Chap IV

Awan mendung mendominasi langit pagi itu, setelah malam dingin berkat hujan gerimis yang tak kunjung berhenti sampai fajar, pagi tanpa mentari menyapa penghuni kota Monourea. Satu persatu orang orang mulai keluar dari hunian, melangkahkan kedua tungkai mereka menuju tempat kerja ataupun sekolah. Seperti gadis itu, terlihat seorang gadis nampak berjalan sendiri di trotoar, rambut sebahu yang tergerai terlihat sesekali tertiup angin dingin yang berhembus menyampaikan kabar buruk akan datangnya hujan dalam beberapa jam ke depan, setidaknya itu juga yang perkiraan cuaca dalam berita yang ia tonton pagi ini katakan.

Sweater kuning berukuran besar nampak menutupi tubuhnya, terlihat hangat dan nyaman, namun tetap tidak dapat menutupi kulit pucat pasi serta beberapa ruam di beberapa bagian, terlebih di leher yang hanya tertutup setengah kerah kemeja seragamnya.

Gadis itu melangkahkan kedua kakinya di trotoar yang penuh dengan pejalan kaki lainnya, kantung mata hitam dan cukup tebal itu menggantung di bawah matanya, ditambah dengan wajah pucat membuat kondisinya semakin dilihat iba oleh beberapa orang di sekitarnya. "hei nak!" seru seseorang dari arah belakang, seorang wanita tua, sambil berjalan terseok seok, wanita itu mendekati gadis tersebut, senyum merekah di bibir gadis itu tatkala melihat sosok wanita tersebut berhenti di hadapannya.

"Nana! Nana mau kemana?" tanya gadis itu setelah berhasil membantu sang wanita tua berdiri dengan benar. Wajah pucat yang sudah dipenuhi keriput milik wanita tua yang dipanggil Nana itu mengukir senyum di bibir gemetarnya, dengan tangan yang juga bergetar samar, Nana memberikan sebuah kantung kertas berwarn cokelat pada gadis itu. Aroma khas roti hangat yang baru keluar dari pemanggang menyeruak keluar dari sela sela kantung yang terbuka dan disambut hangat indera penciuman gadis itu.

"Nana membuatkan mu roti manis, makanlah untuk sarapan dan makan siang mu di sekolah, ya?" ucap Nana dengan senyum yang semakin mengembang, membuat kedua matanya hampir tertutup sempurna berkat keriput di sekitar bawah matanya.

Untuk beberapa saat gadis itu tertegun menatap Nana di hadapannya penuh haru dengan mata yang mulai berkaca-kaca, belakangan ini perasaan cukup sensitif untuk beberapa hal, terlebih untuk orang orang yang memperlakukannya dengan baik. "Nana tidak perlu repot repot setiap hari melakukan ini," ujarnya pelan menatap wanita itu teduh penuh haru. Nana tetap mempertahankan senyumannya, sambil merapikan rambut depan gadis itu, wanita tersebut menggeleng kecil.

"Nana sudah menganggap mu sebagai cucu nana sendiri, sayang ... Dan ini tidak merepotkan sama sekali, nana senang bisa membuatkan mu roti setiap hari." kalimat itu terlontar lemah dari bibir sang wanita tua, di usianya yang genap kepala tujuh itu dia masih senang melakukan semua aktivitas kesehariannya sendiri. Nancy Gerlach nama wanita tua itu, hidup sebatang kara dan hanya mengandalkan bantuan dari orang orang sekitar serta berjualan kue di sebuah toko kecil untuk menyambung hidup, begitu lah sekiranya kehidupan wanita tua yang sering disapa Nana Nancy oleh orang orang, namun setidaknya, setelah gadis itu muncul hidup Nancy jauh lebih berwarna. Setiap hari setelah pulang sekolah, gadis itu selalu datang dan menemaninya sampai larut, membuatkan makan malam dan makan bersama sebelum gadis itu pulang ke rumahnya.

Jarak dari rumah wanita itu dengan apartemen sang gadis memang cukup jauh, setidaknya butuh satu setengah jam menggunakan bus umum dan berjalan sekitar 15 menit dari halte bus untuk sampai ke apartemen si gadis. Karena itu mereka lebih sering bertemu di perjalanan menuju sekolah, karena lokasi toko kue milik Nana yang hanya berjarak 200 meter dari sekolah gadis itu.

