19. Run Away
Aku ngakak, masa gk prnah ngevote ato komen tapi malah mncul pas ditanya mau update kapan 🤧 tapi gk papa sih, seenggaknya aku tau kalo sider jg nungguin critaku meskipun mreka itu pelit banget 🤧🤧
(Skrg aku lgi nyindir yg gk prnah vote di crita ini ya, kalo yg udah ngerasa vote mskipun gk komen tenang aja ya, gk usah kesinggung krena ini bukan untuk kalian kok 😃)
.
.
.
Sooji mengumpulkan kertas-kertas yang berserakan di atas meja persegi berukuran kecil yang terletak di sudut ruangan, ia berusaha tetap fokus pada pandangannya dan teliti untuk menyusun tumpukan kertas tersebut sesuai urutan, meskipun dengan penerangan yang sangat minim.
Sooji mengumpati satu-satunya lampu yang menerangi ruangan itu, "sial, sepertinya aku harus membeli bohlam baru," gerutunya dengan kesal. Setelah selesai berkutat dengan kertas-kertas itu, ia langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur lantai yang sama sekali tidak terasa empuk sembari melirik ke arah ventilasi udara di salah satu sisi dinding ruangan.
"Pantas saja sangat gelap, ini sudah malam."
Sooji menarik napas sebelum akhirnya mendesah lelah, ia berharap ada kata lain selain kata penyesalan yang bisa menggambarkan tentang perasaannya saat ini karena demi apapun gadis itu tidak akan pernah mengaku menyesal dengan segala keputusan yang telah diambilnya.
Mulai dari pergi dari rumah, hingga menuruti egonya untuk segera mengangkat kaki dari rumah Myungsoo hanya karena dia muak mendengar adik pria itu bertingkah berlebihan, padahal sebenarnya dia bisa saja tutup telinga dan tetap tinggal di sana tanpa peduli bagaimanapun pendapat orang-orang. Tapi, mendengar bahkan melihat sendiri bagaimana respon orangtua Myungsoo mengenai dirinya membuatnya sakit hati.
Mungkin karena dia sudah pernah mendapatkan penolakan dari kedua orangtuanya, jadi mendapat sekali lagi penolakan membuatnya muak dan akhirnya bertindak implusif dengan pergi dari apartemen yang nyaman tersebut.
Dan di sinilah Sooji, di salah satu flat kecil yang bersyukur bisa didapatkannya dengan harga yang sangat murah dan berjarak sangat dekat dari kampusnya. Jangan katakan bahwa Sooji tidak susah payah untuk mendapatkan tempat ini, karena hanya agar bisa memiliki tempat untuk tidur dan beristirahat di malam hari, ia rela memohon pada pemilik bangunan bobrok ini supaya menurunkan harganya dengan balasan akan membantu sang pemilik dengan memotong rumput liar yang tumbuh lebat di halaman gedung ini. Dan beruntung sang pemilik tidak berpikir dua kali untuk menerima tawarannya.
Alhasil, Sooji berhasil mendapatkan tempat tinggalnya-meskipun sama sekali tidak bisa dikatakan layak sebagai rumah, karena flat tersebut hanya memiliki satu ruangan yang berukuran sekitar lima meter persegi, dengan dapur dan kamar mandi umum yang terletak di lantai satu. Sooji sepatutnya bersyukur masih memiliki tempat untuk tidur, tapi jauh di dalam lubuk hatinya yang terdalam, ingin sekali gadis itu menenggelamkan dirinya di sungai Han daripada harus bersusah payah tinggal di tempat kumih ini.
Namun, dia harus tetap bertahan setidaknya sampai kuliahnya benar-benar selesai. Tinggal selangkah lagi dan Sooji bisa mengajukan lamaran kerja yang memungkinkannya bisa mencicil setidaknya sebuah apartemen sederhana di pinggir kota. Dia harus memilih tempat tinggal yang jauh dari jangkauan ayahnya.
