ma.ni.pu.la.si: 02
⭐Now playing: Manshola — Nasyid Gontor⭐
Pelototan tak percaya diarahkan Citra dan Mila pada sepasang anak kembar tersebut. "Kenapa? Sayang banget, lho. Apalagi masa-masa kelas sebelas, bakalan lebih seru!"
Sesaat, Nazifa melirik Zafira yang turut diinterogasi bersamanya, memperkirakan kemungkinan bahwa Zafira akan balas menoleh untuk mendiskusikan jawaban yang jauh lebih sistematis dan terstruktur dengan baik. Akan tetapi, sudah tak aneh lagi, perempuan dengan sorot mata tegas itu tidak bergeming sama sekali. Tanpa segan atau terpengaruh sedikit pun, Zafira hanya menatap Mila dengan tampang datar.
Iya. Meskipun terlahir kembar dengan kesamaan fisik dan selalu dibelikan pakaian couple yang matching satu sama lain oleh umi dan abi keduanya, Zafira dan Nazifa memiliki kepribadian yang cukup berbeda. Jika Nazifa terkenal murah senyum dan begitu periang, maka Zafira adalah anak yang hanya bicara atau bertindak seperlunya saja. Tak heran, ekspresi Zafira kurang bervariasi dan hanya itu-itu saja. Jika Nazifa adalah mentari yang bersinar terang, maka Zafira layaknya awan mendung yang mengiringi.
Kontras, berlawanan, tetapi untuk itulah mereka selalu berjalan seiringan.
Tersadar dari lamunan, Zafira mengerjap singkat. Supaya bisa cepat-cepat kembali ke kelas dan mengikut kegiatan pembelajaran seperti semestinya, Zafira harus segera menyelesaikan urusan ini. Suara tenangnya mengudara. "Saya punya prioritas lain, Kak. Saya ingin lebih mengeksplor diri di minat dan bakat saya."
"Kenapa enggak? Rohis bukan penghalang, lho, Zaf. Kamu masih bisa melakukan apa yang kamu mau, sekaligus bertahan di Rohis!" Kini, giliran Citra yang berusaha membujuk Zafira.
Huft, lagi-lagi begitu. Pemaksaan. Para senior ini ... mereka tidak merasa sudah merendahkan harga diri dengan mohon-mohon begitu, ya? Bukankah wibawa itu sangat penting bagi seorang pemimpin? Sudut bibir Zafira berkedut kecil, tidak begitu nyaman dengan situasi semacam ini.
Demi meningkahi keadaan yang terasa tidak menyenangkan, Nazifa berinisiatif mencari jalan tengah. "Iya, Kak. Maaf, ya. Kami akan mempertimbangkan kembali untuk ...."
"Tidak." Zafira sudah menyerobot lebih dulu, membuat hawa sekitar terasa jauh lebih panas. "Tidak selamanya hal di dunia ini bisa berjalan seiringan, Kak. Aku lanjut Rohis dan masih bisa melakukan apa pun? Termasuk membolos di rapat mingguan? Tidak bisa. Yang namanya organisasi itu pasti punya peraturan, 'kan? Aku tidak mau kalau aku kurang maksimal dalam mengemban tanggung jawab, jika terus lanjut di Rohis atas dasar pemaksaan."
Hening tercipta. Riuh dari keas XI1 MIPA-2 yang belum kedatangan guru pun terasa senyap di koridor tersebut. Kalau Zafira sudah berbicara sepanjang itu, artinya ia tak mau lagi mendengar adu argumen berikutnya. Berhenti, cukup sampai di sini.
Sebelum kakak kelas mereka tambah memperkeruh suasana hati saudara kembarnya, Nazifa pun langsung menarik pergelangan tangan Zafira, lantas menunduk sekilas. "Ya sudah. Kita pikir-pikir dulu, ya, Kak. Kita masih harus setoran hafalan ke Ustazah Qonita sekarang, pamit duluan, Kak. Assalamualaikum."
Diiringi jawaban salam yang lirih, Nazifa berlari-lari kecil untuk menarik lengan Zafira dan kabur menuju kelas. Ya. Beginilah peran Nazifa dan Zafira yang seringkali melengkapi satu sama lain. Zafira memegang kendali, dan Nazifa yang menguasai tuas remnya. Dengan begitu, perjalanan keduanya bisa lebih stabil dan seimbang.
