Si Penarik Perhatian

Hal yang wajar adalah ketika kamu mulai menduduki bangku kuliah dan menyukai cowok-cowok ganteng yang berada di sana. Entah itu ketua BEM, ketua himpunan, ketua tingkat, kakak tingkat, atau si mahasiswa berprestasi. Mengagumi mereka cukup wajar untuk kau alami ketika sedang duduk di bangku perkuliahan. Bukan pula hal memalukan atau aib yang harus kau sembunyikan. Setidaknya itulah yang ada di pandanganku.

Bukan hal yang asing melihat teman-teman perempuanku yang lain sering kali tiba-tiba saja membentuk sebuah lingkaran kecil di tengah tempat yang luas. Hanya untuk memastikan pembicaraan mereka tidak terdengar orang banyak, setelah itu waktu tampak berjalan dengan cepat. Bersama dengan banyak seri yang sudah kami lewati membicarakan si pangeran tampan kampus. Siapapun itu yang memenuhi standar pangeran tampan versi kami.

Berlebihan, ya?

Maaf, tapi bukan hanya kami para kaum hawa saja yang menjalani hal itu. Hal yang sama pun berlaku untuk para kaum adam. Jadi, jangan malu jika ternyata kalian mengalami hal yang sama. Terutama jika kalian baru saja menduduki bangku kuliah.

Karena seolah tahun ajaran baru adalah saat di mana setiap orang mulai tebar pesona. Entah itu senior ke junior, junior ke senior, atau ke sesama teman. Kalian tidak bisa menampik fakta itu, apalagi berusaha untuk menghilangkannya.

Itu sebuah tradisi - ralat, budaya.

"Perasaan cowok-cowok di kelas kita udah makin baikan, deh." Aku menggumam ketika melihat deretan cowok di kelasku mulai menempati bangku terdepan dan kepala mengangguk-angguk antusias setiap kali dosen kami menjelaskan.

"Lagi semangat, kali. Biasa, masih awal-awal." Lestari, di sampingku, membalas bisikanku. Selagi aku mengangguk menyetujui.

Aku berniat kembali fokus mendengar penjelasan di depan. Jika saja lengan Tari tidak menyikutku, maka aku kembali mendekatkan tubuh kami. Sehingga Lestari bisa kembali berbisik di samping telingaku, "Ru, nanti nebeng, ya. Motor gue di bengkel."

Aku menaikkan kedua alis, "Serius? Tadi berangkat sama siapa?"

"Minta si Ata jemput. Kalau punya pacar harus ada gunanya, Ru." Tari menaik turunkan alisnya membuatku terkekeh geli.

"Oke, mau sekalian ngajakin Naomi." Balasku.

"Lho, mau ada apa?"

"Siang ini kita ada rapat, Tari."

Tari mengerjap sesaat mengingat, kemudian ber-'oh' ria kala sudah berhasil mengingat rencana rapat kami sore ini, "Oke, deh."

Pembicaraan kami kembali harus terinterupsi ketika satu cowok mengangkat tangan tinggi-tinggi kala pertanyaan dari dosen tertuju pada kami.

"Mahesa itu pinter banget, ya, ambil hati para dosen. Otaknya encer gitu kayaknya empat tahun kuliah buat dia lancar-lancar aja deh. Iya, nggak, Ru?"

Aku mengangguk menyetujui.

Mahesa, ya?

Saat itu, kita belum mengenal terlalu jauh. Kita belum terlibat terlalu jauh. Bagiku, kamu adalah kamu. Mahesa, cowok jenius di kelas kami. Pun ketika kamu maju dan mulai mengerjakan soal hingga memenuhi satu papan, rasa kagumku padamu hanyalah sebatas si-mahesa-temanku-yang-pintar. Itu saja. Tidak lebih.

***

Aku dan Tari merebahkan diri. Kendati kasur kami tidaklah besar setidaknya cukup nyaman untuk ditempati. Cukup untuk kami tidur berdua. Jangan tanyakan kenapa aku dan Tari tidak berangkat bersama tadi pagi. Karena kami memang biasa berangkat sendiri-sendiri, sedang aku berangkat duluan meninggalkan Tari.

Satu sisi bersyukur bahwa dia punya pacar.

