ma.ni.pu.la.si: 05

⭐Now playing: Hormatilah Guru — Nasyid Gontor (sangat direkomendasikan)⭐

Hari demi hari berganti tanpa mau menanti anak-anak manusia yang menginginkan jeda dalam hidupnya. Seperti biasa, suasana Ruwada di akhir pekan jauh lebih sepi, karena Sabtu hanya ada kegiatan pramuka dan ekstrakurikuler, sementara anak full-day school tidak ke sekolah pada hari Minggu. Yang tersisa di lingkungan Ruwada hanyalah kegiatan pesantren, juga anak mes yang asyik main sepak bola di lapangan.

Biasanya, yang ramai di akhir pekan begini hanya anak laki-laki, sedangkan anak perempuan lebih memilih berdiam diri di kobong masing-masing, mengerjakan tugas, mencuci sepatu, mempersiapkan perlengkapan sekolah, atau sekadar bercengkerama dengan teman di kobong lain. Ruwada memang tidak seketat pesantren pada umumnya. Penggunaan ponsel saja diperbolehkan, tetapi harus dikumpulkan pada Ukhti¹ sebelum jam sepuluh malam.

Hari Senin pun tiba. Sejak pagi buta, sebagian anak mes sudah mengantre di kamar mandi, dan Zafira termasuk ke dalam golongan rajin tersebut. Dengar-dengar dari obrolan anak kobong lain ketika Zafira kembali ke kobongnya untuk menyuruh Nazifa bergegas membersihkan diri dan bersiap salat tahajud, hari ini merupakan pelaksanaan sertijab, serah-terima jabatan setiap organisasi di Ruwada.

"Rosi, Yasna! Cepat bangun, ke lapangan! Anak full-day school saja sudah berdatangan. Cepat!" Zafira sibuk mengibaskan sajadah yang masih tergelar bekas salat Subuh tadi, sekilas tampak mengerikan seperti pecutan keras, membuat dua anak yang masih merebahkan badan di kasur itu langsung terperanjat dan bangkit tergopoh-gopoh.

Setelah meneriaki teman satu kamarnya di Kobong Madinah untuk berhenti berleha-leha,  Zafira menutup pintu kobong begitu Rosi dan Yasna akhirnya keluar meski sambil bersungut-sungut.

Sesampainya Zafira di lapangan, manik hitam legam itu mendapati empat panji bendera yang berkibar pelan, ditiup angin pagi yang berembus lembut. Benar saja rumor yang didengar Zafira tanpa sengaja pada pagi buta tadi. Hari ini sertijab. Sesaat, Zafira merenungi kembali alasannya untuk melanjutkan perjalanan ini.

Rohis ... entah akan berada di posisi apa Zafira, nantinya. Mungkin kembali jadi anggota Departemen Pendidikan dan Pelatihan? Zafira membuang pandangannya pada siluet pegunungan yang tertangkap mata di kejauhan. Apa pun jawabannya, Zafira harus mengusaikan segalanya.

Upacara selesai. Pak Prana, guru pembina OSIS, maju ke podium, lantas mulai mengumumkan struktur kepengurusan organisator Ruwada untuk masa jabatan tahun 2022-2023, mulai dari OSIS, MPK, sampai tibalah giliran Rohis.

"Rohis Ruwada. Pembina, Bapak Adnan Sudrajat. Ketua, Haitsam Ibrahim XI MIPA-2. Wakil ketua, Fatih Danindra XI MIPA-1. Sekretaris I, Nazifa Humaira XI MIPA-1. Sekretaris II, Rosi Salwa Nur Ilma XI MIPA-4."

Satu demi satu, anak yang namanya dipanggil itu maju ke depan, bergabung dengan anggota OSIS dan MPK yang sudah dipanggil lebih dulu.

"Bendahara I, Zafira Humaira XI MIPA-1."

Zafira? Bendahara-1? Sesaat, Zafira tertegun untuk mengamati sepatunya sendiri tanpa berkedip. Persis ditempatkan pada posisi yang ditujunya ... mungkinkah ini cara Allah untuk memperlihatkan jalan yang memang sudah seharusnya Zafira tempuh?

