ma.ni.pu.la.si: 07

⭐Now playing: Intifada — Rabbani⭐

Rohis Ruwada 2022/2023

Haitsam Ibrahim: Assalamualaikum warahmatullaahi wabarakaatuh. Ada informasi terbaru. Di luar jadwal rapat rutin, Pak Adnan mengadakan rapat tambahan pada sore nanti, sepulang sekolah, untuk membahas program kerja yang akan dijalankan pada periode kali ini. Diharap, teman-teman semua bisa hadir, ya. Terima kasih.

Hari masih begitu pagi, di mana Rosi bahkan baru saja kembali dari antrean panjang kamar mandi, tetapi pengumuman Haitsam sudah bertandang dan menghiasi grup WhatsApp Rohis. Nazifa yang sedang mengecek ponsel setelah mengambilnya dari Ukhti tadi Subuh, lekas saja memberitahukan pengumuman tersebut pada Zafira. "Nanti rapat tambahan sama Pak Adnan, Zaf, pulang sekolah. Bahas program."

Rapat tambahan, ya? Zafira memutuskan untuk duduk di kasurnya yang sudah rapi. Menunggu Rosi untuk bersiap memanglah cukup menguras tenaga dan kesabaran jiwa. Iya, benar. Rapat rutin Rohis diadakan pada setiap hari Jumat. Ini masihlah hari Selasa, satu hari sejak prosesi sertijab itu dilaksanakan. Huft. Tampaknya Pak Adnan semangat sekali, sampai tak sabar untuk sekadar menunggu jadwal rapat hari Jumat.

Atau malah ... beliau tidak mau Jumat ini kosong, biar infak terus berjalan, tanpa bolong sedikit pun ... sehingga ingin memastikan semuanya dari sekarang?

Astaghfirullah Al-adzim ... apa yang baru saja terlintas di benaknya? Zafira mengembuskan napas berat, lantas mengusap wajahnya yang terasa kebas. Kedua alis tebal itu mengerut dalam, merasakan sedikit pusing karena sehabis mengantar Nazifa ke toilet semalam, Zafira jadi kesulitan untuk tidur kembali. Dan lagi, baru saja pagi menjemput, tetapi kepala Zafira sudah dipenuhi oleh suuzon, prasangka-prasangka buruk yang tidak seharusnya tumbuh, apalagi pada gurunya sendiri.

Sangat negatif. Buru-buru, Zafira mengalihkan pikirannya dengan kembali meneriaki Rosi yang malah bergabung rebahan bersama Yasna setelah bersiap mengenakan seragam putih-abu. Rosi mengeluh tertahan. Aduh. Bukan apa-apa, pelajaran Fisika sebagai jam pelajaran pertama ini terlalu mantap untuk mengawali Selasa pagi yang cerah. Persis sebelum bel masuk berbunyi, Zafira berhasil menyeret dua anak pengidap mager akut itu ke dalam kelas. Bu Yanti datang sesudahnya, on time seperti biasa.

"Lihat halaman 273, dan kerjakan latihan soal nomor empat." Di depan kelas, wanita menjelang usia kepala empat itu sudah mengetuk-ngetukkan spidol yang masih ada tutupnya ke papan tulis, tanda bahwa ritual PELAKOR—Pecahkan Latihan Soal dan Raih Skor—akan segera dimulai.

Baru saja kalimat lugasnya meluncur, keramaian kelas seketika lenyap ditelan black hole tak kasat mata. Senyap menggantung di langit-langit kelas. Serempak, terdengar bunyi kibasan kertas yang dibuka secara tergesa-gesa. Bukan. Bukan karena anak XI MIPA-1 ambis semua, melainkan karena sebuah teori yang sudah turun-temurun dari kakak kelas mereka. Bunyi teori tersebut kurang lebih seperti ini:

'Bagi kami, rakyat Ruwada, tidak ada pelakor yang lebih mengerikan daripada ritual PELAKOR-nya Bu Yanti. Prosesi sakral yang tak pernah segan untuk membunuh akal sehat. Terlindungilah ... terlindungilah! Jikalaupun ada satu-dua penyalamat di kelasmu, cepatlah kau buka buku paket yang setebal dosamu itu! Dengan begitu, PELAKOR tidak akan menumbalkanmu. Waspadalah ... waspadalah!'

Bibir-bibir di kelas itu sibuk komat-kamit dalam sunyi. Jangan lupakan kernyitan kening dan jari yang menggaruk ketombe hanya untuk terlihat berpikir keras. Miris, tetapi beginilah kehidupan. Bahkan anak seapatis Zafira pun sibuk memelototi halaman yang dimaksud Bu Yanti, seraya melafalkan doa dalam hati, berharap agar Bu Yanti tidak menunjuknya untuk maju dan mengerjakan soal di depan kelas.

Dengan wibawanya yang tak terbantahkan, Bu Yanti berjalan mondar-mandir, mengelilingi setiap barisan sembari membacakan soal yang dimaksud. "Diketahui, gas O2 memiliki massa molar 32g/mol. Hitunglah kelajuan root mean square ... kelajuan rms-nya pada suhu 27° celcius!"

