ma.ni.pu.la.si: 13

⭐Now Playing: Api Perjuangan - Nasyid Gontor (sangat direkomendasikan)⭐

Manipulasi?

Dengan deru napas yang mulai memburu, Zafira mengecek berbagai detail yang terpampang di genggaman tangannya. Punggungnya meremang, seolah ada yang baru saja menyalakan mesin pendingin ruangan dalam skala maksimal. Fokus, fokus. Terlalu cepat menyimpulkan seenaknya begini bisa memperbesar kemungkinan adanya suatu hal yang Zafi lewatkan.

Kata demi kata di atas permukaan kertas yang menguning itu disapa Zafira untuk ketiga kalinya. Tidak ada yang berubah meski Zafi membacanya seberapa kali pun, tetapi kedua netra hitam legamnya tak jemu-jemu membaca ulang. Baca lagi. Baca lagi. Kali ini, Zafira berusaha menggapai-gapai makna di setiap goresannya.

Iktibar pudar,
Melebur ajar,
Hirapnya pijar,
Tiada benar.

Dahi Zafi terlipat. Otaknya bekerja berkali-kali lipat lebih keras dari biasanya. Oh, ayolah. Sejak pertama membacanya pun, Zafi tetap tidak menemukan suatu hal khusus yang bisa dijadikan petunjuk dari satu paragraf tersebut. Poin penting yang Zafi tangkap hanyalah sebuah opini bahwa bagian itu menunjukkan latar belakang umum objek yang dibicarakan-dalam hal ini, Pak Adnan, yang masih menguasai daftar tersangka di benak Zafi.

Iktibar, ajar, dan pijar, Zafi anggap ketiganya sebagai kata-kata yang merujuk pada ilmu. Jika boleh Zafi cocokkan dengan figur Pak Adnan, tentu deskripsi tersebut masuk akal, mengingat posisi beliau sebagai salah satu tenaga pendidik yang tak lepas dari ilmu-keilmuan.

Pemalsuan,
Kebohongan,
Kesalahan,
Di tengah pengabdian ....

Tiga penggal kata di paragraf kedua itu jelas saja mengarah pada tipe kasus kejahatan yang tengah mereka hadapi-jika penulis catatan ini benar-benar merasakan kecurigaan yang sama dengan Zafira terhadap kurangnya transparansi penyaluran dana infak di Ruwada. Di tengah pengabdian ... jelas saja Pak Adnan sedang mengabdi di Ruwada, 'kan? Lantas, apakah patut seorang pengabdi memanipulasi tanggung jawab yang diembannya?

Zafira berpikir cepat. Sudut matanya bolak-balik meraih kata demi kata yang terdengar cukup ganjil bagi Zafi. Di luar kendali sekaligus kesadarannya, Zafi mengembuskan napas berat. Suatu tarikan napas yang cukup menarik satu-dua perhatian anak Rohis di sana.

Meski begitu, Zafira abai pada sekitarnya. Kenapa ia harus peduli? Ada paragraf ketiga yang penuh dengan informasi tumpang-tindih dan lebih dari cukup untuk memporak-porandakan isi benak Zafi di hadapan. Tak terelakkan, pasukan tanda tanya menyesaki kepala Zafira habis-habisan.

Tolak afirmasi,
Menjalin afiliasi.
Keliru diabolisi,
Titik terang didegradasi.

Tolak afirmasi ... afirmasi itu semacam pengakuan, 'kan? Apakah maksud penulisnya ... Pak Adnan menolak mengakui kejahatannya? Tunggu. Kenapa diksinya harus afirmasi? Tentu Pak Adnan tidak akan mengaku jika tidak ada yang tahu dan menuntut. Apakah mungkin ... kasus Pak Adnan ini sudah tercium baunya oleh sebagian orang, sebelumnya?

