14. Malam Pertama
Sore hari, setelah semua tamu pulang, akhirnya aku bisa bermain bersama Izzam dan Intan. Kami main di halaman belakang. Ada bola kecil yang sudah kotor tergeletak begitu saja di dekat pot bunga. Bola itu aku cuci bersih, kemudian aku mainkan bersama Izzam. Intan anteng duduk di atas karpet sambil mengunyah biskuit.
"Ibu, udah, ah, mainnya. Mau makan kolak yang dibuat Ibu," ujar Izzam dengan napas yang terengah-engah.
"Boleh, cuci tangan dulu dan ganti baju ya. Setelah itu baru makan kolak. Ibu ambilkan juga untuk adek." Izzam masuk ke dalam rumah untuk menunaikan perintahku. Lanjut aku pun mencuci tangan sampai bersih, lalu menyiapkan kolak pisang dua mangkuk untuk Izzam dan Intan.
"Enak sekali." Izzam mengangkat ibu jarinya.
"Makasih Ibu," katanya lagi.
"Sama-sama." Aku menyuapi Intan makan kolak pisang.
Tet!
Suara bel berbunyi.
"Ibu lihat dulu tamunya. Mungkin ayah Dhuha pulang." Aku menaruh Intan di atas karpet, lalu bergegas membuka pintu rumah. Rupanya ada mas Hakim, sepupu suamiku. Eh, suamiku, maksudnya suami jadi-jadianku he he he...
"Mbak, mau masuk! Saya bawa ini!" pria ramah itu mengangkat bungkusan. Entah bungkusan apa, aku tidak tahu.
"Iya, Mas, sebentar." Aku pun setengah berlari untuk membuka pagar. Pria itu masuk dengan mobilnya sampai di parkiran.
"Ayang Dhuha belom pulang ya?" tanyanya sambil menyeringai.
"Apa, Mas? Ayang?" keningku berkerut.
"Iya, ayang Dhuha. Sayang Dhuha." Aku tertawa geli sekali.
"Mana ada seperti itu. Mari, Mas, masuk. Mas Dhuha masih kerja mungkin."
"Mana anak-anak?" tanyanya.
"Ada lagi makan kolak pisang. Mas Hakim mau?"
"Mauuu!"
"Oke, tunggu, saya ambilkan." Aku pun mengambilkan semangkuk kolak pisang untuk mas Hakim. Dua lelaki kaya yang keduanya sama-sama bersikap baik padaku dan juga anakku.
Mungkin ini hadiah dari Tuhan atas kesabaranku dikecewakan oleh satu lelaki. Aku melirik Izzam dan Intan yang asik bercengkrama dengan Hakim. Pria itu lebih luwes bermain bersama kedua anakku dibandingkan mas Dhuha. Mungkin memang karakternya yang suka dengan anak kecil.
"Enak gak, Mas?"
"Eh, enak banget."
"Bisa nih, saya jualan takjil saat ramadhan nanti." Pria itu tertawa.
"Emangnya uang bulanan dari Dhuha kurang, segala mau jual takjil?" aku menggelengkan kepala. Ayolah, aku bukan benaran istri mas Dhuha, gak mungkin dikasih uang bulanan. Bisa tidur nyenyak dan makan sehari tiga kali plus bisa makan snack saja rasanya sudah luar biasa.
"Oh, iya, saya bawakan ini untuk Mbak Aini." Ia memberikan paper bag padaku.
"Apa ini, Mas?"
"HP."
"HP buat siapa?" tanyaku bingung.
"Ya buat kamu, masa buat Intan. Si gemoy ini?" Mas Hakim menjawit pipi putriku yang semakin montok, padahal baru empat harian ini makan dan tidur begitu nyenyak.
"Saya gak perlu HP. Lagian, mau nelpon siapa? Gak usah, Mas, terima kasih." Aku memberikan kembali paper bag itu pada mas Hakim.
"Ini hadiah pernikahan dari saya buat Mbak Aini. Pasti Mbak Aini butuh ini nanti. Ambil saja, jangan sungkan!" aku ragu dengan pemberian mas Hakim.
