Patah Hati yang Merepotkan

Kamu, malam, dan cerita.
Dari sini, kisah kita bermulai

•••••

Saat aku menulis ini, jarum jam di atas nakas menunjukkan pukul sembilan tepat. Sepertinya, memang tepat sekali menuliskan lembar demi lembar kisah tentangmu di malam hari.

Selain karena memang mencoba mengingat kembali apa yang telah kita lalui, aku merasa bahwa pada waktu malam adalah saat di mana aku sedikit ... emosional.

Bukan hal mudah untuk mengingat kembali cerita tentangmu yang mana indah sekaligus menyakitkan di saat yang bersamaan. Mungkin, saat kamu membaca ini kamu akan kembali mengolokku dengan senyum kotakmu yang selalu aku puja itu. Kemudian mengomentari pola pikir wanita yang sedikit menyusahkan kaum pria.

"Kalau menyakitkan ya dilupakan, Ru. Kenapa perlu mengingat sesuatu yang membuat dirimu sakit? Jangan menyiksa diri." Begitu katamu.

Entahlah, aku sendiri juga tidak tahu dengan jalan pikirku, Sa. Seperti yang pernah kamu bilang juga, bahwa perempuan itu membingungkan. Hanya saja, kamu juga tidak boleh melupakan fakta lain. Sesuatu yang dulu kamu ajarkan padaku.

Bahwa tidak baik memendam semuanya sendiri.

Mahesa, kamu yang dulunya sangat ku cinta, bahkan kupikir hingga detik ini. Kamu tahu? Menurutku, tidak ada yang benar-benar tahu isi hati manusia selain Tuhan dan dirinya sendiri.

Aku sadar. Aku terlalu naif. Bukan karena aku tidak percaya dua sahabatku untuk berkeluh kesah. Hanya saja, banyak pikiran berkecamuk di kepalaku. Membuatku berpikir bahwa dengan menceritakan pada mereka, mungkin saja cara mereka memandangku akan berubah.

Seperti ... menganggapku berlebihan, mungkin (?).

Aku hanya takut, Sa.

Cukuplah orang-orang itu tahu apa yang tampak dan apa yang ingin kuceritakan saja. Maka, hadirlah cerita ini sebagai pelipur hati sekaligus obat rindu untukku.

***

Lembayung senja mulai tampak perlahan seiring dengan gerakan jarum jam dipergelangan tanganku. Riuh para pejalan kaki dan pedagang tertangkap rungu seiring berjalannya waktu.

Sore hari di Malioboro memang tidak buruk untuk menghabiskan waktu. Selain karena sore hari itu cuaca lumayan sejuk, kegiatan juga sudah usai.

Aku duduk di bangku yang disediakan sepanjang jalan, di bawah lampu jalan juga. Sendiri. Lestari dan Naomi sedang pergi membeli minuman dan camilan untuk kami makan sembari menikmati Yogyakarta di sore hari.

"Aruna?"

Terlalu lama melamun membuatku sedikit tersentak lantaran satu suara menyapa dengan nada tanya. Lantas aku yang awalnya melihat kendaraan berlalu lalang segera menoleh menuju sumber suara.

Perempuan yang memanggilku tertawa, "Benar. Aruna ternyata," ia berucap kala aku sudah menunjukkan wajahku total, "kenapa sendiri, Ru?"

"Kak Pebi, Kak Tisam," Aku berdiri guna menyapa mereka, bermaksud sopan, mereka kawan-kawan Mba Lintang dan juga kakak tingkatku, "nggak sendiri, kok. Nunggu Naomi sama Lestari beli makanan. Aru jaga tempat."

Keduanya melihat tas yang aku letakkan di tempat duduk itu, lantas mengangguk mengerti, "Ku pikir kamu sendiri. Mau ajak jalan-jalan niatnya." Kak Pebi berujar ramah.

Aku menggeleng seraya mengulum senyum, "Tenang, Kak. Saya nggak se-miris itu kok. Kakak-kakak lagi jalan-jalan juga?"

"Iya, Ru," kak Tisam menjawab, badannya tercondong, ia berbisik, "sekalian cari cowok juga kalau ada."

Aku hanya geleng-geleng saja melihat kakak tingkatku yang dikenal mempunyai sifat ramah dan tingkat percaya diri yang tinggi itu. Kemudian kami berbincang sebentar. Berbasa-basi sebelum keduanya pada akhirnya pamit dan meninggalkanku sendiri lagi.

Sedikit bersyukur lantaran kedatangan mereka aku bisa sedikit mengalihkan pikiran burukku dari patah hati yang kurasa.

Terlalu lama patah hati tidak baik juga untuk kesehatan mentalku. Terutama untuk nilai-nilai di KHS-ku nanti. Aku sadar, bahwa karena hal itu sesuatu dalan diriku sedikit berubah. Lestari tahu itu, biar bagaimana pun, mengingat kita yang 24 jam bersama membuatnya bisa mengenalku dengan baik.

Ah, aku mungkin jarang menyinggung soal Naomi di sini. Nanti. Aku akan banyak menyinggungnya di saat yang tepat. Biar bagaimana pun, dia sahabatku. Saksi atas perjalanan cintaku yang tidak melulu baik. Sekalipun, Naomi adalah orang yang menyebabkanku harus mengalah akan kisah cintaku sendiri.