"Bendahara II, Hilwa Fatimatuz Zahra XI MIPA-1."

Di tengah bisik-bisik anak lain yang membicarakan soal kursi petinggi Rohis didominasi oleh XI MIPA-1, Zafira melangkah maju, diikuti Hilwa di balik punggungnya. Mereka berbaris rapi dengan badan tegak dan pandangan yang lurus ke depan. Sumpah Organisator pun menggema di langit Ruwada, pagi itu.

Prosesi penyerahan panji organisasi masing-masing, dari pengurus lama ke yang baru, berlangsung dengan cepat. Pak Prana terus bicara mengenai tanggung jawab yang mulai saat ini mereka pikul.
Pemimpin yang adil, jujur, amanah, punya loyalitas dan profesionalitas, berorientasi pada Allah dan Rasul-Nya ....

Sertijab berakhir dengan lancar. Tidak ada keluhan berarti selain siswa-siswi di barisan upacara yang menyaksikan prosesi sambil mengernyit dan kesulitan membuka mata karena matahari yang kian meninggi di ufuk timur.

Anak organisator pada periode kali ini sudah kembali bergabung dengan barisan teman sekelasnya. Para siswa kesulitan menahan diri untuk diam di tempat. Sebagian sudah jongkok-jongkok, atau repot meregangkan pundaknya yang terasa pegal. Menyadari keresahan yang ada, di depan sana, Bu Yanti naik ke podium, meraih mikrofon, lantas mempersilakan siswa untuk duduk di lapangan.

Sebagian anak Ruwada mendesis lega begitu mendaratkan badannya di pijakan, sebagian lain masih mengeluh karena barisan belum juga dibubarkan. "Kapan ke kelasnya, ini teh? Mau ada apa lagi, sih?"

Demi mereda suara-suara protes keberatan yang muncul dari sana-sini, Bu Yanti langsung angkat bicara. "Pengumuman kejuaraan siswa berprestasi di Riyadhul Ulum wal Huda pada bulan ini. Pertama, di bidang taekwondo, Nihat Alun XI MIPA-5, atas peraihannya, medali emas dan atlit terbaik senior pria."

Beberapa siswa yang merupakan teman sekelas Nihat bertepuk tangan mengapresiasi. Sementara itu, beberapa siswa lain mendengkus sebal, membayangkan orang tua masing-masing yang pasti akan menerima kabar tersebut di grup informasi wali murid. Biasalah, bahan perbandingan baru. Meski begitu, anak Ruwada lainnya bersorak heboh, hanya ingin prosesi penjemuran siswa di lapangan ini lekas berakhir sebelum mereka benar-benar gosong dipanggang matahari.

Nihat sudah ke depan bersama anak berprestasi lainnya. Bu Yanti kembali meneruskan pengumumannya yang belum tuntas. "Di bidang akademik, Haitsam Ibrahim XI MIPA-2, meraih medali emas olimpiade fisika di Kompetisi FUSO, Future Science Oympiad."

Haitsam ... demi mendengar nama itu, suasana di lapangan seketika berubah jadi lebih tenang. Seolah kehabisan tenaga untuk sekadar bertepuk tangan, siswa Ruwada hanya terdiam. Netra hitam legam Zafira berlarian, bermaksud menganalisis keadaan di sekitarnya.

Iya. Pengumuman prestasi Haitsam yang tiada habisnya itu memang sudah tak asing lagi di telinga anak-anak Ruwada. Dalam satu tahun, anak laki-laki itu bisa meraih empat atau lima medali emas. Kini, Ruwada dibisukan oleh bagian lain dari berjuta kelebihan Haitsam.

Sempurna, begitulah label orang-orang terhadap seorang Haitsam Ibrahim. Pintar, berprestasi, memiliki adab yang sopan, pemahaman ilmu agama yang luas, juga kemampuan berorganisasi yang tidak bisa disepelekan, terbukti dari jas milik Ketua Rohis sebelumnya yang kini terpasang rapi di tubuh Haitsam. Entah apa maksud Allah dengan menghadirkan manusia sejenis itu di Ruwada.