"Tapi ada syaratnya."
"Apa, Mas?"
"Kalau saya lagi gak tahu mau makan apa, saya mampir ke sini ya. Dua kali ke sini, saya dimasakin enak terus he he he... "
"Oh, boleh, Mas, namanya ini rumah sodaranya mas Hakim, masa gak boleh mampir."
"Nah, itu, paham. Ini, ambil ya." aku pun akhirnya setuju.
Mas Hakim pulang setelah magrib. Setelah ia pergi, aku memanaskan sayur untuk suamiku karena mungkin saat ini ia sedang dalam perjalanan pulang. Malam ini katanya mau makan di rumah. Namun, hingga jam sembilan malam aku menunggu, mas Dhuha tak juga pulang. Sampai-sampai aku ketiduran di meja makan.
Tiba-tiba ada yang membangunkanku, ternyata mas Dhuha. Ia minta maaf karena kerja lembur hari ini dan sayur akan dimakan besok. Aku pun menyiapkan air untuknya, lalu aku pergi tidur.
Keesokan harinya, aku kembali memanaskan sayur dan juga menggoreng bakwan sebagai tambahan lauk. Namun, mas Dhuha tak kunjung keluar dari dalam kamar.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaykumussalam." Aku yang kebetulan sedang menyiram tanaman, langsung tersenyum pada tamu yang datang. Ya, siapa lagi kalau bukan mas Hakim.
"Mau numpang sarapan. Sekalian Mau ketemu Dhuha."
"Oh, iya, Mas. Mari, silakan masuk." Mas Hakim masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tengah. Aku pun pamit ke dapur untuk membuatkan teh.
"Eh, tumben lu mampir pagi-pagi."
"Iya, gue Mau numpang sarapan. Masakan istri lu enak. Kemarin gue dimasakin kolak pisang."
"Emang masak kolak?" aku mengangguk bingung.
"Aku gak tahu. Kenapa gak bilang kalau masak kolak?" tanya mas Dhuha dengan nada tidak terima.
"I-itu, Mas, masaknya cuma sedikit. Pisang kemarin kelembekan, jadi saya bikin kolak."
"Harusnya buat suami dipisahkan, jangan dihabiskan. Udahlah, ayo, sarapan, setelah itu kita pergi ke rumah sakit!" aku mengangguk paham. Merasa bersalah karena tidak menyisakan untuk mas Dhuha.
"Ikut, gue mau numpang sarapan di sini!" Mas Hakim berjalan lebih dulu ke ruang makan.
"Di sini bukan warteg! Numpang makan mulu, makanya nikah!" Seru mas Dhuha sewot.
"Bukannya pembantu lo masak?"
"Pembantu gue lagi cuti, anaknya sakit. Jadi gue numpang makan di sini. Kenapa, gak boleh ya?"
"Berisik lo! Udah makan!" aku hanya bisa tersenyum melihat keakraban mas Dhuha dan mas Hakim.
"Saya ke kamar dulu ya, Mas, mau siapin Intan."
"Iya, udah sana! Jangan lama-lama." Sepertinya mood mas Dhuha belum baik.
Lima belas menit kemudian, aku dan kedua anakku sudah siap, tetapi mas Dhuha masih bercakap-cakap dengan mas Hakim di ruang makan. Tiba-tiba ponsel pria itu berbunyi.
"Halo, Opa."
"Apa? Opa mau menginap di sini? Udah di jalan? Oh, oke, Opa. Gak papa. Dhuha tunggu!" Aku mendelik kaget. Opa-nya mas Dhuha mau ke sini?
"Mbak, ayo pindahkan pakaian Mbak ke lemari saya! Cepat! Selama opa di sini, kita satu kamar dulu!" Aku pun mengangguk paham.
"Lah, lah, kalian berdua nggak tidur bareng?" pertanyaan mas Hakim membuat mas Dhuha berhenti di ambang pintu kamarnya.
"Bukan urusan lo!"
"Berarti kalian berdua belom malam pertama? Belom ada adegan bikin adek buat Izzam?"
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top