Lantas, bagaimana tindak lanjutnya? Apakah jejeran kursi pemerintahan Ruwada belum menindak Pak Adnan dan memilih berdiam diri saja? Jika iya, maka ini sesuai dengan baris ketiga dan keempat; kesalahan diabolisi, dihapuskan, dan titik terang didegradasi.

Sejauh ini masih sejalan dengan rasionalitas. Mari teruskan. Zafi menyemangati dirinya sendiri. Meski begitu, ada satu hal yang belum Zafi ketahui kebenarannya. Menjalin afiliasi ... ini benar-benar mengacaukan sistem kelangsungan hidup otaknya yang mengepulkan asap panas tak terlihat.

Afiliasi itu bisa diartikan sebagai sekongkolan, 'kan? Ada relasi dan kerja sama. Aliansi rahasia? Zafira belum memastikan kemungkinan ini. Akan tetapi, jika memang benar begitu adanya, itu berarti posisi Zafi betul-betul tidak baik. Rawan, riskan, dan memiliki tingkat ancaman yang tinggi. Zafi mengeratkan genggamannya di pinggiran buku berwarna krem tersebut. Ya. Sayangnya, inilah Zafi. Yang tak pernah segan menantang segala risiko.

Menjalin afiliasi ... siapa atau apa yang dimaksud afiliasi di sini? Siapa yang bisa diajak bekerja sama dengan Pak Adnan untuk melancarkan aksinya? Mungkin seseorang di balik afiliasi inilah yang memudahkan dan menutupi jejak kejahatan Pak Adnan. Mungkin itu pulalah alasannya, kenapa Pak Adnan masih berkeliaran bebas dengan uang infak di tangannya, sampai detik ini ....

Namun, siapa? Siapa yang memiliki power dan pengaruh sekuat itu? Siapa ....

"Zafi?"

Hah? Zafira tersentak. Napasnya menderu tidak beraturan. Dengan tangan yang berusaha menutupi tremor, Zafira refleks mendekap Buku Bendahara Rohis Ruwada Masa Jihad 2015-2016. Mode defensif. Zafira menatap seseorang yang mengejutkannya di hadapan. Orang itu Hilwa, dengan kedua sudut bibir terangkat lebar. Cerah sekali. Zafira mengerjap-ngerjap. Tidak. Ia harus bertingkah senormal mungkin.

Hilwa ikut duduk di depan Zafi, mencondongkan badan. "Lagi baca apa?"

Tidak, tidak. Untuk saat ini, tidak ada yang bisa Zafi ajak bekerja sama untuk mengungkap kasus korupsi pada uang infak Ruwada. Zafira harus berhati-hati pada siapa pun. "Oh, ini ... buku bendahara tahun sebelum-sebelumnya. Mau lihat isinya?"

Tak begitu memperhatikan anggukan kecil Hilwa yang tampak penasaran dengan isi buku di genggamannya, Zafi mengangkat buku hingga berdiri untuk mempersempit jarak pandang Hilwa dan menyobek kertas yang dianalisisnya sejak tadi. Diremasnya kertas tersebut kecil-kecil hingga tenggelam dalam genggam. Zafira berdeham. Kertas itu berhasil diselamatkan di saku seragam, selagi menyerahkan buku bendahara pada Hilwa.

"Oh, ya. Di sana ada program kerja bendahara, Hil." Zafira mengawasi setiap gerak-gerik Hilwa yang tengah membolak-balik halaman dengan semangat. Kedua netra hitam legam itu memicing waspada. "Aku jadi kepikiran. Gimana kalau kita adakan baksos? Selain infak, kita kumpul pakaian bekas dari siswa, khususnya anak Rohis. Kita yang harus datangin panti bareng-bareng, ngasih donasi secara langsung."

Menyadari kalimatnya terdengar cukup mencurigakan, Zafira pun lekas-lekas menambahkan.

"Kalau Pak Adnan mau, bisa diajak."

