7. Knowing You
Myungsoo yang baru saja selesai bertemu dengan salah satu pemilik perusahaan pelayaran yang ingin bekerja sama dengannya dalam proyek pembangunan kapal pesiar mendapatkan panggilan dari kampus Jiwon. Mendengar perihal mengapa dia dipanggil lagi, membuatnya geram.
"Gadis itu, kenapa suka sekali cari masalah," gerutunya dengan wajah meredam emosi. Dia berpikir setelah seminggu Jiwon sudah bisa kembali kuliah seperti biasa dan tidak menimbulkan masalah, maka semuanya telah selesai. Tapi, kenyataannya tidak seperti itu. Dia tidak tau apa yang ada dipikiran gadis itu sehingga tidak pernah bosan untuk mencari masalah.
Setelah berjibaku dengan kemacetan ibukota, dua jam kemudian Myungsoo telah tiba di kampus adiknya yang akhir-akhir ini terlalu sering dia sambangi. Kakinya melangkah menuju ruangan yang sudah sangat dia kenali, kemudian menemukan dosen pembimbing Jiwon. Dia meringis malu ketika wanita paruh baya itu menatap kedatangannya.
"Anda sudah datang, Myungsoo-ssi?"
"Maafkan saya, Bu. Saya terjebak macet."
"Tidak apa-apa, mari duduk," sang dosen mengajaknya duduk bersama, Myungsoo berakhir duduk di hadapan dosen Jiwon dengan kedua alis terangkat.
"Jiwon di mana?"
"Saat ini Jiwon berada di ruang kesehatan."
"Apa?" Myungsoo terpekik kaget, tidak lagi. Ini sudah kali kedua adiknya masuk ke ruang kesehatan karena masalah yang dia timbulkan, dan berakhir dengan pertengkaran sengit di tengah lapangan. Sekarang, apa lagi yang sudah terjadi?
"Pelipisnya terluka dan..."
"Tunggu, adikku terluka?" Myungsoo tidak bisa menahan nada terkejut dalam suaranya dengan mata yang menatap tajam wanita di hadapannya, sang dosen hanya tersenyum tipis.
"Benar, tapi anda jangan khawatir. Itu tidak parah, kami hanya menyuruhnya untuk beristirahat di ruang kesehatan."
Penjelasan itu tetap tidak membuat Myungsoo tenang, selama ini dia selalu mengusahakan agar Jiwon tidak terluka, tapi gadis itu malah membuat dirinya sendiri terluka.
"Apa sebenarnya yang terjadi, Bu?"
Dosen itu menghela nafas panjang kemudian menceritakan kronologinya, siang tadi saat berada di perpustakaan Jiwon tidak sengaja menabrak salah seorang senior di kampus, gadis itu sudah meminta maaf, tapi yang ditabrak tidak terima dan malah mendorong Jiwon hingga terjatuh dan pelipisnya sempat membentur ujung meja sampai membuatnya sobek.
"Itu tidak terdengar baik-baik saja. Apa sobekannya parah?"
"Tidak, hanya memerlukan empat jahitan dan..."
"Empat? Jahitan? Astaga! Itu sangat parah!" Myungsoo memekik sembari berdiri dari tempatnya, dia menatap sang dosen dengan nyalang, "saya harus bertemu adik saya."
"Oh baiklah, mari saya antarkan ke ruang kesehatan."
Keduanya keluar dari ruangan dan berjalan menuju bagian kanan gedung di mana ruang kesehatan terletak. Sepanjang perjalanan kekhawatiran Myungsoo semakin meningkat, dia tidak suka melihat Jiwon terluka. Ketika melihat keadaan gadis itu pasti akan membuat emosinya meledak.
"Silahkan masuk, saya akan kembali keruangan saya."
"Terima kasih, Bu."
Setelah mengucapkan itu, Myungsoo memasuki ruang kesehatan yang terlihat sepi. Dia melihat beberapa ranjang yang terlihat kosong dan salah satunya tertutup dengan tirai berwarna putih, itu pasti Jiwon. Jadi dia mendekat dan menyibak tirai tersebut.
"Jiwon."