Pagi ini terasa lebih hangat dari biasanya untuk gadis itu, meski semilir angin musim gugur masih menusuk nusuk punggung gadis itu dengan hawa dingin yang dapat membuat siapapun ambruk dalam sekejap, namun gadis itu tidak merasakannya, untuk beberapa saat, pagi itu menjadi pagi terhangat dari seluruh awal pagi yang ia jalani seumur hidupnya. Setelah berpuluh menit mereka habiskan dengan berbincang santai sambil berjalan, tanpa sadar sang wanita sudah mengantar gadis itu sampai tepat di depan gerbang sekolah yang terlihat masih sepi. Untuk sebuah kota kecil yang tidak seluas Monourea, sudah menjadi pemandangan normal untuk beberapa sekolah yang terlihat masih sepi di pagi hari, selain itu memang gadis tersebut gemar datang lebih awal, bahkan sebelum matahari memunculkan sinarnya.

"Terima kasih banyak, nana. Maaf karena terlalu asik mengobrol aku sampai lupa mengantar nana kembali ke toko," ucap gadis itu canggung sambil mengusap tengkuknya. Nana menggeleng dan kembali mengeluarkan kekehan lemahnya, dengan satu tangan terangkat, ia mengusap lembut rambut gadis itu dan merapikan sedikit rambut bagian depan gadis itu yang sedikit berantakan tertiup angin selama mereka berjalan sambil berbincang tadi.

"Tidak masalah, sayang. Jangan lupa untuk memakan makan siang mu nanti bersama teman teman, ya? Jika kau dan teman teman mu suka, nana akan buatkan lebih untuk besok," balasnya dengan senyum yang mengembang sempurna dengan bibir dan tangan yang gemetar. Tak butuh waktu lama sampai gadis itu luluh dan beranjak memeluk tubuh ringkih wanita di hadapannya, bahkan tak terasa setetes air mata berhasil lolos dari sudut matanya, mengalir mulus di pipi tirus nan pucat gadis itu dan berakhir terserap di kerah kemejanya.

"aku pasti akan menghabiskannya, nana tidak perlu khawatir," ucap gadis itu seraya melepaskan pelukannya perlahan dan beranjak mundur mendekati gerbang sekolah yang sudah terbuka. "aku sekolah dulu ya, nana! Sampai nanti sore!" serunya sebelum berbalik dan segera berlari masuk ke dalam sekolah, meninggalkan wanita tua itu yang masih setia memperhatikannya sampai punggung gadis itu benar benar lenyap dari pandangannya.

+++++

Bukan suatu hal yang istimewa dapat bangun di pagi hari tanpa bantuan jam digital kotak di atas nakas yang biasa berbunyi setiap pagi, terlebih berkat rasa nyeri yang begitu mengerikan terasa tepat di bagian tulang rusuk dan membuat pria tanggung itu terpaksa membuka mata. Satu hal baru ia dapati sesaat setelah membuka mata, pria itu kini tidak berada di dalam kamar apartemen miliknya yang biasa, melainkan sebuah kamar apartemen asing dengan beberapa perabot yang menghiasi setiap bagian ruang kamar itu, membuat sedikit suasana "hidup" yang terasa asing dan tak pernah ia rasakan.

Butuh beberapa menit sampai ia mengingat kembali apa yang sudah terjadi padanya, dan ia yakin pasti itu lah alasan utama mengapa ia berada disini sekarang. Seketika kedua alisnya bertaut, membentuk kerutan yang tercetak jelas di keningnya. Ia segera bangkit dari atas kasur, melupakan seluruh rasa sakit yang sebelumnya menjadi alasan mengapa ia membuka kedua mata pagi itu dan beranjak mengelilingi ruangan.

Satu persatu barang di dalam kamar tersebut ia periksa. Lemari, laci meja, bahkan sampai ke lukisan dinding yang mungkin saja menyimpan sesuatu di baliknya.

"bingo," ucap pria itu setelah mendapati sebuah brankas dengan kunci sidik jari di balik lukisan. Pria itu segera berbalik, meninggalkan brangkas itu dan mencari barang serta petunjuk lain yang bisa membantunya.

