16. Kesempatan dalam Kesempitan
"Ya sudah kalau nggak mau, saya cuma nawarin he he he.... " Aini pun langsung merosot turun dan berbaring di ats karpet..
"Di atas sini kasurnya lega, kenapa harus tidur di bawah?" Aini hanya tersenyum saja.
"Saya di sini saja, Mas. Di sini juga empuk banget. Gak papa Intan aja yang tidur di kasur atas sama Mas Dhuha. Gak muat kalau saya ikutan di atas, nanti kesempitan. Kalau saya tidur terlalu dekat dengan Mas Dhuha, nanti Mas Dhuha malah ngambil kesempatan." Aku tertawa terpingkal-pingkal.
"Dasar aneh! Ya sudah, terserah kamu saja! Aku ngambil kesempatan apa, coba? Tuker kulit? Ha ha ha.... "
Aini hanya menyeringai saja. Aku tidak tahu apa yang ada di kepalanya, tapi wanita itu malah tidur miring ke arahku.
"Oh, iya, Mas, saya besok mau ke rumah lama ya?" aku langsung berbalik, kembali menghadapnya.
"Mau ngapain?" tanyaku heran.
"Setiap tanggal dua puluh, bos Anton selalu kirimin saya sembako."
"Siapa itu bos Anton?" tanyaku lagi.
"Bos lapak barang-barang bekas. Duda, tapi gak ada anak."
"Saya gak tanya dia duda apa bujangan. Terus kamu mau ngapain ke sana? Mau ngambil sembako?"
"Iya, saya mau ambil sembako, sayang, Mas, biar saya kasiin ke ibunya Eko. Saya juga belum pamitan sama yang lain. Saya janji gak lama. Saya bawa Intan."
"Gak usah, kalau mau pergi, aku anter aja."
"Wah, jadi terharu saya diprosesi suami he he he... "
"Bukan prosesi kali ya, tapi posesif! Apa manfaatnya aku posesif sama Mbak? Udah, jangan aneh-aneh. Pokoknya kalau keluar, biar aku yang anter!"
"Kapan Mas Dhuha ada waktu?"
"Bulan depan mungkin. Lagian urusan sembako ibunya Eko biar nanti diatur Hakim. Jangan ngarepin duda! Inget, Mbak Aini udah nikah! Opa itu pasti merhatiin gerak-gerik Mbak Aini dan jangan sampai salah jalan. Selagi kita masih dalam pantauan opa dan keluarga besar aku, jangan sampai kita buat kesalahan, paham!"
"Nggak, Mas, kepanjangan penjelasannya. Intinya saya gak boleh nemuin duda karena udah nikah sama perjaka, gitu ya?"
"Terserah deh!" aku kembali berbalik memunggungi mbak Aini. Lucu juga dia. Sudah lama sepertinya aku tidak tertawa terpingkal-pingkal seperti tadi. Orangnya keliatan kalem, ternyata lucu.
Baguslah kalau begitu karena mbak Aini buka tipe cewek yang baperan dan penuh drama air mata. Kami bisa menjadi tim sukses berumah tangga tanpa melibatkan masalah hati. Pokoknya sampai semua keadaan aman, barulah aku pikirkan lagi ke depannya seperti apa.
Ting!
Notifikasi pesan masuk ke ponselku. Saat aku lihat, nama Luna yang tertera di layar.
Kamu lagi sibuk ya?
Tanpa membuka pesan tersebut, aku sudah bisa membacanya di halaman depan. Besok saja baru aku hubungi Luna karena aku gak mau nanti muncul kecurigaan opa dan mama.
Aku terbangun saat mendengar suara rengekan di sampingku. Rupanya Intan terbangun. Botol susunya terselip di balik bedcover. Aku mencari sosok Aini di sekeliling, tapi tidak ada. Aku langsung memberikan botol susu itu pada Intan setelah merasakan suhu hangat pada botol. Itu tandanya susu ini baru. Intan pun menyusu dengan lahap sambil melihat wajahku.
Intan lucu, tapi tidak mirip Aini. Mungkinkah wajah Intan adalah wajah mantan suaminya? Begitu mendengar suara pintu kamar mandi dibuka, aku pura-pura tidur kembali.
"Eh, anak Ibu kebangun ya. Jangan berisik, cep! cep! Ayah Dhuha lagi tidur." Aku masih memejamkan mata. Sepertinya Aini naik ke atas ranjang dan berbaring di sebelah Intan. Aku sengaja masih berpura-pura tidur karena aku tidak mau malah membuat Intan benar-benar terbangun.
"Ayah Dhuha ganteng ya, Nak. Coba lihat itu, kayak artis di televisi. Amalan apa yang udah kita buat, sampai Tuhan kirimkan Ayah Dhuha buat kita. Semoga ayah Dhuha gak buru-buru nikahin cewek yang kemarin ya. Biar Intan dan abang Izzam tetap dapat tempat tinggal yang layak. Ibu gak papa. Mau disuruh apapun Ibu ikhlas, asalkan Intan dan Abang Izzam gak tinggal di kolong jembatan lagi."
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top