11. Aini Buat Gue Aja!

Aku tiba di rumah jam sebelas malam. Terlalu asik bercakap-cakap dengan orang tua Luna, membuatku lupa waktu. Sudah lama memang kami tak bertemu. Terakhir saat aku dan papanya tidak sengaja bertemu di acara pernikahan salah satu guru SMA kami.

Tumben, lampu depan masih menyala, tapi rumah sepi. Aku membuka pintu dengan mudah karena tidak terkunci.

"Assalamu'alaikum, Mbak Aini," panggilku. Namun, tak ada sahutan. Aku mengunci pintu kembali, kemudian memadamkan lampu ruang tamu. Aku terkejut saat melewati ruang makan dan melihat mbak Aini tengah tertidur. Ada aneka makanan terhidang di atas meja.

Ya, ampun, aku lupa! Lupa kalau tadi pagi, aku minta mbak Aini untuk memasak.

"Mbak, bangun!" Panggilku sambil menyentuh pundaknya dengan jari telunjuk. Wanita itu tersentak.

"Eh, ya, ampun, saya ketiduran. Maaf, Mas. Mau makan ya, saya ---"

"Mbak, saya udah makan tadi. Maaf saya gak ngabarin Mbak Aini." Aku menahan tangan wanita itu saat hendak beranjak dari kursinya.

"Oh, udah makan. Terus ini makanan banyak gimana?"

"Panaskan saja, besok bisa untuk sarapan."

"Oh, baik kalau begitu. Mas Dhuha mau dibuatkan air?"

"Ya, boleh, teh tawar saja." Aku tidak enak hati juga karena sudah lupa akan janjiku. Sayang sekali makanan di atas meja ini pasti sangat enak.

"Taruh saja di meja makan ya. Nanti setelah mandi, aku ambil. Mbak Aini tidur saja lagi."

"Baik, Mas." Wanita itu mengangguk patuh. Aku pun masuk ke kamar untuk mandi dan berganti pakaian.

Keesokan harinya, aku mendapatkan kabar kalau opa sudah keluar dari rumah sakit. Dan aku pun diminta mama untuk menjenguk opa. Sebenarnya aku malas karena opa minta aku membawa Aini dan juga anaknya. Aku tidak mau opa banyak tanya pada wanita itu.

"Mas, kita sarapan ini saja, gak papa?" tanyanya sambil menunjuk meja makan.

"Saya tambahin bakwan sayur. Baru matang, masih hangat," katanya lagi sambil tersenyum.

"Iya, makasih, Mbak. Ini aja udah cukup. Nanti kita ke rumah opa. Opa mau ketemu."

"Oh, baik, Mas, saya mandiin Intan dulu." Aku mengangguk. Izzam rupanya tengah menikmati selembar roti sambil menonton televisi di ruang tengah. Aku mencicipi masakan Aini dan rasanya cukup pas di lidahku. Aku bahkan tambah nasi dan sayurnya lagi karena memang sedang lapar juga.

Tiba-tiba ponselku berdering. Nama Luna muncul di layar.

"Halo, selamat pagi Cantik."

"Pagi, Mas. Lagi sarapan ya."

"Iya, kok kamu tahu?"

"Ini jam sarapan kamu kan, tentu saja aku masih ingat. Kamu hari ini ngantor?"

"Makasih masih inget sama jadwal aku. Ya, hari ini aku ngantor, tapi agak siang. Kenapa?"

"Nonton yuk!"

"Boleh. Malam minggu aja ya. Kalau hari ini aku benar-benar full."

"Oke, kita nonton malam minggu ya. Dandan yang cantik jangan lupa. Oh, iya  kamu gak perlu dandan udah cantik ya."

Aku terkejut saat Aini rupanya sudah berada di dekatku, sedang mengambil lauk untuk makan Intan sepertinya. Wanita itu tersenyum saat kami saling pandang dalam hitungan detik.

"Udah dulu ya, Luna. Nanti aku telepon lagi."

"Oke, Mas. Sampai ketemu."

Aku masukkan benda pipihku ke dalam saku celana.

"Ini tadi pacarku, Mbak," kataku santai.

"Oh, yang kemarin ya?" tanyanya dengan ekspresi biasa saja.

"Iya. Nekat juga dia ha ha... untung Mbak jago akting dan dia percaya kalau Mbak adalah pembantu saya. Kayaknya semua orang bakalan percaya."

"Iya, Mas. Gak papa. Emang cocoknya jadi pembantu. Makasih saya udah dikasih tempat tinggal. Anak-anak jadi gak kehujanan dan kepanasan. Bisa makan enak juga karena bahan masakannya ada di kulkas semua."

"Kita udah sepakat untuk saling tolong menolong, Mbak. Jadi jangan sungkan."

"Iya, Mas, berarti kapan Mas akan menikahi mbak Luna itu? Apa secepatnya?" aku tertawa.

"Mbak cemburu?" aku meledeknya. Wajah Aini langsung tegang.

"B-bukan, Mas, m-maksudnya kalau Mas udah nikah, apa saya masih boleh di sini?"

"Assalamu'alaikum." Baru juga mau menjawab pertanyaan Aini, sudah ada suara Hakim di luar sana. Mau apa dia ke sini setiap hari?

"Gue kirain  lu udah berangkat," ujarnya santai sambil tersenyum pada Aini.

"Gue yang lebih kaget lagi, pagi-pagi lu udah kemari," balasku.

"Kemarin gue ke sini, mampir. Mbak Aini bilang, kalau gue boleh numpang sarapan di sini. Kemarin gue makan kolak buatan mbak Aini, enak."

"Emang bikin kolak?" tanyaku sambil menatap heran ke arah Aini.

"Semalam, saya gak lihat di meja ini ada kolak pisang. Hanya ada sayuran dan lauk ayam," kataku lagi.

"Iya, Mas, pisang yang kemarin saya buat kolak. Udah kelembekan, tapi masih enak. Saya masak saja, akhirnya. Anak-anak suka. Mas Hakim kemarin singgah jadi---"

"Kenapa gak bilang kalau Hakim ke sini?" tanyaku memutus penjelasannya.

"Kenapa kolaknya juga dihabiskan?"

"Saya lupa bilang, Mas. Maaf ya. Terus itu, Izzam dan Intan yang menghabiskan karena memang saya masak cuma ---"

"Sudah-sudah, jangan berdebat depan makanan. Gue Mau sarapan dulu. Gue yakin, masakan Mbak Aini enak. Beruntung sekali lu dapat istri bisa rangkap pembantu he he he.... " aku membuang muka. Entahlah, aku gak suka kalimat yang barusan dilontarkan Hakim, padahal ia juga tak salah.

Hakim menggeser kursi mendekat ke arahku.

"Ya, kalau lu udah gak mau sama mbak Aini nanti, biar gue yang tampung."

Huk! Huk!

Aku tersedak mendengar bisikan Hakim.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top