ma.ni.pu.la.si: 10
⭐Now playing: 90 Langkah — Nasyid Gontor (sangat direkomendasikan)⭐
"Kenapa? Ada sesuatu yang mengganggu kamu?"
Di saat Zafira menundukkan pandangan, ia sama sekali tidak menyadari bahwa lawan bicaranya tengah menatap Zafira lekat-lekat. Kedua manik hitam legam itu tampak tak kunjung berkedip. Kedua sudut bibirnya terangkat ke atas, tersenyum tipis-tipis. Haitsam baru mengerjap ketika Zafira menggelengkan kepala. "Enggak ada. Tapi bisa lakuin sesuatu, enggak, Tsam? Buat memastikan kalau ... uang infak itu ...."
Sesuai dugaan. Hal tersebutlah yang mengganggu pikiran Zafira sejak awal. Benar-benar definisi anak baik yang naif. Pejuang kebenaran? Haha. Padahal jika menilik anggota Rohis yang lain, tidak ada yang begitu peduli seperti Zafira. Mereka cukup mengikuti sistem, menjalankan program yang ada, dan sudah. Kenapa Zafira tidak bisa melakukan hal yang sama? Kenapa anak ini malah merepotkan dirinya sendiri?
Apakah jabatan bendahara yang digenggamnya pada periode kali ini membuat Zafira jauh lebih waswas dan merasa bertanggung jawab untuk membuat segala pelaksanaan tentang dana infak jadi transparan bagi seluruh warga sekolah? Oh ... mungkin tidak. Kalau Haitsam tidak salah mengamati, Zafira memang selalu menguarkan aura tidak enak setiap kali menagih infak ke kelas-kelas, sejak awal ia kelas sepuluh.
Helaan napas panjang keluar dari hidung Haitsam. Sudahlah. Sebelum kalimat Zafira tambah rumit dan terciptanya pembicaraan yang mengular, lekas saja Haitsam angkat suara. "Sebenarnya, uang infak itu tupoksinya Bendahara I, lho, Zaf. Bendahara II Biro Uang Kas. Tapi ... enggak tahu, deh."
"Hah?" Zafira mengerjap-ngerjapkan mata. Kepalanya tak lagi tertunduk. Zafira menatap lamat-lamat satu titik imajiner di antara pasukan mega bumantara jingga yang tengah mengantarkan kepergian mentari menuju garis peraduan. "Harusnya aku yang mengurus uang infak itu?"
Dahi Zafi terlipat. Anak perempuan itu serius sekali mengingat-ingat memori yang tersimpan dalam file data otaknya. Bendahara I dan Bendahara II ... kalau Zafira tidak salah mengingat, Kak Mila, sebagai Bendahara I di periode sebelumnya, juga tidak memegang uang infak. Bendahara II yang mengurusnya, sejak awal. Sama saja seperti Zafi dan Hilwa saat ini.
Seolah dapat memprediksi dengan tepat mengenai apa yang sedang Zafi pikirkan, Haitsam pun berdeham. "Enggak tahu gimana, deh. Mungkin karena Bendahara I yang akan mengurus uang kegiatan besar semacam tablig akbar atau PHBI¹ nanti?"
Zafira berkedip, berhenti melamuni titik imajiner tadi. Kini, kerutan di keningnya sudah mengalami rileksasi. Salah satu keresahan terobati, meski masih abstrak dan tak pasti. "Oh, iya. Bisa jadi." Setidaknya, Zafira sudah cukup tenang, mengingat Pak Adnan terus-terusan memanggil Hilwa untuk urusan infak itu ternyata karena memang itulah tugas Hilwa, bukan karena tidak percaya pada Zafi. "Terus ...."
Di antara cahaya mentari yang meredup karena mulai dilahap sempurna oleh garis cakrawala di ufuk barat, Zafira menyadari sesuatu. Kalimatnya terjeda begitu Zafira menengokkan kepala ke sekelilingnya. Tidak ada siapa pun lagi selain mereka di sini. Iya. Semua santri sudah kembali ke kobong masing-masing. Hanya tersisa Haitsam dan dirinya di dekat bingkai pintu masjid ini.
Sebentar ... apa Zafira sedang berkhalwat saat ini? Zafira memperbaiki posisi kitab-kitab yang didekapnya dengan canggung. Panik! Kenapa dirinya bisa tidak sadar begini ketika tidak ada siapa-siapa lagi di masjid? "Besok lagi aja. Aku duluan."