+++++

Sudah hampir satu jam aku mengelilingi kamar ini, tidak banyak yang bisa ku temukan selain ponselku, sebuah surat dengan amplop hitam tanpa nama pengirim dan sebuah tas berisi uang. dia pasti memberikan uang sebanyak ini agar aku melakukan pekerjaan ku dengan baik, tapi, ayolah! bahkan dia tidak memberikan satupun pakaian untukku!

tidak, lupakan saja, aku harus bersyukur setidaknya aku tidak mati setelah orang orang itu menyuntikkan virus yang mereka curi dan mereka modifikasi sesuka mereka. Aku mendengus kasar dan memindahkan semua barang yang ku temukan di atas kasur sebelum turut duduk bersila di atasnya. Ku tolehkan kepalaku ke arah jendela, menatap pemandangan gedung gedung tua dan jalanan yang cukup sepi yang dipayungi langit mendung dengan tetesan air yang turun dari sana. bukankah waktu yang tepat untuk tidur dan menghabiskan waktu bermalas malasan di atas kasur di saat seperti ini? lebih lengkap dengan selimut tebal dan penghangat ruangan--atau tidak? Saat ini bahkan aku tidak menggunakan hoodie yang sengaja ku lepas beberapa menit lalu. Bertelanjang dada di dalam ruangan ber-AC, ku rasa hanya orang idiot yang melakukannya.

Tentunya akulah orang idiot itu.

Aku mendengus pelan dan kembali menatap barang barang yang kini berjajar rapi di hadapanku, ku raih amplop hitam bersegel lilin dan dicap dengan stempel tengkorak yang ku temukan di dalam lemari bersama tas berisi tumpukan uang. Ku tatap amplop itu untuk beberapa waktu sebelum membuka segelnya dengan sebilah pisau yang ku temukan di dalam kantung hoodie.

Hanya ada selembar kertas di dalamnya, dan di dalam kertas tersebut hanya ada sebuah paragraph berisi kode kode dengan campuran angka dan huruf yang sangat familiar denganku.., Surat ini bukan dari si brengsek itu, ini dari orang yang ku kenal, sekaligus orang yang membantuku selama ini bersama satu orang lainnya. Tanpa sadar helaan napas keluar dari mulutku, bersamaan dengan seulas senyum tipis yang sengaja ku ukir.

"terima kasih banyak, Jack. Aku tahu aku bisa mengandalkan kalian berdua disana," gumam ku samar sebelum merebahkan kembali tubuhku di atas kasur.

Aku kembali diam, menatap langit langit kamar berwarna gading pucat itu datar. Aku tidak tahu harus memulai semua ini darimana, siapa yang harus ku bunuh, si brengsek itu memang tidak menentukan tergetnya, tapi bagiku itu jauh lebih sulit daripada terjebak di dalam alam liar sendirian tanpa makan maupun minum.

"lapar ...," gumam ku dengan tangan yang tanpa sadar sudah berada di atas perut.

Coba kita ingat kapan terakhir kali perut indah berbentuk ini mendapatkan asupan makanan bergizi---

---jika tidak salah ku ingat, itu seminggu yang lalu, dan yang ku makan hanya sebungkus roti sisa yang ku temukan--lebih tepatnya ku curi--di trotoar.

Helaan napas kembali ku keluarkan, aku tidak boleh masuk rumah sakit hanya karena tidak makan, dan lagipun, sebenarnya uang ku banyak, hanya saja aku lebih suka makan masakan ku sendiri dibanding membeli makanan cepat saji di luar---

+++++

"---satu paket kombo ayam krispi dengan tambahan minuman botol air mineral, apa ada lagi, tuan?"

Aku hanya tersenyum canggung di hadapan gadis penjaga kasir yang sejak awal kedatangan ku tersenyum malu dengan wajah samar memerah dan tangan gemetar saat aku memesan.

Oh lupakan apa yang baru saja ku katakan soal makanan yang ku suka, aku butuh mereka untuk bertahan hidup selain uang---tetap uang berada di dudukan prioritas hidupku, bahan makanan juga harus dibeli dengan uang bukan? Tapi untuk kasus ku yang satu ini aku terpaksa untuk membeli makanan cepat saji.

Aku terpaksa, okay? Aku tidak benar-benar menyukainya dan aku hanya mencari restoran cepat saji terdekat dari apartemen satu ruangan itu.

"kau tidak perlu menahan tawa seperti itu, Adelia" aku menghela napas panjang dan mengeluarkan beberapa lembar uang sesuai nominal yang sudah terpampang di layar digital di hadapan ku.

"h-habisnya, aku tidak pernah melihat mu sampai kelaparan setengah mati seperti ini--pffft!--kau seperti akan mati, kak!" jawabnya masih menahan tawanya.

