Obat Patah Hati

Di patah hatiku yang pertama, kamu membawa sesuatu yang manis

•••••

Teruntuk Mahesa.

Hai, Sa. Saat aku menulis bagian ini aku sedang mendengarkan suara Jeon Jungkook yang melakukan cover pada sebuah lagu berjudul Only Then.

Baiklah, Jeon Jungkook itu member paling muda di boy group bernama BTS. Lelaki yang sering kau sebut-sebut mirip dengan si bahu lebar yang berulang kali juga aku ingatkan bernama Kim Seokjin. Bagaimana? Sudah ingat, 'kan? Agar aku bisa melanjutkan kembali paragraf ini.

Sekalipun mungkin saja kamu tidak akan membaca cerita ini.

Lucu sekali. Menulis buku ini membuatku seperti sedang bicara denganmu. Mengobrol ringan seraya saling jahil dan menggoda seperti yang dulu-dulu. Ah, betapa aku sangat merindukan saat-saat itu. Karena sekarang entah kenapa aku merasa kita sudah semakin ... jauh(?).

Aku tidak tahu bahasa Korea, Sa. Aku hanya mencari terjemahannya di youtube. Dari sana aku tahu bahwa makna lagu yang dinyanyikan oleh Jungkook itu sedikit menyakitkan.

Di sana di katakan begini :
Cara mencintaimu tidaklah sulit. Dengan memberimu lebih banyak senyuman dan perhatian

Di lagu itu, aku merasa bahwa si penulisnya menuliskan dengan diksi yang sederhana, tapi entah kenapa cukup menohok dan menuju padaku secara tepat.

Sa, mau bagaimana pun aku ini perempuan. Seperti halnya kamu yang seringkali berkata bahwa kamu senang melihat perempuan cantik, maka akupun akan luluh jika kamu memberikan perlakuan manis.

Ah, mungkin aku lagi-lagi terlalu cepat membawa alur cerita ini. Maafkan aku, Sa. Aku berusaha membawa otakku mengingat secara teratur akan setiap hal yang kita lalui supaya tidak terlewat begitu saja. Biar bagaimana pun aku ini manusia, sekalipun kamu adalah lelaki yang kusuka, aku juga tetap bisa lupa.

Aku teringat kala kamu pada saat itu ada di sampingku. Membuat bab ini pada akhirnya bisa aku tuliskan. Jadi, bukankah lebih baik kita sama-sama mengingat apa yang pernah terjadi dulu? Saat kita masihlah menjadi dua manusia yang tak segan untuk menjahili satu sama lain.

Ah, maaf. Lagi-lagi aku lupa. Salahku memintamu untuk mengingat bersama. Kamu tidak akan ingat. Karena seperti yang ku katakan di awal kisah ini bermulai. Akulah satu-satunya pihak yang merindu.

Baiklah, kamu tidak perlu mengingatnya. Lupa pun tak apa. Lagipula, ini bukan kesalahanmu. Jika aku bisa lupa, maka kamu pun begitu. Kita ini sama-sama manusia, 'kan?

Aku ... berusaha memahamimu.

-Aruna Lilian

***

Di sini aku bisa menyimpulkan bahwa Kak Baskara berasal dari keluarga kaya raya.

Kami satu kelas diundang ke rumahnya. Acara syukuran keluarga karena berhasil menempati rumah baru. Ralat, tidak satu kelas. Hanya orang-orang terdekat saja. Selain itu, ada beberapa kakak tingkat yang turut diundang. Mereka-mereka yang kuyakini cukup dekat dengan Kak Baskara jauh sebelum ia mengambil cuti dan pada akhirnya bergabung bersama dengan kami.


Karena masing-masing sudah akrab, kami membentuk lingkaran lantas saling berbincang sembari menikmati pangan yang diberikan. Rumah Kak Baskara besar. Tidak lupa dengan makanan yang disuguhkan juga berasal dari tempat-tempat mahal. Ku tebak dipesan dari restoran dan toko roti yang kualitasnya tidak main-main.

Aku membenarkan letak kacamata. Lantas menyelipkan rambut ke belakang telinga saat angin membawanya ke depan.

"Makanya rambut diiket. Biar nggak terbang gitu." Aku menoleh, melihatmu berdiri di sampingku seraya membawa ikat rambut berukuran kecil.

"Aku sebelum ke sini, keramas dulu. Jadi tadi masih basah," aku menerima pemberianmu, serta merta mengumpulkan rambut panjangku menjadi satu dan mengikatnya, "dapat dari mana?"

"Pas balik Bekasi, diajak Mama ke pasar. Terus disuruh ngantongin iket rambut pesenan adikku. Eh, malah kebawa sampai sini."

Aku terkekeh, "Terus adikmu nggak dapet ikat rambut?"

"Ada," jawabmu, "cuman yang sebungkus itu kebawa."

