2. Controversy
Untuk kedua kalinya Myungsoo kembali berada di dalam ruangan dosen pembimbing Jiwon, pria itu tidak bisa menahan rasa malunya lebih lama ketika sang dosen memberinya tatapan penuh teguran. Seperti ketika terakhir kali mereka bertemu, sang dosen menyarankan padanya untuk memberi nasehat pada Jiwon agar tidak lagi menimbulkan masalah lagi, tapi sepertinya nasehat yang dia berikan sama sekali tidak berpengaruh karena adiknya itu kembali mengulangi kesalahannya.
"Saya tidak berharap dipanggil ke sini karena masalah yang sama lagi," ujar Myungsoo mencoba untuk membela adiknya.
"Sayangnya yang terjadi memang seperti itu," sang dosen menghela nafas panjang, "Jiwon saat ini berada di ruang kesehatan."
Alis Myungsoo bertaut bingung, "apa yang dia lakukan di sana?"
"Dia sedikit mengalami serangan shock, tapi jangan khawatir, dokter dari universitas sudah memberikan penolongan pertama."
Jantung Myungsoo seketika berpacu mendengar hal tersebut, apa yang telah terjadi sehingga Jiwon harus ditangani sama dokter? Bukankah gadis nakal itu kembali membuat masalah dengan mencelakai temannya, tapi mengapa dia yang harus berada di ruang kesehatan?
"Apa maksud anda? Saya masih kurang paham..."
"Begini Myungsoo-ssi, Jiwon baru saja mengalami kejadian yang mengejutkannya," sang dosen mulai menceritakan, bahwa itu terjadi karena keisengan teman-temannya yang pria. Jiwon hampir mendapatkan pelecehan, tapi itu tidak benar-benar terjadi karena mereka hanya bercanda dan langsung pergi meninggalkan Jiwon yang terlihat sangat panik.
"Apa-apaan ini!" Myungsoo berseru marah, matanya melotot tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar, "bercanda? Seharusnya pihak kampus lebih tegas menyikapi masalah ini. Bagaimana jika adikku mengalami trauma karena candaan seperti ini?"
"Jiwon telah kami tangani, dia sudah baik-baik saja."
"Bukan di situ masalahnya, bagaimana kalian bisa meloloskan anak-anak itu begitu saja? Mereka pantas dihukum."
Wajah sang dosen terlihat menyesal sebelum menjawabnya, "kami memang akan menghukum mereka Myungsoo-ssi, sayangnya ketika kami menemukan Jiwon di atap gedung, mereka telah pergi."
"Jadi yang ingin anda katakan, pria-pria brengsek itu tidak diketahui identitasnya?"
"Tenang dulu, tolong jangan menggunakan kata kasar di sini. Ini adalah lingkungan terpelajar.."
"Persetan dengan itu semua! Aku ingin menuntut keadilan adikku di sini. Dan kalian seenaknya menutup mata dengan kasus ini? Astaga! Aku bisa saja melaporkan kampus ini kepada pihak berwajib karena telah lalai mendidik mahasiswanya." Myungsoo menyerocos panjang lebar, mengabaikan wajah pias sang dosen karena telah mendengar ancamannya.
"Myungsoo-ssi..."
"Kyusu-nim...Kyusu-nim..."
Teriakan dari luar ruangan membuat mereka menghentikan perdebatan untuk sementara, sang dosen beranjak dari tempatnya dan membuka pintu untuk menemukan salah seorang mahasiswinya yang terlihat panik.
"Ada apa?"
"Itu...di lapangan, Sooji dan Jiwon..."
Mendengar nama adiknya, Myungsoo langsung keluar dari ruangan itu, mencari keberadaan sang adik. Matanya menatap nyalang kumpulan orang-orang di sekitar lapangan dan terus bergerak hingga retinanya menangkap dua gadis yang terlihat hampir saling bergulat di sana.
"Sial," dan umpatannya tercipta ketika menyadari salah satunya adalah Jiwon, dia menyayangkan kenapa orang-orang tolol itu tidak bergerak untuk memisahkan mereka dan malah hanya menonton saja.
"Kim Jiwon!"