Aku membiarkan Tari menggunakan kamar mandi lebih dulu membersihkan diri. Selagi aku merebahkan diri dengan ponsel yang berada di depan wajah. Menggulir beranda Instagram dan melihat banyak sekali foto orang-orang dengan editan aplikasi khusus agar tampilan lebih nyentrik dan estetik. Tidak mau kalah dengan foto orang lain di luar. Berusaha terlihat bahwa foto mereka masih layak saing untuk menempati beranda Instagram para pengikutnya.

Lelah bermain dengan Instagram. Aku membuka whatsapp, mengecek pesan satu per satu dan membalas mana yang penting. Aku mengabaikan pesan yang langsung menumpuk di salah satu grup kepanitiaan pada salah satu acara kampus yang beberapa bulan lagi akan dilaksanakan. Menjadi salah satu panitia memang capek-capek seru, kendati demikian pengalaman adalah hal yang tidak mudah untuk didapatkan.

Cklek.

Suara pintu kamar mandi terbuka. Lestari keluar dengan handuk di kepalanya, sesekali mengusap kasar rambut sepunggungnya yang basah karena keramas.

"Yaampun, baru aja tiga hari nggak keramas, rambut gue udah kayak mba kunti." Lestari menggumam di depan cermin kamar kos kami. Selagi satu tangannya mengambil sisir.

"Kalo tahu rambut panjang, dirawat, bukannya dibiarin. Tiap hari kena debu malah sengaja nggak diiket. Apek dah, tuh." Cibirku.

"Biar cantik, Ru. Gue nggak mau kalah pokoknya sama para bintang shampo. Sekalian, kali aja ada cogan yang nyantol satu, 'kan lumayan."

"Kamu nggak perlu sok tebar pesona juga udah banyak yang nyantol. Nggak usah makin genit. Kasihan Ata, nanti kamu yang diselingkuhin baru tahu rasa."

Lestari terkikik, kedua tangannya menepuk wajah mulai melakukan tahapan skincare yang tidak boleh terlewat, "Lo pikir Ata juga setia sama gue? Isi hape-nya Ata, tuh udah kayak asrama cewek. Semua aja cewek diladenin. Nih, Ru, gue kasih tahu sebagai orang yang berpengalaman," Lestari menghentikan sejenak kediatannya, menghadapku dengan satu tangan yang tersimpan di pinggang.

Dia berdeham sejenak, "Jangan sampai lo suka sama cowok yang kelewat baik dan kelewat ramah kayak si Ata, kalau lo nggak mau kena hipertensi di usia muda."

Aku geleng-geleng, seraya menyampirkan handuk sebelum masuk ke dalam kamar mandi. Tidak habis pikir dengan hubungan macam apa yang terjadi pada Ata dan Lestari. Tidak mengerti dan tidak mau mengerti juga. Terlalu membingungkan untuk masuk ke dalam kisah cinta orang lain sedang aku belum pernah terjun ke dunia seperti itu.

Lestari berasal dari Jakarta. Alih-alih mengambil kuliah di ibukota, gadis itu justru pergi jauh ke Yogyakarta. Alasannya hanya satu, mencari ketenangan. Sudah penat katanya bersekolah di tempat orang-orang lebih mengutamakan ketenaran di atas segalanya. Siapa yang kuat akan menindas yang lemah. Lestari selama sembilan tahun menjalani sekolah dengan nuansa yang sama. Jadi, memilih mencari suasana baru dan teman seperjuangan yang juga tidak hanya mendekat saat dibutuhkan saja, gadis itu memantapkan hati untuk mengambil jurusan matematika murni di salah satu universitas kota ini, bersama denganku.

Aku sendiri? Baiklah, namaku-

"Aruna! Tadi gue minta sedikit shampo lo. Nanti malem temenin gue beli stok bulanan, ya?"

"Oke."

Aruna. Seseorang yang lulus di program studi matematika murni, entah bisa dibilang itu sebuah rezeki atau bukan. Selama satu tahun aku harus menahan pil pahit setiap kali melihat anak-anak kimia, fisika, atau biologi sedang melakukan praktikum dengan jas putih mereka. Mimpi sebagai dokter harus ku kubur dalam-dalam mengingat sepertinya aku sudah tidak bisa lagi melanjutkan pendidikan di bidang itu.

Pertemuanku dan Lestari?

