ma.ni.pu.la.si: 01
⭐Now playing: Good Life - Harris J⭐
"Lemas, Bestie. Enggak ada Ayang."
Kalimat yang sempat viral beberapa waktu lalu itu membuat nyaris seluruh atensi siswa langsung terarah ke ujung lapangan. Bukan. Bukan karena mereka ketinggalan zaman sampai merasa aneh begitu mendengarnya, melainkan karena tidak ada satu pun yang menduga bahwa kalimat tersebut akan terdengar dalam kegiatan tausiah kali ini.
Kok, jadi ke Ayang? Sebenarnya, ini sedang kegiatan keagamaan di hari Jumat, atau pelaksanaan ritual galau karena kegaiban Ayang, sih? Beberapa anak yang sebelumnya menunduk terkantuk-kantuk, kini membuka mata lebar-lebar. Kepala-kepala yang masih berbalut mukena maupun peci celingukan, berusaha mencari tahu siapa yang sedang berbicara di depan koridor kelas.
Puas dengan atensi siswa yang tersedot ke arahnya, Nazifa mengembangkan senyuman lebar. Tanpa instruksi maupun aba-aba, ia saling tatap dengan Zafira. Sepasang anak kembar itu mengangguk sekilas, lantas kembali mengedarkan pandangan pada audiens yang sibuk menyembulkan kepala. Zafira mendekatkan mikrofon ke bibirnya. "Udah rajin sembahyang ...."
Lekas-lekas Nazifa menyahut, "Tapi masih karena Ayang."
"Allah larang, dibangkang."
"Langsung gerak kalau disuruh Ayang."
"Everything for Ayang seorang."
"Kapan-kapan aja kalau buat Yang Maha Penyayang."
Setelah sahut-sahutan antara Zafira dan Nazifa yang sengit tersebut, keduanya pun serempak berdecak-decak seraya menggelengkan kepala dengan kompak. Lantas, Zafira dan Nazifa berseru sama-sama, "Gimana Allah mau sayang?"
Beberapa detik lamanya, para siswa tertegun dan lupa cara untuk menarik napas karena mendapat serangan kombo begitu. Di depan sana, Zafira dan Nazifa sudah bersiap untuk menutup tausiah dengan formasi khas mereka. Zafira mengacungkan jempol di depan dada. "Aku Zafi."
Nazifa turut berpose dengan dua jari peace andalannya. "Aku Zifa!"
Kemudian, keduanya saling beradu kepalan tangan, sambil berseru dengan kompak. "ZafZif Twins, mari beriringan menuju-Nya." Kini, Zafira dan Nazifa mengacungkan tinju ke udara. "Allahu akbar!"
Seisi lapangan seketika dipenuhi dengan sorak-sorakan riuh yang turut menggemakan takbir berkali-kali. Sukses besar! Pembahasan Duo Humaira itu berhasil membangunkan golongan siswa yang biasanya hanya tertunduk lesu, bahkan yang biasanya diam-diam menyalakan ponsel di balik mukena.
Hari Jumat ke sekian di langit Ruwada. Sebagaimana rutinitas biasanya, sebelum kegiatan belajar mengajar, seluruh siswa dikumpulkan di lapangan terlebih dahulu. Kegiatan ini dinamai dengan GEMA, diambil dari kegiatan utamanya, yaitu menggemakan 99 nama-Nya. Salat Duha dan salat gaib sudah didirikan sedari tadi, juga gema asmaul husna yang dibacakan bersama-sama. Setelah tausiah, agenda yang tersisa hanyalah doa dan penutupan.
Sejak tadi, posisi imam sudah digantikan dengan deretan kursi yang disediakan Departemen Infokom Rohis. Staf inti dan petugas kegiatan pada Jumat kali ini duduk di sana, persis menghadap para siswa yang menggelar karpet dan sajadahnya di lapangan. Anak Rohis biasanya menyebut kursi-kursi di depan itu sebagai TKJ, Takhta Kerajaan Jumat. Zafira dan Nazifa merupakan salah dua siswa yang duduk di sana.
"Terima kasih kepada Ukhtaynaa¹ Zafi-Zifa yang sudah menyampaikan tausiahnya, semoga bermanfaat bagi kita semua." Rosi, anak perempuan bertubuh mini tersebut semangat sekali menjalankan perannya sebagai MC. Setelah satu tarikan napas, suara cempreng itu kembali mengudara. "Untuk acara selanjutnya, yaitu doa yang akan dipimpin oleh Akhunaa² Haitsam. Kepadanya dipersilakan."
Demi mendengar nama yang tak asing lagi, sebagian besar murid perempuan sibuk berbisik-bisik, mendengungkan 'Haitsam, Haitsam' yang tidak cukup untuk dikatakan satu kali saja. Ketika laki-laki berpeci di depan sana mengucapkan salam, barulah bisik-bisik itu terhenti, menyisakan keheningan, juga panjatan doa yang dilafalkan dengan fasih.
