ma.ni.pu.la.si: 04

⭐Now Playing: Salam Alaikum - Harris J⭐

"Zaf!"

Seruan Nazifa memang membuat Zafira tersadar, tetapi perempuan dengan kepala yang tak bisa disuruh diam itu malah berjalan cepat keluar masjid, mengenakan sepatu, lantas kembali melangkah lebar-lebar tanpa berniat mengurangi kecepatannya sedikit pun. Kini, malah Nazifa yang ditinggalkan. Anak itu ada masalah apa, sih? Sungguh. Kalau Zafira sudah berada di fase ini, meski jadi saudara kembarnya sekalipun, Nazifa tak bisa membedakan Zafira dengan alien yang tersesat di muka bumi.

Bocah prik! Nazifa mendengkus kesal, tetapi tetap saja membuntuti Zafira dari belakang. Lebih anehnya lagi, Zafira malah terus lurus menyusuri koridor, padahal kelas mereka sudah terlewat. Aduh. Baterai Zafira habis kena air atau kenapa, ya? Jadi eror begini!

Perlahan, Nazifa menyadari sesuatu ketika Zafira malah mengetuk pintu kelas XII MIPA-2 yang terbuka lebar, lantas berbicara pada kakak kelas yang berdiri paling dekat darinya. "Saya ada perlu ke Kak Mila."

Ingat dengan Zafira yang memang selalu menagih infak atau sekadar tampil di Kegiatan GEMA setiap Jumat, kakak kelas itu pun langsung berteriak memanggil Mila yang sedang mencatat sesuatu di bangkunya. Mila pun menghampiri.

Nazifa hanya diam saja ketika Zafira menanyai ini-itu pada Mila. Gelengan kepala terus didapatkan Zafira, sesekali disertai kalimat singkat semacam, "Enggak tahu."

"Tapi Kakak bendaharanya," sengit Zafira, seolah memojokkan posisi Mila yang malah tidak tahu apa-apa atas sesuatu yang sudah menjadi tanggung jawabnya itu.

"Tapi aku enggak tahu." Mila sedikit menaikkan oktaf suaranya. Lama-lama sebal juga berurusan dengan anak bernama Zafira Humaira yang bicaranya selalu to the point ini. Merasa diserang, Mila pun melipat kedua tangan di depan dada, memasang mode defensif. "Aku cuma menjalankan apa yang bendahara sebelumnya jalankan. Aku mengikuti SOP yang sudah ada dari dulu."

Tidak ada hasilnya. Zafira bergeming untuk beberapa detik lamanya. Mila sudah kembali ke kelas dan menutup pintu, tetapi Zafira masih saja mematung di posisinya.

"Zif ... apa kita memikirkan hal yang sama?"

Berusaha lebih terkendali dan berhenti menarik-narik Zafira untuk kembali ke kelas, Nazifa pun menghela napas, menenangkan diri. "Soal apa?"

"Jangan membenturkan kebaikan dengan kebaikan ...."

Demi mendengar kalimat Ustazah pada jam pelajaran tahfiz tadi yang diucapkan kembali oleh Zafira, sudut bibir Nazifa jadi tertarik ke atas. Manik cokelat terangnya melebar, dengan binar-binar yang menghiasi, tampak merasakan koneksi tak terlihat. "Allah juga bilang ... Kebenaran itu dari Tuhanmu, maka janganlah sekali-kali engkau termasuk orang yang ragu."

Pertama kalinya di hari ini-atau mungkin sejak beberapa hari sebelumnya-senyuman tipis bertengger di wajah Zafira. "Kita harusnya menyelesaikan apa yang sudah kita mulai, ya ...."

"Ingin lebih mengeksplor diri di minat dan bakat kita ... bukankah alasan untuk berhenti itu terdengar sangat egois?"

Di antara lalu-lalang siswa yang kembali dari kantin, Zafira dan Nazifa tenggelam dalam manik mata satu sama lain yang menggelorakan tekad bulat. Zafira mengangguk. "Masih ada yang harus kita selesaikan."

[ma.ni.pu.la.si]

Semenjak keputusan itu telah sempurna kukuh dan tak lagi goyah, bel masuk berbunyi nyaring, memenuhi setiap penjuru Ruwada. Waktu istirahat sudah habis. Akan tetapi, bukannya lekas-lekas kembali ke kelas, Zafira malah mengetuk pintu kelas XII MIPA-2 untuk kedua kalinya.

Kakak kelas yang masih berbincang dengan temannya di dekat pintu, lagi-lagi menjadi orang pertama yang menyadari keberadaan Zafira. Tanpa perlu menanyai alasannya, kakak kelas itu langsung berteriak, "Mila, tuh! Balik lagi!"

