Mama's Lullaby

"We slip beneath the pillow's spell. Rest your mind in peace. Let me sing a lullaby. I hope that the dreams that you find are bright." Nyanyian lembut seorang wanita menuntun Lucien pada tungku perapian di lantai bawah. Kepala mungilnya bergerak perlahan, tampak ragu karena tak ada siapa pun di sana. Ruangan itu hanya disinari oleh cahaya bulan dari balik tirai, dan api tungku perapian yang nyaris padam.

"And when you awaken, you'll see the light."

Netranya membulat ketika Lucien berhasil menemukan sumber suara itu. Namun, keningnya mengernyit menyadari bahwa ada yang tidak beres. Suara nyanyian terdengar semakin keras dari tungku perapian, hanya saja tidak ada apa pun di sana. Ia mulai bertanya-tanya apakah api yang sedang melahap habis kayu ternyata perwujudan dari roh? Atau sosok peri mungil bersembunyi di cerobong asap sambil bernyanyi? Cepat-cepat Lucien menggeleng. Anak laki-laki itu tahu tidak ada roh di rumahnya, tidak ada pula peri yang suka bernyanyi. Siapa juga yang mau tinggal di dalam cerobong asap, toh tempat itu terlalu kotor untuk peri dan terlalu sempit untuk roh bernyanyi. Satu-satunya tempat favorit para roh di rumahnya adalah loteng, dan Lucien sudah pernah bertemu salah satunya.

Nyanyian itu masih belum berhenti, liriknya terus diulang entah sudah keberapa kalinya. Lama-lama lagu itu tertanam di kepala Lucien karena liriknya yang mudah sekali untuk diingat. Tanpa sadar bibir sewarna persik milik si anak mulai melantunkan lagu tersebut. Bagi Lucien, lagunya terdengar begitu lembut, dan memiliki kekuatan untuk membuat kelopak matanya terasa berat. Ia ingin menjatuhkan tubuh di kursi panjang yang tak jauh dari perapian, tetapi suara lembut nyanyian itu perlahan-lahan menghilang. Seakan menjadi sinyal untuk Lucien bahwa ia harus kembali lagi ke kamar. Meski nyanyian telah berhenti, tetapi di benak anak itu terus terngiang, mengiringi setiap langkahnya hingga anak itu tertidur di ranjangnya yang sempit.

◄◊►

Mata berbentuk oval Lucien mengerjap beberapa kali, berkas cahaya mentari itu langsung menyoroti wajahnya sebab jendela dan kasurnya berseberangan dengan jarak satu meter saja. Kaki telanjangnya menapaki lantai kayu yang terasa lembab. Lucien berjalan dengan lunglai, tidak ada semangat untuk menjalani harinya yang biasa saja. Terlebih lagi ia tidak punya kesempatan bermain, tidak seperti anak tetangga yang hobinya membuat gaduh sambil mengejar belasan anak ayam. Hidup di kota kecil yang nyaris tidak diperhatikan oleh pemerintahan, tidak serta merta membuat hidup orang-orang di sana bahagia. Mereka harus lebih bekerja keras demi memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk Lucien dan ibunya. Semenjak ayah mereka pergi ke medan perang dan tidak pernah kembali, kehidupan keluarganya bergantung pada kemampuan sang ibu. Ada banyak pekerjaan yang bisa wanita itu lakukan, tetapi Lucien hanya tahu ibunya sering menerima pesanan jahitan termasuk menjahit boneka kecil kumal yang bahkan tidak terlihat seperti boneka pada umumnya. Dan setiap pagi, pastinya sang ibu selalu menjahit boneka itu sehabis membuat sarapan.

"Pesanan lagi?" tanya Lucien sembari menarik kursi di seberang ibunya. Kedua tangannya dilipat di atas meja sementara manik abu-abu menatap jijik pada boneka yang sedang dijahit ibunya. Kain boneka itu kusam, berwarna cokelat dan abu-abu yang terbuat dari karung goni. Kepala bulat melebihi ukuran tubuh, dan dua buah kancing kecil dijahitkan di sana.

"Ya, dan Mama harus mengantarkan barang lagi setelah ini. Tak masalah jika Mama memintamu untuk menjahit boneka satunya? Kau hanya perlu menjahit mata dan kain merah sebagai jubah." Sudut-sudut bibir si wanita terangkat, memancarkan aura keibuan yang luar biasa. Manik biru tua itu memandang Lucien dengan sorot yang tak terbaca, meski kadang Lucien mengartikannya sebagai tanda agar dia menuruti permintaannya.