Sesampainya di kelas, tenyata Ustazah Qonita sudah tiba lebih dulu. Zafira dan Nazifa memasuki kelas dengan mengucap salam, lantas bergantian mencium punggung tangan guru tahfiz mereka itu. Dalam diam, Zafira memperhatikan Ustazah Qonita lekat-lekat. Bibir beliau masih pucat, bahkan kedua mata teduh itu tampak sayu, sejak dua hari terakhir. Kesehatannya tidak begitu baik, tetapi beliau masih saja memaksakan diri untuk hadir di pertemuan kali ini, ya ....
"Yang ikhwan, cepat ke masjid, ya. Sudah ditunggu Ustaz Zaki di sana," ucap Qonita dengan suara seraknya.
Namun, yang didapatkannya malah seruan-seruan heboh dari murid laki-laki. "Bentar, Ustazah. Sepatu aku hilang sebelah! Alzam yang ngumpetin, sih, pasti!"
Ribut sekali situasi kelas saat ini. Alzam, tersangka utama kekacauan, malah asyik berlarian mengelilingi kelas dengan tawa puas. "Menuduh tanpa bukti, itu namanya apa, ya, Ustazah?" Masih kabur menghindari teman laki-laki yang terus memburunya, Alzam sempat-sempatnya teriak untuk bertanya pada Ustazah. Detik berikutnya, anak tengil itu malah menjawab pertanyaannya sendiri. "Oh, iya. Fitnah! Apa katanya? Lebih kejam daripada nge-ghosting Ayang!"
Di bagian depan kelas, Qonita kembali menghela napas panjang, tampak tidak cukup bertenaga. Tak tahan lagi, Zafira langsung menarik bangkunya sendiri untuk menghambat pergerakan Alzam yang tengah menuju ke arahnya. "Berhenti."
Murid laki-laki yang menjadi korban kejahilan Alzam di pagi ini mendorong punggung Alzam, merasa menang. Jangan lupakan suara-suara cemoohan yang bermaksud menyoraki Alzam.
Nazifa menggeleng-geleng. "Udah, udah. Balikin, Zam."
Dalam timing yang begitu tepat, hewan berbulu oranye kebetulan lewat. Alzam meraih kucing yang memang sering sekali nongkrong di kelas XI MIPA-1, atau sekadar jalan-jalan keliling Ruwada. Setelah itu, Alzam mengambil sebelah sepatu dari spasi sempit di atas teralis jendela, lantas tanpa ragu memakaikannya pada kepala kucing oranye yang tidak berdosa itu.
Tak lupa memasang tampang penuh drama yang sok polos, Alzam pun angkat tangan, seolah menyerahkan diri. "Aku tidak bersalah! Aku bukan pelakunya!" Kemudian, telunjuk Alzam teracung tepat pada kucing yang mengeong kencang dan kesulitan melepaskan sepatu bau yang menyangkut di kepalanya. Kasihan. Alzam kembali bersuara. "Jessie pelakunya! Jessie yang nyembunyiin sepatu dia!"
Iya. Barusan itu bukan typo atau dibajak, Alzam memang menamai kucing tersebut dengan panggilan Jessie. Nazifa dan anak laki-laki tadi masih sibuk mengomeli Alzam, sementara Zafira langsung merapikan bangku miliknya dan membuka mushaf, mulai menyelami ayat-ayat cinta dari-Nya.
Akhirnya, semua anak laki-laki berhasil diusir untuk pergi ke masjid. Ikhwan dan akhwat memang dipisah untuk pelajaran tahfiz. Hanya saja, tidak untuk laki-laki dengan rambut berjambul bagai jamet yang saat ini malah menarik kursinya ke hadapan bangku Nazifa.
Helaan napas kembali terdengar dari Nazifa. Anak perempuan itu tersenyum lebar, berharap bisa menambah stok kesabarannya lebih banyak. "Kamu cepat ke masjid, ya ...."
"Maunya sama kamu."
Dengan genit dan sok cakep, Alzam memanyunkan bibirnya beberapa senti. Spontan saja Nazifa memundurkan wajahnya seraya memejamkan mata, berusaha menghilangkan pemandangan mugoladzhoh¹ dari hadapannya. "Zam ...."
Menyadari suara Nazifa yang menyebut namanya itu memancing tatapan horor dari Zafira, Alzam pun langsung nyengir lebar, menciut duluan. "Oke, otewe. Ustaz Zaki, I miss you, I'm coming!"
