Perkara Semesta
Mahesa, kamu bilang kalau aku dan kamu memiliki semesta kita masing-masing. Kenapa kita tidak menciptakan satu semesta baru untuk ditempati dan dimiliki bersama?
***
"Tolong jangan jatuh cinta sama aku. Tolong ... tolong sekali jangan melibatkan perasaan apapun di sini."
Selepas mengucapkan itu, hal yang dilakukan Aruna adalah lekas meminta pulang. Pun perjalanan yang tidak se-seru awal keberangkatan mereka. Hanya ada keheningan dengan Aruna yang mati-matian menahan tangis lantaran merasa tertolak bahkan sebelum melakukan apapun. Untuk yang kedua kali.
Menghela napas pendek dengan wajah yang dipalingkan adalah hal yang Aruna lakukan setelahnya. Ah, ternyata begini akhirnya. Ia bisa merasakan dadanya yang seolah dihimpit dengan teramat keras dan bahu yang seolah dijatuhi gada. Terasa berat sekaligus sesak disaat yang sama.
Aruna diam-diam memilin ujung bajunya. Mereka kini sudah sampai di depan gerbang kosan Aruna. Gadis tersebut tampak terang-terangan menampilkan ekspresi berat tanpa takut bahwa barangkali saja Mahesa mengetahui perasaan yang kini tengah ia rasakan. Atau barangkali saja, ia sudah teramat tidak peduli kalau saja Mahesa tahu. Mengurus perasaannya saja dia masih tidak bisa, apalagi harus mengontrol ekspresi wajah segala untuk terlihat baik.
"Kenapa?" sahutnya lirih. Dagunya terangkat pelan, sehingga ia bisa melihat Mahesa yang tengah menatapnya lekat sejak tadi, "Kenapa aku nggak boleh jatuh cinta sama kamu?"
Mahesa turut menghela. Kepalanya menunduk dengan tangan yang berada di atas spidometer. Mesim motor ia matikan karena dirasa masih ada pembicaraan yang harus diselesaikan, "Ru―"
"Ini perasaanku," desis Aruna, menahan sejenak perasaan kesal sekaligus sesak yang ia rasa, menumpukkan itu semua dalam satu kepalan tangan kuat, ia melanjut, "ini perasaanku. Kamu siapa? Kamu nggak punya hak apapun untuk mengatur perasaanku di sini."
Mahesa mencoba untuk sabar. Lelaki itu menunduk sejenak dengan helaan napas kasar di sana, "Aruna―"
"Aku nggak punya alasan apapun," ucapnya kembali memotong perkataan Mahesa. Wajah ia palingkan sejenak guna menarik kembali air mata yang nyaris turun, "Setidaknya beri aku alasan agar aku nggak bisa jatuh cinta sama kamu. Beri aku alasan agar aku bisa ... menyerah."
Mahesa melepas helmnya. Menaruh pada spion motor sebelum ia turun dari motor untuk berdiri tepat di hadapan Aruna yang tengah menatapnya berkaca.
"Kamu perempuan baik, Ru," ujarnya sabar, "kamu berhak untuk mendapatkan pemuda yang lebih baik di luar dari pada aku."
"Kamu juga laki-laki baik, kok."
"Aku nggak sebaik itu, Aruna."
"Nggak ada orang yang benar-benar baik di sini, Sa. Semua orang pasti punya kekurangan masing-masing. Kamu ataupun aku," tegas Aruna masih keras kepala.
"Aru―"
"Atau aku nggak cantik?" tekan Aruna sekali lagi, "Aku nggak secantik cewek-cewek di luar sana. Aku nggak sepintar mereka. Aku nggak sehebat mereka. Aku masih kurang, kan di mata kamu?"
"Nggak begitu, Aruna," Mahesa berkata lembut masih dengan kesabarannya. Ia maju satu langkah. Dua tangannya berada di bahu Aruna untuk memberikan sedikit tekanan kuat di sana. Lelaki itu menundukkan kepala guna menyamakan tinggi sampai dua wajah mereka bisa saling berhadapan dan saling mengisi iris masing-masing.
"Kamu terlalu baik untukku," ucapnya, "sedang aku bukan orang yang tepat untukmu. Kita memiliki semesta kita masing-masing, Ru."
"Alasan," Aruna mendesis tajam dengan sorot mata yang tidak kalah tajamnya, air mata yang sudah ditahan sejak tadi pun tertumpahkan begitu saja. Membasahi dua pipi Aruna membentuk sungai kecil di sana. "Kita masih bisa berusaha. Berjuang sama-sama. Aku nerima kamu dan kamu pun bisa nerima aku. Apa susahnya begitu?"