"Oppa...kau datang," Jiwon mendongak ke arahnya lalu memasang wajah memelas, mata gadis itu berkaca-kaca membuat omelan yang sudah berada di ujung lidah Myungsoo tertelan kembali dan dia mengusap kepala adiknya.
"Apa itu sakit?" Tanyanya mengarah ke pelipis Jiwon yang sedang diperban, Jiwon merengut dan mengangguk, "tahan dulu, nanti sakitnya akan hilang," ujarnya kemudian untuk menenangkan.
Jiwon memejamkan matanya ketika rasa perih di pelipisnya menyerang, "sakit, Oppa..." rengeknya membuat Myungsoo tidak tahan, dia kemudian menunduk dan mengecup kening adiknya.
"Besok sudah sembuh. Jadi hari ini ditahan ya," ucapnya dengan suara pelan.
Jiwon mengangguk samar ketika menatap kakaknya yang terlihat sangat khawatir, dia menarik tangan Myungsoo dan menggenggamnya, "maafkan aku. Sungguh sebenarnya aku tidak berniat menimbulkan masalah lagi, tapi kau tau...aku tidak sengaja..."
"Aku tau, sudahlah. Ini sudah terjadi, asal besok-besok kau harus lebih hati-hati lagi." Myungsoo tersenyum menatap adiknya, setidaknya gadis itu mengakui kesalahannya dan mau berjanji tidak berulah lagi. Dia hanya tidak membayangkan bagaimana jadinya kalau Jiwon menghabiskan masa mudanya dengan berulah layaknya anak nakal. Dia tidak senang mengetahui Jiwon lebih teralihkan dengan masalah yang dia timbulkan di kampus, daripada belajar dengan giat.
"Apa kau mau pulang?
"Sebentar lagi, kepalaku masih sedikit pusing."
Myungsoo mengangguk lalu dia mengulurkan tangannya dan mengusap kening Jiwon dengan lembut, menyalurkan ketenangan dan berharap perlakuannya bisa membuat kepala adiknya lebih baik.
Beberapa menit mereka terdiam dengan kegiatan itu, Jiwon ternyata tertidur dan Myungsoo berniat membawa adiknya pulang. Tiba-tiba suara ribut-ribut terdengar dari luar, Myungsoo menoleh dan melihat beberapa mahasiswa bergerombolan masuk dan salah satu di antaranya membopong seorang gadis yang terlihat tidak sadarkan diri. Secara refleks Myungsoo berdiri dan mendekati mereka.
"Apa yang terjadi?" Tanyanya pada salah seorang di sana, pria muda itu terlihat kaget saat menatapnya yang tiba-tiba berdiri di sana.
"Apa anda dokternya? Tolong periksa, dia tiba-tiba pingsan di kelas tadi."
Myungsoo mengernyit, dia bukan dokter dan sama sekali tidak tau menau tentang masalah medis, jadi dia memilih menggeleng daripada orang-orang berpikir dia bisa menyelamatkan gadis itu, "tidak, saya bukan dokter. Sepertinya yang menjaga ruang ini sedang tidak di tempat."
"Oh maafkan saya." Pria itu terlihat bersalah, lalu kemudian maju dan melihat keadaannya.
"Jadi bagaimana? Dokternya tidak ada."
"Aku harus pergi, aku ada kelas lagi."
"Aku juga."
"Jadi kita tinggalkan dia di sini? Tapi dokternya..."
"Biarkan saja, setidaknya kita sudah berbaik hati membawanya ke sini. Ayo pergi."
Selama itu Myungsoo mendengarkan percakapan-percakapan mereka dengan salah satu alis terangkat, dia tidak menyangka jika anak-anak muda itu memilih mengabaikan teman mereka yang sedang sakit dan pergi tanpa menungguinya. Dia menggelengkan kepala.
"Ckck, dasar anak muda." Decaknya, lalu berbalik kembali menuju ranjang Jiwon, adiknya sudah terbangun. Mungkin karena suara ribut-ribut itu, dia mendekat dan tersenyum, hendak mengajak adiknya pulang.
"Sooji?"