Setelah siswa berprestasi di depan lapangan itu dijepret berkali-kali, giliran organisator yang didokumentasikan. Panji-panji organisasi berkibar dengan gagah, melambai-lambai berlatar langit biru yang cerah. Haitsam yang mengacungkan bendera berlogo Rohis tinggi-tinggi.

Seluruh anak Ruwada bubar barisan. Zafira sudah bersiap untuk masuk kelas, tetapi tertahan oleh suara Fahmi, Ketua Rohis yang baru saja melepas jabatannya. "Untuk semua pengurus Rohis, harap kumpul dulu di masjid, ya."

Berikutnya, tidak ada hal menarik yang terjadi. Selain Nazifa yang membuka rapat untuk pertama kalinya dengan status sebagai seorang sekretaris, pertemuan dadakan ini hanya berisi beberapa wejangan soal amanah dan tanggung jawab dari anak Rohis kelas dua belas.

Begitu tidak ada lagi yang hendak dibicarakan, setiap anggota mulai terpecah menjadi beberapa kelompok, sesuai dengan jabatan yang disandangnya. Begitu pula dengan Zafira dan Hilwa yang saat ini sedang serius sekali mendengar panduan Mila mengenai tugas dan hal-hal yang harus diperhatikan oleh seorang bendahara.

Tak terasa, berbunyilah bel tanda pergantian jam pelajaran. Kakak kelas yang sudah mewariskan amanah di pundaknya itu pun berpamitan undur diri lebih dulu, kembali ke kelas masing-masing. Kini, perjuangan tanpa usai itu menunggu untuk diteruskan oleh kepalan tangan Zafira dan teman satu angkatannya.

Perjuangan, ya ... akan sepelik apa jalanan yang menanti Zafira di hadapan sana?

Lima belas menit berikutnya berlalu dengan Haitsam yang memimpin jalannya rapat tambahan, khusus anak Rohis tanpa kelas dua belas saja. Sistem keberlangsungan Rohis mulai dibahas. Mulai dari penjadwalan rapat rutin, ketentuan uang kas, sampai berbagai rencana untuk program ke depannya yang masih bersifat abu-abu, hanya didiskusikan selintas.

Lima menit lagi berlalu. Haitsam mengecek jam tangannya. Lantas, suara berat yang penuh wibawa itu mengudara di masjid Ruwada yang cukup pengap. "Kenyataannya, jumlah pengurus Rohis ini terus menurun saja dari tahun ke tahun. Kita krisis sumber daya manusia, kekurangan umat." Manik hitam sedalam samudera milik Haitsam menjelajahi anggotanya dengan sorot meyakinkan. "Tapi meski kalah dalam kuantitas, aku harap kita bisa selalu terdepan dalam masalah kualitas. Lillah. Hanya untuk-Nya."

Pertemuan benar-benar ditutup kali ini. Selagi berjalan keluar dan mengenakan sepatu, Zafira juga melirik waktu yang ditunjukkan jarum jam dinding di dekat posisi imam yang tidak terlihat dari posisi duduknya ketika rapat tadi. Sudah menjelang pukul sepuluh. Ah, kelas Zafira bagian jam pelajaran tahfiz, ya. Bagi anak yang jurusannya sains atau sosial tahfiz memang mendapat jadwal tahfiz setiap hari. Ustazah Qonita baik, kok. Selalu pengertian. Toh, mereka juga bukan bolos tanpa alasan.

Akan tetapi, semua itu hanya berlaku sebagai tak lebih dari kalimat penenang hati Zafira belaka. Pasalnya, ketika Alzam, Fatih, Hilwa, Nazifa, dan Zafira memasuki kelas lalu melepas sepatu, yang menyambutnya pertama kali adalah tampang garang Ustaz Zaki. Lho ... sebentar. Ustaz Zaki, kan, mengajar tahfiz di kalangan anak laki-laki, kok jadi ada di dalam kelas, sih? Biasanya, kan, laki-laki suka di masjid ....