Sedikit perkenalan, gadis di hadapan ku saat ini juga salah satu orang yang ku percaya sekaligus anggota termuda di tim ku. Adelia Saravashti Nirmala, usianya baru 17 tahun dan berasal dari Indonesia. Aku membawanya dan menjadikan Adelia anak didik ku beberapa waktu sebelum menawarkannya untuk bergabung ke dalam tim saat kabur ke Indonesia dan menyamar menjadi guru di sekolahnya. Gadis yang cukup energetik dan sarkas, meski baru setahun dia sudah bisa menyamakan kemampuannya dengan anggota yang lain. Kami lebih sering mengobrol dengan bahasa leluhurnya dibanding bahasa yang ku gunakan, entahlah, aku juga merasa lebih nyaman dengan itu.

"kapan kau akan pulang?" tanya ku mengubah topik pembicaraan.

"mungkin nanti, kak. Aku lebih suka disini--atau mungkin aku akan tinggal disini haha!"

Aku hanya diam menatapnya, tak perlu ku tanya alasannya, dia pasti akan memberitahu sebentar lagi---

"aku muak, mereka yang memakai wajah palsu setiap harinya, hanya tahu bagaimana melempar batu dan lepas tangan. Sulit membedakan yang hitam dan putih saat berada di dalam keabu-abuan. Berbeda dengan disini, aku melihatnya dengan jelas, putih dan hitam yang melekat satu sama lain tanpa menghilangkan warna asli mereka."

---tuh kan.

Aku mendengus dan menyeringai tipis. "kau tahu itu satu satunya cara para sampah bertahan hidup bukan? Lalu bagaimana menurut mu kita bertahan hidup selama ini, hm?"

Butuh beberapa menit untuk Adelia memikirkan jawaban yang tepat. Tapi, seperti yang ku bilang, dia bukan gadis sembarangan.

Aku segera mengambil bungkus berisi pesanan ku dan meninggalkannya yang kembali melayani pelanggan yang lain.

Jawabannya masih terngiang di otak ku, di perjalanan pulang aku hanya bisa terkekeh geli dan tersenyum senang.

"oh, tentu saja merebut warna orang lain dan menyembunyikan warna asli kita. Itu yang kita lakukan selama ini, bukan?"

+++++

David sesekali menatap jam alba yang bertengger di pergelangan tangannya, satu persatu berkas yang menumpuk di meja ia pilah menjadi tumpukan kecil, beberapa ia pindahkan ke dalam kardus dan sisanya ia buang ke tempat sampah di dekatnya. Waktu luang tanpa kasus dan laporan membuatnya bosan setengah mati, staus siaga yang membuatnya sulit untuk pulang ke apartemennya juga turut menjadi penguat alasan suntuknya David saat ini.

"Inspektur, saya sudah kembali," sapa Clue yang masuk ke dalam ruangan dan membuat David menghentikan sejenak aktivitasnya memilah berkas, seulas lirikan ia berikan pada gadis itu yang kini menghempaskan tubuhnya di kursi kerja dengan helaan napas.

"apa semuanya baik-baik saja?" tanyanya acuh sembari membenarkan posisinya dengan tangan yang masih asik memilah berkas.

"semuanya baik-baik saja, kemungkinan besar pak kepala akan mencabut status siaga ini besok jika kondisi tetap stabil dan terkendali seperti sekarang, Inspektur," tutur gadis itu sembari menyesap secangkir cokelat hangat yang sudah dingin di atas mejanya, semburat merah terpoles tipis di pipi tembam gadis itu terlihat menggemaskan dengan wajah polos saat menikmati secangkir minuman cokelat kesukaannya, sesekali David mencuri pandangan pada Clue, dapat dibayangkan dengan jelas oleh David dua buah telinga kelinci yang muncul di atas kepalanya, bukan sekali dua kali, tapi cukup jarang ia melihat sisi Clue yang seperti itu.

Segera David memalingkan pandangannya, berusaha mengalihkan pikiran absurd yang jika tidak ia hentikan akan semakin menjadi jadi di otaknya.

+++++

Menit demi menit berlalu begitu saja, tanpa mereka sadari jam sudah menunjukkan pukul enam sore, langit temaram dengan gradasi jingga nampak menghiasi angkasa, burung burung saling berkicau sahut menyahut sembari mengepakkan sayap mereka di udara. Clue hanya diam menatap datar panorama eksotik di hadapannya,

Kelopak mata indahnya mengerjap perlahan, atensi yang sebelumnya ia berikan penuh pada semesta kini beralih pada seekor kupu-kupu dengan sayap cantik yang terbang di hadapannya. Jemari lentiknya terjulur, memberikan tempat hinggap sementara bagi kupu-kupu tersebut, di tatapnya sayap kupu-kupu itu dengan teliti, sayap biru dengan corak loreng berwarna hijau toska menjadi gradasi, tentu menarik atensi mata Clue, bukan hanya karena warnanya yang indah, namun juga cukup mencurigakan menemukan kupu-kupu secantik itu di kota kotor penuh dosa di setiap sudutnya.