"Baiklah," sahut Lucien seraya mengambil piring berisi roti lapis dan tiga potong apel yang sudah dikupas kulitnya.

Mama berdiri, tangan dengan kulit agak pucat itu meraih keranjang dari bawah meja. Boneka yang tadi dijahitnya, dimasukkan ke dalam keranjang bersamaan beberapa botol kaca berisi cairan kekuningan. Setelah mencium puncak kepala Lucien, wanita itu berjalan menuju pintu depan rumahnya diiringi senandung kecil. Mata oval si anak membelalak, ia ingat nada itu. Lagu yang menjadi sumber keingintahuannya karena hampir setiap malam tungku perapian menyanyikan lagu tersebut. Lagu lembut yang dinyanyikan oleh seorang wanita, bahkan saking lembutnya membuat kelopak mata Lucien semakin berat. Jawaban yang dicari Lucien kini terkuak, meski masih meninggalkan tanda tanya.

"Apa Mama menyanyikan lagu itu setiap malam? Tapi ...." Tangan kurusnya mengambang di udara. Ia jadi enggan untuk memakan roti lapisnya yang tinggal separuh lagi. Keningnya mengernyit, sementara pikirannya berputar mencari tahu bagaimana Mama bisa menyanyikan lagu itu di dalam perapian mengingat dinding di balik perapian hanyalah sepetak kebun keluarga mereka.

Lamunannya buyar saat kaca jendela di dapur terbuka. Seorang anak lelaki berusia 13 tahun dengan kulit kecokelatan dan tubuh agak gemuk menyembul dari celah jendela. Topi lusuh bertengger di puncak kepala, rambut hitam ikalnya tampak kotor oleh jerami. Salah satu tangannya melambai, dan seulas senyuman di bibir membuat pipinya semakin tembam.

"Kalim, sudah kubilang lewat pintu," gerutu Lucien melihat anak lelaki itu memaksakan tubuhnya masuk lewat jendela.

"Tapi ini jalan tercepat kalau dari arah rumahku," timpal Kalim tepat sebelum ia tersungkur dengan wajah mendarat duluan di lantai kayu. Ia langsung bangkit sembari mengusap wajahnya yang terasa sakit, kemudian si anak itu menghampiri Lucien dengan raut cemas. "Hei, aku ada kabar buruk."

"Kalau soal perang aku tidak mau mendengarnya," sungut Lucien.

"Bukan soal perang. Para pekerja di peternakan ayahku bilang ada penyihir pemakan jantung anak-anak demi kekuatan. Mereka mengincar anak seusia kita." Perkataan Kalim membuat kunyahan Lucien berhenti, manik abu-abunya membulat. "Awalnya aku juga tidak percaya, sih. Tapi, akhir-akhir ini banyak anak yang hilang, dan beberapa dari mereka ditemukan tak bernyawa tanpa jantung."

"Mengerikan, apa penyihir dari negara musuh melakukan itu demi menang perang?"

Kalim mengedikkan bahunya. "Entahlah, yang jelas kau harus berhati-hati oleh penyihir satu ini. Mereka bilang penyihir ini bisa saja menggunakan sihir hit—oh, tidak, aku yakin ini penyihir yang bekerjasama dengan iblis."

Lucien terdiam, ia tidak pernah mendengar akan ada penyihir yang melakukan kerjasama dengan iblis demi kekuatan. Ia tahu di kerajaannya ada banyak jenis penyihir, tetapi penyihir dengan ilmu hitam jelas dilarang. Raja pasti akan mengeksekusi penyihir yang terbukti menggunakan sihir hitam, apalagi sampai beraliansi dengan iblis benar-benar tindakan yang dilarang. Dan sekarang, penyihir dengan sihir hitam dikabarkan ada di kota kecil mereka. Ia harus ekstra hati-hati agar penyihir itu tidak memburunya.

◄◊►

"We slip beneath the pillow's spell. Rest your mind in peace. Let me sing a lullaby. I hope that the dreams that you find are bright, and when you—"

"Lucien!" Suara keras ibunya membuat Lucien menghentikan senandungnya. Ia terkejut menyadari jika wanita itu kini sudah berada di belakangnya. "Darimana kau dengar lagu itu?"

Tatapan tajam ibunya membuat Lucien menciut. Lantas, kepalanya menunduk sembari berkata, "Aku mendengarnya setiap malam dari tungku perapian."

"Jangan pernah kau nyanyikan lagi lagu itu," desis ibunya.

