Niatku Hanya Ingin Membantu
Aku baru saja bertemu dengan satu sisi dirimu yang lainnya.
•••••
Masih terpikirkan dengan jelas semua ucapan yang kemarin aku dengar. Sebuah peringatan yang entah bagaimana menggangguku hingga saat ini. Kenapa? Astaga, aku bahkan belum merasakan apapun denganmu. Sumpah. Tidak peduli dengan gosip-gosip murahan yang menyebarkan berita kedekatan kita. Lagipula, seperti yang kamu ucapkan tempo lalu, hubungan kita tidak lebih hanya seorang teman. Ku tekankan, te-man!
Jadi aku sama sekali tidak masalah tentang bagaimana orang-orang menggosipkan kita. Toh, pada nyatanya apa yang terjadi tidak seperti apa yang mereka pikirkan, bukan? Ya meskipun apa yang mereka katakan juga tidak berdampak apapun pada kita.
"Gimana, Ru? Bagus tempatnya?"
Aku berdecak, menjepit ponsel dengan bahu selagi memasukkan kunci motor di dalam tas selempang, "Iya, bagus. Bagus banget, tapi aku juga males banget datang ke tempat begini."
Suara kekehan Lestari terdengar di ujung sana, "Maaf, Ru. Cuman aku lagi kepengin sama nasi goreng seafoodnya sana. Ya mumpung lagi di luar. Hitung-hitung bantu teman sendiri itu dapat pahala, lho."
"Ya, ya," aku membalas malas, dengan dua bola mata yang berotasi pun tersenyum simpul saat salah satu pelayan menyambutku dengan kata sapaan khas mereka, "ku tutup. Ini aku mau pesan makananmu."
"Oke, Aruna. Makasih banyak, ya. Love you, muach!"
Dan diakhiri ciuman jarak jauh khas Lestari. Aku bahkan bisa membayangkan bagaimana ia memonyongkan bibirnya seperti biasa. Tipikal Lestari apabila sudah mendapat apa yang ia mau dan aku sama sekali tidak mempermasalahkan itu. Toh, kami sudah biasa melakukannya.
Berdiri dan menempati barisan kelima selagi menunggu orang-orang tersebut menyelesaikan pesanan mereka. Aku nemainkan hak sepatuku dengan kaki yang juga bergerak mengikuti keinginanku sendiri. Melepas kebosanan. Belum lagi ibu-ibu yang di depan sana tampak memesan banyak makanan yang cukup menyulitkan gadis di balik kasir itu.
Maka tatkala giliranku memesan, aku tidak bisa untuk tidak bernapas lega. Bersyukur dalam hati lantaran giliranku akhirnya tiba. Membalas senyum ramah dari gadis manis di balik kasir tersebut—sekalipun aku tahu dia benar-benar lelah dari sorot matanya—aku melirik papan menu yang terpajang di atas. Well, tidak hanya Lestari yang tengah kelaparan malam ini.
"Nasi goreng seafood-nya satu, chicken steak-nya satu, sama ...." menjeda sejenak untuk melihat menu minuman sebelum melanjut, "jus sirsak sama jeruknya sama-sama satu. Dibungkus, ya."
Setelah mendata pesananku dan membayar. Aku memilih untuk menduduki satu bangku yang terletak tak jauh dari kasir. Berniat untuk membuka ponsel sembari memainkan media sosial untuk menghabiskan waktu, kegiatanku terpaksa harus terhenti lantaran satu sosok yang berdiri tak jauh dariku tengah menatapku dengan sorot mata tak percaya dan senyum yang mendadak merekah lebar.
"Aruna!"
Aku tersenyum tak kalah lebarnya. Melambai tinggi saat suara derap langkah kaki semakin mendekat dengan sapaan riang tak kalah nyaring.
"Mahesa!"
Tersenyum ramah sembari menarik kursi. Kamu meletakkan tas punggung yang sejak tadi disampirkan itu pada sembarang kursi. Lantas mendaratkan bokong untuk mengambil tempat duduk di depanku. Bertopang dagu seraya menghela napas lega.
"Lagi apa di sini?" tanyamu.
