Tiga
下
ADA hal lain yang terjadi pagi ini, dan itu cukup menyebalkan.
Aku bangun lebih lambat daripada biasanya. Memang belum terlambat, tetapi itulah awal dari kesialanku pagi ini. Karena itu, aku malah tidak sengaja berpapasan dengan teman sekelasku yang menyebalkan. Mereka melihatku keluar dari rumahku. Memang, biasanya aku selalu berangkat lebih awal agar tidak perlu bersitatap dengan anak-anak menyebalkan di kelasku.
Bisa kulihat beragam jenis tatapan mereka; heran, ngeri dan juga jijik. Aku tidak tahu apa yang salah dari tinggal di sebuah rumah yang kebetulan memang lebih tua daripada rumah kebanyakan. Maksudku, mereka tidak perlu seberlebihan itu. Mereka bukanlah siapa-siapa.
Aku lupa nama gadis berambut pendek yang memakai tas biru itu, tetapi dia yang menatapku dengan tatapan paling merendahkan. Aku mencoba untuk tidak mempedulikan mereka.
Sesampainya di sekolah, ada hal tidak menyenangkan lainnya yang telah terjadi.
Namaku ada di papan lagi.
Kali ini, Ksatria, hati, dan Amanda.
Kukerutkan keningku, tetap tidak ingin menoleh ke papan tulis dan berlagak seolah aku tidak melihatnya. Padahal sebenarnya aku ingin sekali melempari mereka satu persatu dengan kapur patah di depan sana. Namun tidak kulakukan karena itu pasti akan membuat masalah yang panjang.
Ksatria ...
Dia anak laki-laki yang duduk di belakangku. Termasuk orang aneh, karena dia duduk di barisan paling ujung--ketua kelas kami yang menyusun tempat duduk kami dan kurasa tujuannya memang ingin mengeliminasi anak-anak aneh di kelas.
Aku tidak mengatakan dia aneh tanpa alasan. Itu karena ... tingkahnya memang aneh. Rasanya tidak pantas jika 'orang aneh' sepertiku juga berpikir bahwa dia aneh. Maksudku, aku sebenarnya tidak aneh. Aku hanya dicap aneh karena tinggal di rumah tua dan kebetulan aku memang sedikit pendiam.
Ksatria aneh dengan caranya sendiri. Dia bukan laki-laki yang pendiam, terkadang dia bisa berbaur dengan orang-orang di kelas dengan baik. Namun terkadang dia bisa berubah menjadi sangat pendiam. Sangat pendiam, sampai terkadang dia mengabaikan guru atau keluar dari kelas saat pelajaran. Dia anak marching band dan itu artinya dia punya banyak kenalan. Namun dia hanya berteman dengan satu orang di sekolah.
Sungguh, aku tidak punya hak untuk mengatakan 'hanya', karena kenyataannya aku tidak punya satu teman pun di sekolah. Ini memang menyedihkan.
Aku duduk paling depan, Ksatria di belakangku. Di meja ketiga ada anak perempuan aneh lainnya yang bernama Linda. Dia hobi membuntuti orang yang disukainya. Dulu pernah ada kabar bahwa dia membuntuti seorang lelaki pemain bulu tangkis di sekolah. Katanya dua membuntuti sampai ke luar kota dan isu itu terdengar mengerikan bagi semua orang. Itu awal mula dia dicap sebagai si Aneh dan sekarang, semua teman-temannya menjauhinya.
Lalu di meja terakhir--meja keempat--ada seseorang yang tidak seharusnya di barisan orang aneh. Seorang laki-laki bernama Byru, dia pendiam dan idola kelas. Dan satu hal yang paling kuingat, Byru juga tidak pernah mengolokku. Seingatku, dia ikut klub renang dan alasan mengapa dia bisa duduk di barisan terakhir karena dia tinggi dan juga karena dia berteman dengan Ksatria. Dia yang mengajukan diri saat tidak ada yang bersedia duduk di paling belakang untuk barisan orang aneh.
Kalau ada guru yang mengharuskan kami membuat kelompok, kami berempat secara otomatis akan menjadi satu kelompok, karena kami duduk di barisan yang sama.
Aku tahu banyak perempuan di kelas yang ingin satu kelompok dengar Byru. Ingat, hanya dengan Byru, bukan aku, Ksatria atau pun Linda.
Dan itu membuatku kembali penasaran. Apa yang membuat kelas ini tiba-tiba menjadi sangat norak dan menulis namaku dan Ksatria di papan?
Jelas, aku tidak bisa bertanya kepada Ksatria langsung, karena seperti yang sudah kukatakan sebelumnya; mereka orang-orang norak yang hobi memasang-masangkan perasaan orang lain.
Jadi, aku hanya diam sambil berharap bahwa lonceng segera berbunyi.
Jam pertama pun, guru PNP (Pendidikan Moral Pancasila) kami yang memang hobi menyuruh kami membuat kelompok, langsung memulai aksinya di awal pelajaran. Alhasil, itu membuat orang-orang norak itu kembali menyoraki kami.
Aku masih diam dan tetap bersikap tenang. Kutarik mejaku ke belakang, yang lain juga memindahkan kursi agar empat meja itu bisa menyatu menjadi satu.