Sooji bukannya tidak tau jika ayahnya masih mencoba untuk memata-matainya, itu sangat terlihat jelas dengan beberapa mobil sedan hitam yang kerap bertengger di depan gerbang kampusnya saat pagi maupun sore hari. Tapi dia bersyukur karena ayahnya tidak melakukan lebih dari sekedar mengawasinya, karena untuk saat ini dia masih belum ingin kembali ke rumah dan mungkin saja tidak akan kembali lagi.
Belum lagi masalah Myungsoo yang hampir setiap hari selalu muncul di area kampus membuatnya kewalahan. Sooji berpikir dengan pergi dari apartemen itu membuat Myungsoo bisa dengan mudah mengabaikannya, sayangnya pria itu cukup keras kepala. Tapi Sooji bukan gadis bodoh, dia sudah bisa menebak kemungkinan terburuk bahwa Myungsoo akan mencarinya karena menghilang tiba-tiba, oleh karena itu dia sudah bernegosiasi kepada dosen pembimbingnya.
Wanita paruh baya yang sudah dua tahun belakangan sudah menjadi dosen pembimbingnya di kelas itu cukup heran ketika dia mengutarakan keinginan untuk mengerjakan tugas akhirnya di rumah saja dan akan berkonsultasi lewat email. Awalnya dosennya melarang karena dengan tidak berkonsultasi secara langsung, hasil yang mereka dapatkan tidak akan maksimal dan itu bisa membuat tugas akhirnya tidak terstruktur.
Tapi Sooji memaksa, bahkan gadis itu mengatakan yang sebenarnya kepada sang dosen bahwa ada seorang pria yang mungkin saja akan mengusik ketenangannya dalam pengerjaan tugas akhir ini jika dia terus berada di kampus, dan itu mengakibatkan jadwal ujiannya berantakan. Itu alasan yang cukup masuk akal, sehingga sang dosen akhirnya setuju dengan syarat Sooji harus ke kampus jika itu benar-benar diperlukan. Dan Sooji menyetujuinya.
Sepanjang minggu ini, Sooji berhasil menghindari Myungsoo. Saat ke kampus untuk meminta tanda tangan dosen pengujinya saat sidang akhir, secara kebetulan Myungsoo juga ada di sana dan beruntungnya lagi Sooji yang lebih dulu melihat pria itu sehingga dia bisa melarikan diri agar tidak ketahuan.
Mengingat bagaimana rupa Myungsoo yang tidak baik ketika tanpa sengaja melihat pria itu membuat Sooji tersenyum miring, dia hanya berharap pesan terakhirnya pada Jiwon sebelum mengangkat kaki dari apartemen kakaknya benar-benar terjadi dan gadis itu akan menyesali perbuatannya.
"Setidaknya dia bisa merasa menyesal ketika melihat wajah depresi kakaknya itu."
〰️〰️〰️
"Kau yakin tidak akan keluar?"
"Oh Hayoon, ayolah aku sudah mengatakannya berkali-kali. Kau cukup beritahu padanya jika aku sudah berhenti bekerja di sini dan tidak tau di mana keberadaanku," Sooji mendesah menatap wanita berambut sebahu di sampingnya, tangannya masih bergerak lincah menggosok piring kotor yang sejak beberapa hari lalu berubah menjadi tugasnya di cafe ini.
Semua itu bukan tanpa alasan, dia yang dulunya melayani pelanggan di depan sana terpaksa harus mengungsi ke belakang, di tempat yang paling tersembunyi hanya demi melarikan diri dari seorang Kim Myungsoo.
Ya, pria itu masih mencarinya dan terus mencari sampai ke tempat-tempat kerjanya yang dulu. Sudah tiga hari berturut-turut pria itu datang ke cafe ini untuk mencarinya, dan selama itu pula Hayoon-salah satu kasir di cafe ini menjelaskan pada Myungsoo bahwa dia sudah berhenti bekerja. Tapi pria itu seakan tidak percaya dan terus datang membuatnya harus berada di dapur lebih lama lagi.
"Kau tidak melihat bagaimana wajahnya, sepertinya dia mencarimu seharian penuh..."
"Aku tidak peduli. Dia itu seorang penguntit, sebaiknya kau suruh pulang saja dan katakan padanya jangan datang ke sini lagi."