[ma.ni.pu.la.si]

Esok hari menjemput. Program usulan Zafi yang ingin kegiatan sedekah Ruwada tidak hanya terbatas dari uang infak itu disepakati banyak orang. Anak Rohis lainnya mengangguk-angguk, begitu pula dengan Haitsam. Akan tetapi, sampai hari ini pun, belum ada kabar lebih lanjut dari Haitsam yang meminta perizinan pada Pak Adnan. Ya sudahlah. Mungkin ini masih terlalu cepat. Kalaupun belum ada pergerakan dari Haitsam, biar Zafo yang terjun langsung.

Baru selesai menaiki anak tangga menuju kelasnya bersama Nazifa, Zafira berpapasan dengan Ustazah Qonita. Keduanya lekas saja menyalami guru tahfiz mereka dengan sopan. Zafira terdiam saja ketika mendapati telapak tangan Qonita dipenuhi tinta merah. Sementara itu, Zifa langsung angkat suara, "Ini kenapa, Ustazah?"

"Ini ... duh, pulpen Ustazah bocor." Qonita kembali memandangi telapak tangannya. "Tapi udah kering, kok. Enggak akan kotor ke kalian."

Kedua saudara kembar tersebut mengangguk seadanya, Zafi dan Zifa pun pamit undur diri. Setelah berbelok di koridor depan, cukup melewati ruang musik dan tiga kelas untuk sampai ke XI MIPA-1. Tidak begitu jauh. Akan tetapi, manusia-manusia yang menyesaki pinggiran koridor itulah yang membuat perjalanan ini terasa seabad lamanya menurut Zafi.

"Korupsi infak? Haha, Bendahara Rohis nih, Bos. Senggol, dong!"

Tangan Zafi mengepal erat di kedua sisi tubuhnya. Rahang Zafi mengeras. Dengan muka garang yang tak sanggup menahan amarah lebih lama lagi, Zafi mempercepat langkahnya. Tidak boleh ... dia tidak boleh mengamuk. Ini bukan saat yang tepat. Zafi belum cukup bukti. Kalau Zafi sampai meledak, itu namanya cari mati. Tak apa. Jadi bahan pergunjingan siswa untuk beberapa hari, minggu, atau bulan, mungkin tidak akan menjadi masalah serius. Siapa tahu dosa Zafi tahu-tahu jadi habis, 'kan?

Dari pintu XI MIPA-1, Haitsam keluar dan berpapasan dengan Zafi-Zifa. Kening Zafi mengernyit. Ada urusan apa seorang Haitsam, anak kelas XI MIPA-2, di kelas Zafi? Meski begitu, Zafi tak berniat menanyakannya. Ada hal lain yang jauh lebih tertarik untuk ia suarakan. "Gimana tanggapan Pak Adnan?"

"Oh, belum. Pak Adnan belum merespons ajuan kita soal baksos itu. Tapi semalam Pak Adnan udah kirim dokumentasi ke aku. Biar aku share ke grup angkatan." Haitsam mengotak-atik layar ponselnya untuk beberapa saat.

Tak lama kemudian, getaran notifikasi merambat dari tas Zifa. Zafi jarang menyalakan jaringan data selulernya jika tidak ada keperluan. Karena itulah, Zafi memilih untuk mengintip foto yang dikirimkan Haitsam, lewat ponsel Zifa. Fotonya hanya satu, memperlihatkan figur Pak Adnan yang sedang tersenyum lebar dan beberapa anak berbaris hendak mencium punggung tangannya. Lampu halaman panti terang sekali, sukses mengusir gelapnya malam yang tertangkap kamera.

Setelah mengamati sekilas, Zafira menatap Haitsam yang tersenyum puas. "Berarti udah clear, 'kan? Itu dokumentasi Pak Adnan ketika penyaluran uang infak."

Tidak. Ada beberapa hal janggal yang bisa Zafi tangkap dari foto tersebut. Kenapa pelaksanaannya malam hari? Bukankah dalam penanggalan hijriah, azan magrib itu pertanda pergantian hari? Selama ini, Pak Adnan selalu beralasan bahwa 'sebaik-baiknya sedekah adalah di hari Jumat', setiap kali dirinya tampak terburu-buru menagih uang infak ke Hilwa.