Byru duduk di samping Ksatria dan aku duduk di samping Linda. Kami adalah kelompok kelas paling hening di kelas. Namun untungnya Byru dan Ksatria masih berbicara. Terkadang Linda mengajakku berbicara, tetapi dengan nada takut-takut, sepertinya dia juga termakan dengan omongan miring dari orang-orang.
"Kamu yang nulis, ya, soalnya tulisanmu yang paling bagus," ucap Linda seenaknya.
Baik Bryu maupun Ksatria hanya diam saja. Maksudku, ya, karena mereka tidak mungkin mau mengajukan diri untuk menggantikanku menulis.
Karena terlalu sering menulis nama kelompok sesuai abjad, aku sampai ingat nama lengkap mereka semua.
Kelompok 1:
Amanda Ayu Pradamudia.
Byru Nandana.
Ksatria Arthagraha.
Linda Suhardono.
Dan kurasa mereka termasuk dari sedikitnya orang yang kukenal di ingatanku.
Aku baru menulis nama-nama mereka, sebelum akhirnya aku menyadari bahwa Ksatria sedang menatapku dengan kening berkerut. Aku pun ikut mengerutkan kening karenanya.
"Apa?" tanyaku.
Ksatria menolehkan kepalanya ke Byru, lalu dibalas kerutan heran yang sama oleh sahabatnya itu. "Apa?"
Ksatria kembali menoleh ke arahku, "Amanda, itu di belakangmu--"
"CIYEEEEEE. Amanda sama Ksatria akrab banget, CIYEEEE."
Perhatian Pak Ali langsung tertuju ke kelompok kami. Dia menatap kami agak penasaran, lalu menaikkan kembali kacamatanya yang melorot turun.
"Sudah, jangan berisik. Kalau masih ada yang berisik, Bapak tambahin lima alinea untuk penjelasan orde baru untuk kelompoknya," ujar Pak Ali untuk menghentikan sorakan-sorakan norak dari sekelas.
Untungnya ancaman itu mujur. Mereka memutuskan untuk diam dan itu adalah hal yang baik.
Hal tidak baiknya adalah, Ksatria berhenti berbicara. Bahkan saat Byru yang mengajaknya berbicara. Namun Byru tidak mengomentari apapun saat diabaikan oleh Ksatria.
"Tidak usah dipikirin, Amanda," ucap Byru kepadaku, walaupun dia jelas-jelas sedang melihat ke arah bukunya. Sepertinya dia tidak melihat ke mataku karena takut menjadi korban yang akan ditulis di papan tulis besoknya. Tidak ada satu pun orang yang menginginkan itu.
"Aku tidak pernah kepikiran kata mereka, kok."
Kutegaskan suaraku agar bisa meyakinkannya. Tetap kutulis ringkasan versiku terlebih dahulu agar nantinya aku tinggal menulis sisanya.
Kuremas pergelangan kananku yang sedang menulis, kemudian melepaskannya begitu menyadari hal itu. Kebiasaan itu yang selalu kulakukan secara tidak sadar jika sedang berbohong. Aku sering berpura-pura tidak peduli dengan pandangan orang-orang, padahal sebenarnya aku merasa kalau mereka sangat kuno. Dan aku sering berpikir untuk mempunyai setidaknya satu teman untuk berbagi cerita, yang benar-benar memahami keadaanku.
Setelah itu, kelas hening sampai pelajaran PMP berakhir. Namun, tetap saja aku merasa penasaran. Mengapa tiba-tiba nama Ksatria bisa muncul di papan tulis? Tentang namaku, itu memang sudah biasa. Namaku adalah hal yang selalu mereka jadikan sebagai acuan untuk mengolok orang lain.
Yang bernama Bobby kemarin, namanya bisa muncul di papan tulis hanya karena ada satu temannya yang iseng meletakkan botol minumannya di dekat botol minumanku. Bukankah itu norak dan kekanak-kanakan sekali?
Bagiku, itu memang tidak beralasan, tetapi untuk Ksatria, kupikir tidak ada apa-apa yang terjadi di antara kami.
"Kamu lagi ngapain?"
Suara seorang perempuan yang lembut membuyar lamunanku. Sempat bingung karena ada yang mendadak ramah, aku berbalik. Namun yang kudapat hanyalah kekosongan. Dan itu berhasil membuat bulu kudukku berdiri.
Lantas hal itu membuatku melihat ke kiri dan kanan berulang kali, untuk memastikan bahwa ada sekelompok orang yang memang sedang menggangguku.
Lorong sedang sangat sepi. Itu membuatku makin ketakutan.
Sampai akhirnya, aku melihat Ksatria di ujung lorong dan suara yang bertanya tadi jelas bukan suaranya.
Kerutan di keningku makin dalam saat aku menyadari bahwa Ksatria sedang sendirian tanpa Byru. Dia menatap lurus ke arahku, sebelum akhirnya pergi ke koridor lain tanpa mengatakan apa-apa.
Kurasa terkadang rumor memang benar. Dia anak yang aneh.
***TBC***
27 Mei 2019
Catatan
Oke, sebelum kita mulai masuk ke horor-horornya, mari berkenalan dulu dengan orang yang akan terlibat dengan Amanda! Yeay.
Oh ya, dan ngomong-ngomong chapter dua sudah diupdate lho, ya. Coba periksa di previous chapter. Kemarin aku update tapi katanya nggak ada notifikasi.
Bye-bye! See you!
Cindyana
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top