Hayoon menatap punggung Sooji lalu mendesah panjang, dia tidak tau masalah teman kerjanya itu, tapi melihat betapa gigihnya pria di luar sana mencarinya dan betapa keras kepalanya Sooji menolak untuk bertemu, dia bisa menebak jika masalah mereka berdua cukup rumit.
"Baiklah, aku akan menyuruhnya pergi dan mengatakan sesuai keinginanmu. Asal kau jangan menyesal saja, dia itu terlihat tampan." Hayoon berbalik lalu meninggalkan Sooji sendirian di dapur.
Setelah mendengar pintu tertutup, Sooji melempar kain pembersih piringnya lalu mendengus jengkel, "tampan? Huh, kau sudah buta Oh Hayoon!"
〰️〰️〰️
Kedua bahu Myungsoo melesak turun, sudah hampir sebulan dan dia belum juga menemukan keberadaan Sooji. Di mana sebenarnya gadis itu pergi? Kenapa bahkan sedikitpun jejaknya tidak bisa ditemukan.
"Kau lari ke mana bodoh?"
Myungsoo masuk ke dalam mobilnya lalu duduk termenung di sana, semenjak Sooji pergi dia memilih untuk menempati apartemennya dengan alasan bahwa mungkin saja Sooji akan kembali, dan selama itu pula hubungannya dengan Jiwon dan ibunya masih belum membaik. Kerap kali Minsuk memintanya untuk kembali tinggal di rumah saja, tapi Myungsoo tetap pada keputusannya. Dia akan tinggal di apartemennya sampai menemukan Sooji kembali.
Jika ditanya apakah dia tidak peduli dengan adik dan ibunya, jawabannya adalah tentu saja dia peduli. Karena selama hampir duapuluh hari terakhir, dia sudah sering mencoba untuk menjelaskan pada ibunya bahwa Sooji bukanlah gadis seperti yang mereka pikirkan, tapi seakan menutup telinga, ibunya hanya acuh dan mengabaikan semua perkataannya. Jiwon juga tidak membantu sama sekali, membuat Myungsoo menjadi lelah untuk terus berusaha.
Myungsoo akan membiarkan ibunya sekarang, dan mungkin nanti ketika sudah bisa menemukan keberadaan Sooji, dia sendiri yang akan mengenalkan gadis itu pada ibunya dan membuatnya percaya bahwa Sooji adalah perempuan yang manis dan penuh kasih sayang.
Suara ponsel berdering membuat Myungsoo mengalihkan perhatiannya, ia menerima panggilan tersebut yang ternyata datang dari Wonho.
"Halo...kau serius? Tentu...aku akan ke tempatmu, tunggu aku di sana...baiklah, oke."
Beberapa menit lalu Myungsoo mungkin saja sudah terlihat putus asa, tapi setelah mendengar informasi dari Wonho, harapannya kembali muncul. Semoga setelah ini Sooji bisa segera ditemukan, mengingat dia sudah sangat merindukan gadis itu.
Satu jam kemudian Myungsoo akhirnya tiba di studio foto milik Wonho, dia langsung bergegas ke ruangan sahabatnya itu dan menodongnya dengan berbagai macam pertanyaan yang dibalas Wonho dengan tawa geli.
"Santai saja, kawan. Aku tidak akan lari."
"Ayolah Wonho, bukan waktunya bercanda. Jadi info apa yang kau temukan?" Myungsoo mendesak, berdiri di hadapan Wonho dengan sikap tidak sabar.
"Setidaknya kau duduk dulu, aku tidak tau info ini bisa membantu banyak atau tidak," Wonho menunjuk sofa di dekatnya lalu melirik laptop di atas meja kopi yang berada tepat di depan sofa.
"Katakan saja, apapun itu selama masih berhubungan dengan keberadaan Sooji, maka itu akan membantu."
"Kau nonton saja video di laptop itu, kemarin aku mengunjungi kelab malam yang katamu adalah tempat Sooji dulu bekerja. Aku sedikit bercerita dengan bartendernya, dia mengenal Sooji dan mengatakan gadis itu pernah datang sekitar dua atau tiga malam yang lalu."