Selepas kepergian Alzam, barulah ketenangan memasuki kelas XI MIPA-1. Kelas baru berlangsung sepuluh menit, tetapi Nazifa sudah ingin buang air kecil. Nazifa bangkit meminta izin untuk ke toilet, bersamaan dengan Zafi yang maju untuk menyetor hafalan ke Ustazah Qonita. Sesaat, Nazifa mendengkus. Biasanya Nazifa dan Zafira selalu berlomba-lomba siapa yang lebih dulu setoran. Ya sudahlah. Panggilan alam, mau dibagaimanakan lagi.
"Ustazah, afwan, uriidu an adzhab ilal hammam²!"
Di meja guru, Qonita mengangguk ke arah Nazifa, lantas mempersilakan Zafira untuk memulai setorannya.
"Murajaah aja, ya, Ustazah." Dengan satu tarikan napas, Zafira memulai lantunan indah itu.
بَدِيعُ السَّمٰوٰتِ وَالْأَرْضِ ۖ وَإِذَا قَضٰىٓ أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُۥ كُنْ فَيَكُونُ
"(Allah) Pencipta langit dan bumi. Apabila Dia hendak menetapkan sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, "Jadilah!" Maka jadilah sesuatu itu."
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 117)
وَقَالَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ لَوْلَا يُكَلِّمُنَا اللَّهُ أَوْ تَأْتِينَآ ءَايَةٌ ۗ كَذٰلِكَ قَالَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ مِّثْلَ قَوْلِهِمْ ۘ تَشٰبَهَتْ قُلُوبُهُمْ ۗ قَدْ بَيَّنَّا الْأَايٰتِ لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
"Dan orang-orang yang tidak mengetahui berkata, "Mengapa Allah tidak berbicara dengan kita atau datang tanda-tanda (kekuasaan-Nya) kepada kita?" Demikian pula orang-orang yang sebelum mereka telah berkata seperti ucapan mereka itu. Hati mereka serupa. Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-tanda (kekuasaan Kami) kepada orang-orang yang yakin."
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 118)
إِنَّآ أَرْسَلْنٰكَ بِالْحَقِّ بَشِيرًا وَنَذِيرًا ۖ وَلَا تُسْئَلُ عَنْ أَصْحٰبِ الْجَحِيمِ
"Sungguh, Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran, sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Dan engkau tidak akan diminta (pertanggungjawaban) tentang penghuni-penghuni neraka."
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 119)
"Shadaqallaahul 'adzhiim." Lirih, Zafira mengakhiri bacaan Al-Qur'an-nya.
Ustazah Qonita menarik kedua sudut bibirnya ke atas. "Masyaallah tabarakallah³, Zafira ...." Seperti biasa, kekuatan hafalan Zafira memang tidak diragukan lagi. Setelah mencatat riwayat setoran Zafira dan menyadari anak perempuan di hadapannya ini belum juga beranjak untuk kembali ke bangkunya, Qonita pun menatap Zafira, barangkali ada sesuatu yang salah. "Kenapa, Zafira?"
Zafira mengerjap, lantas balas menatap Qonita untuk sekejap. "Ini, Ustazah ... mau tanya. Nun mati bertemu huruf fa itu hukumnya ikhfa, kan, ya? Berarti dibacanya dengung ... tapi, kok, setiap aku dengar orang baca 'kun fayakun' itu malah idzhar, sih? Emang pengecualian, atau gimana, Ustazah?"
"Coba, Ustazah tanya dulu. Dalam hukum nun mati atau tanwin, ikhfa itu ada berapa macam?"
"Tiga, Ustazah." Zafira memperbaiki posisi duduknya, tanda bahwa dirinya makin tertarik sekaligus penasaran dengan jawaban yang akan diterimanya. Kenapa Ustazah malah balik bertanya, ya? Tanpa perlu berpikir panjang, Zafira meneruskan kalimatnya, "Ikhfa aqrab, ausath, sama ab'ad."
Qonita mengangguk-angguk membenarkan. "Sahih. Kita tahu sejak awal, kalau setiap huruf ikhfa itu memiliki kadar dengungnya masing-masing. Begitu pula dengan huruf fa, yang ikhfa-nya tipis sekali. Nyaris tidak terdengar malah, ya? Tapi sebenarnya itu memang ikhfa, kok. Hanya saja lebih samar dibandingkan ikhfa ab'ad yang hurufnya qof atau kaf. Terus, ya, tajwid memang hanya diwajibkan untuk bacaan Al-Qur'an. Jadi, kalau menyebut 'kun fayakun'-nya bukan sedang mengaji, itu memang enggak usah didengungkan."