Seruannya diabaikan oleh kedua gadis tersebut, sehingga dengan terpaksa dia maju dan langsung menarik tubuh adiknya yang sedang menarik rambut gadis lain, hingga tubuhnya hampir terhuyung ke belakang ketika menangkap Jiwon dan naasnya gadis yang sedang bergulat dengan adiknya malah terjengkang dan terjatuh.
Myungsoo hanya meringis melihatnya, kemudian memilih mengalihkan perhatian pada adiknya, "Kim Jiwon..."
"Oppa," Jiwon menoleh dan wajahnya berubah pias, mata tajam kakaknya menandakan bahwa sejak tadi dia sudah melihat pergulatannya bersama gadis kurang ajar itu.
"Hah! Dasar anak sial."
Mata Myungsoo langsung memicing ketika mendengar gerutuan itu, dia menatap gadis yang saat ini berusaha bangkit dari tanah tanpa merasa malu sedikitpun kemudian mengibaskan rambutnya hingga menampilkan wajah sinis dan jijik saat menatap Jiwon yang berada dalam pelukannya.
"Maaf?" Myungsoo bergumam, dia tidak ingin menebak jika hinaan yang dilanturkan tadi adalah untuk adiknya, tapi melihat bagaimana gadis itu memberi tatapan sengit dan getaran di tubuh Jiwon yang terlalu kentara, sepertinya semua telah jelas.
Gadis itu langsung meliriknya, mengamati wajahnya beberapa saat lalu tertawa sumbang, "jadi dia yang memeliharamu selama ini? Yah, wajar saja kau hidup dengan mewah," tukasnya mencemooh.
Myungsoo mengernyitkan keningnya tidak senang, ikut mengamati gadis itu dan menemukan beberapa lebam yang samar di wajahnya. Apakah itu perbuatan Jiwon? Astaga! Adiknya benar-benar sudah tidak tertolong. Tapi di luar itu semua, apa yang baru saja dikatakan gadis itu sudah membuatnya marah.
"Maaf, saya tidak mengerti apa yang kau katakan. Tapi tolong jangan menghina adik saya."
Gadis itu terlihat terkesiap lalu kembali memasang wajah jijiknya, "anak sial.." desisnya kemudian berbalik dan langsung meninggalkan lapangan.
Jiwon sudah menangis di dalam pelukan kakaknya, sementara orang-orang yang tadi menonton sudah berangsur menghilang, dan Myungsoo masih terpaku di tempatnya.
Apa masalah Jiwon seburuk ini?
〰〰〰
Sooji mendesis, dia melempar tas ke atas ranjang kemudian tubuhnya ikut menyusul. Menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya dengan kasar. Dia masih marah oleh kelakuan anak sial itu.
Hari ini dia sama sekali tidak berniat untuk mengusik Jiwon, tidak pula berharap mereka akan bertemu di kampus karena moodnya sedang buruk akibat kejadian semalam. Tapi sialnya, Jiwon yang mendatanginya. Gadis sial yang dulunya mati-matian menjauhinya malah datang kepadanya dengan membawa serentetan tuduhan yang dia sendiri tidak tau kebenarannya.
"Kau yang melalukannya! Kau menyuruh mereka kan?"
Saat itu Sooji hanya mengangkat alis mendengar tuduhan Jiwon yang tidak jelas kemudian membalas, "ini masih siang, jangan mengada-ada. Jika kau sedang mabuk, mending pergi dari sini."
"Aku tidak mabuk!" Jiwon menjerit kesal, "aku tau kau yang melakukannya. Kau yang menyuruh pria-pria bajingan itu untuk mengerjaiku!"
Sooji mengangkat alisnya semakin tinggi, dia memang mendengar desas-desus tentang kejadian ini tadi pagi. Para pria itu katanya hanya sekedar iseng mengganggu seorang mahasiswi, tapi tidak berpikir bahwa gadis itu adalah Jiwon, seketika dia tersenyum miring lalu bangkit dari kursi yan dia duduki.
"Itu layak kau dapatkan." Desisnya kemudian berlalu meninggalkan Jiwon dengan marah yang sudah mencapai di ubun-ubun.
"Astaga!" Sooji mendengus kasar ketika tubuhnya tiba-tiba tertarik ke belakang, dia memutar bola mata saat melihat wajah merah padam Jiwon, "apa lagi? Aku sedang tidak mood untuk meledenimu bodoh."