Kegiatan GEMA berakhir lancar, sebagaimana seharusnya. Barisan siswa langsung berhamburan. Satu-dua masih sibuk merapikan alat salat, sementara sebagian lainnya sudah bangkit untuk kembali ke kelas sembari mengomel panjang karena jam pelajaran pertama diawali dengan Matematika. Anak Infokom Rohis sigap menggulung kembali karpet masjid yang biasa digelar di lapangan.
Ramai. Celotehan di sana-sini saling tumpah tindih. Di ujung lapangan sana, sebelum anak Rohis lainnya membereskan sound, Pak Adnan lekas-lekas meraih mikrofon yang tergeletak di kursi TKJ. Pria berusia empat puluh tahunan dengan sorban berwarna bendera Palestina favoritnya itu mengetuk-ngetuk mikrofon sekilas, lantas angkat suara untuk memberikan pengumuman. "Perhatian, mohon perhatian. Seperti biasa, Jumat ini waktu yang sangat dianjurkan untuk bersedekah. Jangan lupa infak, ya. Nanti dikondisikan oleh Rohis."
Zafira cekatan menggulung kabel untuk membantu Departemen Infokom yang seringkali dibebankan dengan peran logistik juga. Demi melihat Zafira sebagai anak Rohis yang saat ini berada di jarak paling dekat darinya, Pak Adnan pun memanggil anak perempuan itu. "Zafira, jangan lupa tagih infak, ya. Tolong dicatat juga, seperti biasa."
"Baik, Pak." Zafira sedikit menunduk hormat.
Di sisi lain, Nazifa langsung menuju ruang guru untuk mengambil absensi siswa di setiap kelas. Sebelum guru-guru masuk ke kelas, Rohis selalu berusaha bergerak cepat untuk menyelesaikan tugas mereka lebih dulu. Tanpa perlu instruksi, semua siswa-siswi yang terlihat berbeda dengan lencana pin Rohis itu berkumpul di depan koridor kelas.
Fahmi, anak kelas dua belas yang sedang berada di akhir masa jabatannya sebagai Ketua Rohis saat ini, langsung membagikan tugas pada anggotanya untuk menagih infak di bagian kelas mana per tiga orangnya. Zafira, Nazifa, dan Kak Citra ditunjuk untuk bersama-sama bertugas di kelas XI MIPA-1 sampai XI MIPA-5.
"Aku mau yang bagian pembukaan dan penutupan," cetus Zafira, di tengah langkah mereka yang cepat-cepat menaiki anak tangga.
Di sampingnya, Nazifa berdecak malas. Kedua tangan Nazifa menahan kotak amal berbahan kayu yang cukup berat. "Itu, sih, bagiannya Kak Citra. Zafi yang catat, lah!"
Tak mau kalah begitu saja, Zafira berusaha merebut kotak kayu tersebut dari Nazifa. "Aku yang keliling kelas, kamu yang catat!"
"Enggak, aku yang keliling!" Nazifa mencoba mengamankan kotak dari jangkauan Zafira. "Dengar, ya, Zafira, kakak kembarku tersayang. Kotak ini berat banget. Aku enggak mau kakak kembarku kesusahan. Oke?"
Demi mendengar Nazifa yang sudah menyebut statusnya sebagai kakak, Zafira seketika mendengkus kesal. Dia tidak bisa mengelak, kalau sudah begitu. Zafira bisa saja kembali menyangkal dengan mengatakan, 'Justru karena kamu adikku, aku yang harusnya bawa kotak!'. Akan tetapi, Zafira tidak suka memperpanjang masalah dengan perdebatan yang sudah jelas siapa pemenangnya. Apa boleh buat. Mereka sudah sampai di kelas pertama, XI MIPA-1.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh. Kami dari Rohis Ruwada, seperti biasa, mengadakan infak di Jumat ini. Bagi yang ingin berinfak dipersilakan."
Setelah pembukaan oleh Kak Citra, Zafira dan Nazifa langsung bergerak mengelilingi kelas dengan formasi mengular, mengikuti posisi bangku setiap barisan. XI MIPA-1 ini kelas mereka sendiri. Syukurlah, Zafira jadi tidak perlu menanyai nama satu per satu siswa sambil menuliskan nominal sedekahnya. Sungguh. Nyaris setahun lamanya Zafira bergabung dengan Rohis sekalipun, Zafira tetap belum saja terbiasa dengan tugas ini.
Mencatat nominal infak ... bukankah itu tidak begitu dianjurkan? Untuk apa data nominal tersebut? Bukankah seharusnya, sedekah itu dilakukan sembunyi-sembunyi, ya?
Keresahan-keresahan semacam itulah yang kerapkali mengganggu benak Zafira dan membuatnya enggan mengambil tugas sebagai pencatat di setiap kegiatan Jumat Sedekah. Zafira merasa berdosa ... merasa tidak sepatutnya melakukan hal tersebut. Namun, ia tidak bisa melakukan apa pun. Ya sudahlah. Tuntutan pekerjaan.