Tidak terlalu banyak drama. Kami kenal melalui grup chat yang dibuat oleh kakak tingkat, kemudian bertemu langsung ketika ospek. Saat itu baik aku dan Lestari masih menumpang di rumah keluarga kami masing-masing, ketika semester selanjutnya kami memutuskan untuk tinggal bersama. Sekalipun dua perempuan dari budaya yang berbeda, Jakarta-Solo, tampaknya tidak menjadi halangan bagi kami untuk akrab satu sama lain.

***

Awal itu semuanya baik-baik saja.

Kisahku bukanlah seperti kisah-kisah lain yang langsung menceritakan sesaknya patah hati. Aku tidak mau saja memulainya dengan tema begitu. Bagaimana, ya? Tidak nyaman rasanya ketika aku mengingatmu, hal pertama yang teringat adalah sebuah perasaan menyakitkan, sisi lain dari jatuh cinta.

Aku ingin hal-hal pertama yang teringat tentangmu adalah sesuatu yang normal. Sesuatu yang wajar. Pertemuan pertama dan kesan pertama yang baik. Dengan begitu, aku tidak akan terlalu menyalahkanmu. Karena biar bagaimana pun kamu bukanlah pihak yang berhak disalahkan.

Sedikit menyakitkan untuk mengatakan ini, tapi seseorang pernah berkata padaku begini kira-kira,

"Aru, kamu tidak seharusnya besar kepala. Karena ketika perasaan itu sudah semakin dalam, maka nanti kamu akan menjadi pihak yang merasa sakit. Kamu akan kecewa dengan harapanmu yang kamu buat sendiri. Kalau sudah begitu bagaimana, Ru? Kamu otomatis, sadar atau tidak sadar akan menyalahkan dia. Beranggapan bahwa dialah orang yang memberikan harapan, padahal mungkin di sisi ini kamulah orang yang terlalu berharap banyak."

"Aru, kurasa kamu memang harus kembali logis dan obyektif. Karena kamu tahu apa, Ru? Sejatinya, dia sama sekali tidak bertanggung jawab atas perasaanmu."

Harus aku akui, ucapan Naomi, salah satu sahabatku selain Lestari cukup menohok tapi juga masuk akal. Pada saat itu, aku sudah macam anak yang berbakti dan mengangguk bertingkah menuruti setiap perkataan yang keluar dari bibir Naomi.

Kendati apa yang aku lakukan? Aku sudah seperti orang yang kehilangan jati diri. Sudah macam anak muda yang baru saja jatuh cinta. Aku membiarkan saja perasaan ini berjalan semestinya hingga aku terlalu larut dan bahkan melupakan apa yang diucapkan oleh Naomi. Baiklah, untuk poin ini aku akan menceritakannya nanti.

Kembali ke topik awal.

"Aruna!"

Aku tersentak, mendengar seseorang memanggilku dari arah belakang. Mengikuti arah suara, badanku bergerak dengan kepala yang mengarah menuju sumber suara. Seseorang melambai dan berjalan mendekatiku.

"Kak Baskara? Ada apa?"

Sosok jangkung itu berdiri di hadapanku. Membuatku harus semakin mendongakkan kepala karena kini sedang dalam posisi duduk. Sadar tidak mau menyusahkan, lelaki itu menarik sebuah kursi kosong yang berada di sampingku dan mendudukkan diri di sana.

Kak Baskara tersenyum. Manis sekali. Lesung pipitnya terlihat di kedua sisi wajah, membuatku iri karena aku yang perempuan saja tidak punya lesung pipit sedalam itu.

"Tugas yang kemarin itu-" ucapannya terhenti, seiring dengan arah mata Kak Baskara yang menuju puncak kepalaku. Aku mengernyit bingung, tapi sebelum bertanya, Kak Baskara sudah lebih dulu berucap.

"Ru, permisi, ya. Sebentar, deh. Ada semut di rambutmu." Satu tangan Kak Baskara terangkat, mengambil semut yang dia katakan sebelum membuangnya asal. Diakhiri dengan senyum manis seolah puas sudah melepaskan satu semut itu pergi, "Sudah, deh."

Sepersekian detik aku tidak bisa berkata apa-apa. Mendadak adegan senyum gratis yang Kak Baskara berikan padaku pagi itu diiringi dengan tingkah manisnya yang membuang semut di rambutku sudah seperti ditekan tombol slow motion saja. Membuat aku harus tetap mengontrol diri dengan baik di tengah debaran jantung yang memburu.