Tinta-tinta digoreskan pada permukaan kertas yang masih mulus. Masalah mengerti atau tidaknya itu urusan belakangan. Yang terpenting, harus terlihat sibuk berpikir. Tak peduli walau yang dituliskannya hanyalah poin-poin yang sudah diketahui dari soal. Begitulah yang digaungkan dalam benak Nazifa. Sementara itu, Zafira masih membolak-balik halaman, mencari rumus yang bisa digunakan.

Oh, mereka sedang membunuh waktu saja, sebenarnya. Menunggu sampai ada penyelamat yang heroik untuk mengorbankan dirinya demi kemaslahatan umat. Penyelamat yang bersedia ditumbalkan pada ritual PELAKOR kali ini ....

"Saya, Bu." Manik mata siswa-siswi langsung terarah pada anak perempuan di bangku barisan depan yang mengacungkan tangannya patah-patah. Baru saja dibicarakan, pahlawan kita sudah muncul ke permukaan. Beberapa bahu merosot lega. Dengan adanya inisiatif penyelamat ini, tentu tidak akan ada siswa lain yang ditunjuk maju! "Jawabannya 483 m/s."

Di saat siswa lain asyik menghela napas karena beban pikiran sudah plong, Zafira masih memaku tatapannya pada Hilwa yang maju ke depan dan meraih spidol yang disodorkan Bu Yanti. Tanpa permisi, bayangan pemandangan ganjil semalam pun berkelebat di benak Zafira. Soal pertemuan Hilwa dan Pak Adnan ....

Tak perlu waktu lama, rumus dan angka-angka sudah memenuhi permukaan papan tulis. Hilwa selesai menuliskan caranya dalam memecahkan soal. Sebelum Hilwa benar-benar kembali ke bangkunya, Bu Yanti angkat suara lebih dulu. "Bisa sekalian jelaskan pada teman-teman, Hilwa?"

Meski tampak malu untuk bicara banyak, Hilwa semangat sekali membahas soal ini. "Baik. Diketahui, massa molar oksigen itu 32 g/mol. Ubah satuannya, menjadi 32 × 10 pangkat -3, kg/mol. Diketahui juga suhunya 27° celcius, yang harus kita ubah ke dalam satuan kelvin, menjadi 300 K. Kelajuan root mean square, v rms-nya sama dengan akar dari 2RT per M. Terus R-nya diambil dari tetapan umum gas, yaitu 8.314 J/mK. Tinggal dioperasikan. Dikali 3, kali 300 K, dibagi 32 × 10 pangkat -3 kg/mol, lantas diakarkan. Hasilnya 483 m/s."

Tepuk tangan apresiasi dari Bu Yanti mengudara di langit-langit kelas, sementara beberapa anak lainnya hanya mengangguk-angguk seraya membulatkan mulut untuk ber-oh ria dan sok paham. Hilwa kembali ke bangkunya setelah menyerahkan spidol pada Bu Yanti. Guru Fisika yang cukup ditakuti itu tersenyum bangga. "Bagus, Hilwa. Kenapa enggak ikut KSN Fisika aja? Sudah kelas sebelas, kesempatan terakhir."

Manik cokelat madu itu menghadirkan binar-binar yang jarang singgah. Di kolong mejanya, Hilwa mengepal tangan kuat-kuat. Ini ... ini yang selalu Hilwa tunggu. Hilwa mau. Hilwa ... kepala berbalut jilbab panjang itu menggeleng, lantas menunduk dalam-dalam. Tidak. Sudah, cukup. Tidak boleh seperti ini. Jalannya hanya cukup sampai di sini.

Di bangku belakang, Zafira mengamati gelagat aneh Hilwa lamat-lamat. Sebenarnya ... ada apa dengan Hilwa?

Pertanyaan yang hanya dijawab senyap itu terus berkelana di pikiran Zafira hingga jam fisika berakhir. Berikutnya, pelajaran matematika wajib. Guru mereka sudah mengonfirmasi di grup mengenai keterlambatannya. Ada urusan di Disduk, katanya. Tidak heran jika anak manusia penghuni kelas jadi begitu ricuh.

Merasa memiliki kesempatan yang tepat, mengingat orang-orang sibuk dengan urusannya masing-masing, termasuk Nazifa yang sedang asyik berbincang dengan teman sebelahnya, Zafira pun memutuskan untuk menarik kursi dan duduk tepat di samping bangku Hilwa. Anak perempuan yang memilih membuka-buka buku di tengah jam kosong itu menolehkan kepala. "Oh, ada apa, Zaf?"

Ditanyai lebih dulu begitu membuat Zafira berdeham kaku. "Uhm ... hai, Hil." Oh, hentikan. Dia payah sekali kalau harus berbasa-basi begini. Tanpa berniat menunggu Hilwa merespons sapaan tidak jelasnya, Zafira lekas kembali melanjutkan, "Kamu jago banget Fisika-nya. Suka?"

