You and I
Setelah hampir setahun sekelas sama Jessica, gue bukan lagi cowok cupu yang bisa diketawain sama Mario karena nanya nama aja gak berani.
Kini gue adalah cowok yang selalu ada sama Jessica, kemana-mana berempat mulu sama Mario dan Rerey (plus Mila yang jomblo dan terlalu sibuk belajar). Semua orang melihat perubahan gue yang lebih hangat, bersahabat dan terbuka.
Semua karena Jessica.
Eh, tepatnya karena gak dikejar-kejar cewek-cewek freak lagi sih, hahaha. Tapi tetep, semua itu berkat Jessica yang deket sama gue.
Gue gak mau memiliki cewek ini. Gak sama sekali. Tapi entah kenapa semakin gue mengenal dia, semakin gue mengagumi dia. Prinsip-prinsip hidupnya, caranya ketawa, caranya berpikir dan caranya berkata-kata.
Jessica itu cerdas. Pemikir sama kayak gue, dan dia positif serta ceria. Beda sama gue yang agak gloomy. Jessica itu pemikir yang gak mengerutkan keningnya dan merengut, tapi dia pemikir cerdas yang cantik.
Gue gak mau memiliki dia. Jessica itu bukan punya gue.
Tapi gue mengagumi dia dari hari ke hari.
Gue menyayangi dia dengan cara menjadi sahabatnya.
Siapapun yang jadi pacar Jessica, gue akan selamanya mengagumi sosok Jessica yang menawan dan cantik bagi gue. Di mata gue, semuanya gak akan pernah berubah.
Mungkin itulah kenapa si Mario Stinson sialan ini selalu merutuki Daniel Mosby karena jadi idiot karena alasan anehnya mencintai Jessica Sherbatsky tanpa ingin memiliki wanita itu.
"Lu tinggal embat aja! Dia juga suka sama lo, gue jamin!" cecar Mario.
Gue menggeleng. "Gak mau se-gegabah itu. Gue terlalu menyayangi dia untuk melihat dia tersakiti. Kalau boleh, gue mau mantepin hati gue sampe kuliah sekalian, daripada Jessica harus terluka karena hubungan di masa SMA yang muluk dan gak pasti ini!" jelas gue panjang lebar.
Mario langsung berdecak-decak kecewa. Dia meraih sebatang sumpit dan memukul kepala gue. "Lu kebanyakan mikir! Cinta? Tembak! Selesai! Lo cowok bukan, sih?" Mario mendengus.
Kalimat Mario itu membuat gue tercenung dan berpikir cukup lama sampai pulang ke rumah.
Apa bener gue rela ngeliat Jessica sama cowok lain?
Apa bener gue bisa ngeliat dia bahagia sama cowok lain?
Apa cukup cuma jadi sahabat dia?
Dan semua pertanyaan itu membuat gue terjaga di malam menjelang UN hari pertama.
Malam itu gue gak tidur. Cuman bolak-balik buku dan berpikir dengan pikiran gue sendiri. Apa gue kuat ngeliat Jessica sama cowok lain di kampusnya nanti? Apa gue kuat ngeliat Jessica ketawa karena cowok lain?
Cinta? Tembak! Selesai! Lo cowok bukan?
Suara Mario kembali menggema di kepala gue. Harga diri gue sebagai cowok terangkat karena emosi gue. Gue gak boleh kalah sama cowok PK yang gampang mainin perasaan cewek itu. Gue gak boleh kalah sama dia yang mengumbar janji manis di depan cewek-cewek.
Gue harus bisa bilang perasaan gue ke orang yang gue sayang.
4 hari UN adalah hari-hari dimana gue gak konsentrasi sama sekali. Bukan berarti nilai gue menurun, tapi gue memang punya otak yang bisa membagi dua antara pikiran dan memori. Jadi gue bisa menulis lancar semua isi buku ke dalam soal UN sambil suntuk memikirkan Jessica.
Apa gue harus bener-bener jadian sama dia?
Kan gue bisa bersahabat sama dia selamanya terus nikahin dia pas udah mapan nanti. Toh, kalau dia juga suka sama gue, dia gak akan jadian sama cowok lain. Masalah kepastian sih, akan gue jelaskan suatu hari sama dia.