Mata Myungsoo langsung melotot mendengar penjelasan Wonho, dia menarik laptop yang tadi diabaikannya untuk berada lebih dekat dan memutar video seperti instruksi sahabatnya. Itu adalah sebuah video CCTV di kelab malam tepat saat Sooji datang ke sana, Myungsoo tidak ingin tau dari mana sahabatnya bisa mendapat akses untuk menyalin video ini, tapi yang jelas dia sangat berterima kasih karena saat ini ia bisa melihat Sooji di sana. Meskipun gambarnya tidak jernih, tapi Myungsoo yakin jika gadis yang mengenakan kemeja longgar serta jins biru tua dengan topi baseball berwarna putih itu adalah Sooji.
Gadis itu terlihat berbincang bersama bartender beberapa saat, kemudian gadis itu berjalan ke tempat lain. Myungsoo sempat bingung karena setelahnya layar itu tidak menunjukan keberadaan Sooji lagi, tapi tidak lama kemudian rekaman itu menunjukan sebuah ruangan yang terlihat seperti ruang kerja, tapi terlihat lebih ramai dengan tambahan lemari kaca berisi puluhan botol minuman mulai dari yang termurah hingga termahal.
"Kenapa kau memperlihatkanku ruangan ini?"
"Sooji akan berada di sana beberapa saat lagi, kau lihat saja. Sayang kamera di ruangan itu tidak mengaktifkan audio nya jadi kita tidak bisa mendengarkan percakapan yang ada," jelas Wonho yang kemudian membuat Myungsoo mengerti saat melihat Sooji muncul di sana, tapi gadis itu tidak sendirian melainkan bersama seorang wanita dewasa.
"Siapa dia?"
"Dia itu atasan Sooji sebelumnya, aku menebak Sooji ke tempat ini untuk meminta diterima bekerja lagi."
"Kau gila?" Myungsoo menoleh tidak suka dengan tebakan Wonho, "dia tidak boleh bekerja di tempat seperti ini lagi, itu sangat bahaya."
Wonho hanya menghela napas panjang, Myungsoo sepertinya benar-benar sudah stress. Bagaimana dia bisa melarang gadis itu untuk bekerja di mana ketika keberadaannya saja tidak diketahui.
"Jadi, apa Sooji kembali bekerja di sana?" Harapannya semakin bertambah dengan melihat video itu, mungkin saja Sooji bekerja lagi dan dia bisa menemui gadis itu di sana, yah meskipun ide tentang bekerja di sana lagi membuatnya tidak senang.
"Sepertinya tidak, karena kata bartender yang kutanyai kemarin, Sooji datang ke kelab dua kali lalu setelah itu tidak kembali lagi."
Myungsoo tiba-tiba merasa lemas seketika, dia menyandarkan tubuhnya di sofa lalu memejamkan mata, "jadi apa gunanya kau memperlihatkanku semua ini?"
"Sudah kukatakan, kalau video ini belum tentu bisa membantu banyak."
"Tapi aku sudah berharap Sooji sudah benar-benar ditemukan."
Wonho mendekati Myungsoo lalu menepuk pundak pria itu, "tenang saja kawan, setidaknya kita tau jika dia masih berada di kota ini. Itu akan membuat pencarian kita lebih mudah. Jangan menyerah dulu, aku tau kau sangat menyukai gadis ini, jadi kita akan terus berjuang sampai kau mendapatkannya kembali. Oke?"
Mau tak mau Myungsoo tersenyum lebar mendengar kalimat penenang dari sahabatnya, dia membuka mata dan menatap Wonho penuh rasa terima kasih. Dia cukup bersyukur karena pria itu ada di sampingnya saat ini, walaupun keadaannya sangat buruk, tapi Wonho tetap mau membantunya.
"Terima kasih, Wonho."
"Ah sudahlah, aku lelah mendengarmu berterima kasih terus. Sekarang semangatlah, Sooji sudah menanti untuk ditemukan..ayo semangat, semangat!"
Benar, Sooji pasti sudah menunggu untuk bisa kutemukan. Tunggu saja Bae Sooji, aku pasti akan menemukanmu, bahkan jika kau lari sampai ke ujung dunia aku akan mengejarmu.