"Sersan, ada yang ingin ku bicarakan dengan mu."

Suara David memecah konsentrasinya sekaligus membuat kupu-kupu itu terbang meninggalkan jemarinya entah kemana. Clue menghela napas sesaat sebelum berbalik dan mendekati David. "ada apa Inspektur?" tanya nya membuka topik.

David menatap manik kelam itu dalam dalam, mencari sedikit jawaban dari pertanyaan yang menumpuk di otaknya, cukup lama kedua manik yang memancarkan warna berbeda itu saling melempar pertanyaan dalam keheningan.

"pak kepala memberikan ku sebuah kasus, tapi dia tidak memaksa ku untuk menerimanya, tidak seperti biasa." sepatah kalimat terlontar dari bibir David, diraihnya map hitam yang berada di tumpukan paling atas berkas yang sudah ia rapikan sejak pagi tadi dan menunjukannya pada Clue. "aku belum membukanya, sejujurnya aku cukup takut, firasat ku mengatakan informasi kasus yang ada di dalam map ini lebih berbahaya dari kasus yang sudah pernah kita selesaikan, Sersan."

Sekejap, Clue terhenyak, bukan hal mustahil sebenarnya mendengar David mengatakan ia takut akan kasus yang akan mereka tangani, tapi untuk seorang Lucious David, si pemilik codename "Danger" itu saja sampai mengeluarkan kata takut dari mulutnya---

---bukankah itu cukup untuk menjadi bahan pertimbangan?

Clue mengambil map hitam itu dari tangannya, menimang sembari menatap map tersebut penuh selidik, otaknya kini membuat beberapa kesimpulan abstrak dari apa yang ia lihat dan observasi. "Inspektur, sejujurnya saya terkejut mendengar pernyataan barusan. Tapi, jika sampai pak kepala memberikan kasus ini pada kita, bukankah itu berarti rasa percaya beliau sudah tidak perlu diragukan lagi?" tuturnya sambil meletakan kembali map tersebut ke atas meja David.

"aku tahu itu, Sersan. Tapi bukan itu yang ku khawatirkan," balasnya dengan helaan napas yang terdengar berat. Clue sedikit memiringkan kepalanya, menatap tingkah atasannya yang sering berubah ubah sesuai kemauannya, bahkan setelah beberapa tahun mereka habiskan berdua sebagai partner, Clue masih belum bisa membaca keseluruhan isi pikirkan pria bersumbu pendek itu.

Tatapan manik kelam itu kini jatuh pada map yang kini tergeletak di atas meja, sejujurnya ia sangat penasaran akan apa yang ada di dalam sana, tapi Clue juga menghormati keputusan yang masih berada di tangan David selaku atasan juga partnernya.

David kembali menatap Clue yang terus menaruh atensinya pada map hitam di atas meja itu, percuma saja, gadis itu bisa berbuat nekat dengan sesuatu yang menarik atensinya. Tangannya terulur kembali meraih map tersebut, menimang beberapa kali untuk menerima kenyataan harga dirinya akan jatuh jika ia menolak kasus yang satu ini, tapi di lain sisi juga nyawanya bisa terancam--tidak, bahkan nyawa satu kota ini bisa terancam jika memang kasus ini sebesar yang ia bayangkan.

"kau benar, Sersan. Pak tua itu menaruh kepercayaan penuh pada kita," tukasnya mantap. Perlahan, David membuka segel yang menutup belakang map tersebut sebelum menarik keluar isinya, beberapa kertas yang digabungkan membentuk buku tipis seperti sebuah jurnal dengan beberapa tulisan tangan disana. Clue beranjak mendekat, menatap halaman pertama jurnal itu, sebuah judul yang diketik dengan font tebal dan di letakan di tengah tengah kertas.

"Hype Project - 010/101?"