"Justru itu, Aruna," Mahesa mencoba menjelaskan dengan sorot mata yang kelewat serius di sana. Lelaki tersebut melanjut, "Aku nggak bisa kasih hal yang kamu mau. Aku nggak bisa kasih hubungan seperti yang kamu mau. Berjuang dari awal bersama atau apalah itu namanya. Aku nggak bisa kasih itu semua."
Melepas satu helaan napas pelan, lelaki tersebut berujar lirih kendati masih tertangkap jelas di rungu Aruna. Ia menatap gadis tersebut putus asa, "Aku nggak bisa memperjuangkan kamu."
Aruna menunduk. Dengan isakan lirih yang menemani malam mereka. Tidak pernah mengerti bagaimana jalan pikir Mahesa yang terdengar begitu konyol. Itu bukanlah hal yang bisa dijadikan sebagai alasan kuat bagi Aruna. Bukan hal besar yang bisa dijadikan alasan bagi mereka untuk bisa bersatu. Karena seperti halnya yang Lestari katakan dulu, bahwa yang namanya manusia pasti ada kurang dan lebihnya.
Namun pada dasarnya, Mahesa akan tetap keras kepala. Masih dengan keteguhan dengan pendapatnya barusan. Ia tidak mengatakan apapun setelahnya. Selain menarik tubuh Aruna untuk segera dibawa ke rengkuhannya. Mengusap surai belakang kepala gadis tersebut dengan lembut membiarkan Aruna terisak di dadanya.
Menyakitkan melihat Aruna menangis, terutama dengan dia yang menjadi alasan utama di balik isakan gadis tersebut. Aruna bahkan tidak melakukan apapun. Dua tangannya terlungkai lemas tanpa membalas pelukan Mahesa. Sakit. Sakit sekali rasanya. Bahkan ini jauh lebih menyesakkan daripada di patah hatinya yang dulu-dulu. Ini jauh lebih dalam daripada yang ia bayangkan selama ini. Jauh lebih menyesakkan dan Aruna sama sekali tidak suka dengan perasaan barunya saat ini.
Kendati di balik tangisannya, ada satu hal yang sebenarnya tidak ingin diutarakan olehnya. Sebuah spekulasi yang ingin sekali ia usir jauh-jauh lantaran tiba-tiba saja muncul di tengah segala rasa sakit yang ia bawa. Cukup menambah satu beban yang membuat dadanya seperti diremas kuat di sana. Sedang untuk kali ini saja, Aruna benar-benar berharap bahwa spekulasinya kali ini salah dan itu hanya sebuah dugaan tidak masuk akal atas paranoidnya selama ini.
Namun, alih-alih membiarkan hatinya untuk tetap terjauh dari rasa sakit lain. Aruna masihlah gadis pintar yang membawa sisa-sisa kelogisannya kali ini. Kebenaran memang menyakitkan, tapi biarlah kali ini dia merasakannya daripada harus menumpuk segala rasa sakit itu di akhir.
Jadi, dengan perlahan setelah melepas pelukan Mahesa. Setelah membiarkan pemuda tersebut menghapus air mata Aruna lembut dengan ibu jarinya, gadis tersebut menatap sendu dengan sorot mata yang menyiratkan banyak luka di sana. Mahesa masih bergeming memandang penuh rasa bersalah.
Di detik setelahnya, Aruna menelan ludah getir sebelum bertanya dengan suara seraknya, "A-apa ... ada perempuan lain?"
Tidak membutuhkan waktu lama. Hanya butuh satu detik sebelum sebuah anggukan dari Mahesa menjadi sebuah kesimpulan atas patah hati kedua dari Aruna Lilian.
Sedang sebuah nama yang disebut selanjutnya, menjadi sebuah keputusan mutlak yang detik itu juga diputuskan Aruna.
"Lestari."
Hancur sudah.
Aruna kembali menunduk. Otaknya tidak perlu memproses lama sebelum cairan bening kembali membasahi pipinya. Bahu yang kembali bergetar dengan sesak yang semakin bertambah di dada. Gadis tersebut memalingkan wajah sejenak dan mengusap air matanya kasar dengan punggung tangan.