〰️〰️〰️
Melangkahkan kakinya keluar dari kelab, kepala Sooji tertunduk lemas. Sudah dua kali dia meminta kembali kerja di kelab malam tempatnya dulu bekerja, tapi sialnya bosnya yang garang itu tidak memberikan kesempatan sekalipun dan sekarang dia sudah berada di kelab malam lain namun, kesialannya seperti tidak berujung karena lagi-lagi dia ditolak dengan alasan bahwa dia masih seorang mahasiswa dan beberapa kelab telah menetapkan peraturan untuk tidak menerima karyawan paruh waktu.
Sooji sedikitnya menyesal, ya pada akhirnya dia menggunakan kata itu juga. Kenapa dulu dia harus mengikuti perkataan Myungsoo dan berhenti begitu saja dari kelab malam.
"Bodoh! Itu karena dia memberikanmu pekerjaan dengan gaji yang menggiurkan!" Sooji merutuki dirinya sendiri lalu memukul kepala, "dasar mata duitan! Sedikit ditawari uang saja langsung ngiler, aigoo bodoh! Bodoh!"
Sooji sibuk menyumpahi kesialannya malam ini, hingga dia melangkah menjauhi gedung kelab malam. Lebih baik pulang saja, mungkin besok dia akan menemukan tempat yang mau menerimanya bekerja.
Yah, hidup Sooji memang berubah menjadi sulit sekarang, tapi kesulitan itu tidak akan membuat semangatnya berkurang. Dia akan terus berusaha sampai benar-benar tidak bisa melakukan apapun dengan kedua tangannya sendiri.
"Ah tumben jalanan sepi sekali," Sooji bergumam santai, yang dilewatinya memang bukan jalan protokol jadi hanya ada beberapa mobil atau sepeda motor yang lewat, itupun bisa dihitung jari. Mengingat ini adalah malam Senin, Sooji jadi tidak heran karena jalanan sangat sepi. Semua orang pasti memilih tinggal di dalam rumah mereka untuk beristirahat menyambut hari Senin esok hari.
Tapi berbeda dengannya, semua hari terasa sama. Dia harus tetap bekerja dari hari Senin sampai ke hari Senin kembali. Semua itu dia lakukan demi bertahan hidup.
"Betapa malang nasibmu," Sooji bergumam sendiri lalu menertawakan dirinya.
Langkahnya sudah hampir tiba di halte bis dan kesepian di jalanan itu semakin terasa membuat bulu kuduk Sooji merinding. Semoga saja dia tidak menemukan hal yang aneh-aneh di sini. Tapi doanya tidak benar-benar terkabul karena tepat ketika duduk di kursi halte, matanya bisa menangkap segerombolan pria yang sedang berjalan ke arahnya.
Sooji mencoba tidak melihat mereka dan pergi dari sana, tapi dia terlambat karena salah satu dari pria itu telah menyadarinya.
"Hei gadis manis, kau mau ke mana?"
Tubuh Sooji menegang, dia sempat menoleh untuk memastikan pria-pria itu memang memanggil dirinya dan ketika melihat seringaian mesum mereka, Sooji langsung berlari kencang sembari memeluk tasnya.
Dia adalah gadis pemberani dan kuat, jika di suruh berhadapan dengan Jiwon atau bahkan berkelahi dengan gadis itu, maka Sooji dengan senang hati akan melalukannya. Tapi, jika itu adalah kumpulan pria bertubuh besar dengan keadaan mabuk, maka Sooji angkat tangan. Seberani apapun, dia tidak bodoh untuk mengkonfrontasi pria-pria itu.
Sooji kembali menoleh dan terbelalak melihat pria-pria itu mengejarnya, dia semakin mengencangkan larinya, ke manapun asal tidak ditangkap oleh mereka.
Jantungnya bertalu kencang, untuk pertama kalinya akhirnya dia mengaku menyesal telah pergi dari apartemen Myungsoo. Seharusnya sekarang dia sedang bergelung manja dalam selimut tebal di kamar apartemen Myungsoo, bukannya berlari seperti orang kesetanan yang dikejar oleh pria-pria mabuk.
