Mahesa Kembali
Kamu ... orang yang baik, kan?
••••
Presensi Mahesa agaknya cukup menarik perhatian bagi orang-orang di kampus. Entah itu di kalangan teman-teman seangkatan ataupun dosen. Pun manakala lelaki itu datang dengan mencangklong tasnya di salah satu pundak, memasuki kelas dan mengambil tempat duduk tepat di samping Aruna, dirinya tetap menjadi atensi utama seisi kelas. Hadirnya Mahesa yang benar-benar mengejutkan itu tentu saja tetap menarik perhatian setelah ibaratnya menjadi 'mahasiswa hantu' selama seminggu penuh.
Namun agaknya, hadirnya satu sosok yang lama menghilang itu tidak cukup mengagetkan bagi seseorang yang tengah membaca novel melalui ponselnya seraya menunggu waktu masuk. Aruna hanya melirik sekilas Mahesa di sampingnya dan kembali melanjutkan bacaan.
"Ru, aku ngerasa jadi artis," ucap Mahesa lirih, menyondongkan badan untuk membisikkan sepatah kata pada Aruna. Sedikit menyombongkan diri dengan senyum khas kotaknya.
"Nggak usah sok keren," ujar Aruna, "bolos seminggu kok bangga."
Telak. Ucapan Aruna mampu membuat Mahesa meneguk ludah susah payah sebelum kembali menarik diri. Orang-orang yang sejak awal memerhatikan keduanya kembali melanjutkan kegiatan mereka masing-masing saat dengan sengaja Mahesa membalas setiap tatapan itu satu per satu.
Satu sudut bibir itu tertarik, "Aku bener-bener dah jadi artis ternyata."
"Sudah dibilangi," Aruna berucap kendati arah matanya tetap fokus pada bacaan di layar ponsel, "siapa suruh bolos seminggu nggak balik-balik."
"Kamu nggak mau ikut ngelihatin aku, Ru? Yang lain begitu kok. Kayaknya aku banyak yang ngangenin." Mahesa berucap tanpa ada perasaan salah sedikit pun. Aruna bahkan sampai menoleh dan dihadapkan dengan senyum kotak khas yang memperlihatkan lesung pipinya samar.
"Ngapain kangenin orang kayak kamu?" sahutnya teramat datar.
"Eh, iya aku lupa. Gimana kamu mau kangen, ya? Baru-baru ini kan kita jalan bareng. Makan berdua, jalan-jalan sampai malem keliling Jogja, terus beli es―AH!" Mahesa memekik manakala dirasa sesuatu yang kecil, menjepit, dan berakhir dengan gerakan memutar terasa di lengannya. "Sakit, Ru! Ya ampun jahat banget sama sahabat sendiri! Astaga sampai merah-merah, nih!" protes Mahesa seraya menyingkap lengan kemejanya yang pendek dan memperlihatkan bekas cubitan Aruna yang memerah di sana.
"Ngomong macem-macem lagi awas, lho!" ancam Aruna. Mahesa, alih-alih kesal, lelaki itu justru tertawa geli kendati sesekali meringis disela usapan pada lengannya.
Aruna barangkali hendak melanjutkan bacaan novelnya, jika saja mata gadis itu tak sengaja menyadari sesuatu yang sedikit berbeda dari terakhir kali ia bertemu dengan Mahesa, "Belum potong rambut?"
"Kenapa? Nggak suka lihat cowok gondrong?" tanyanya.
Aruna mengedikkan bahu, kendati entah ada dorongan darimana gadis itu mengangkat tangannya. Lantas menyingkirkan sedikit helaian poni Mahesa yang sudah mengenai mata. Menyingkap sedikit menjadi lebih rapi.
"Aku sih nggak masalah sama cowok gondrong. Bagiku, tiap orang berhak ngelakuin apa yang dia suka, cuman kaget aja kalau ternyata rambutmu cepat banget panjangnya. Perasaan baru dipotong kemarin."
Mahesa terkekeh, pemuda itu mengeluarkan buku lengkap dengan alat tulisnya, "Kemarin yang kamu bilang itu, satu bulan yang lalu, Ru," ucapnya, "eh, kok aku nggak lihat Lestari hari ini? Dia kemana?"
"Lagi sakit. Aku suruh istirahat di rumah."
"Naomi?"
"Tuh, di sana." Aruna menunjuk dengan dagu. Sedang pandangan Mahesa mengikuti arah yang ditunjukkan Aruna. Di sana, selang lima bangku dari mereka, Naomi tengah duduk bersampingan dengan Baskara. Entah membahas apa ataupun mengobrolkan apa. Namun keduanya tampak sibuk dengan buku berada di antaranya dan sesekali menulis di atas kertas, barangkali sedang menghitung sesuatu.
"Mereka langgeng ya sampai sekarang," gumam Mahesa.
Aruna mengangguk setuju, "Nggak heran, sih. Dua-duanya benar-benar kayak pasangan yang terlibat healthy relationship gitu lho, Sa. Nggak hanya satu pihak saja yang berjuang, tapi mereka berdua sama-sama berjuang. Sama-sama saling support satu sama lain. Jadi aku nggak heran mereka masih awet. Lagian, baru beberapa bulan juga."
"Senang, ya? Bahagia gitu." Mahesa menanggapi.