Tapi apa dia bisa terima keputusan itu, ya?
Aduh, panas pala gue. Untung Jessica beda ruangan sama gue, jadi kepala gue gak harus tambah twisted karena ngeliat sosok dia dari kejauhan sambil mikirin dia. It would be such a pressure for me.
Daaan... sampailah gue ke fase itu. Ketika akhirnya gue yang pemikir dan labil ini memutuskan untuk nembak Jessica. Ya, gue lemah sama saran si PK satu itu.
Ketika hari terakhir UN, satu sekolah pada turun ke lapangan, heboh matah-matahin papan dan pensil, teriak-teriak dan ricuh sana-sini. Yang gue cari adalah Jessica. Mata gue menelusuri kemana anak satu itu, dan dimana dia sekarang.
Bruk, bruk, bruk... semua bahu gue tubrukin. Gue gak mau telat dan gak mau salah langkah.
"Jess!" panggil gue saat gue mendekati kerumunan acak yang sebagian besar anak-anak dari ruang ujian yang Jessica tempatin.
"Iya?" Jessica muncul dari kerumunan.
Dan, DESH! Waktu pun berhenti.
Dag dug dag dug dag dug dag dug. Jantung gue lompat-lompat.
"Sumpah deh, sekolah kita kenapa, sih? Terlampau kaya deh, kayaknya! Masa pensil dipatah-patahin gini?" Jessica ketawa sambil ngangkat pensil bekas di tanah yang udah kebelah dua.
Gue tertawa hambar karena terlalu gugup. "Tau, pada aneh-aneh aja!" jawab gue.
Jessica tersenyum pada gue. "Lo kenapa sih, kayak gak lega gitu kita udah lulus?"
Gue menelan ludah dan menggeleng. "Gak. Gak apa-apa."
Jessica masih tetep senyum dan menepuk bahu gue. "Udah ah, Dan! Lo tuh, ya! Apapun yang lo pikirin saat ini, jangan dibawa pikiran! Santai aja dan biarin semuanya mengalir dengan tenang, oke?"
Gue ngangguk.
Tapi kemudian gue berbalik dan natap dia.
"Jess, gue sayang sama lo."
I said that clearly.
Jessica diam. Mukanya merah banget. Senyumnya memudar dan dia berubah jadi ala-ala muka karakter anime yang matanya setitik, mulutnya gaada dan pipinya bergaris-garis merah karena malu. Dia menatap gue kosong, lama, tapi blushing. And that's cute.
"Hmm... berarti jadian dong, kalau gitu?" tanya Jessica polos.
Dan gue mengangguk.
Jessica tersenyum dan tertawa kecil, dan gue meraih tangannya.
"CIEEE! JESSICA SAMA DANIEL JADIAAAAN!"
And shit... ternyata dari tadi satu angkatan ngedenger dan ngeliat perbuatan kami. Akhirnya heboh satu lapangan (diketuai oleh Mas Mario si penjahat kelamin yang idiot) pada nyorakin kami, ngacak-acak kami sampe babak belur.
Ketika kelulusan beberapa hari kemudian, gue menghampiri Jessica dan mencium pelipisnya singkat, dan berbisik "aku, kamu, kita bakal inget momen ini selamanya."
Selamanya... selamanya... selamanya.
Kala itu, Jessica senyum ke gue dan memeluk gue pelan.
Gue tersenyum karena akhirnya berhasil mengalahkan ketakutan gue.
Oh iya, nasib Mario agak naas hari itu. Soalnya dia ditolak mentah-mentah sama Rerey yang dia pikir 100% hidup dan mati juga suka sama dia. Dengan tegas, Rerey bilang sama Mario:
"Sori, Mar, kalau selama ini gue kayak ngasih harapan. Tapi gue gak bisa jadian sama lo. Maaf, ya." Dan dia pergi gitu aja.
Wow. Hebat banget.
Kemudian setelah itu, gue dan Mario lost contact. Katanya Mario pergi ke luar negeri dan kuliah di luar negeri karena terlalu patah hati. Gue sendiri kuliah di Indonesia dan ambil Teknik. Beda kampus sama Jessica. But it's okay. Because she's here with me now.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top