"Lestari nitip beli makan. Bawel banget dia. Katanya mau minta beli makan di sini. Kamu sendiri ngapain?"
"Aku kerja di sini."
"Terus kenapa nggak kerja?"
"Sudah selesai. Aku kebagian sore sampai malam. Part time biasa."
Aku hanya ber-oh ria menjawab. Sekaligus bingung harus membuka dan menanggapi seperti apa. Namun agaknya kamu bukanlah orang yang dengan mudah duduk diam untuk sekadar saling pandang tanpa tujuan. Setidaknya jika bersama denganku. Karena tidak butuh waktu lama, sebuah topik mulai kembali tercipta. Membuat konversasi kita nampaknya akan berjalan lebih lama.
"Ru, kamu tahu nggak gosip yang nyebar tentang kita?"
Sejamang tidak ada balasan yang aku lontarkan. Hanya diam menatapmu yang juga tak sedikitpun melepas pandang. Melihatku dengan dua mata menyelidik dan tangan yang saling bersila depan dada, "Hm? Tahu, tidak?" tanyamu lagi.
Aku mengangguk, "Ya, aku tahu. Kenapa memangnya?"
"Kamu gimana setelah dengar itu?"
"Cuman gosip ngapain harus didengar. Lagian kita juga nggak ada apa-apa," jawabku singkat.
Karena memang baik antara aku dan kamu tidak ada yang perlu dipertanyakan. Status kita jelas. Hanya orang-orang yang membuat itu semua tampak tidak masuk akal. Seolah hubungan antara aku dan kamu masihlah abu-abu.
"Menurutmu, kita ini bukan apa-apa?"
Kamu menatapku dengan sendu. Lantas tanpa jeda yang lama, pertanyaan itu terlontar. Dari belah bibirmu dengan teramat percaya diri. Seolah membusungkan dada dan menyombong padaku bahwa ia berhasil membuatku tercekat tanpa sebuah kata pun yang sanggup aku lontarkan. Sudah macam anak remaja yang salah tingkah dihadapan gebetannya sendiri.
"Memangnya kamu pikir kita ini apa?" aku tersenyum simpul, bersamaan dengan kekehan ringan untuk mencairkan suasana. Sekaligus untuk menutupi kegugupan yang sudah pasti terlihat jelas untuk sepersekian detik saja.
Lantas menyandar pada kursi dengan kaki dan tangan yang menyilang. Aku mempertahankan eksistensi dua tarikan bibir sebagai jaminan bahwa aku sama sekali tidak terganggu dengan ucapanmu barusan.
"Menurutku?" kamu bertanya sendiri, mengulang pertanyaanku dengan sorot mata menerawang jauh. Sanggup membuat jantungku bertalu dengan perasaan harap-harap cemas. Tanpa sadar menggigit bibir bawah untuk menunggu jawaban apa yang akan kamu lontarkan.
Di detik setelahnya, kamu tersenyum hangat penuh makna. Dengan badan yang mendadak tercondong dan dua tangan yang bertumpu pada ujung meja. Lantas memusatkan atensi penuh padaku dengan manik yang enggan berpaling.
Kamu berkata, "Menurutku, Aruna adalah seseorang yang sangat berharga untuk Mahesa."
"Pesanan nomor dua puluh lima!"
Aku bersyukur ketika suara lantang dari salah satu pelayan meneriaki nomor antrian yang tergeletak di atas meja. Bersamaan dengan arah matamu yang juga mengikuti arah pandangku. Lantas kamu seolah menjadi pria yang tidak habis berkata apa-apa. Tersenyum simpul, menarik diri sebelum bangkit dan memberikan tanda padaku untuk tetap duduk diam selagi kamu pergi mengambil pesananku.
"Kamu belum makan malam?"
"A-ah? Ya?"
Terlonjak kaget saat dua buah plastik berwarna putih tersondor di meja bersamaan dengan pertanyaan dari kamu. Sial sekali. Aku bisa melihat bagaimana kamu terkekeh geli dengan kepalan tangan depan mulut dan dua sudut bibir yang berkedut menahan tawa.
Bahkan melupakan satu manusia yang tengah gugup setengah mati dengan jantung yang berdetak tidak karuan.
"Be-belum."