Lucien mengernyit, ia penasaran pada alasan ibunya melarang lagu itu dinyanyikan. Wanita itu saja menyenandungkan lagu yang sama tadi pagi. Ada rasa ingin tahu dari dalam diri si anak lelaki itu. Ia juga bukan anak lima tahun yang akan menurut jika ibunya melarang sesuatu, saat ini usianya sudah hampir tiga belas tahun, ia sudah bisa mencari alasan kenapa lagu itu dilarang. Kepalanya bergerak perlahan, manik abu-abunya mencari keberadaan sang ibu.

"Mama ... kenapa lagu itu tidak boleh dinyanyikan? Ada apa di balik perapian?" tanya Lucien dengan nada pelan.

Wanita dengan surai cokelat panjang menoleh, lagi-lagi sorot matanya tak terbaca. Bibir semerah mawar itu tidak bergerak sedikit pun untuk menjawab pertanyaan putranya. Ada keraguan yang tersembunyi di balik sikap tenang si wanita.

"Aku ingin tahu alasannya, Mama."

Embusan napas keras terdengar, wanita itu akhirnya mengalah. "Lagu itu membawa ketidakberuntungan. Makanya, tidak boleh dinyanyikan, dan kau tidak boleh mendekati perapian saat lagu itu muncul."

"Tapi, lagunya terdengar seperti lagu pengantar tidur dan liriknya ... menurutku biasa saja."

Bola mata Mama mengerling, bibirnya bergerak membentuk garis tipis di wajahnya yang seputih pasir pantai. Kedua tangan wanita itu dilipat di atas perut. "Pokoknya jangan dinyanyikan. Meski liriknya indah, kenyataannya lagu itu membawa kesialan khususnya anak-anak."

"Kesialan seperti apa? Apakah bisa dapat mimpi buruk? Atau—"

"Cukup, Lucien! Kubilang tidak boleh berarti tidak boleh!" Mama menghela napasnya. Ia sadar nada bicaranya terdengar keras hingga putranya terkejut, dan melayangkan tatapan ketakutan. "Lebih baik kau membaca materi Etika Magis hari ini."

◄◊►

Bagi Lucien, peringatan dan alasan yang diberikan ibunya tidak cukup untuk membuat dirinya berhenti penasaran. Seperti malam-malam sebelumnya, lagu bagai pengantar tidur kembali terdengar setelah tengah malam, dan lokasinya pun tetap sama. Anak itu mengendap-endap, takut jika Mama menemukannya. Beruntunglah ia sudah mempelajari sihir mudah sejak kecil karena obsesi Mama yang ingin Lucien masuk ke akademi bergengsi di kerajaan mereka. Sihir tingkat rendah untuk meredam suara langkah kaki berhasil membuat si anak lelaki sampai di depan perapian tanpa ketahuan.

Nyanyian seorang wanita itu seakan-akan mengajak Lucien untuk ikut bernyanyi. Awalnya, ia ragu, tetapi dengan tekad yang kuat, bibirnya bergerak. Ia ikut bernyanyi dengan nada pelan, khawatir jika Mama mendengar. Di luar dugaannya, cahaya hijau muncul dari permukaan bebatuan tungku perapian. Cahaya itu kemudian membentuk sebuah pola dengan aksara penyihir kuno yang tidak dipahami Lucien. Semakin lama cahayanya semakin terang dan tembok perapian bergetar. Anak itu mundur perlahan, maniknya membesar melihat perapian bergerak ke samping menunjukkan sebuah portal misterius berbentuk oval dengan pinggiran dipenuhi sulur-sulur berduri. Di bagian tengah portal, kabut putih berputar searah jarum jam. Nyanyian wanita itu masih terdengar, kali ini lebih jelas seolah-olah si penyanyi memang berada di balik kabut.

Kaki Lucien bergerak perlahan ke depan portal. Embusan angin dingin terasa olehnya, sampai-sampai anak itu memeluk dirinya sendiri. Karena rasa penasaran yang tinggi, dan juga diiringi tekad kuat, Lucien mulai menyentuh kabut tersebut dengan tangan kanannya sebelum memasukkan seluruh tubuhnya ke dalam kabut. Di balik kabut itu terdapat sebuah lorong dengan kristal bercahaya di setiap dindingnya. Kakinya yang telanjang bisa merasakan lantai batu yang kasar. Sejauh netranya melihat apa yang ada di ujung lorong, ia hanya bisa melihat deretan kristal tertanam di di dinding dan sulur-sulur berduri merambat di bagian bawah dinding.