La.ngkah kaki tergesa itu menuruni anak tangga, membiarkan Haitsam termangu sendiri di posisinya. Oh, ya. Haitsam juga pemikir yang dalam. Benak itu berisik sekali, tidak bisa disuruh diam. Kepayahan sendiri dengan pikirannya yang meledak-ledak menolak dijinakkan, satu kekehan berhasil meluncur dari mulut Haitsam. Kedua sudut bibir itu terangkat ke atas. Lebar sekali. Namun, Zafira yang sudah sampai ke area lapangan Ruwada dan terus berjalan konstan menuju kobong, tidak bisa melihatnya.
Tak perlu waktu lama, dengan kecepatan jalan Zafira yang memang di atas rata-rata ritme langkah perempuan lainnya, sampailah ia di kawasan anak mes. Halamannya memang tidak terlalu luas, biasanya hanya digunakan untuk anak-anak yang bermain bulu tangkis, pusat kedatangan Mang Go-Food dan Shopee Food, juga tempat parkir bagi mobil-mobil pick-up yang berlalu-lalang untuk mengantar suplai air dan makanan.
Di ujung halaman, dekat anak tangga menuju kobong di lantai dua, ada sebuah minimarket yang penjaganya dipanggil Om Juy. Pada jam santai begini, biasanya Kantin Om Juy selalu ramai. Begitu juga dengan petang ini.
Meski begitu, Zafira tak berhenti melangkahkan kaki. Ia tidak begitu suka jajan. Makan nasi yang disediakan pengurus pesantren saja sudah cukup baginya. Zafira hanya mengunjungi Om Juy ketika haus dan menginginkan minuman dingin saja. Selebihnya, waktu Zafira banyak dihabiskan di kobong, masjid, aula, maupun ruang kelasnya.
Zafira sudah bersiap untuk berbelok sedikit di kawasan umum ikhwan-akhwat dekat toilet, menuju Kobong Madinah yang letaknya paling dekat dengan pintu penghubung. Akan tetapi, langkahnya terhenti ketika mendengar panggilan dari suara yang tak asing lagi di telinganya. "Zafi!"
Lekas-lekas, Zafira menolehkan kepalanya untuk mendapati lambaian tangan berulang-ulang dari arah Kantin Om Juy. Tampaklah Nazifa, dengan kitab-kitab yang masih di dekapan. Ya Allah ... anak itu sudah pulang dari masjid sejak tadi, tetapi belum pulang ke kobong sama sekali? Apa saja yang sudah adik kembarnya lakukan selama itu? Jajan?
Mau tidak mau, toh, Zafira tidak punya pekerjaan lain yang lebih mendesak pula, anak perempuan itu pun menghampiri Nazifa. Mendapati kakak kembarnya datang, Nazifa kembali duduk di atas bangku yang memang tersedia di depan Kantin Om Juy. Oh, ternyata Nazifa tidak sendiri. Ada Haula, Koordinator Departemen Keputrian Rohis Ruwada, sekaligus penghuni Kobong Syam bersama Hilwa, yang sejak tadi sudah duduk di sebelah Zifa.
Zafira mengedarkan pandangan untuk sesaat. Netra hitam legamnya terpaku pada sekeresek putih di atas meja, persis di hadapan Zifa. "Ngapain? Itu apa?"
"Oh!" Detik berikutnya, Nazifa menyimpan kitab di dekapan ke atas meja, lalu sibuk menggeledah isi keresek. Dikeluarkannya tiga bungkus es krim dan satu es krim moci ke hadapan Zafira. Nazifa menghadap kakak kembarnya dengan mata berbinar. "Lihat! Aku punya banyak es krim. Zafi mau satu? Nih! Sini! Duduk dulu, deh."
Dengan kening mengernyit, Zafira ikut saja ketika Nazifa mendorong punggungnya untuk duduk di hadapan Nazifa dan Haula. "Es krim?" Zafira menatap Nazifa dengan raut bertanya-tanya. Iya. Tidak perlu jadi kakak kembarnya untuk tahu bahwa Nazifa memanglah seorang maniak es krim, terutama rasa stroberi.
Tak dapat ditampik, Zafira juga penyuka makanan manis, apalagi yang memuat cokelat. Akan tetapi, sedari kecil, keduanya sudah dididik Umma untuk tidak membiarkan keinginan itu menguasai segalanya. Anak-anak Umma harus memegang kendali atas dirinya sendiri. Mampu menahan diri dan tidak seenaknya sendiri. Umma selalu menekankan bahwa tidak selamanya dunia menghadirkan hal yang mereka suka dalam kehidupan.
Hal itulah yang membuat Zafira heran maksimal dengan kenyataan bahwa Nazifa membeli es krim sampai satu keresek banyaknya! Bukan apa-apa. Sebesar-besarnya rasa suka Nazifa pada es krim stroberi, Zifa tetaplah bukan anak yang akan mengambil keputusan tersebut. Apa karena tidak ada uang kembalian, makanya dibelikan es krim? Akan tetapi, kalau begitu, bukankah seharusnya Nazifa membelanjakan kembaliannya untuk hal-hal yang lebih bermanfaat?