Jiwon menatap punggung Sooji yang menjauh, perasaan marahnyah sama sekali tidak terbendung. Entah sejak kapan dan dengan alasan apa mereka berdua mengikrarkan diri sebagai musuh, dua orang yang namanya tidak akan pernah bisa disematkan dalam satu kalimat tanpa menggunakan kata permusuhan atau kebencian. Dan sekarang, rasa benci yang dirasakannya karena kepongahan Sooji membuatnya lebih berani untuk bertindak.
"Dasar sialan! Kau memang anak tidak tau diri!"
Dengan begitu, Sooji menghentikan langkahnya yang hendak melintasi lapangan untuk pergi ke tempat persembunyiannya ketika sedang suntuk. Gadis itu berbalik memicingkan mata menatap Jiwon yang terengah-engah saat menghampirinya.
"Pantas saja orangtuamu tidak pernah peduli padamu. Itu karena kau memang tidak pantas mendapatkannya, akan lebih baik jika kau tidak hidup."
Sooji tersenyum miring mendengar cercaan Jiwon, "sedang membicarakan diri sendiri?" Sahutnya dengan santai, tanpa sedikitpun merasa tertekan karena kalimat kasar Jiwon kepadanya.
"Aku tidak begitu. Ayah dan ibuku mencintaiku!"
"Oh ya? Lalu jika mereka mencintaimu, mengapa mereka tidak pernah menampakkan diri? Identitasmu sebagai anak mereka bahkan disembunyikan," Sooji tersenyum penuh kemenangan ketika wajah Jiwon berubah pias, "itu yang namanya cinta ya? Ckck, miris sekali.."
"Kau tidak tau!" Jiwon menjerit marah lalu tanpa aba-aba dia langsung menerjang Sooji, menarik rambut gadis itu hingga menciptakan jeritan yang tak kalah kencangnya.
"Kim Jiwon lepaskan rambutku!"
"Tidak akan! Kesabaranku sudah habis, aku muak denganmu! Berhenti mengusik hidupku."
Sooji menggeram, mencoba melepaskan cengkraman Jiwon dari rambutnya namun, sialnya gadis itu cukup kuat.
Sial darimana dia mendapat tenaga sekuat ini! Sooji menggerutu dalam hati, pada akhirnya dia tidak memiliki pilihan selain ikut menjambak rambut Jiwon. Dan pemandangan dua orang gadis saling menjambak dan memaki di tengah lapangan kampus membuat para mahasiswa lain mendekat dan tertarik untuk menonton, tapi tak ada satupun dari mereka yang mencoba untuk melerai.
Hingga Sooji merasakan pegangan Jiwon terlepas dan tubuhnya serta merta terhempas hingga bokongnya mencium tanah. Seketika dia meringis perih, "Hah! Dasar anak sial!"
Sooji tidak perlu merasa terkejut ketika dia bangkit menemukan Jiwon berada dalam pelukan seorang pria dewasa, yang dilakukannya hanya mendengus jijik kemudian melemparkan komentar yang melintas di kepalanya.
"Maaf, saya tidak mengerti apa yang kau katakan. Tapi tolong jangan menghina adik saya."
Mata Sooji mengerjap, ingatannya mengenai kejadian siang tadi di lapangan kampus seketika menghilang begitu saja. Menyadari bahwa pria dewasa itu adalah kakak Jiwon, membuatnya semakin berang. Berarti bertambah satu orang lagi yang akan dibencinya karena berhubungan dengan Kim Jiwon.
Suara ketukan di pintu kamarnya membuat Sooji tersadar bahwa hari sudah menjelang malam, dia menoleh menatap jendela kamar kemudian menghela nafas panjang.
"Ada apa Bibi?" Sooji membuka pintu kamarnya dengan enggan, masih memakai pakaian yang dia gunakan saat ke kampus dengan penampilan yang benar-benar berantakan, ditambah dengan lebam yang mulai memudar di sudut bibir dan pelipisnya, sanggup membuat Bibi Yoon terkesiap kaget.
"Apa yang telah terjadi? Mengapa kau sekacau ini?"
Sooji hanya tersenyum masam, "hanya kesalahan teknis, tidak perlu berlebihan Bibi."