Nyanyian si wanita menjadi satu-satunya petunjuk untuk Lucien. Suara itu berasal dari ujung lorong yang memiliki kain tebal dan panjang menutupi apa pun rahasia di baliknya. Telinga anak itu menjadi lebih waspada, maniknya melihat tajam ke sekeliling, khawatir jika ada seseorang yang memergokinya tengah menyusup. Setelah Lucien sudah sampai di ujung koridor, muncul perasaan ragu untuk meneruskan aksinya. Kain tebal dan panjang di hadapannya seolah-olah tengah menguji keyakinan anak itu.

"I hope that dreams that you find are bright. And when you awaken, you'll see the light."

Suara lembut si wanita memberikan Lucien keyakinan. Anak dengan tubuh kurus menatap kain tebal seakan-akan benda itu adalah musuh yang harus dilawan. Tangannya mengepal, dan ia menarik napas perlahan. Sekarang adalah waktunya untuk menemukan jawaban sebelum Mama memergokinya. Dengan gerakan perlahan, Lucien menyibak kain tebal, kepalanya melongo untuk melihat apa yang ada di balik sana.

Seketika maniknya membesar, mulutnya menganga tetapi cepat-cepat ia menutupnya dengan kedua tangan. Apa yang ia lihat di depannya bukan seperti harapannya. Awalnya, Lucien pikir di balik tirai tebal itu adalah sebuah tempat yang indah di mana seorang peri tengah bernyanyi. Kenyataannya justru tempat itu lebih mirip disebut sarang iblis. Terdapat tangga yang mengitari ruangan berbentuk lingkaran. Di bagian paling bawah, ada banyak macam peralatan untuk penyihir beserta kuali besar yang sedang dipanaskan. Di sisi lain ruangan, sebuah meja penuh dengan toples-toples berisi jantung yang sudah dibersihkan, juga berbagai macam benda lain serupa mayat-mayat binatang. Lalu, manik abu-abu itu bisa melihat sebuah kandang besar seperti kandang untuk singa yang sering ia jumpai di sirkus berjajar rapi. Salah satu kandang itu mengurung seorang gadis kecil yang tertidur, dan di depannya ada seorang wanita dengan gaun hitam panjang tengah menyanyikan lagu pengantar tidur.

"Where tomorrow waits for you and I. Can we meet again in the bluest of sky? Cause I know that I'll see you on the other side."

"Dia sudah tidur, jadi cepatlah lakukan ritualnya!" ucap sesosok makhluk yang muncul dari bawah tangga tepatnya di bawah tempat Lucien kini berpijak.

Sosok itu tidak seperti kebanyakan makhluk yang dapat ditemui di kerajaan. Ia punya dua tanduk besar di kepala yang bentuknya seperti corong. Tubuhnya besar berwarna hitam dan kakinya mirip seperti tangan. Sementara tangan sosok itu jelas sangat panjang, bahkan ia bisa menyentuh lantai tanpa harus membungkuk.

Perlahan-lahan Lucien mundur, menyembunyikan tubuhnya di balik tirai sementara matanya masih terfokus pada pemandangan di bawah sana. Ia penasaran pada apa yang akan dilakukan mereka. Ia tahu kalau wanita itu kemungkinan besarnya seorang penyihir, penampilan fisiknya terlihat normal dibandingkan dengan sosok aneh yang tadi dilihatnya.

"Baiklah, aku akan membuat pola sihirnya terlebih dahulu," kata si wanita dengan nada lembut. Namun, justru membuat si anak lelaki bergidik. Suara itu persis milik ibunya, bahkan dari ketenangan nada pun dia hapal.

Ketika si wanita memutar tubuhnya, mata Lucien semakin membesar. Ia tak percaya apa yang dilihatnya, wanita itu memang Mama dengan balutan gaun hitam yang indah. Napas si anak terdengar memburu, jantungnya berdetak kencang, keringat dingin membasahi tubuh beserta gemetaran ketakutan. Mama ternyata penyihir yang dirumorkan bekerjasama dengan iblis dan mencuri jantung anak-anak demi kekuatan semata. Tidak ada raut menyesal dari wajah Mama saat ia dengan senang hati melakukan ritual pada anak kecil itu. Ritual kejam yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang penyihir. Mama telah berubah, ia sudah menjadi bagian dari penyihir hitam. Hal ini membuat Lucien ketakutan. Ia tak mau melihat bagaimana akhir nasib si anak kecil itu, yang perlu ia lakukan saat ini adalah menyelamatkan dirinya dulu.

"A-aku ... harus pergi ... dari sini," gumam Lucien saat ia berlari menuju portal yang akan mengantarnya kembali ke tembok perapian.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top