Switzerland Has Calling Me

Tiket di tangan gue dan sebuah surat penerimaan dari salah satu universitas besar di Swiss membuat gue bengong pagi-pagi di meja belajar gue.

Baju udah gue pak dari kapan tau. Semua udah siap, semua tinggal dibawa ke Swiss. Diterima atau tidak, gue memang akan ke Swiss. Kuliah dimanapun itu, gue akan ke Swiss.

Awalnya bokap nanya, kenapa tiba-tiba gue mau berhenti di Teknik UI dan pindah ke Kedokteran dan harus di Swiss?

Jawabannya adalah: untuk gak melukai Jessica lebih dalam lagi.

Gue ingin pergi sejauh mungkin dari Indonesia. Karena sisi egois dalam diri gue udah nyakitin Jessica dengan bertahan dan memaksa jadi temen Jessica meski kami udah putus. Sekuat tenaga gue berlaku wajar, bertingkah normal, menarik semua kembali jadi persahabatan masa SMA kami dulu.

Tapi coba tebak? Yang gue dapat adalah isakan di detik-detik terakhir telepon. Ya, Jessica nangis. Jessica tersakiti sama egoisme gue yang masih mengharapkan persahabatan karena gak mau kehilangan dia.

Gue mencoba hidup normal. Dengerin lagu-lagu penyanyi kesukaan gue: Michael Buble. Sekalinya update, disalahin sama temen-temen Path gue. Katanya gue sok laku lah, apalah...

Dan akhirnya inilah keputusan seorang Daniel Adiwijaya: pergi ke Swiss, berhenti mencoba untuk menyakiti Jessica, dan melihat karya Yang Kuasa atas hubungan kami.

Gue membuat perjanjian sama Tuhan: kalau gue gak dipertemukan sama seseorang di Swiss, berarti gue akan kembali pulang ke Indonesia 6 tahun lagi dan menjemput Jessica. Tapi kalau gue atau Jessica dapat orang lain, maka itulah takdir terbaik dari Tuhan yang akan gue terima dengan lapang dada.

Kalau Jessica cinta sama gue, dia akan menunggu.

Egois ya, gue? Tapi gue tahu Jessica itu aslinya begitu: gak mau pindah kalau dia masih punya keyakinan kuat akan hal itu.

Itu pasti akan nyakitin hati dia banget. Menunggu gue yang gak ada kabar dan udah mutusin dia... tapi apa lagi yang gue harus lakuin, Jess? Selain pergi dan membiarkan lo mikir selama 6 tahun dan tenang dalam kehidupan lo tanpa gue.

Gue akan berangkat minggu depan. Persis dua hari setelah ulang tahun Jessica. Bayangin, kurang nyesek apa coba?

Tapi tenang, jangan sebut gue bajingan kayak Mario. Gue udah nyiapin sesuatu buat Jessica. Gue udah nyiapin perjalanan terakhir yang terbaik buat dia... yaitu ke mall.

Plis, gue bukan Augustus Waters yang bisa bawa dia ke Amsterdam, ketemu penulis favoritnya, terus nyium dia di museum Anne Frank. Mentok-mentok gue cuma bisa bawa dia ke PIM, pertemuin dia sama Dewi Lestari (itu juga cuman lewat dan selfie), terus gue ajakin ke Museum Fatahillah. Kebanting abis.

Gue mencoba ngelakuin yang terbaik sebelum berpisah dari Jessica untuk 6 tahun yang panjang dan menyiksa. Jangan bilang gue baik-baik aja. Cukup kalian manggil gue bajingan. Gue gak pernah baik-baik aja ngedenger kabar kalau Jessica jadi rentan nangis dan suka bengong di kampus. Gue gak pernah baik-baik aja setiap semua memori-memori berupa foto kami semasa SMA yang ada di dinding kamar gue itu nyeret gue lagi ke lorong waktu di sudut pikiran gue untuk inget semua kebersamaan gue dan Jessica.

Plis. Gue gak pernah baik-baik aja.

Gue hancur menjadi kepingan-kepingan kecil. Pecah. Berderai. Berantakan.

Apa yang harus gue lakuin kalau bagian terbaik dalam hidup gue adalah elo, Jess?

Sekarang gue tahu analogi yang pas buat keadaan gue saat ini: gue adalah cowok yang lagi atraksi sirkus dengan berjalan dia atas tali yang membentang dari gedung satu ke gedung lain. Tanpa pengaman, tanpa jaring, tanpa Jessica. Tanpa apapun yang bisa membuat gue waras.

Kalau mundur, berarti gue menarik lagi Jessica dan kembali kuliah di Teknik UI. Tapi kalau gue maju, gue harus menghadapi kehidupan tanpa Jessica. 6 tahun di Swiss yang dingin.

Gue cuma seorang pria di atas tali rentan yang bisa jatuh dan mati kapanpun.

Dan tiket di tangan gue ini menyadarkan gue, betapa rentannya tali itu. Betapa rentannya gue apabila gue harus melihat muka Jessica yang sedih lagi. Bisa-bisa gue langsung robek tiket itu atau melompat dari pesawat. Gue akan hancur dan kembali menyakiti Jessica.

Tangan kiri gue memegang surat penerimaan tes masuk kampus itu dan gue membacanya berulang-ulang. Tapi tulisan berbahasa Inggris itu semuanya cuma kelihatan seperti:

Lo yakin mau pergi? Lo yakin mau pergi? Lo yakin mau pergi?.

Gue menghela napas dan melipat rapih kertas itu, terus gue taruh di amplopnya semula.

Gue meraih buku notes warna hitam yang ada di sudut meja belajar gue. Kemudian gue ambil pulpen dan gue mulai menulis semua yang gue rasakan malam ini.

Terakhir gue menaruh buku itu di dalam sebuah kardus hadiah untuk diberikan ke Jessica nantinya. Sumpah, ini najong dan gak modal, tapi cuma ini yang bisa gue lakuin sekarang. Gue cemen parah, tapi masa bodo. Gue cuma bisa ngasih ini ke dia, untuk menjelaskan semua perasaan gue ke dia selama ini.

Bahwa mungkin selama 6 tahun disana, gue masih dan akan tetap cinta pada paras dan senyummu, Jessica Aurelia.

Mungkin aku akan tetap cinta dan tidak akan pernah bisa berhenti jatuh cinta setiap harinya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top