"Hooo, begitu." Kini, giliran kepala Zafira yang mengangguk-angguk mengerti. Beberapa detik lamanya, anak itu malah kembali melamun di depan kelas, tak memikirkan bagaimana nasib anak lain yang ingin setoran juga. Menghambat saja.
Di saat yang sama, Nazifa kembali dari toilet. Demi mendapati Zafira yang masih duduk di kursi tempat mereka biasa menyetorkan hafalan, Nazifa langsung menghampiri saudara kembarnya itu. Nazifa menepuk pundak Zafira satu kali. "Masih setoran? Kok, lama banget, sih? Gantian, dong!"
Tak peduli dengan keluhan adik kembarnya, Zafira lebih memilih untuk mengajukan pertanyaan lagi pada Ustazah Qonita di hadapannya. "Ustazah ... Ustazah belajar tahsin⁴ di mana dan gimana, deh?"
Mendengar pertanyaan tersebut, Nazifa jadi tertarik dan membungkam mulutnya sendiri. Anak perempuan itu langsung berlutut di lantai sambil berpegangan ke pinggiran meja guru untuk terus mengikuti perbincangan ini.
Di sisi lain, Qonita hanya tersenyum simpul. "Ustazah belajar tahsin aja masih baru-baru ini, waktu kuliah. Ustazah, kan, ikut program beasiswa untuk anak yang menghafal Al-Qur'an gitu. Di sana Ustazah belajar banyak hal ...."
"Ustazah kuliah sambil asrama ... kayak pesantren gitu, Ustazah?" tanya Zafira.
"Iya. Ada target hafalannya. Jadi, ya ... kalau Ustazah enggak memenuhi target, bisa di-blacklist dari beasiswa, Zafi."
Kini, gantian Nazifa yang menimpali, "Disambi gitu, Ustazah? Kuliah sambil ngejar target hafalan? Bukannya kuliah aja udah ribet, ya, Ustazah? Kenapa enggak fokus salah satu dulu? Kayak tetanggaku, Ustazah, ada yang milih menguatkan hafalan 30 juz-nya dulu, baru kuliah, deh."
Qonita membenahi posisi duduk, dengan senyuman teduh yang tak lekang menghiasi kedua sudut bibir itu. "Masalahnya bukan di fokus enggaknya, sih, Zif. Tapi tentang time management kita, self-control kita ... kalau memang mampu, kenapa enggak kejar dua-duanya aja?" Qonita menatap Zafira dan Nazifa secara bergantian. "Kita enggak seharusnya membenturkan kebaikan dengan kebaikan, Zafi, Zifa."
Sesudah Qonita menutup mulut, yang terdengar hanyalah senyap, juga lantunan ayat suci dari anak kelas XI MIPA-1 yang sedang menghafal. Mulai dari yang menghafal di bangkunya sendiri, sampai yang menghafal di pojokan dengan kaki selonjoran. Sementara itu, Zafira masih sibuk mengarungi benaknya sendiri.
Zafira memanglah anak yang keras kepala. Tidak ada yang mampu menggoyahkan keyakinannya ketika Zafira sudah memutuskan sesuatu. Akan tetapi, Zafira memiliki ruang spesial untuk orang tua, juga orang-orang yang teramat dihormatinya. Kebetulan, Ustazah Qonita adalah salah satu dari sedikitnya orang yang teramat dihormatinya.
Membenturkan kebaikan dengan kebaikan, ya ... sama-sama kebaikan, kenapa tidak dijalankan seiringan saja?
[ma.ni.pu.la.si]
¹mugoladzhoh: najis berat
²afwan, uriidu an adzhab ilal hammam (Arab): maaf, saya ingin pergi ke toilet
³tabarakallah: semoga Allah memberkahi
⁴tahsin: menyempurnakan semua hal yang berkaitan dengan kesempurnaan pengucapan huruf-huruf al Quran dari aspek sifat-sifatnya yang senantiasa melekat padanya dan menyempurnakan pengucapan hukum hubungan antara satu huruf dengan yang lainnya seperti idzhar, idgham, ikhfa dan sebagainya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top