"Ayah dan ibumu ada di bawah, mereka menunggumu turun untuk makan malam," bibi Yoon menjelaskan perihal kedatangannya, tapi kemudian dia mendesah dramatis, "tapi melihat wajahmu sekarang, oh astaga ayahmu pasti akan khawatir."
"Hah, omong kosong," Sooni bergumam datar, "turunlah bibi, aku mungkin akan melewatkan makan malam lagi."
Bibi Yoon memberi tatapan protes kepadanya ketika mengutarakan niat untuk tidak makan, "tidak boleh! Semalam kau sudah tidak makan karena pulang terlambat, sekarang kau harus makan."
"Bibi.."
"Cepat bersihkan dirimu, ayah dan ibumu sudah menunggu sejak tadi."
Sooji mengerucutkan bibirnya, dia lupa jika bibi Yoon adalah manefestasi dari seorang wanita tua yang sangat keras kepala. Jadi dengan terpaksa dia masuk ke kamar mandi untuk menyegarkan tubuh dan otaknya, mempersiapkan diri untuk memulai drama untuk kesekian kalinya.
〰
Suasana sangat hening ketika Sooji memasuki ruang makan, di sana dia sudah melihat ayah dan ibunya telah duduk di tempat mereka masing-masing. Hampir sebulan orangtuanya tidak pulang, dan akhirnya sekarang mereka kembali dari perjalanan dinas yang panjang namun, Sooji tida merasakan apapun. Tidak ada perasaan antusias melihat kehadiran mereka ataupun rindu karena lama tak berjumpa. Sepenuhnya dia merasa biasa saja, seperti kehadiran ayah dan ibunya sama sekali tidak memberi pengaruh apapun dalam keberlangsungan hidupnya.
"Kenapa lama sekali?"
"Maaf."
Hanya dengan begitu, mereka memulai menyantap makan malam dalam keheningan. Jangan bayangkan pelukan kasih sayang, atau tangisan penuh rasa rindu, karena itu tidak akan pernah terjadi di dalam rumah yang dingin ini.
"Wajahmu kenapa?"
Sooji mendongak ketika mendengar ayahnya bersuara, ini adalah sebuah rekor ketika mendengar ayahnya menanyakan tentang dirinya, dia hanya mengangkat bahu tanpa menjawab.
"Sooji, kalau ayahmu bertanya dijawab. Jangan bertindak kurang ajar seperti itu," tegur ibunya namun, yang dilakukan Sooji bukannya menjawab dia malah bangkit dari kursi dan memandang orangtuanya dengan datar.
"Aku selesai."
Kemudian dia pergi meninggalkan ruang makan, berisi ibunya yang sibuk mengomeli tingkah lakunya yang semakin hari semakin tidak sopan serta ayahnya yang hanya menghela nafas panjang, dan Sooji sama sekali tidak memperdulikannya. Dia sepenuhnya hanya ingin tidur dengan nyenyak dan berharap besok pagi kedua orangtuanya telah pergi lagi.
〰〰〰
To be continued...
Selamat pagi menjelang siang~ aku balik lagi--ditengah kesibukan kantor--akhirnya bisa nyuri waktu buat ngetik 😆
Untuk crita ini, aku niatnya mmg diksih ringan" aja, smoga bisa berhasil ya..mskipun bnyak dri kalian yg agk ragu wkwk *aku jg ragu sebenarnya* dan untuk pertama kali setelah puluhan judul, akhirnya aku kembali mengangkat kisah anak sekolahan/kampus 😅 krena aku udah lupa caranya belajar di kampus jdi mohon dimaklumi ya kalo agk sedikit aneh 🙏
Dan ke depannya length perchapternya hanya sebegini aja ya, gk bisa diperpanjang lagi soalnya aku takut gk bakal ngefeel. Nikmatin aja apa yang ada 😆 ttp diusahakan update cepet kok, kalo bisa rutin dua hari sekali lah, tpi kalo gk bisa ya maklumin aja 🙏
Btw gk usah lah main tebak"an lgi ya 😂 nnti kalian sakit kepala lagi 😢 nnti aku cari game lain biar lbih seru dan antimainstream 😆
[21/10/17]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top