Mau tak mau, dengan raut sebal yang tak bisa terhindarkan dari muka bulatnya, Mila pun kembali menghampiri Zafira dan Nazifa yang menyembulkan kepala di bingkai pintu. Mila memberengut. "Apa lagi? Aku mau ngerjain tugas. Kalau semisalnya cuma ...."

"Kita mau lanjut Rohis, Kak."

Satu kalimat pernyataan Zafira yang dilontarkan dengan mantap itu berhasil membuat Mila bungkam sejenak, loading, berusaha mencerna segalanya, lantas melotot tak percaya. "Yang benar? Kalian? Zafi sama Zifa? Lanjut?"

Mulai, deh. Zafira bersusah payah menahan untuk tidak memutar bola matanya di luar kendali. Lihatlah kakak kelas itu! Cengiran lebar merekah cerah di bibirnya. Mungkin Kak Mila lupa bahwa sekitar satu menit sebelumnya, dia memandangi Zafira layaknya predator yang hendak memangsa. Sangat kontradiksi. Memang, ya. Manusia hanya memikirkan apa yang diinginkan dirinya sendiri.

"Alhamdulillah!"

Sebelum reaksi Mila tambah berlebihan, lekas-lekas Zafira menambahkan, "Tapi kami tidak ikut kegiatan LDKS pekan lalu. Masa tahu-tahu masuk? Tidak adil kalau kami bisa melanjutkan Rohis tanpa mengikuti proses pelatihan untuk kaderisasi seperti yang lain."

"Enggak apa-apa!" Lihat? Kini, Mila sampai menggenggam pergelangan tangan Zafira yang hanya ditanggapi dengan dengkusan risih dari adik kelasnya itu. "Ikut aja dari sekarang, daripada enggak sama sekali, 'kan? Gini, deh. Zafi sama Zifa bikin visi-misi, ya, buat rapat mingguan pas pulang sekolah nanti."

Kali ini, Mila melepas kepergian Zafira dan Nazifa dengan penuh kehangatan. Bahkan ketika gurunya sudah tiba, Mila masih memasang senyuman lebar seraya melambaikan tangan pada punggung keduanya yang menjauh.

Pesan Mila tadi membuat pikiran Zafira jadi sibuk berkelana di tengah penjelasan konsep perpindahan kalor oleh Bu Yanti. Hal yang sekilas dapat ditangkap indra pendengarannya hanyalah Bilangan Avogadro, massa molar, Robert Boyle, isobarik, dan Gay Lussac. Sisanya dipenuhi dengan visi, misi, Rohis, dana infak, perbaikan masjid ....

"Zaf," bisik Nazifa, "nanti pasti ditanyai soal jabatan yang diinginkan, ya, di Rohis? Kamu udah ada rencana?"

Oke, tampaknya Nazifa juga sedang memikirkan hal yang sama. Tak berniat memberi jawaban lebih lanjut, Zafira hanya menganggukkan kepala sekilas, lantas kembali sok fokus untuk mengamati buku paket yang terbuka di atas meja.

Memang benar apa yang orang bilang. Waktu akan berlalu lebih cepat jika tidak ada yang kita tunggu. Pukul sebelas siang, saatnya anak laki-laki mempersiapkan diri untuk melaksanakan salat Jumat di masjid Ruwada. Anggota Rohis, terutama Departemen Tsaqofah, sibuk patroli ke sana kemari untuk memastikan setiap siswa segera mengambil wudu dan lekas-lekas naik ke masjid di lantai dua. Sebagian lagi berjaga di gerbang, juga di setiap titik-titik rawan untuk mencegah anak lelaki yang hendak kabur.

Sementara itu, salah satu anggota Infokom pergi ke ruang guru untuk menggunakan mikrofon dan mengumumkan pada setiap akhwat Rohis agar berkumpul di Ruang Inspirasi. Ini adalah salah satu kesibukan yang tidak aneh lagi bagi mereka. Tak perlu waktu lama, belasan siswi dengan pin berlogo Rohis di kerudungnya itu berdatangan ke ruangan terbuka dekat tata usaha.

Di sebelah mading yang ditempeli struktur juga dokumentasi kegiatan Rohis, terdapat sebuah papan tulis yang biasa digunakan Rohis untuk mempersiapkan materi keputrian. Sebagai anggota Departemen Pendidikan dan Pelatihan yang biasa disingkat Diklat, Zafira maju ke depan untuk menuliskan materi di papan tulis. Setiap anggota Diklat memang bergiliran menyiapkan bahan materi.

Setelah semua akhwat Rohis memahami pembahasan dan penjelasan Zafira, giliran Departemen Keputrian yang maju untuk mengatur pelaksanaan kegiatan. Sejujurnya, akan lebih menghemat tenaga jika keputrian ini diadakan di sebuah ruangan besar, dan cukup satu-dua anggota Rohis yang menjelaskan pada seluruh murid perempuan.