Mataku mengerjap beberapa kali, mencoba bertingkah normal kendati yang ada justru berakhir canggung, "Jadi, ada apa, Kak?" Aku mengalihkan topik.

"Ah, iya, aku lupa," Kak Baskara menepuk dahi, kembali berucap, "Kemarin aku nggak masuk karena harus check up ke rumah sakit, 'kan. Jadi, nggak punya catatan lengkap untuk pertemuannya Pak Kausar, kata teman-teman yang lain catatan Aru lengkap. Aku foto boleh?"

Aku mengangguk tanpa berpikir panjang. Mengeluarkan binder yang berada di dalam tas dan membuka halaman yang dibutuhkan Kak Baskara, sebelum menyondorkan padanya, "Maaf, Kak. Belum nyalin catatan. Jadi masih berantakan."

Kak Baskara tersenyum senang, dia mengeluarkan ponsel dari saku celananya, "Nggak pa-pa, Ru. Gini aja udah cukup, kok." Ucap Kak Baskara sembari memotret sebanyak yang dia butuh, "Makasih, ya."

Aku mengangguk sekali lagi, membalas senyuman Kak Baskara sebelum lelaki itu pamit pindah kembali ke tempat duduk aslinya.

"Duh, mata gue. Pagi-pagi udah kayak ibu-ibu, malah pake adegan nonton sinetron segala lagi."

Aku tidak tahu sejak kapan Lestari sudah menempati bangku di sampingku. Dengan senyuman menggoda miliknya dan alis naik-turun. Lestari sepertinya senang sekali jika harus menggangguku pagi ini. Jadi, tidak mau terus diganggu olehnya, aku memilih menahan diri untuk tidak tersenyum apalagi menjerit kesenangan.

"Apaan, sih. Kamu kapan datangnya?"

"Idih, malah ngalihin topik lagi," dia tertawa dengan telunjuk yang mencolek tanganku, "Enak, nih, ye, pagi-pagi udah romantis sama doinya."

"Apaan, sih. Udah-udah, sana. Tuh cek hape, kali aja si Ata nelfon."

Lestari tertawa geli, tampaknya sadar melihatku yang salah tingkah dan sedang tidak ingin tambah dijahili. Dia berhenti menggangguku, memilih menyalakan ponselnya dan membaca komik di sana.

Sebentar aku merasakan ketenangan, selagi aku juga melanjutkan bacaanku dari novel yang ada di ponsel, jika suara melengking milik Lestari tidak menggema di kelas.

"Mahesa!" Lestari memekik, sedang kamu menoleh menatapnya datar.

"Woy! Gue telfon dari semalem lo nggak angkat, chat juga nggak dibales. Tugas kita udah lo rampungin, belom? Hari ini udah harus dikumpul."

Aku menghela napas. Sabar, sabar, punya sahabat dengan suara tinggi itu ada untungnya ada ruginya. Terutama jika duduk di posisi yang dekat begini. Jadi, perlahan aku bergeser, setidaknya agar telingaku tetap bisa berfungsi dengan baik. Tidak berdengung seperti tadi.

"Duh, kaget aku. Iya, ini udah selesai, kok."

Saat itu aku ikut mendongak. Mengikuti arah mata Lestari yang sedang memandangmu dengan bersungut, seolah kesal sekali karena kamu yang tidak menanggapinya semalam. Pun ketika kamu mengeluarkan dua lembar folio dan menyerahkannya pada Lestari, sahabatku ini menerimanya dengan sedikit kasar. Menciptakan bunyi khas kertas cukup keras sebelum mengecek kembali pekerjaan kalian.

Kamu tampaknya tidak pikir panjang, sudah percaya diri atas jawaban yang kamu tulis. Lantas, kamu berjalan. Menuju satu tempat kosong yang berada di pojok dekat jendela. Mengeluakan ponsel dan memakai earphone sebelum akhirnya menjatuhkan kepala di atas meja dan menutup mata.

Aku mengangkat bahu, tidak ingin terlibat ke dalam pertikaianmu dengan Lestari. Maka aku melanjutkan kembali kegiatanku yang sebelumnya.

Saat itu tidak ada sesuatu yang benar-benar spesial. Selain hatiku yang berdebar senang karena baru diperlakukan manis oleh orang yang ku sukai. Pun eksistensimu yang tertidur di kelas dengan earphone yang terpasang di kedua telinga bukanlah sesuatu yang ingin ku lihat dalam waktu lama.[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top