6. Tired Of
"Jadi?"
Sooji bersidekap, menatap Myungsoo sekilas lalu kembali melirik jam di pergelangan tangannya. Berharap sepuluh menit cepat berlalu. Tapi hingga sekarang pria yang tadinya mengaku ingin membicarakan sesuatu padanya malah memilih diam sambil menyesap kopinya. Menyadari itu, Sooji mendengus.
"Jika kau hanya diam saja, lebih baik aku pergi."
"Tunggu dulu," Myungsoo meletakkan cangkir kopinya di atas meja lalu memandang Sooji yang sudah siap beranjak dari tempatnya, "setidaknya habiskan dulu minumanmu."
"Apa sebenarnya yang kau inginkan? Aku tidak suka berbasa-basi." Tukas Sooji tajam, dia menyipitkan mata menatap Myungsoo dengan curiga, "atau kau memang benar ingin merayuku?"
"Itu tidak benar," Myungsoo menjawab dengan cepat membuat Sooji semakin mencurigainya, "aku benar-benar ingin bicara, mengenai Jiwon."
"Kalau begitu cepat katakan. Sepuluh menitmu sudah hampir habis."
Myungsoo menghela nafas, sejujurnya dia ingin membuat gadis di hadapannya melupakan tentang kesepakatan mereka yang sepuluh menit itu. Karena dia yakin, sepuluh menit saja tidak akan cukup untuknya.
"Kupikir kau sudah tau apa yang akan kubicarakan."
"Tentu. Kau sudah mengulangnya lebih dari tiga kali."
"Kau benar. Aku ingin tau, apa sebenarnya masalah antara kau dan adikku?"
Sooji menautkan kedua alisnya, menatap Myungsoo seolah pria itu baru saja berbicara mengenai hal yang konyol, "aku tidak melihat alasan mengapa aku harus mengatakannya padamu."
"Karena dia adikku."
"Lalu?"
"Begini," Myungsoo menarik nafasnya panjang sebelum melanjutkan kalimatnya, "aku ingin adikku bisa melewati masa kuliahnya dengan tenang dan normal seperti gadis-gadis lainnya. Aku tidak berharap dia merasa terbebani karena ada orang yang mengganggunya."
"Apa sekarang kau sedang mencoba untuk mengancamku?" Tanya Sooji dengan sengit, sangat mengerti arah pembicaraan pria di hadapannya ini.
"Bukan seperti itu, aku hanya ingin memberitahumu. Jika kalian memang ada masalah, tolong selesaikan dan biarkan kalian kuliah dengan tenang. Jangan ada pertengkaran lagi."
"Dan apa hakmu menyuruhku seperti ini?"
"Sudah kukatakan, aku ini kakak Jiwon. Jadi aku berhak untuk mencampuri urusan adikku."
"Tapi kau tidak berhak mencampuri urusanku."
Myungsoo menggeram, dia menatap Sooji dengan tajam berharap gadis itu mau menyerah, tapi sepertinya Sooji bukan gadis biasanya. Dia terlalu keras kepala untuk mau menerima saran dari orang lain.
"Aku hanya berharap kalian tidak saling menyakiti lagi."
"Adikmu yang membuatku terluka. Kau tau sendiri dia yang mendorongku dari tangga."
"Aku tau itu. Maafkan Jiwon."
Sooji mendengus, membuang wajahnya ke samping, "kau sudah selesai bukan? Aku pulang."
"Sooji-ssi, kau belum menjawab pertanyaanku," Myungsoo berucap menahan Sooji yang sudah akan pergi lagi.
"Pertanyaan yang mana?"
"Apa masalah antara kalian? Apa adikku pernah berbuat kesalahan padamu?"
"Bukankah sudah kubilang ini bukan urusanmu?" Sooji mendesis kesal.
"Akan menjadi urusanku jika itu menyangkut adikku."
"Ya sudah. Urus adikmu saja."
"Sooji..."
Sooji memutar bola matanya kesal, kapan dia bisa terbebas dari pengganggu seperti kakak Jiwon yang menyebalkan ini? Seharusnya sekarang dia sudah berada di dapur cafe ini dan melakukan pekerjaannya.