Zafira melayangkan pandangan sekilas pada deretan bangku yang masih dihuni murid laki-laki. Mereka ada di sini! Tidak ke masjid? Masa tiba-tiba digabung, sih? Ustazah Qonita ....

"Ustazah Qonita sedang sakit, istirahat di rumah untuk pertemuan kali ini." Seolah paham dengan tanda tanya yang muncul di benak keempatnya, Ustaz Zaki berdeham singkat. Splash! Rasanya, setiap tarikan napas Ustaz Zaki menguarkan aura mencekam tiada tara.

Demi menjaga keaslian konsep 'mengingatkan' sekaligus nama baik anak Rohis yang telat datang ini, Ustaz Zaki mengajak Alzam, Fatih, Hilwa, Nazifa, dan Zafira, untuk membicarakannya di koridor kelas, sehingga tidak terdengar oleh siswa yang lain. "Jadi, ikhwan maupun akhwat setor ke saya. Dan jam pelajaran saya bukan untuk disalahgunakan. Bagaimanalah seorang pemimpin memiliki profesionalitas, jika mengurutkan skala prioritas antara kewajibannya saja masih berantakan?"

Sebagai salah satu lelaki yang mengikuti Rohis dari XI MIPA-1 dan merasa bertanggung jawab (tidak seperti satunya lagi yang justru menikmati berbagai jenis omelan semacam ini—ekhem, maksudnya Alzam), lekas saja Fatih menanggapi, "Afwan², Ustaz. Kami ada beberapa pembahasan dulu dengan Rohis."

"Padahal kamu sudah diberi waktu, sebelum jam pelajaran Ustaz. Ada istirahat pertama. Seharusnya, kita bisa menyesuaikan dengan jadwal yang sudah ditentukan lembaga sekolah. Bukannya rapat masih bisa dilaksanakan sesudah jam pelajaran berakhir? Istirahat kedua, atau mungkin pulang sekolah?" Ustaz Zaki berhenti melirik Hilwa dan Nazifa yang tampak sudah menunduk sekaligus menciut di posisinya. "Baru mendapat satu jabatan saja sudah lalai dengan peran utama sebagai pelajar, bagaimana ke depannya?"

Lama, kelimanya tercenung dalam diam. Fatih menipiskan bibir. Benar juga apa yang Ustaz-nya bilang. "Afwan, Taz. Kami akan menjadikan semua ini sebagai pelajaran untuk ke depannya."

Di sisi lain, Zafira hanya tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tidak. Dia sedang tidak berminat untuk berdebat, toh memang mereka yang salah karena melaksanakan rapat seenaknya. Zafira malah memikirkan hal yang lain ....

Ternyata benar, ya, rumor soal Ustaz Zaki yang katanya dijadikan nominasi sebagai Ustaz paling strict di Ruwada. Tidak ada ampun!

Sejenak, Zafira melirik Hilwa dan Nazifa yang sudah melangkah kembali memasuki kelas. Oh! Ternyata Ustaz Zaki sudah mempersilakan mereka untuk mengikuti pembelajaran sebagaimana mestinya. Ustaz masih berbaik hati dengan memperingatkan mereka saja, kali ini. Syukurlah.

Zafira pun lekas-lekas mengikuti langkah Nazifa sebelum kena omel lagi karena ketahuan melamun oleh Ustaz Zaki. Akan tetapi, ada sesuatu yang menarik perhatiannya kala itu. Hilwa yang bangkunya memang paling depan, kini sudah duduk di kursinya dan menghadap papan tulis. Tak sengaja, Zafira melihat raut muka Hilwa dan menyadari sesuatu.

Anak itu tidak sedang baik-baik saja. Buruk. Buruk sekali, malah. Zafira belum pernah melihat sosok Hilwa yang seperti itu.

"Hil ... ada apa?"

[ma.ni.pu.la.si]

¹Ukhti: panggilan untuk Mudabbiroh (pengurus santri di asrama) yang biasa digunakan di Ruwada
²afwan: maaf (Bahasa Arab)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top