Seandainya bukan Naomi.

Hembusan napas berat, entah sudah yang keberapa kali kulakukan, aku lakukan lagi. Tidak tahu apa yang harus dilakukan di situasi sekarang. Selain memandang lalu-lalang orang-orang di sekitar dengan pikiran yang melalang buana.

"Kamu akhir-akhir ini lebih diam, Ru." Lestari tiba-tiba datang menyondorkan segelas thai tea rasa original padaku.

"Naomi?" aku celingukan melihat hanya dia yang kembali.

"Sudah pulang duluan. Ada urusan keluarga mendadak, jadi ku suruh saja dia pulang." Lestari mengambil tempat di sampingku. Ikut mengikuti arah pandangku, "Maaf akhir-akhir ini nggak merhatiin kamu. Kamu sendiri tahu aku lagi sibuk-sibuknya."

"Nggak apa-apa. Aku ngerti, kok."

Aku mencoba menyimpul senyum. Kendati berat sekali disituasi sekarang. Sedikit sulit seminggu ini harus menahan beban sendiri tanpa berani cerita ke Lestari, karena ia mempunyai jadwal presentasi lumayan penuh satu minggu ini dan menjadi koordinator di acara temu alumni yang akan diadakan minggu depan.

"Sepertinya kelihatan sekali aku diam, ya?" kembali aku buka topik, "pacarmu, Mahesa, bahkan ...." aku menjeda sejenak, tampak berat sekalipun hanya menyebut namanya saja, "Kak Baskara beberapa kali juga tanya hal yang sama."

"Mereka begitu?"

Aku mengangguk, "Seharian ini, Ata bertanya kurang lebih tiga kali. Bertanya aku ada masalah apa. Kenapa tidak seperti biasa."

"Ata dan Kak Bas memang orangnya peka sekali. Aku agak kaget Mahesa nanya gitu. Dia keliatan nggak ramah sama orang."

"Dia cuma ramah ke beberapa aja." Aku menyeruput thai tea tanpa minat.

Suara Lestari yang menghembuskan napasnya sampai di telingaku, "Tumben kamu sampai seperti ini, Ru. Dulu-dulu kalau ada masalah pun, kamu nggak bakalan sampai lihatin ke semua orang. Kamu ya ... bakalan kelihatan biasa saja."

"Sakit sekali, Les," aku mulai berkeluh kesah. Sesuatu yang ku tahan selama seminggu ini. Lestari tampaknya mengerti dan kali ini menjadi pendengar, "dia sahabatku. Sahabat kita. Seandainya bukan dia ... semuanya pasti akan lebih mudah."

Lestari masih diam, pertanda aku bisa kembali melanjutkan ucapanku, "Aku bisa bebas merasa cemburu, merasa kesal, marah padanya, atau sekedar mengoloknya di belakang. Semua akan semudah itu. Nyatanya ... orang ini bukanlah Arini, tapi Naomi, sahabatku sendiri."

Aku menarik satu sudut bibirku. Tertawa singkat tanpa tenaga, "Mana tega aku berbuat begitu pada sahabatku sendiri, Les. Orang macam apa aku jika sampai begitu."

Lengan ringkih milik Lestari ku rasakan mengelilingi pundakku. Lantas menarik kepalaku agar bersandar di pundaknya. Tangannya mengelus kepalaku sembari menepuknya pelan. Mencoba menyalurkan perasaan nyaman di sana.

"Sudah, Ru. Berhenti saja. Menyakitkan memang jika kamu harus berhenti sekarang, tapi akan lebih menyakitkan jika kamu lebih milih bertahan di saat ... tidak ada harapan tersisa untukmu."

Aku mengangguk. Memilih menuruti perkataan Lestari dan berusaha kembali menata hati yang retak ini agar tidak semakin patah.

Lestari jika sudah bijak seperti mengalahkan orang-orang bijak diluar sana. Bahkan mengubah cara bicara lo-gue menjadi aku-kamu setiap kali dalam mode serius seperti ini.

Hening menyapa kami berdua. Lestari juga tampaknya tidak mempermasalahkan aku yang bersandar di pundaknya, membiarkanku menenangkan diri dan meringankan kepala yang terasa memberat karena kejadian akhir-akhir ini.

Kendati, kegiatanku beberapa menit itu harus terinterupsi, lantaran suara ponsel pertanda satu pemberitahuan muncul di layar kunci.

Sebuah pesan whatssapp.

Mahesa Renaldy
Ru, aku sudah susah payah beli eskrim keluaran terbaru itu. Argh! Gara-gara macet jadinya cair es krimku.

Lengkap dengan dua foto mengikuti. Satu foto memperlihatkan es krim yang sudah benar-benar menjadi air dan satunya lagi foto kendaraan macet yang ku tebak berada di sekitarnya.

Mendadak tanpa sadar, sebuah bulan sabit tercipta di wajahku.

Astaga, dasar maniak es krim.

************************************
Bersambung.......
Jangan lupa tinggalkan vote serta komentar untuk menghargai penulis ya 😉😉

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top