"Aku hanya membencinya. Tidak ada alasan khusus."
"Kau tau, membenci seseorang juga perlu alasan. Aku tidak akan percaya perkataanmu." Sahut Myungsoo membuat Sooji menggeram di tempatnya.
"Karena dia pesolek, aku tidak suka pesolek," tukas Sooji dengan lirikan tajam ke arah pria itu, "aku sudah mengatakannya. Tidak peduli kau percaya atau tidak."
"Begitu?" Myungsoo bergumam pelan membuat kekesalan yang dirasakan Sooji semakin menjadi. Gadis itu sudah akan berdiri dari tempatnya, tapi kalimat Myungsoo membuatnya terpaku untuk beberapa saat.
"Lalu bagaimana denganmu?" Myungsoo menatap tepat di manik mata Sooji membuat gadis itu masih bergeming di tempatnya.
"Aku melihatnya, apa yang terjadi di halaman parkir beberapa hari lalu."
Sooji masih diam. Dia tidak akan kaget jika Myungsoo melihat ayahnya menampar dirinya beberapa hari lalu, karena itu adalah tempat umum dan siapa saja bisa melihatnya. Tapi yang membuatnya sedikit terkejut, mengapa pria itu harus membahas tentang kejadian itu? Mereka bukan dalam hubungan baik untuk membicarakan masalah ini.
"Aku mengenal Bae Youngjun, dia salah satu pengusaha tersukses di negara ini. Jadi aku sedikit terkejut saat mengetahui perilakunya..." Myungsoo menjelaskan kemudian, seakan tau pertanyaan yang ada di kepala Sooji, "aku ingin tau, apa dia memang sering mela..."
"Myungsoo-ssi," Sooji menyela kalimat Myungsoo membuat pria itu menatapnya kaget, ini kali pertama Sooji menyebut namanya meskipun dengan nada yang sangat tidak mengenakkan, "kau tidak dalam kapasitas untuk membicarakan mengenai perilaku ayahku. Dan aku tidak akan membahas masalah ini pada siapapun."
Myungsoo tertegun, teguran Sooji menyadarkannya bahwa dia sudah melewati batasnya. Seharusnya dia tidak menanyakan tentang hal itu, mereka bukan seorang yang saling mengenal dengan baik jadi sangat tidak sopan ketika membicarakan masalah pribadi seperti ini. Tapi bodohnya, dia malah tidak bisa menahan diri karena terlalu penasaran dengan apa sebenarnya yang telah terjadi pada gadis itu.
"Maaf, aku hanya..."
"Kau sudah selesai membahas tentang Jiwon dan ini sudah lebih dari sepuluh menit. Aku pergi."
Kali ini Myungsoo tidak menahan gadis itu lagi, dia membiarkan Sooji beranjak dan menjauh dari mejanya. Matanya masih terus memandang punggung gadis itu hingga benar-benar menghilang kemudian menundukan kepalanya disertai dengan helaan nafas panjang.
Matanya lalu menangkap cangkir milik Sooji yang masih penuh, tidak tersentuh dan sudah tidak panas lagi. Kembali, dia menghela nafas.
"Dia bahkan tidak menyentuh kopinya."
〰〰〰
Sooji menghabiskan hari dengan pikiran yang kalut, entah mengapa percakapannya dengan Myungsoo siang tadi tidak mau hilang dari pikirannya. Sejak dulu, dia tidak pernah memiliki seseorang yang dekat dengannya untuk sekedar saling bertukar cerita atau keluhan-keluhannya. Selama ini dia selalu sendiri, lebih memilih memendam dan menyelesaikan masalahnya sendirian.
Tidak pula ada orang yang berinisiatif untuk mendekat padanya atau bahkan sampai mencampuri urusannya. Semua itu bukan tanpa alasan, sikapnya yang terlalu tertutup dan membentengi dirinya dengan ketat membuat orang-orang enggan untuk sekedar berteman kepadanya, tapi itu tidak menjadi masalah karena Sooji sudah terbiasa melakukan semuanya sendiri.