"Ha?" Myungsoo bingung, sadar Jiwon sedang tidak memandangnya, akhirnya dia ikut menoleh ke arah ranjang di mana anak gadis yang pingsan tadi berada. Jarak ranjang Jiwon dan gadis itu hanya dipisahkan oleh dua ranjang dan tanpa tirai yang tertutup, jadi dari sini Myungsoo bisa melihat dengaj jelas siapa gadis itu.
"Bae Sooji?"
〰〰〰
Sooji merasakan kesadarannya telah kembali, tapi dia tidak bisa menggerakan kepalanya dengan leluasa, rasanya sangat sakit dan seperti ada yang mengganjal di depan wajahnya l. Perlahan, dia mencoba untuk membuka mata dan sorot lampu yang menerangi ruangan itu tiba-tiba menyerbu pandangannya.
"Ugh..." Dia mengeluh beberapa saat, mengerjapkan mata untuk membiasakan pandangannya lalu dia kembali menatap langit-langit ruangan itu, "ini," kedua alis Sooji berkerut dalam. Dia tidak mengenali ruangan itu, dan seingatnya terakhir kali dia berada di kelas, tapi mengapa sekarang...
"Oh!" Ingatan mengenai dirinya yang tiba-tiba merasa lemas dan sesak nafas langsung melintas di kepalanya, matanya membesar dan refleks menggerakkan tubuh untuk bangkit, tapi gerakannya terlalu tiba-tiba sehingga membuat sakit di kepalanya makin menjadi.
"Astaga...sakit sekali," Sooji memejamkan mata saat kembali membaringkan tubuhnya, yakin bahwa untuk beberapa saat ke depan dia mungkin tidak akan bisa beranjak dari ranjang.
Sooji hanya terbaring di ranjang, meredakan pusing di kepalanya sambil menerka-nerka di mana ini. Ketika menyadari dia menggunakan alat bantu pernafasan, dan salah satu tangannya di infus, dia menebak jika dirinya ada di rumah sakit. Tapi siapa yang membawanya sampai ke tempat ini?
"Kau sudah sadar?" Suara itu membuat Sooji mau tak mau memaksakan kepalanya yang masih sedikit pusing untuk menoleh ke arah pintu, dia mengernyit untuk sejenak kemudian membulatkan matanya.
"Kau...apa yang kau lakukan di sini?" Tanyanya dengan nada terkejut, tidak salah lagi, pria itu adalah kakak Jiwon.
Kenapa dia harus ada di sini?
"Aku yang membawamu ke rumah sakit." Myungsoo berjalan mendekati ranjang Sooji dan duduk di kursi yang ada di samping ranjang, "bagaimana keadaanmu?"
Sooji sukses melongo tidak percaya, perkataan serta perilaku Myungsoo terlihat sangat santai seolah mereka adalah kenalan dekat yang memang seharusnya bersikap saling peduli seperti yang dilakukannya sekarang, dan Sooji tidak terbiasa mendapatkan perlakuan seperti itu.
"Kurasa aku baik. Aku harus pulang," sahut Sooji kembali mencoba untuk bangkit, tapi lagi-lagi kepalanya terasa sakit.
"Kau baru sadar dari pingsan. Setidaknya tunggulah sampai keadaanmu benar-benar pulih." Tegur Myungsoo, Sooji sebenarnya bersikeras ingin pulang. Karena jika lebih lama di sini, dia tidak yakin apa yang akan terjadi, tapi dia sadar bahwa keadaannya tidak mendukung untuk segera pergi dari rumah sakit.
"Kalau begitu kau bisa pulang. Aku sudah sadar, dan terima kasih." Sooji mengucapkannya dengan cepat dan terdengar enggan tanpa menatapnya membuat Myungsoo terkekeh pelan.
"Aku sudah menolongmu, tapi kau malah mengusirku?"
Sooji langsung menyipitkan mata saat menatap pria itu, "kau terdengar pamrih sekali," tukasnya dengan sinis, "lagipula aku tidak memintamu untuk menolongku."
Myungsoo hanya menghela nafas melihat kekeras kepalaan Sooji, bahkan saat sedang sakit saja dia masih bebal, "kau memang tidak meminta. Tapi keadaanmu yang membuatku harus menolongmu."
Sooji hanya diam mendengar penuturan Myungsoo. Apakah keadaannya memang separah itu?
