Decision

Satu-satunya yang orang hopeless lakukan dalam hubungannya ialah... putus.

Gue niat putus sama orang yang paling gue sayang setengah mati.

Tapi jujur, gue memang udah gak kuat menghadapi semua ini. Gue pribadi gak sanggup menghadapi Jessica yang berkali-kali janji untuk berubah tapi tetap marah setiap gue gak menghubungi.

Pacaran itu MEMANG bukan selamanya nempel-nempel kayak Anang-Ashanty, Glenn- Chelsea, Raffi-Gigi atau Gusi-Gigi (terserah lo, Dan. Terserah lo!).

Gue butuh kebebasan. Serius. Gue stres menghadapi semua ini.

Tapi di satu sisi gue gak bisa. Gue sayang sama Jessica. Dalam hati gue ada ketakutan karena kehilangan dia. Gue takut ini cuma emosi sesaat... dan sebenarnya kami bisa melewati semua ini. Kita bisa. Kami bisa.

Gue takut ini cuma stres jangka pendek dan gelombang biasa dalam berpacaran yang emang semua orang alami. Gue takut gue kehilangan Jessica karena terlalu mudah nyerah dan terlalu jadi pemikir sok jenius yang gak bisa kayak Mario. A ya A, B ya B, dan C ya C.

Gue bahkan berhenti futsal sekarang. Udah terlalu capek sama masalah-masalah disambi dengan pikiran ke kampus dan pelajaran gue. Jessica dan gue masih sering nelpon, dan frekuensi marah dia udah berkurang drastis karena gue gak futsal lagi. Ya memang, tapi dia tetep dia yang kemarin.

Stres gue ini pun ditangkep sama bokap gue, Bapak Satria Adiwijaya.

"Kamu itu kenapa sih, Dan? Papa lihat kamu bengoong mulu tiap hari!" tegur Papa sambil nonton berita, setelah beberapa menit merhatiin gue yang melotot ke TV, dahi bekerut, tapi pikiran gak ke TV.

Gue menghela napas dan menceritakan semua sama Papa. Dia manggut-manggut sepanjang cerita dan mendengarkan dengan telaten.

"Udah?" tanya Papa saat gue selesai cerita.

Gue mengangguk.

Papa pun bersingsut mendekat dan merangkul bahu gue. "Daniel, kamu udah gede. Jujur, memang Papa awalnya kurang setuju sama keputusan berpacaran kamu meski kamu pacaran setelah lulus SMA. Tapi kuliah Teknik memang gak mudah, my bro. Kamu harus bisa memikirkan prioritas hidup kamu.

Papa tahu kamu sayang sama Jessica. Tapi kalau itu merusak masa depanmu? Kalau kamu drop out dan nikah sama dia... apa itu gak merusak? Kamu membiarkan dia menikahi seorang yang ungraduated dan karirnya berantakan dan itu adalah kamu sendiri. Mau, Dan?"

Gue menggeleng.

"Makanya itu. Pikirkan prioritas hidup kamu. Cinta itu bukan segalanya yang harus kamu pikirkan di Bumi. Tapi apapun yang kamu lakukan, perbuatlah dengan cinta, dan karena cinta." Papa menepuk-nepuk bahu gue dan pergi ke kamarnya.

Malam itu, sama seperti pas Mario ngomong ke gue untuk nembak Jessica... gue gak tidur. Keputusan gue untuk mendengarkan teman seumuran untuk mengambil sebuah komitmen ternyata salah. Ternyata cinta itu gak harus memiliki. Gue salah besar.

Akhirnya persahabatan gue dan Jessica hancur. Kenyataanya, pacaran beda sama bersahabat. Ada komitmen dibalik pacaran, ada perasaan yang kita bawa, dan ada hati yang kita harus jaga. Dan ternyata, seorang Daniel Adiwijaya belum siap, begitu pula dengan Jessica Aurelia. Kami sama-sama belum siap.

Kalimat bokap terus terngiang-ngiang dalam pikiran gue. Makin larut malam, semua makin make sense. Kalimat itu menjalar jadi sebuah makna lurus yang membuat gue, pada tepat jam 3 pagi, memutuskan...

...bahwa gue memutuskan Jessica karena cinta. Gue lakukan ini karena cinta.

Sekarang pekerjaan gue tinggal satu: menyiapkan tanggal dan tempat. Menyiapkan kata-kata dan menyiapkan hati gue. Semoga kalau dia memang jodoh gue, cuma berteman pun gak apa-apa. Kami tetap bisa menikah tanpa harus berpacaran sebelum waktunya. Semoga dia memang jodoh gue dan putus ini adalah hal terbaik bagi kami.

Gue pengen tetep jadi sahabat Jessica seperti dulu meskipun kami berdua putus.

Jam sudah menunjukkan pukul 3.30 pagi. Besok ada jadwal kuliah, tapi kuliah sore. Gue menyiapkan hati dan pikiran gue.

Proyek: Memutuskan Jessica

Waktu: Lusa, di kafe deket kampus Jessica

Pikiran gue terus bergulat dengan hati nurani gue.

Gimana kalau dia gak menerima keputusan gue dan gak bisa menerima prinsip gue? Gimana kalau nanti malah dia mikir gue kolot atau semacamnya? Gimana kalau Jessica malah mikir kalau gue ini terlalu bullshit?

Akhirnya gue pun memutuskan untuk merangkai semua pemikiran dan keputusan gue menjadi satu baris kalimat:

Kita. Udah. Beda.

Karena kenyataannya emang gue dan Jessica udah beda. Prinsip kita beda, emosi kita beda, dan keputusan kita udah berbeda.

Kalimat basi nan bajingan itu akan membuat gue beresiko jadi bastard seumur hidup apabila orang tahu kisah gue dan Jessica. Semua orang akan judge gue habis-habisan, bilang gue bajingan, bilang gue bego dan ngomong asal nyembur. Semua orang akan menyamaratakan gue dengan Mario: sama-sama bajingan.

Tapi ini resiko yang harus Daniel Adiwijaya si ayam cemen penakut ambil.

Ini resiko dari ketakutan gue.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top