Sooji sangat berusaha untuk tidak pernah terlibat hubungan sosial kepada siapapun, karena dia tidak ingin repot-repot membongkar aib keluarganya sendiri. Dia tidak suka ketika orang-orang mengetahui apa yang dia alami selama ini. Dia tidak suka ketika orang-orang melemparkan tatapan kasihan padanya. Sepenuhnya Sooji benci mendapatkan simpatik dari orang lain, karena dia merasa dirinya tidak pantas dikasihani.
Namun, apa yang dilakukan Myungsoo tadi merupakan satu hal baru untuknya. Selama ini, tidak pernah ada satu orangpun yang menanyakan tentang keadaannya. Bahkan kedua orangtuanya hanya diam dan lebih memilih menghakiminya ketika tau dia sedang mendapatkan masalah atau musibah. Berbeda dengan apa yang dilakukan Myungsoo dan itu sangat mengganggunya.
Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika tadi dia terlena dan mengikuti alur pembicaraan pria itu. Jelas dia akan memperlihatkan kelemahan yang selama ini telah ditutupnya rapat-rapat.
Sooji benci karena apa yang dikatakan Myungsoo mengganggu pikirannya, padahal pria itu hanya menanyakan beberapa hal yang telah jelas faktanya. Myungsoo mengenal ayahnya dan jelas jika pria itu pasti bertanya-tanya mengapa seorang pengusaha besar seperti ayahnya melakukan tindakan memalukan seperti itu.
Percayalah, Sooji juga kerap kali mempertanyakan hal itu. Dia tidak mengerti apa yang ada dipikiran ayahnya saat memukuli atau menghukumnya. Dia tidak merasa pantas mendapatkan semua itu, tapi sekali lagi Sooji tidak mampu berbuat apa-apa. Sekarang dia menjadi tanggung jawab orangtuanya karena masih tinggal di rumah mereka.
Tunggu sampai tabungannya cukup, dia akan segera angkat kaki dari rumah ini.
"Kau baru pulang?"
Sooji mendongak menatap wajah keras ayahnya, dia melirik jam yang menggantung di dinding ruang tengah dan menghela nafas. Tidak biasanya ayahnya masih terjaga di jam begini. Kemarin-kemarin saat kedua orangtuanya tidak berada di rumah, dia merasa bebas pulang malam setelah bekerja di club, ketika orangtuanya di rumah, Sooji sedikit lega karena setidaknya mereka berdua sudah terlelap saat dia baru pulang.
Tapi malam ini berbeda, ayahnya masih terlihat segar dan itu tandanya dia sama sekali belum tidur dan mungkin saja sengaja menunggunya, atau tidak?
"Aku kerja."
"Kerja? Apa uang yang ibumu berikan masih belum cukup?" Bae Youngjun bertanya dengan nada tajam, selama ini pria itu jarang mau berbicara padanya. Hanya saat-saat penting saja dia berbicara, seperti sekarang ini, "memangnya apa yang kau kerjakan sampai selarut ini?"
"Memangnya ayah peduli?" Sooji mengangkat pandangan hingga menatap mata ayahnya secara langsung, dia bisa menemukan kemarahan dari mimik wajah pria paruh baya itu.
"Jaga bicaramu Bae Sooji."
"Kenapa? Kau ingin menamparku lagi? Atau memukulku? Silahkan! Lakukan sesuka hatimu, kalau bisa sekalian bunuh saja anakmu yang tidak berguna ini!"
"Sooji!"
Sooji mendengus, matanya memerah, tapi dia menolak untuk mengeluarkan airmata di depan ayahnya. Menangis terlalu melemahkannya dan itu tidak pantas dia lakukan jika ingin melawan ayahnya.
"Aku tidak tau kenapa akhir-akhir ini kalian tiba-tiba peduli padaku, itu sungguh mengganggu. Tolong kembali saja seperti dulu, tidak usah pedulikan aku. Biarkan aku hidup seperti dulu, tanpa kalian."