"Kata dokter, anemiamu kambuh karena terlalu kelelahan dan kurang tidur. Itu makanya kau merasa lemas dan sesak nafas," Myungsoo kembali melanjutkan, dia menjelaskan apa yang disampaikan dokter kepadanya.
"Apa kau memiliki masalah untuk tidur?"
"Bukan urusanmu."
Myungsoo menarik nafasnya, kemudian menjelaskan, "aku hanya ingin tau. Ada beberapa terapis kenalanku jika kau ingin mengobati masalahmu itu."
"Aku tidak perlu terapis."
"Tapi..."
"Pulang saja Myungsoo-ssi. Kita tidak sedekat itu untuk mencampuri urusan masing-masing," Sooji menyela dengan wajah datar, dia menatap Myungsoo dengan malas, "aku berterima kasih karena sudah mau repot-repot menolongku. Tapi sungguh aku tidak suka ada orang asing yang terlalu mengurusi masalahku."
"Kalau begitu, kita bisa mencoba saling mengenal," ucap Myungsoo tiba-tiba membuat Sooji menatapnya dengan mata melebar tidak percaya, "kau bilang kau tidak suka orang asing mencampuri urusanmu dan kita tidak termasuk dekat untuk saling peduli satu sama lain. Jadi aku menawarkan, kita bisa saling mengenal untuk..."
"Tidak. Aku tidak melakukannya." Sooji menyela dengan cepat, dia mengerti perkataan Myungsoo dan tidak ingin melakukan apapun yang ditawarkan pria itu.
"Kenapa?"
"Karena aku tidak mau."
"Kau belum mencoba. Apa selama ini kau tidak memiliki teman dekat?"
"Tidak."
"Kenapa?"
"Karena aku tidak mau."
"Kau mengulang jawabanmu."
"Karena memang itu jawabannya."
"Kau bisa mencobanya."
Sooji mendengus, dia melemparkan tatapan sengit untuk Myungsoo agar pria itu tau bahwa saat ini dia benar-benar merasa terganggu.
"Dengar Myungsoo-ssi, aku tidak peduli apa niatmu menggangguku seperti ini. Tapi kuberitahu, apapun tujuanmu itu, itu tidak akan berhasil. Jadi berhenti mengusikku dan cari saja orang lain untuk kau campuri urusannya. Jangan aku."
Myungsoo tersenyum, untuk kebanyakan orang biasanya, terlebih pria jika mendengar perkataan Sooji yang kelewat sinis itu pasti akan tersinggung, tapi anehnya dia malah merasa sedikit lucu mendengar gadis itu.
"Oh, bagaimana ya...aku mau mengenalmu, bukan orang lain."
"Apa?" Tanpa sadar Sooji memekik dengan suara tercekat ketika mendengar penuturan itu, Myungsoo mengucapkannya dengan wajah yang sangat serius sehingga Sooji sedikit ragu jika pria itu sedang bercanda saat ini.
"Kau mendengarku dengan jelas," kali ini Myungsoo tersenyum, sepenuhnya merasa puas melihat ekspresi lain di wajah Sooji selain datar dan kesal yang dalam pertemuan-pertemuan mereka sebelumnya dia tunjukkan. Kali ini Sooji terlihat tercengang sekaligus bingung membuat wajahnya cukup lucu.
"Aku bilang aku ingin mengenalmu."
Dan Sooji yakin jika dunianya mungkin tidak akan bisa setenang dulu lagi.
〰〰〰
Jiwon mengernyit heran melihat kakaknya, sejak kemarin kelakuan pria itu sudah aneh dan itu membuatnya bertanya-tanya apa yang telah terjadi. Tapi setiap bertanya, dia hanya mendapatkan senyuman bodoh dari kakaknya itu. Benar-benar aneh.
"Oppa, lama-lama aku jadi ingin menyuruh ayah membawamu ke psikiater. Kau terlihat seperti orang gila yang senyum-senyum sendiri."
Myungsoo menoleh menatap Jiwon, dan bukannya marah pria itu malah tersenyum.
"Kau ini ada-ada saja."