Jika uang infak itu disalurkan sepekan sekali, bukankah infak baru terkumpulkan ketika Jumat sore? Jika benar pelaksanaannya malam hari, sebagaimana yang tertangkap di dokumentasi, bukankah itu berarti sudah memasuki hari Sabtu? Baiklah. Ini kejanggalan yang tidak begitu krusial, sebenarnya. Ada dua hal lain.

Kenapa dokumentasi ini baru diserahkan hari ini, hari Rabu, hari yang cukup jauh dari Jumat sebelumnya? Bukankah Pak Adnan selalu mengatakan bahwa penyaluran infak dilaksanakan pada setiap Jumat? Selain itu, dokumentasi tersebut hanya menangkap prosesi salam-salaman antara Pak Adnan dengan anak kecil penghuni panti. Tidak ada tanda-tanda sembako atau penyerahan uang donasi. Siapa tahu dokumentasi itu diambil ketika Pak Adnan hanya kunjungan biasa, bukan?

Dokumentasi tersebut tidak cukup untuk dijadikan bukti konkret.

Zafi mendengkus singkat. "Oke, terima kasih. Aku akan datang ke pantinya langsung."

Mendapati keputusan seenaknya yang meluncur dari bibir saudara kembarnya itu lekas saja membuat Zifa bergumam tak setuju. "Mending komunikasiin dulu sama Ustazah Qonita, Zaf. Enggak usah semena-mena sendiri, deh."

Bel masuk berbunyi, membuat kerumunan siswa di sekitar lorong bubar jalan seketika. Ada yang masuk kelas, ada juga yang malah berjalan santai bersiap bolos.

Tidak ada sahutan dari Zafi. Zifa pun merangkul kakak kembarnya, lantas berkata mantap, "Nanti kita datangi di jam istirahat aja, ya!"

Akan tetapi, dua setengah jam kemudian, persis pukul setengah sepuluh pagi, ketika tiba jam istirahat dan Zafi-Zifa memasuki ruang guru akhwat, semua yang terjadi benar-benar di luar dugaan keduanya. Suasana di ruangan tersebut masihlah sepi, mengingat setiap guru belum kembali dari jadwal kelasnya masing-masing. Zafi dan Zifa yang sudah hafal dengan letak meja Qonita pun lekas menepi ke pojokan. "Assalamualaikum, Ustazah, Ustazah. Ini ...."

Zafi-Zifa termenung sejenak begitu mendapati Qonita sedang dalam posisi membenamkan kepala di antara lipatan tangan, persis seperti bersiap hendak terlelap. "Ustazah?"

Tak kunjung ada respons. Tergesa, dengan raut panik yang tak dapat disembunyikan lagi, Zafi-Zifa mengecek keadaan Qonita yang tak sadarkan diri. Zafira berpikir cepat. Diamatinya keadaan sekitar. Di atas meja Qonita, terdapat sedikit bubuk-bubuk detergen yang berhamburan. Selain itu, atensi Zafira terpusatkan pada selembar kertas dengan tinta merah yang berceceran.

Penasaran, Zafira meraih kertas dan membacanya dalam hati.

Hitam adalah hitam, putih adalah putih. Abu kami selalu bisa menyusup ke mana pun. Pssst, jangan ikut campur atau sok pahlawan cepu-cepu!

[ma.ni.pu.la.si]

Maaf untuk keterlambatan update-nya gais! Aku abis hibernasi sepulang MABIT di DKM ... makanya tiap nulis dua ratus kata, auto-ketiduran empat jam😭 wkwkwk, peace!✌️
(Betewe BOLEH BANGET (alias aku maksa inimah) baca scene Ustazah Qonita pakai musik di mulmed ya gais yaaa:> see u!)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top