"Oh ya tuhan, tolonglah aku..." Sooji merengek, karena masih mendengar sahutan-sahutan para pria itu saat memanggilnya, mereka sepertinya sangat gigih dan tidak ingin menyerah.
Sooji terus berlari dan mengutuk mengapa di jalanan sepanjang ini, tidak ada satupun mobil yang lewat, sejenak dia menarik tangan dan melirik jam di pergelangan tangannya lalu mengumpat pelan, tentu saja tidak ada mobil lagi, ini sudah hampir tengah malam.
Jadi berapa lama tadi dia mencari kelab sampai lupa waktu?
Ketika tiba di persimpangan jalan, Sooji memilih masuk ke dalam gang dengan pikiran bahwa dia bisa bersembunyi di sana. Kemungkinan bahwa pria-pria itu mengikutinya sampai ke sana sangatlah kecil, jadi dia terus berlari memasuki gang, berbelok menelusuri gang tersebut hingga berhasil keluar dari sana dan menemukan jalan besar namun, belum sempat dia bernapas lega, ternyata para pria itu sudah muncul di seberang dengan berbagai ekspresi wajah menjijikan.
"Sial!" Sooji memutar arah kemudian kembali berlari, tidak, dia tidak akan bisa lolos jika seperti ini, dia harus meminta bantuan.
Tapi siapa?
Dengan cepat dan tergesa-gesa, Sooji mengeluarkan ponsel dari tasnya, kakinya tidak berhenti berayun, membuka ponselnya dan mencari kontak yang memungkinkan bisa dia hubungi untuk meminta pertolongan, tapi bodohnya Sooji. Dia bahkan tidak menyadari bahwa selama ini dia tidak memiliki teman. Nomor kontak di ponselnya hanya ayah, ibu, bibi Yoon, dan supir pribadi ayahnya, selebihnya hanya nomor panggilan darurat pemerintahan, seperti Ambulance, Kantor layanan polisi, dan rumah sakit.
"Dasar bodoh! Aku tidak mungkin menelpon ayah atau ibu," rutuknya hampir menangis, "apalagi bibi Yoon, dia bisa langsung struk saat mendengarku dikejar pria mabuk."
Sambil berlari dan sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan jaraknya cukup aman dari pengejarnya, otaknya terus berpikir, apa yang harus dilakukannya sampai pemikirkan itu terlintas.
Sooji mungkin tau tindakannya ini tidak melalui perhitungan atau pemikiran matang-matang dan pasti akan menyesalinya besok pagi, tapi dari segala solusi yang bisa didapatnya, hanya ini satu-satunya jalan. Jadi dengan membulatkan tekad, Sooji mengutak-atik kontak di ponselnya, lalu kemudian menekan tombol panggilan.
"Halo!" Sooji bersyukur hanya dalam dering pertama panggilannya diterima, dia menggigit bibir ketika mendengar suara kesiap di seberang telepon, "tolong...aku..." ujarnya dengan napas pendek-pendek mengabaikan apapun yang lawan bicaranya katakan.
"Aku..mereka mengejarku, tolong..."
Sooji merasa lelah, kakinya sudah tidak kuat berlari dan dia tidak tau lagi di mana dirinya sekarang, kembali menelusuri gang yang berbeda dengan sebelumnya, dia menemukan sebuah pondok kayu lalu langsung berlari ke sana. Teleponnya masih tersambung, dan Sooji tidak lagi mendengar apapun. Dia berbaring di atas papan yang keras lalu memejamkan matanya, rasa lelah tiba-tiba menyerang tubuhnya namun, sebelum benar-benar kehilangan kesadarannya, dia sempat bergumam dengan suara yang sangat pelan.
"Tolong aku, Myungsoo..."
〰️〰️〰️
To be continued...
Part ini udah panjang banget, jgn minta dipanjangin lagi ntar aku mabok 😝😪😵
Just info : Kemungkinan cerita baru bakal di publish bulan 2 nanti dan aku pastikan kalian bakal suka sama genrenya, so stay tuned.
[28/01/18]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top