12. Menjadi Istri, tapi Bukan Istri
PoV Aini
"Tadi malam ada apa, Ai? Kamu pulang diantar siapa?" tanya bu Santi; ibu dari Eko. Tetangga yang sama-sama memulung barang bekas plastik.
"Oh, itu, mm... orang itu gak sengaja menyerempet saya di jalan, Bu, tapi tanggung jawab. Makanya saya diantar sampai atas. Oh, iya, Bu. Ini saya bayar utang beli beras kemarin." Aku menyerahkan uang seratus ribu dari dalam saku dasterku yang sudah lusuh.
"Masih licin banget lembaran merahnya. Apa ini dari lelaki semalam?" tanya bu Santi penasaran. Aku pun mengangguk. Memang dari mas Dhuha. Mahar yang dia berikan untukku.
"Uang ganti rugi?" aku tersenyum. Bu Santi benar-benar penasaran.
"Ya sudah, saya terima. Tapi kamu gak papa, gak luka'kan?"
"Nggak, Bu, udah saya kasih minyak. Nanti juga sembuh. Saya mau keliling dulu. Mumpung Intan masih tidur."
"Ya sudah sana jalan. Biar saya yang temenin Intan sama Izzam! Makannya udah kamu siapin kan?" aku mengangguk. Sudah masak semur telur dan tahu tadi dengan bumbu seadanya dan peralatan dapur yang sangat sederhana.
"Ibu gak keliling?"
"Nggak, lagi males banget. Lagian kemarin dapatnya lumayan. Biarlah, hari ini libur dulu. Bos Anton juga bolehin. Oh, iya, kamu gak tahu kalau bos Anton itu suka sama kamu?" aku mencebik. Jika sudah pindah ke topik bos kulakan barang bekas yang bernama Anton, maka aku pun harus segera pergi. Jika aku ladeni, maka bu Santi akan semakin semangat menjodohkanku dengan bos Anton. Duda tanpa anak yang memang katanya sering diam-diam memperhatikanku.
"Aini, aku tuh serius loh! Kamu emang gak mau sama bos Anton? Orang kaya loh!" aku menghela napas dan tidak mau menoleh ke belakang lagi.
Jalan yang biasa aku lalui pun sudah mulai aku susuri perlahan sambil memperhatikan kanan dan kiri. Menggunakan tongkat besi panjang yang ada pengait runcing di bagian ujungnya, aku memunguti gelas air mineral yang berserakan di jalan.
Tidak terasa, matahari mulai terik dan aku harus pulang untuk melihat anak-anak. Aku melangkah menyusuri jalan yang lain lagi, tetapi lebih cepat sampai di rumahku yang berada di bawah flyover. Cukup banyak juga yang aku dapatkan hari ini karena di lapangan depan, semalam ada dangdutan.
"Assalamu'alaikum." Aku terkejut saat melihat ada tamu di dalam rumah. Rupanya lelaki yang tadi pagi dibicarakan bu Santi
"Bos Anton, ada apa?"
"Lu udah balik. Dapat banyak gak?" pria itu melihat karungku.
"Lumayan. Main ke lapangan yang ada dangdutan semalam." Aku menurunkan karung tersebut di tanah.
"Ada apa, Bos?"
"Gue kebeneran lewat sini, jadi mampir. Bawain nasi kuning buat Izzam."
"Ibu, Izzam makan nasi kuning!" Putraku berseru.
"Udah bilang terima kasih belum?"
"Udah, Bu."
"Ibu, tadi ada om... eh, ayah, om, apa siapa sih, Dhuha. Tadi ada tamu," ucap Izzam tak yakin.
"Om Dhuha?" Izzam mengangguk.
"Siapa Dhuha?" tanya bos Anton penasaran.
"Oh, itu, Bos, semalam saya diserempet, tapi orangnya tanggung jawab. Mungkin maksudnya Izzam yang semalam. Namanya anak-anak."
"Oh, gitu, ya sudah, gue balik. Kalau lu lagi gak enak badan atau cidera, libur aja dulu mulungnya."
"Baik, Bos, makasih." Bos Anton pun pergi.
"Izzam, Om Dhuha ke sini?" tanyaku sekali lagi sambil berbisik. Izzam mengangguk.
"Di parkiran ruko katanya Bu."
"Oke, Izzam di sini ya, biar Ibu lihat." Aku langsung bergegas menghampiri mobil mewah yang parkir lumayan jauh dari tempatku. Aku mengetuk jendela mobil dan benar saja, pemuda tampan yang usianya lebih muda dua tahun dariku itu ada di sana, bersama dengan temannya yang semalam juga.
"Mas ke sini, tadi kata Izzam.... "
"Ikut aku Mbak. Keluargaku mau kenal Mbak Aini. Bawa aja anak-anak sekalian." Ia memalingkan wajah sambil menggosok hidungnya. Mungkin ia kebauan.
"Hah, beneran? S-saya?"aku sampai tercengang tak percaya.
"Iya, ayo, cepat!"
"B-baik, Mas."
Kini, aku duduk di dalam mobil mewah mas Dhuha yang dialasi oleh kain. Lelaki itu pasti takut jok mobilnya kena noda pakaianku dan anak-anak yang kotor. Namanya juga orang kaya, wajar saja mereka bersikap seperti ini. Aku tak masalah. Apalagi kulihat sejak tadi Izzam terus saja memperhatikan jalanan dan tersenyum. Pasti putra kecilku sangat senang bisa naik mobil.
Kami berhenti sebentar di sebuah mall. Mas Dhuha membelikan dua helai baju untukku dan satu stel baju untuk Izzam dan Intan. Di sana juga kami sempat makan siang. Setelah urusan selesai, kami pun melanjutkan perjalanan menuju rumah sakit, tempat opanya mas Dhuha dirawat.
Anak-anak sampai tidur pulas karena terlalu nyaman di dalam mobil, sehingga begitu tiba di rumah sakit, anak-anak tidak ikut naik ke atas. Mereka ditemani sodaranya mas Dhuha.
"Apapun nanti yang ditanya oleh keluargaku, biar aku yang jawab! Paham!" aku mengangguk cepat.
"Kita hanya berakting sebagai suami istri beneran di depan keluargaku saja."
"Baik, Mas."
"Perlu saya gandeng, Mas?" tanyaku terlalu percaya diri. Mas Dhuha tertawa pelan.
"Ya, gak perlu sampai seperti itu juga, Mbak. Biasa aja." Aku ikut menyeringai, sungguh aku terlalu percaya diri.
"Ini hanya sebuah kerja sama, tidak lebih," kita lelaki itu sebelum ia menekan kenop pintu kamar perawatan VVIP itu.
"Baik, Mas, saya mengerti." Lagian, gak mungkin juga dia mau menggandeng tanganku. Wong, jok mobil saja dia beri alas agar tidak kotor. Jangankan malam pengantin, pegangan tangan aja dia takut. Mari kita lihat, sampai mana kerja sama ini akan bertahan!
Bersambung
Maafkan kemarin lupa update :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top