Aku mangut-mangut mengerti. Hendak menanggapi, tapi ada yang menginterupsi.


"Eh, Naomi nggak dateng?" Kak Baskara datang dari depan. Mengambil duduk disamping Lestari.

Lestari menggeleng, "Ada acara keluarga katanya, Kak. Makanya dia pulang ke Purworejo," ucap Lestari.

"Sayang nggak ada Naomi. Nggak ada yang nge-ramein," gumam Kak Baskara.

"Idih, kan ada Lestari, Kak. Masih kurang ramai? Ada Aruna juga tukang rusuh."

Tawaku pecah kendati tanganku berakhir mendorong Lestari, "Kenapa, Kak? Kesepian, ya nggak ada Naomi? Nggak ada pasangannya, sih di sini," ledekku.

Kak Baskara tersenyum malu-malu, "Iya. Nggak ada yang bisa aku ganggu. Naomi kalem-kalem dingin. Cuek gitu. Jadi seru aja kalau gangguin dia."

"Woy, Esa. Lo diem aja dari tadi. Sok kalem banget di sana. Kalem-kalem anteng lagi. Abis dah tu jajan diem-diem Lo ambil."

"Gue tukang nyimak, Les. Lagian cerita-ceritanya Kak Bas udah gue denger semua." Kamu menjawab seraya bersandar santai dengan kacang bawang di telapak tanganmu.

"Wah wah. Kak Bas ada rahasia apa sama kita? Jangan-jangan beneran suka sama Naomi, ya?" Lestari benar-benar tidak tahu menyaring kata. Sudah kebiasaan langsung menyerang orang lain.


Sekalipun aku tahu, bahwa itu hanya bercanda.

Namun, sepertinya Kak Baskara menganggap itu serius.

Karena yang kami dapati setelahnya adalah senyuman Kak Baskara yang penuh arti diakhiri dengan ujaran, "Aku sering salah tingkah kalau deketnya Naomi. Makanya ku tutupin, tiap hari gangguin dia. Emangnya kelihatan banget, ya?"

Lestari yang sedang minum sirupnya lantas tersedak, sedang aku yang hendak menyuapkan brownis lantas menaruh kembali brownis tersebut ke tempat semula. Nafsu makanku serta merta hilang.

Sudut mataku melihat Lestari yang menatapku prihatin. Mengatakan secara tersirat bahwa aku harus menahan denyutan hati yang langsung terasa untuk sementara dan jangan terbawa suasana. Meskipun setelah itu, aku memilih menjadi pendengar dan tidak banyak bicara.

Baiklah, setelah ditolak untuk yang pertama kali sekalipun yang menyebar antara Kak Baskara dan Arini itu hanya gosip, kali ini aku seperti melihat video klarifikasi seperti yang biasa Lestari tonton di youtube. Seolah dari ucapan Kak Baskara barusan, aku secara otomatis ditegaskan bahwa mundur nampaknya lebih baik. Ketimbang aku harus sakit hati sendiri karena-

-orang yang ku suka ternyata menyukai sahabatku sendiri.

Singkatnya, tidak lama setelah itu kami pulang. Lestari dijemput oleh pacarnya. Anak-anak yang lain membawa motor mereka masing-masing. Sedang aku di sini sedang menunggumu yang tengah mengeluarkan motor dari parkiran rumah Kak Baskara.

"Ru, mau mampir ke mana dulu setelah ini?"

"Memang mau kemana? Sudah malam. Kita juga sudah makan kenyang. Mau cari apa lagi?" Pasalnya, setelah patah hati di orang yang sama, aku langsung diam tanpa banyak bicara dan ikut saja apa yang orang-orang itu lakukan.

"Malioboro, mau? Jalan-jalan aja di sana," ujarmu.

"Aku capek. Nggak mau jalan kaki." Ya. Setelah patah hati, tidur tampaknya opsi terbaik.

"Oh begitu. Sayang, padahal aku mau bikin kamu ketawa. Kusut banget dari tadi."

Aku tertawa hambar, "Capek kali, Sa. Aku juga nggak istirahat dari pagi. Pengin langsung rebahan aja di kosan."

Kamu mengangguk, "Ya sudah. Kalau gitu, mampir ke mini market dulu, ya? Mau beli es krim."

"Buat siapa? Buat aku? Baik banget."

"Ogah. Buat aku, lah. Nggak punya duit buat beliin kamu. Beli sendiri."

"Jahat."

Kendati setelahnya, kita benar-benar mampir di salah satu minimarket. Duduk di meja bundar yang disediakan seraya menikmati manisnya es krim.

Ya, terima kasih, Sa. Sepertinya es krim memang cocok dikonsumsi ketika sedang patah hati. Terima kasih atas ajakannya.

Malam itu, perasaanku membaik.

************************************
Jangan lupa tinggalkan vote serta komentarnya 😉😉

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top