"Apaan, sih?" Sampai di ujung barisan ketiga, seorang perempuan bersuara dengan nada yang tidak begitu enak untuk didengar. "Sedekah, kok, dibikin catatannya? Yang penting itu ikhlasnya. Kenapa harus dicatat? Mau mengklasifikasikan kategori siswa paling rajin sedekah, atau gimana, nih?"
Belum hilang pemikiran tersebut dalam otak, telinga Zafira sudah kembali mendengar keluhan yang sama persis. Catatan sedekah ... kalau sudah begini, apa yang bisa Zafira jawab? Ia bahkan tidak tahu alasan jelasnya.
Demi mengendalikan gemuruh siswa lain yang ribut berseru-seru mengiyakan pertanyaan anak perempuan tadi, Zafira pun angkat suara. "Itu instruksi dari pihak sekolahnya. Kami di sini hanya menjalankan fungsi. Untuk ke depannya, saya coba tanyakan mengenai catatan sedekah ini." Berhasil. Kelas kembali tenang. Zafira menghela napas panjang. "Tapi untuk saat ini, tolong kerja samanya untuk mengikuti program Jumat Sedekah dengan kondusif. Terima kasih."
Masih kerepotan dengan kotak amal di tangan yang mulai tambah berat, Nazifa diam-diam mengangkat salah satu sudut bibirnya, menertawakan Zafira dalam diam. Lihat bagaimana caranya mengendalikan siswa, barusan? Kaku sekali! Sampai pakai 'saya' dan istilah sok keren lainnya. Padahal ini kelas Zafira sendiri, tetapi anak itu tidak pernah bersikap santai sedikit pun. Heran. Mengingat perbedaan karakter Zafira dengannya memang tak pernah gagal untuk membuat Nazifa tertawa begitu saja.
Selain celetukan sensitif soal catatan sedekah tadi, tidak ada hal menarik lain yang terjadi. Lima kelas sudah didatangi. Nazifa tak tahan lagi dengan berat kotak di tangannya. Anak perempuan itu sampai menggeletakkan kotak amalnya di atas lantai, lantas berusaha menormalkan deru napasnya yang terengah-engah. "Zafi, ini ambil, nih! Katanya mau jadi bagian yang bawa-bawa kotak."
"Risiko sendiri, lah. Tadi siapa, ya, yang katanya enggak mau kalau kakak kembarnya kesusahan karena bawa-bawa kotak yang berat?" serobot Zafira, terus berjalan sambil menatap ke depan lurus-lurus, tanpa berniat menoleh untuk sekadar mengasihani kondisi mengenaskan adiknya. Di tangan Zafira terdapat lima lembar kertas absensi siswa yang sudah diisi dengan nominal sedekah. Zafira berlalu begitu saja, benar-benar berniat meninggalkan Nazifa yang masih saja tepar di atas lantai.
"Dasar, ih! Jagonya cuma memutarbalikkan kalimat orang! Curang! Enggak asik!"
Meski begitu, seruan-seruan sebal Nazifa tidak membuat Zafira berubah pikiran sama sekali. Zafira sudah nyaris sampai di ujung koridor, bersiap menuruni anak tangga untuk mengumpulkan catatan sedekah ke kelas XII IPS-3, kelasnya Sekretaris Rohis saat ini.
"Udah. Enggak apa, Zifa. Biar sama Kakak aja." Pada akhirnya, kotak amal tadi diambil alih oleh Kak Citra. Apa boleh buat. Demi menghindarkan diri dari peperangan tak diinginkan antara saudara kembar itu.
Zafira sudah selesai urusannya. Begitu berniat kembali, ia berpapasan dengan Nazifa dan Kak Citra yang sedang menyetorkan hasil infak pada Kak Mila, Bendahara Rohis, anak kelas XII MIPA-2. Zafira sudah berniat untuk langsung ke kelas saja. Akan tetapi, pertanyaan Kak Mila membuat Zafira menghentikan langkahnya untuk sejenak.
"Zafi, Zifa ... kalian tetap lanjut Rohis, 'kan? Untuk periode selanjutnya?"
Detik berikutnya, Zafira sempurna ditelan kembali oleh lamunan panjang. Zafira dan Nazifa sudah melakukan perbincangan mengenai hal itu ketika di kobong, semalam. Soal lanjut atau tidaknya ....
Zafira membalas tatapan Kak Mila dengan sorot kegamangan. Sayangnya, semalam, Zafira dan Nazifa sudah mengambil jawaban yang mungkin tidak bisa diterima oleh kakak kelas mereka.
Zafira berdeham singkat. "Enggak akan, Kak. Kita enggak akan lanjut."
[ma.ni.pu.la.si]
¹Ukhtaynaa (mutsanna): Dua saudara (perempuan) kita
²Akhunaa: Saudara (laki-laki) kita
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top