Menaikkan dagu dengan tatapan nanarnya, lantas Aruna maju satu langkah dengan satu pelukan terakhir yang ia berikan, "Terimakasih, sudah kasih aku satu alasan yang jelas agar aku bisa nggak jatuh cinta sama kamu. Dan ... agar aku bisa menyerah."
"Ru―"
"Bukan salahmu," potong Aruna cepat. Menyadari bagaimana sejak tadi Mahesa yang memandangnya tanpa paling dengan penuh arti yang Aruna tidak tahu―atau mungkin tidak mau tahu apa saja di balik arti tatapan itu. Namun, gadis tersebut juga masihlah pintar dan peka. Bahwasanya ada sebersit perasaan bersalah yang timbul pada Mahesa. Perasaan merasa tidak berguna lantaran telah menyakiti dan tidak bisa melakukan apapun pada Aruna.
"Bukan salahmu buat aku menangis seperti ini, Sa," lanjut Aruna. Melepas pelukannya, Aruna mencoba memasang senyum semanis mungkin kendati itu sulit dan sangat amat tidak cocok jika disandingkan dengan sisa-sisa air mata di pipinya, "Sejatinya perasaan ini milikku. Aku yang salah di sini. Aku yang terlalu banyak berharap. Aku yang terlalu menganggap kebaikanmu itu punya maksud lain."
Menelan ludah getir, gadis tersebut melanjut. Dengan satu usapan hangat di punggung tangan Mahesa mencoba menenangkan sekaligus berharap bahwa afeksinya yang tersirat tersampaikan baik di sana, "Aku yang salah karena terlalu cepat jatuh cinta hanya karena diperlakukan baik. Tidak perlu merasa bersalah, Sa. Kamu ... tidak bertanggung jawab atas perasaanku."
"Tapi, Sa," berucap sekali lagi, Aruna menatap Mahesa penuh harap, "boleh aku minta satu hal terakhir sama kamu?"
Di tengah semua perasaan sakit yang juga tengah dirasakan Mahesa. Pun dengan matanya yang juga sudah berkaca, lelaki itu pada akhirnya mengangguk.
"Setelah ini, tolong kasih aku waktu. Seperti yang kamu bilang bahwa kita memiliki semesta kita masing-masing. Jadi," menunduk sejenak guna melepas napas sesaknya, Aruna kembali menatap lelaki tersebut dan melanjut, "urus saja kehidupan kita masing-masing, dan jangan mengganggu semesta milikku. Karena perasaan ini, perlu dikendalikan. Dan aku ..."
"... harus belajar untuk benar-benar melepaskan kamu."
Selepas itu, Mahesa tidak mengatakan apapun. Sekalipun dengan mata yang sudah berkaca dan napas yang tercekat. Pada akhirnya, saat Aruna sudah benar-benar melepas tautan tangan mereka dan memberikan sebuah pelukan singkat. Gadis itu berbalik, dan Mahesa masih bergeming saat punggung kecil itu sudah menghilang ditelan gerbang kos yang menjulang tinggi di hadapannya.
Aruna masih stagnan di tempat. Tidak membutuhkan waktu lama sampai suara motor Mahesa kembali terdengar dan melaju pergi dari tempatnya.
Gadis tersebut tersenyum miris, dengan satu tangan yang terangkat menepuk dadanya beberapa kali. Agaknya sebagai manifestasi agar rasa sakit itu perlahan menghilang dari sana kendati itu mustahil. Dalam relung hatinya, ia bersyukur lantaran Lestari yang sudah pergi tadi pagi sehingga Aruna tidak perlu lagi memasang topeng khas miliknya itu di hadapan sahabatnya sendiri.
Tersenyum miris. Aruna kembali memikirkan bagaimana dua lelaki yang ia jatuhi hatinya itu ternyata sama-sama menyukai dua sahabatnya. Ia masih menepuk pelan dadanya beberapa kali sembari mengambil napas dalam-dalam.
Baiklah, Aruna. Sudah saatnya berhenti. Berhenti, Aruna, agar kamu nggak terluka lebih lanjut, batinnya.
Menghapus kasar air matanya dengan langkah yang akhirnya berhenti di depan kamar. Setelah berhasil masuk, Aruna menyandarkan tubuhnya di balik pintu, sebelum pada akhirnya merosot jatuh dengan wajah yang ia tenggelamkan di balik lutut dan tubuh yang bergetar hebat. Tidak kuat lagi untuk menahan semuanya sendiri.
Ia ... kembali menangis.[]
vote atau komentar dulu yuk sebelum pindah bab hihi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top