Masih dengan sisa-sisa tawa, kamu bertanya, "Aru, kamu nggak lagi baper sama ucapanku tadi, kan?"
Membelalakkan mata. Aku spontan menggelengkan kepala dengan tegas. Tidak mau kamu berpikir macam-macam, "Enggak! Dih ngapain harus baper sama kamu. Kaget aja kamu tiba-tiba ngomong serius gitu. Tumbenan. Kenapa, sih? Lagi kesambet, ya?"
"Biasa aja nggak usah nyerocos gitu," katamu, "jangan baper. Awas saja sampai baper."
Cepat-cepat memutuskan pandang lantaran masih memendam rasa gugup dalam hati. Aku segera meraih dua kantung plastik yang berada di atas meja. Berjalan keluar dan diikuti kamu dari belakang.
"Mau langsung pulang?"
"Nggak. Mau muter-muter Jogja dulu. Kali aja di jalan ketemu jodoh."
"Ngapain nyari jodoh kalau jodohnya udah di depan mata."
Aku spontan berbalik. Menatapmu datar sedang kamu di hadapanku tersenyum tak bersalah dengan senyum kotak khas yang selalu kamu tunjukkan, "Nggak mau. Aku maunya dapet jodoh kayak Kim Taehyung."
Kamu mendecih, "Cowok itu lagi? Yaampun, Ru, aku ini sudah mirip Kim Taehyung, lho. Nggak minat apa? Lagian belum sold out."
"Nggak minat sama yang sok-sok kembaran. Maunya Kim Taehyung asli," sahutku. Seraya memutar kunci dan menyalakan mesin bersiap untuk segera pergi.
Kamu hanya terkekeh sebagai tanggapan. Sedang aku kembali menatapmu heran.
"Motormu dimana? Nggak pulang?"
Kamu menggeleng, "Nggak. Lagi di bengkel. Aku dijemput teman," katamu, lantas melirik jam tangan yang terpasang di lengan kiri sembari menjawabku.
Sebenarnya bukan masalah besar. Hanya kamu dan mata yang tengah memerhatikan letak jarum jam. Namun ada yang menarik penuh atensiku sampai secara spontan aku menarik tanganmu tanpa izin. Membuatmu terbelalak kaget dan tidak bisa menolak lantaran aku yang bertindak secara tiba-tiba. Adalah sesuatu berwarna merah yang tak sengaja terlihat dari lengan jaketmu yang tersingkap.
"Mahesa," panggilku. Menatapmu tajam dan menyelidik, "Ini maksudnya apa?"
Kamu sama terkejutnya. Mata yang membulat sempurna dengan napas yang tertahan, "Bukan apa-apa, Aruna," jawabmu dengan sorot mata menajam.
Aku hendak kembali menarik. Namun tenagamu terlalu kuat dan menyentak tanganku kasar. Menutup kembali lengan putihmu yang berbanding terbalik dengan bekas-bekas goresan merah dengan jumlah tidak sedikit di sana.
"Mahesa—"
Tinnn!
"Aku harus pergi. Temanku sudah jemput. Kamu—hati-hati di jalan."
Kamu pergi. Mengabaikan panggilanku berkali-kali bahkan tanpa berbalik untuk melambai dan berpamitan seperti biasa.
Tidak ada senyuman kotak yang terpatri lebar dengan tanganmu yang melambai dan ucapan pamit yang selalu ada di antara kita.
Bahkan sampai kamu benar-benar pergi dan menghilang dari pandanganku. Kamu tak sekalipun menggubris. Menghindar dari segala tudingan dan spekulasi yang hendak aku utarakan, yang hendak aku tanyakan, yang hendak aku pastikan.
Malam ini, aku melihat sisi lain dari dirimu. Sisi lain yang sudah paati kamu coba sembunyikan dan simpan baik-baik.
Padahal ... sebenarnya aku hanya ingin membantumu.
"Jauhin dia, Ru. Bisa saja dia baik depanmu, tapi belakangnya dia cowok yang nggak baik. Jangan sampai dia macem-macem ke kamu."
Untuk kesekian kali, aku menghela napas dengan berat. Mahesa, kamu ini lelaki baik-baik, kan?[]
*******************************
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top