"Hah?" Jiwon melongo, tidak percaya jika kakaknya hanya menanggapi santai ucapannya. Padahal biasnaya pria itu sudah mengomelinya dan mengatakan dia kurang ajar ke kakaknya sendiri, tapi hari ini.
Oh astaga, apa yang sudah terjadi?
"Kepalamu tidak terbentur kan?"
"Tidak."
"Jadi?"
Myungsoo kembali menoleh untuk menatap adiknya, satu alisnya terangkat saat melihat wajah Jiwon seperti sedang berpikir keras, "jadi apa?"
"Kau terlihat berbeda hari ini. Dari kemarin sebenarnya, kau senyun-senyum sendiri seperti orang gila."
"Jiwon," Myungsoo mendesis menatap tajam kepadanya, "kau mengataiku gila?"
"Tidak! Hanya saja kelakuanmu itu sudah mirip dengan orang tidak waras."
Myungsoo menarik nafas panjang, Jiwon benar-benar menganggapnya gila padahal dia tidak melakukan hal-hal yang bisa membuatnya di anggap seperti itu.
"Memangnya apa yang terjadi? Kau terlihat senang...apa proyekmu berjalan lancar?" Jiwon kembali bersuara saat kakaknya itu tidak menanggapi kalimatnya sebelum ini.
"Proyek? Yang mana?"
"Astaga, kau benar-benar sudah tidak waras. Kau sampai melupakan proyekmu, Oppa..."
"Oh yang kerjasama dengan perusahaan pelayaran itu? Hmm itu berjalan lancar," Myungsoo tersenyum sembari menganggukan kepala, membuat Jiwon malah memandang kakaknya dengan pandangan curiga.
Jiwon berusaha menerka-nerka, apa yang sebelumnya terjadi sebelum kakaknya berperilaku aneh seperti ini. Seingatnya kemarin, pertama kali menemukan kakaknya tersenyum sendiri tanpa sebab adalah saat pria itu pulang ke rumah. Dia menanti kepulangan kakaknya, untuk menuntut penjelasan atas perbuatannya siang itu.
Mata Jiwon langsung membulat saat menyadarinya, dia sangat ingat kejadian di ruang kesehatan kemarin siang. Saat pelipisnya terluka dan Myungsoo datang untuk menjemputnya, kejadian yang sama sekali tidak pernah dia duga akan terjadi.
"Apa ini...ada hubungannya dengan Sooji?"
Kepala Myungsoo yang tadinya lurus ke depan menatap jalanan langsung berputar secara tiba-tiba ke arahnya, membuat Jiwon semakin yakin dengan dugaannya.
"Aku benar! Ini karena Sooji!" Jiwon memekik kemudian, dia menyipitkan mata menatap kakaknya yang hanya berdehem pelan, "apa yang terjadi?"
"Tidak ada."
"Oppa, aku mengenalmu. Aku tau telah terjadi sesuatu!"
"Turunlah, kita sudah sampai."
Jiwon menatap ke luar dan memberengut saat menyadari bahwa mereka sudah berada di kampusnya. Dia menyentakkan kakinya dengan kesal.
"Baik jika kau tidak mau menjawabku. Aku bisa bertanya langsung pada Sooji!"
"Jiwon..."
"Apa?"
"Berhenti membuat masalah, tidak ada apapun."
"Semakin kau melarangku, aku semakin yakin jika memang ada sesuatu," Jiwon memekik dengan wajah merah padam, "kau tau aku membenci Sooji. Aku tidak suka kau mengenalnya!"
Myungsoo hanya menghela nafas, tau bagaimana kesalnya Jiwon saat ini.
Tapi, apa yang harus dia lakukan ketika dia sudah terlanjut tertarik pada gadis itu?
〰〰〰
To be continued...
Haloo 🙌 pas awal chapter aku pernah blg kalo kita bakal santai di cerita ini kan? Jadi jgn heran kalo sampe skrg critanya masih santai 😂 cerita ini jg aku targetkan cuma sampe belasan chapter aja. Semoga gk sampe 20an ya 😆
Konfliknya gk bakal terlalu berat sih, paling ttg dilemanya Myungsoo, mau milih suzy ato jiwon 😂
[09/11/17]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top