Akan tetapi, ketiadaan tempat yang tepat, juga efektivitas kegiatan yang kurang-mengingat makin banyak siswa berarti makin sulit dimonitor lebih intensif-akhirnya Rohis memutuskan kegiatan keputrian ini dilaksanakan dalam kelas masing-masing. Karenanya, Tim Keputrian harus mengelompokkan anggota Rohis jadi satu-dua orang untuk menyampaikan materi di suatu kelas. Dengan hal ini, diharapkan public speaking setiap anggota Rohis juga lebih terasah.

Tak terasa, salat Jumat sudah berakhir. Anak laki-laki berhamburan dari masjid, bersamaan dengan keluarnya akhwat Rohis dari kelas yang ditugaskan untuk keputrian. Kegiatan belajar mengajar kembali dilaksanakan. Tidak ada hal menarik lain yang terjadi. Satu jam kemudian, bel pulang berbunyi, bersamaan dengan terangkatnya tangan Nazifa untuk menutup mulutnya sendiri yang menguap lebar, mengantuk berat.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh. Mohon perhatian. Kepada anggota Rohis, harap untuk segera berkumpul di kelas XII MIPA-2. Sekali lagi, kepada seluruh anggota Rohis, harap segera berkumpul di kelas XII MIPA-2. Terima kasih."

Dari speaker yang tersebar di berbagai penjuru Ruwada, terdengar pengumuman yang suaranya tak lagi asing di telinga anak Rohis. Itu pasti suara Fadil, salah satu anggota Infokom yang seangkatan dengan Zafira. Rapat rutin mingguan Rohis.

Zafira menghela napas. Benar saja. Baru beberapa menit sejak berakhirnya pembukaan beserta Talaqo-Tausiyah Qobla Al-Liqo-oleh Fahmi, Ketua Rohis di akhir masa jabatannya ini, tahu-tahu seluruh anak sebelas disuruh maju ke depan satu per satu untuk membacakan visi-misi dan posisi apa yang diinginkannya di Rohis.

Sepertinya, teman satu angkatan Zafira yang lainnya memang sudah diinstruksikan untuk menyiapkan visi-misi sejak pekan lalu, ketika kegiatan LDKS diselenggarakan. Hanya Zafira dan Nazifa saja yang baru mengetahuinya ketika memutuskan bergabung, di jam istirahat tadi.

"Siap. Nama, Haula Khairunnisa. Posisi yang diinginkan, Koordinator Departemen Keputrian."

Manik hitam legam Zafira sempurna terkunci pada jarum jam yang terus menyusuri detik kehidupan. Lagi, Zafira tenggelam. Matanya tak berkedip sama sekali ketika setiap anak kelas sebelas maju ke depan satu demi satu, di hadapan kelas sepuluh dan dua belas yang memasang tampang serius sejak rapat dimulai.

"Siap. Nama, Fatih Danindra. Jabatan yang diinginkan, Ketua Rohis."

"Siap. Nama, Maudy Zahrani. Koordinator Departemen Tsaqofah."

Tenggelam dalam semestanya yang bising ....

"Selanjutnya, Zafira."

Mendengar namanya dipanggil oleh Kak Fahmi, Zafira pun bangkit dari duduknya. Langkah anak perempuan itu mantap sekali. Tenang, tetapi tetap bertenaga. Tangannya mengepal erat di kedua sisi tubuh. Tatapan itu tajam sekali, tak tergoyahkan. Zafira berdeham singkat, membiarkan hening mengisi ruangan kelas XII MIPA-2 lebih lama lagi.

"Visi, menjadikan Rohis sebagai wadah, organisasi keagamaan yang merangkul dan dapat dipercaya, juga berperan aktif selaku fasilitator pendukung kedekatan siswa dengan Allah Swt;. Misi, pertama, menjadi pribadi yang jujur, bertanggung jawab dan dapat dipercaya dalam menjalankan fungsi sesuai tupoksi. Kedua, saling mengingatkan, mendukung, dan mengeratkan jalinan ukhuwah islamiah, terutama dengan sesama anggota Rohis. Ketiga, memperbaiki dan melengkapi keperluan masjid sebagai sarana mendekatkan diri pada Allah."

Zafira mengungkapkan setiap poin-poin visi-misinya dengan mantap tanpa hambatan. Detik berikutnya, anak perempuan itu tersadar bahwa dirinya melupakan sesuatu yang seharusnya ia katakan lebih awal.

"Nama, Zafira Humaira. Jabatan yang diinginkan ... Bendahara Rohis."

[ma.ni.pu.la.si]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top