"Sooji, kau..." Youngjun kehilangan kata-katanya, melihat tatapan putrinya yang begitu tertekan membuatnya merasa bersalah, "kau tau ayah dan ibumu peduli padamu."
"Oh ya? Kalau begitu ke mana saja kalian selama ini? Apa kalian tau dua tahun lalu aku melakukan operasi usus buntu? Kalian tau satu tahun lalu aku mendapatkan surat rekomendasi dari kampus? Kalian tau bulan lalu aku terjatuh dan kakiku terkilir? Oh pasti tidak kan. Jadi, darimana ayah mengatakan jika kalian peduli padaku?" Sooji tertawa miris, dia menggelengkan sembari menatap ayahnya jengah, "tidak, kalian tidak peduli sama sekali."
"Kami selalu mengirimkan uang untukmu Sooji."
"Ini bukan hanya masalah uang! Persetan dengan semua uang kalian, aku tidak membutuhkannya!" Sooji menjerit, dia tidak peduli jika harus membangunkan seluruh penghuni rumah. Dia hanya lelah, terus-terusan merasa putus asa akan kasih sayang dari kedua orangtuanya. Tapi apa yang dia dapatkan? Uang? Hah! Lucu sekali.
"Aku tidak membutuhkan uang kalian, aku membutuhkan orangtua yang bisa memberikan perhatian padaku, aku membutuhkan ayah yang bangga ketika aku memamerkan prestasiku, aku membutuhkan ibu yang akan memelukku ketika aku bersedih, aku membutuhkan perhatian dari kalian..." Sooji menyipitkan mata menatap ayahnya yang kini sudah terdiam, kemudian dia tertawa sumbang, "tapi apa yang kudapat? Kalian malah mengabaikanku, meninggalkanku dengan setumpuk uang yang kalian pikir bisa membuatku bahagia! Dan sekarang ayah mengaku peduli? Jangan membodohiku!"
"Sooji, kau tau ayah dan ibu sangat sibuk."
"Ya, selalu beralasan seperti itu. Pekerjaan kalian memang lebih penting daripada putri kandung sendiri. Jadi aku bisa apa?"
Youngjun terdiam mendengar penuturan putrinya, dia tidak menyangka jika selama ini Sooji berpikir seperti itu. Dia akui memang terlalu keras mendidik Sooji sejak kecil, tapi itu dilakukannya agar Sooji bisa menjadi anak yang mandiri dan tidak manja. Tapi ternyata apa yang dilakukannya membuat putrinya merasa diasingkan. Dan juga kesibukannya selama ini untuk mengurus usahanya bukan dia lakukan secara sengaja, pekerjaannya memang menuntut dia untuk terus melakukan perjalanan ke luar kota. Youngjun berpikir Sooji tidak masalah dengan hal itu, karena selama ini mereka memang tidak pernah membicarakannya.
"Kami kerja untukmu juga Sooji."
"Benar. Bagi kalian, uang saja sudah cukup untukku." Sooji menghela nafas panjang, dia memejamkan mata sejenak lalu memandang ayahnya dengan sorot mata lelah, "aku mengantuk. Sebaiknya ayah istirahat juga. Selamat malam."
Kemudian dia meninggalkan ayahnya setelah berpamitan dengan nada yang tidak terjangkau, sementara ayahnya hanya melempar pandangannya ke manapun selain punggung putrinya yang menjauh.
〰〰〰
To be continued...
Pendek dulu ya 😂 gk papa kan dripada nunggu dua hari lagi buat update 😅
Aku tetap usaha buat update cepat, jdi kalian jgn bosan untk ksih suntikan semangat ke aku yaa 😉😉😉
Oh ya aku sekalian mai promosi, mngkin kalian bisa mampir ke work aku yg judulnya 'Everything', itu oneshot sekali habis jdi gk perlu takut di php 😅 crita itu bukan punyaku tpi aku diksih wewenang buat ngubah jdi ff myungzy..so kalau yg belum baca silahkan mampir ke sana 🙏🙏🙏
[06/11/17]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top