasi, tadi, pasti disarankan Haitsam karena tahu kalau kita enggak akan diam saja."

Ketika keduanya menaiki anak tangga menuju lantai dua, tampaklah Ustaz Zaki yang hendak turun menuju ruang guru ikhwan. Serempak, Zafi dan Zifa berseru cepat, "Ustaz Zaki! Tolong, Ustazah Qonita tak sadarkan diri di ruang guru!"

Tak perlu waktu lama, Ustaz Zaki sudah tergesa mengubah tujuannya. Masih dengan buku laporan hafalan siswa juga Al-Qur'an di dekapan, Ustaz Zaki berlarian tanpa melepaskan zikir dan kalimat-kalimat Allah dari lisannya. Di belakang, Bu Desi, guru Bahasa Arab yang turut mendengar perkataan Zafi-Zifa pun lekas-lekas mengikuti. Ustazah Qonita ditangani.

Akan tetapi, tidak dengan pikiran-pikiran Zafira yang masih berdesing bising, tak kunjung mampu tertangani. Manipulasi ini ... Zafi perlu langkah serius lain untuk menyingkap segalanya.

"Zif, kita mundur sejenak."

[ma.ni.pu.la.si]

Okesip, udah kubayar, ges! Triple up minggu ini🤫🤣✌️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top