Seorang Zafira mempertanyakan soal kesukaan? Konyol sekali. Itu omong kosong terbesar yang pernah ada. Mana peduli dia dengan kesukaan orang lain. Meski begitu, Hilwa menanggapinya dengan riang. "Suka! Banget!"

Oke ... antusias itu di luar ekspektasi Zafira. "Kenapa enggak ikut olimpiade aja? Biar kayak Haitsam."

Padam. Tak ada lagi sisa-sisa semangat di raut muka Hilwa. Itu terlalu kelihatan ... Zafira membisu ketika mendapati Hilwa menggeleng lesu. "Enggak, ah. Aku bukan tipikal yang ngejar olimpiade begitu. Aku suka fisika, ya ... suka aja."

Jawaban Hilwa seolah hanya lewat di telinga Zafira begitu saja. Yang terus berlalu-lalang di benaknya malah hal lain. Zafira mengingat-ingat kembali kondisi Hilwa kemarin. Sangat buruk. Jika dibandingkan, hari ini Hilwa tampak lebih terkendali, padahal pertanyaan Zafira tadi memiliki kemungkinan untuk membuat Hilwa meledak. Oh, cukup. Zafira ingin menanyakan sesuatu yang lebih penting. "Hil, semalam ngomong apa aja sama Pak Adnan?"

Tersentak. Hilwa tak bisa menyembunyikan kekagetannya. Menyadari ia sudah melotot tanpa sadar, Hilwa pun mengerjap berulang kali. "H-hah?"

"Oh, enggak." Mendapat firasat bahwa dirinya salah langkah dan terlalu mendadak menodongkan pertanyaan begitu, Zafira pun lekas-lekas merevisi kalimatnya. "Semalam, kayaknya ... aku lihat kamu ada ngomong sama Pak Adnan. Larut banget. Apa ada pemberitahuan? Buat bendahara?"

Kini, mata cokelat madu Hilwa tampak memaksakan diri untuk membalas tatapan Zafira. "Oh, enggak, Zaf. Cuma ngasih info buat rapat nanti pulang sekolah."

Tidak salah lagi. Janggal sekali. Hanya untuk itu? Memangnya, Pak Adnan hidup di zaman apa, sampai tidak terpikirkan untuk menyiarkan pengumuman tersebut di grup Rohis via WhatsApp? Mengumumkan pelaksanaan rapat di hari besoknya pun bukan masalah. Kenapa terkesan mendesak sekali, sampai mengatakannya pada Hilwa, anak perempuan, di waktu selarut itu? Kenapa tidak panggil Haitsam saja, langsung ke ketuanya?

Otak Zafira mengepulkan asap frustrasi karena tidak juga menemukan jawaban yang ia cari, meski sudah bertanya pada Hilwa. Tidak masuk akal. Walau begitu, pada akhirnya, Zafira memilih untuk mengangguk saja. Ia tidak mau membuat masalah ini makin runyam. Guru matematika wajib pun tiba, tetapi pikiran Zafira masih tidak pada tempatnya.

[ma.ni.pu.la.si]

Sepulang sekolah, rapat berlangsung di kelas XI MIPA-1, kelas dengan partisipan Rohis terbanyak. Tak perlu menunggu lama, seluruh anggota sudah berkumpul, meski tampak keberatan karena ini masih hari Selasa, bukan jadwal rapat rutin mereka di setiap Jumat. Pak Adnan juga sudah sampai di kelas dan mengucapkan salam.

Setengah jam lamanya, mereka membicarakan soal program kerja yang akan dilaksanakan pada periode ini, mulai dari yang jangka pendek dan bersifat rutin seperti kegiatan GEMA tiap Jumat, sampai yang jangka panjang seperti Kegiatan Ramadan dan perayaan hari besar Islam lainnya. Sebenarnya, tidak perlu waktu lama untuk membahas proker. Hanya saja, nyaris lima belas menit lamanya, Pak Adnan terus memberikan motivasi tentang pentingnya seorang pemimpin untuk umat.

"Oh, iya. Untuk Jumat ini, infak seperti biasa. Hilwa, jangan lupa setor ke saya, ya."

Hilwa mengangguk ketika Pak Adnan berkata begitu setelah menyebut infak sebagai salah satu program rutin. Zafira menatap ke satu titik imajiner di depan matanya. Fokus sekali. Sehabis sertijab kemarin, Kak Mila sudah bilang, kok, kalau infak itu memang bagian tugasnya Hilwa selaku Bendahara II. Tidak salah kalau Pak Adnan mengatakannya pada Hilwa, karena Zafira memang bagian menangani uang kas.

Namun, bukan berarti Zafira lepas tangan begitu saja. Sebelum pembahasan dilanjutkan, lekas-lekas Zafira mengacungkan tangan untuk bertanya. Pertanyaan yang selalu bergaung di kepalanya selama ini. Pertanyaan ... yang menjadi salah satu alasannya masih berada di titik ini.

"Sebenarnya ... uang infak itu dikemanain, Pak?"

[ma.ni.pu.la.si]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top