Kedua terdiam cukup lama, menatap halaman pertama jurnal tersebut sebelum saling melemparkan pandangan sarat akan pertanyaan. David lebih dulu memutus kontak mata dengan Clue dan membuka halaman selanjutnya. "Hype Project adalah salah satu projek unggulan BioTech dengan biaya yang sudah diakomodasi sepenuhnya oleh pihak pihak yang identitasnya dirahasiakan, diharapkan projek ini dapat diselesaikan dalam kurung waktu sekurangnya 2 tahun. Projek ini berawal dari ditemukannya dua mikro organisme yang bermutasi secara abnormal di dalam darah seekor kucing, dalam penelitian yang memakan waktu lebih dari 5 bulan, mikro organisme tersebut berhasil merombak susunan darah dan mengambil alih sistem syaraf pada tubuh kucing tersebut. Beberapa efek yang ditimbulkan dari mikro organisme tersebut adalah munculnya cairan lendir berwarna kecoklatan yang juga memiliki mikro organisme sejenis dan terus berkembang biak, kejang kejang, serta muntah darah. Dalam hal ini, diputuskan dengan sepakat bahwa mikro organisme mutasi yang ditemukan merupakan milik BioTech seutuhnya dan dikategorikan sebagai senjata biologis berskala massal dengan kode Hyp-010, serta akan dikembangkan lagi dan diuji coba pada manusia."

Ruangan terasa berat seketika, senyap, tak ada yang mengeluarkan sedikitpun suara, bahkan detak jam terdengar samar di gendang telinga mereka. Hiruk pikuk yang terjadi di sekitar mereka lambat laun menjadi sayup.

Hawa dingin mencekam terasa masuk memenuhi rongga dada kedua penegak keadilan itu. "inspektur, apa tidak ada dampak yang akan terjadi tertulis disana?" tanya Clue yang terus menatap jurnal tersebut.

David menggeleng, ia kembali membaca kalimat demi kalimat pada lembaran itu namun nihil.

"saya menebak kasus kali ini kita akan melawan sesuatu yang lebih mengerikan dari manusia, Inspektur," tutur Clue sebelum menoleh keluar jendela.

"kau benar, Sersan. Aku yakin pasti ada hubungannya dengan yang ada di dalam Jurnal ini. Aku akan menghadap pak kepala dan memberitahu kalau kita akan mengambil kasus ini," tukas David sembari bangkit dari duduknya.

Clue mengangguk dan mendekati pria tempramen tersebut. "saya akan ikut, Inspektur."

Keduanya segera beranjak pergi meninggalkan ruangan mereka, dengan jurnal yang sudah kembali masuk ke dalam map hitam, tungkai mereka bergerak menuju ruangan sang atasan.

Dilain sisi, jauh di seberang benua sana, di dalam sebuah markas bawah tanah dua orang pria nampak menatap layar hologram besar yang menampilkan tayangan secara langsung sepasang penegak keadilan yang baru saja keluar dari ruangan tersebut.

"kita sudah dapat lokasi jurnal tersebut, yang akan kita lakukan sekarang adalah merebut kembali berkas tersebut dan pergi, itu mudah bukan?" ucap salah satu pria yang nampak asik duduk di hadapan beberapa monitor.

"menurut mu apa Josh bisa melakukannya? Kita bisa meminta Adelia juga sebenarnya," tanya pria dengan jas lab yang sedaritadi berdiri menatap layar hologram besar. "jika memburuk, aku juga akan kesana dan turun tangan."

"aku tahu kau kesal dan merasa menyesal, tapi ini bukan salah mu, dua projek itu sudah hilang sejak lama dan tepat 2 hari setelah projek Hype dinyatakan berhasil."

"tapi aku lah yang bertanggung jawab sekarang, sialan. Kehancuran dunia sudah ada di depan mata, jika cecunguk kepolisian ikut campur hanya akan mempercepat waktu." Pria berjas lab itu mendengus kasar sebelum berbalik meninggalkan ruangan tersebut.

Pria yang masih berada di hadapan layar monitor hanya diam sebelum menghela napas panjang tiba-tiba "kita kan juga polisi," ucapnya bermonolog sendiri.

+++++

Yahooo! Setelah betapa lagi entah dimana, akhirnya cerita ini update lagi.

New year new start, saya sedang melakukan challenge untuk diri saya sendiri menjadi lebih konsisten pada apa yang sudah saya mulai, salah satunya cerita ini. Semoga lancar lancar saja karena saya seorang procrastinator yang cukup akut TwT

Terima kasih banyak yang sudah setia menunggu, bagi yang baru membaca, selamat datang, semoga kalian menyukai cerita yang saya buat.

Vote dan comment kalian sangat membantu saya untuk lebih bersemangat menyelesaikan cerita ini.

Sampai jumpa di chap selanjutnya!
Peace out!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top