Satu keresek es krim? "Dari mana itu?"
"Ya ... dari Kantin Om Juy," sahut Nazifa. Anak perempuan itu berkedip-kedip, lantas menggenggam bahu Zafira. Kakak kembarnya itu pasti tidak akan makan es krim sebelum menginterogasi Nazifa ini-itu. "Aku, kan, pengin es krim, Zafi. Udah, deh. Mau apa enggak? Keburu cair, nih. Kalau enggak, aku tawarin ke Yasna sama Rosi aja, pas mereka udah balik, nanti."
Kedua tangan Zafira masih mendekap kitab-kitabnya erat, tidak terlihat tanda-tanda akan meraih es krim yang disodorkan Nazifa. Zafira mendengkus. "Rosi sama Yasna ke mana?"
"Jajan ke depan. Beli cakwe-nya Mang Odang. Zafi maunya cakwe?"
"Enggak," sambar Zafira. Sebelum pembicaraan merambat ke sana-sini dan azan keburu berkumandang, Zafira segera membuka sesi ceramah petang ini. "Zif, kamu beli ini pakai uang. Buat apa? Kalau mau es krim, kan, tinggal beli satu-dua aja. Kenapa harus satu keresek? Mau buka donasi?"
Tawa pelan meluncur dari bibir tipis Nazifa. "Ya ... lumayan, kan, Zaf, kalau beli banyak. Aku ada cadangan, bisa sedekah juga. Ke Haula, ke Zafi ... kalau Rosi sama Yasna udah pulang pun, pasti mereka mau. Kenapa enggak?"
"Iya, Zaf." Setelah sedari tadi hanya asyik menikmati es krim vanila di tangannya, Haula pun angkat suara, bergabung dengan percakapan saudara kembar itu. "Ini aku dapat dari Zifa. Enggak tahu, deh. Tadi niatnya, aku mau ke Om Juy buat beli tisu, tapi malah ketemu Zifa, terus dikasih, deh."
Berbagi, ya ... tidak salah, sih. Zafira menghela napas. Kenapa ia sensitif sekali? Namun, ya ... Zafira kaget saja. Membeli hal kurang penting dalam jumlah yang terbilang banyak itu suatu hal yang jarang Zifa lakukan. Mending kalau ada Haula dan teman lainnya yang bisa dijadikan tempat berbagi ... bagaimana jika tidak ada? Bukannya malah mubazir? Kalaupun dimakan Zifa seorang diri, bukankah itu namanya berlebih-lebihan?
Mendapati kakak kembarnya yang masih saja mematung di tempat, Nazifa tersenyum lebar. Kedua manik cokelat terangnya berlarian ke sana kemari, memikirkan banyak hal. Hampir saja ....
"Santai ajalah, Zaf. Nih, ambil! Rasa cokelat, 'kan?" Nazifa membukakan bungkus es krim cokelat, lantas meraih tangan kanan Zafira untuk meletakkan es krim itu di atasnya. "Selamat makan dan sama-sama!"
Baru saja Zafira melahap satu gigitan, teriakan lain dari arah gerbang kawasan pesantren sukses mendistraksi kedamaian yang ada. "Zifaaa! Zifa, Sayang. Mau cerita!"
Dengan raut cerah dan senyuman di bibir tipis yang menyembulkan gigi kelinci, Nazifa pun menunggu tubuh mini Rosi yang berlarian ke arahnya. Tak peduli dengan tatapan anak mes lainnya, mulai dari kakak kelas sampai adik kelasnya, Rosi menjerit nelangsa seperti hendak menangis. "Ih, ih, sakit hati! Enggak mau, ih, Zifaaa!"
Selepas mengguncangkan bahu Nazifa tanpa perasaan, sudut mata Rosi menangkap presensi Haula dan Zafira di sana.
"Ih, kebetulan banget ada Ula. Zifa, Ula, sakit hati, ih! Masa, ya ...."
"Ssshh," desis Nazifa. Tangannya sudah sibuk membukakan bungkus es krim Twist kesukaan Rosi, lalu menyodorkannya untuk menyumpal bibir cerewet Rosi. Di saat itulah Yasna akhirnya tiba. Yasna memang berjalan santai saja ketika Rosi berlarian heboh. Nazifa mengangkat kedua sudut bibirnya. "Nih, makan es krim dulu, biar enggak sakit hati. Yasna mau? Aku habis makan satu bungkus, tadi. Masih ada satu es krim moci juga, kok. Ambil aja."
[ma.ni.pu.la.si]
¹PHBI: Perayaan hari besar Islam
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top