10.

Anak-anak terlihat happy, terutama Izzam. Kalau Intan karena masih terlalu kecil, sehingga belum keliatan antusiasnya. Hanya saja, bayi kecil sebelas bulan itu terus tersenyum sambil tepuk tangan. Jelas sekali kalau mereka belum pernah diajak ngemall.

"Seriusan gak pernah masuk mall?" tanyaku pada Aini. Wanita itu menggeleng.

"Pernah dulu sekali. Udah lupa juga dan mall nya gak sebesar ini," jawab Aini yang langkahnya masih tertinggal di belakangku. Wanita itu pasti tidak percaya diri karena penampilannya. Meski sudah memakai baju yang sempat tempo hari kami beli, ia tetap tidak percaya diri berjalan santai di dalam mall yang isinya kaum menengah ke atas.

"Oh, gitu, pantesan Izzam keliatan senang dan agak norak he he he.... "

"Jangankan ke mall, Mas, bisa mendapatkan botol plastik bekas, wadah air mineral gelas bekas untuk ditukar dengan yang saja rasanya udah bersyukur. Paling gak  anak-anak gak sampe kelaparan." Aku mengangguk penuh simpati. Hidup yang dijalani mbak Aini pasti sangat berat sehingga wanita itu sangat jarang sekali tersenyum.

"Kalau udah dapat semua, kita balik yuk! Kayaknya aku aja yang ke rumah sakit. Kamu dan anak-anak pulang ke rumah. Jangan lupa nanti malam masak ya. Aku pulang, tapi agak malam."

"Baik, Mas. Ini udah banyak pakaian untuk saya dan anak-anak. Makasih sekali lagi."

"Sama-sama. Jangan sungkan. Anggap saja kita sodara, Mbak." Aku pun berjalan sambil menggandeng tangan Izzam.

Kami berkendara menuju rumah. Jalan tak begitu macet, hingga kami bisa sampai lebih cepat.

Aini masuk ke dalam rumah sambil menggendong Intan, lalu aku ikut masuk untuk meletakkan Izzam yang ketiduran pulas di mobil.

"Makasih untuk hari ini, Mas. Hati-hati di jalan."

"Oke, makasih." Aku pun kembali masuk ke dalam mobil. Aini menutup pagar kembali, lalu menggemboknya, persis seperti yang sudah aku pesankan padanya.

Tujuan keduaku adalah rumah sakit tempat opa dirawat. Setelah ini, barulah aku ke kantor. Aku membuka pintu kamar perawatan VVIP itu perlahan. Sepi, tidak ada siapa-siapa di sana.

"Dhuha, itu kamu!" Seru opa dari balik tirainya.

"Iya, Opa." Aku mencium punggung tangan opa, lalu duduk di kursi.

"Mana Aini? Kenapa sendirian ke sini?" tanya opa dengan suara datar.

"Apa anaknya sakit?"

"B-bukan, Opa. Ini, karena Dhu mau langsung ngantor, jadi Dhuha gak bawa Aini. Tadi hanya beli pakaian untuk mereka saja. Kasihan bajunya itu-itu terus." Alis opa langsung berubah dan aku menyadari sebuah kesalahan.

"Memangnya baju mereka pada ke mana? Kenapa harus kasihan?" tanya opa dengan heran.

"Ya, i-itu karena memang Dhuha mau belikan yang bagus saja. Baju mereka udah lama gak beli yang baru."

"Kok, bisa? Bukannya anak orang kaya?" Opa terus mencecarku. Tak mudah memang untuk mengelabui opa. Ia bisa dengan cepat mengetahui ada yang tidak beres padaku dan mungkin saja saat ini ia sedang membayar orang untuk membuntutiku dan mencari tahu, siapa Aini sebenarnya.

"Opa gak tahu apa yang kamu sembunyikan, tapi Opa harap, kamu gak main-main sama pernikahan. Jika kamu sudah memutuskan menikah dengan janda anak dua, maka kamu harus bertanggung jawab atas keputusanmu. Bukan karena tidak mau dijodohkan dengan Monic, kamu menyewa perempuan lain untuk menjadi istrimu. Paham!"

"Baik, Opa. Dhuha mencintai mbak Aini dan menerimanya apa adanya."

"Bagus kalau begitu, karena laki-laki yang dewasa adalah lelaki yang bisa menjaga janjinya."

***
Ucapan opa terus saja terngiang-ngiang di kepala. Jelas aku tidak benar-benar ingin berumah tangga sampai tua bersama Aini. Aku gak kenal siapa dia. Bagaimana wataknya? Pendidikannya, orang tuanya? Tak ada yang aku ketahui. Tidak mungkin aku juga bisa bertahan bersama wanita itu.

"Kamu sejak tadi melamun terus, Mas. Ada masalah apa sih?" tanya Luna sambil mencolek punggung tanganku.

"Gak papa, lagi banyak kerjaan di kantor saja." Aku tersenyum manis pada Luna.

"Oh, gitu, bukan karena wanita di rumah kamu?" aku mendelik kaget.

"K-kamu bicara apa?" tanyaku heran.

"Tadi siang aku kebetulan lewat depan rumah kamu. Terus aku mampir. Ada wanita aura tahajud keluar dari rumah kamu sambil menggendong anak kecil."

"Apa, kamu ke rumahku?!" jelas saja aku terkejut. Luna mengangguk.

"Katanya, dia pembantu kamu."

"Oh, iya, benar, dia pembantuku." Aku tak berani menatap wajah Luna yang penasaran.

"Pembantu kenapa bawa anak juga? Rumah kamu belum dijadikan panti sosial kan?" aku tertawa sambil menggelengkan kepala.

"Iya, gak mungkinlah. Aku kasihan saja karena dia orang miskin. Itung-itung nolongin janda dan anak yatim," jawabku berusaha senetral mungkin.

"Kamu kira, wanita itu siapa?" tanyaku penasaran.

"Istri kamu mungkin. Aneh aja, kerja bawa anak. Pakaiannya juga bagus, gak kayak pembantu. Kayaknya aku yang telat ya, kamu udah nikah sama orang lain, Mas."

"Bukan begitu, Luna. Kamu salah paham. Aku belum menikah dengan siapa-siapa. Aku jomlo, gak percaya?"

Bersambung.

Dhuha mengaku bujangan?! Hhhmm... kasihan Aini yes

Tayang juga di aplikasi KBM dan Goodnovel ya. Jangan lupa mampir.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top