Aruna kembali mengangguk, atensi keduanya masih berfokus pada dua orang yang tengah belajar bersama itu. Pemandangan tak asing antara Baskara dan Naomi, bahkan tidak jarang Aruna mendapat operan jawaban atas latihan-latihan yang tidak bisa ia jawab dari Naomi―yang tentu saja sudah lebih dulu menjawabnya bersama dengan Baskara.
"Iya. Aku juga pengin tau punya hubungan begitu."
Mahesa terkekeh. Melepas pandangannya pada Naomi-Baskara dan kembali menatap Aruna, hanya untuk memberikan tawa remehnya dan terang-terangan meledek Aruna. Diakhiri dengan dia yang bergidik geli seolah baru saja dijatuhi ulat bulu di punggungnya.
"Sok-sokan mau punya hubungan gitu. Pacar saja nggak punya."
"Iya, nih. Belum ada yang ngedeketin, jadi masih sendiri sampai sekarang," Aruna menanggapi seperti biasa.
"Belum ada yang ngedeketin atau memang kamu yang nggak mau buka diri?" ledek Mahesa sekali lagi, ia terkekeh seraya membuka lembaran bukunya. Mencari halaman dari materi yang akan mereka pelajari pagi itu.
"Memangnya kalau―"
"Nanti," Mahesa memotong ucapan Aruna tiba-tiba, ia menghentikan pergerakannya. Menghembuskan satu napas berat sebelum menoleh guna menatap Aruna sekali lagi. Menciptakan sebuah kurva melengkung di sana seraya berujar, "Kalau ada cowok yang ngedeketin kamu, pastiin buat kasih tau aku dulu, ya. Pokoknya cowok yang jadi pasangan kamu itu harus baik-baik."
Mendadak di sana, Aruna merasakan sesuatu seolah menimpa dadanya. Atau barangkali meremas kuat sambai ia benar-benar merasakan sedikit sesak entah atas alasan apa. Menceritakan pada Mahesa katanya? Aruna meringis. Menyadari bahwa ada sedikit sebuah perasaan tak rela lantaran tidak menemukan sebuah alasan jelas, perihal atas dasar apa ia harus menceritakan 'lelaki itu' nantinya kepada Mahesa.
Kendati Aruna sendiri juga tidak tahu. Tidak menemukan alasan yang kuat. Lantaran kenapa hatinya tiba-tiba merasa berdenyut nyeri hanya karena Mahesa mengatakan bahwa kelak dia nanti juga akan mempunyai pasangan. Bahwa suatu hari nanti, mereka barangkali akan menggandeng pasangan masing-masing.
"Kenapa? Kenapa harus cerita ke kamu?" tanya Aruna lirih. Tenaganya seolah menguar dan perlahan hilang. Tidak tahu kemana perginya dengan tatapan mata sendu yang mati-matian dia ubah menjadi ekspresi yang biasanya ia tampilkan di hadapan Mahesa.
Mahesa kembali menaruh atensinya. Melepas pandangan dari buku tersebut untuk sekali lagi menampilkan senyumannya, "Ya, karena kamu sahabat aku, Ru. Memangnya nggak boleh ya kalau sahabat itu mau yang terbaik untuk sahabatnya?"
Aruna mengangguk. Sekali lagi, meringis diam-diam seraya tanpa sadar pegangannya pada ponsel mengerat, "Ah, iya benar. Kita sahabat," tanggapnya lirih.
Harusnya Aruna senang, bukan? Mengetahui bahwa masih ada orang yang peduli dan sayang padanya. Namun entah kenapa. Hari itu. Pagi itu. Kata 'sahabat' yang terikat di antara dia dan Mahesa terdengar sedikit berbeda bagi Aruna.
Mendadak, ia tidak suka dengan hubungan 'persahabatan' yang ada di antara keduanya. Entah kenapa.
***
Matahari yang cukup terik itu mendorong Aruna untuk menikmati minuman dingin yang baru saja dibelinya bersama dengan Naomi. Setelah menghabiskannya sampai tandas diselingi dua buah gorengan pengganjal perut, mereka bisa sedikit lega. Naomi bahkan sudah tidak lagi mengipas wajahnya dengan telapak tangan hanya untuk meredakan wajahnya yang mulai memerah.
"Besok jangan lupa bawa ikat rambut, Mi. Biar nggak kepanasan gitu. Mukamu sensitif banget."
Naomi mengangguk menyetujui tanpa pikir panjang. Sembari dalam hati diam-diam berniat untuk menyetok ikat rambut di dalam tasnya. Sial sekali pagi tadi dia terburu dan tidak sempat meraih ikat rambut, jadinya rambut panjangnya itu harus terurai dan basah di sekitar wajah. Akibat keringat tentu saja.
"Kamu nggak sekalian makan siang, Ru?" Naomi bertanya, selagi menunggu pesanan ayam gepreknya.
Aruna menggeleng, "Nanti beli di jalan, sekalian beliin buat Lestari juga. Kasihan dia."
Percakapan mereka usai tak lama setelah itu. Pun dengan Naomi yang menyantap habis bakso pesanannya dan Aruna yang menemani. Tak lama perempuan berambut sepunggung itu mendapat telepon dari Baskara. Sudah menunggu di tempat parkir, katanya. Mau tidak mau Aruna pada akhirnya juga turut bangkit setelah membayar semua makannnya. Berjalan berdampingan dengan Naomi sembari melanjutkan sedikit perbincangan mereka sejak di kantin.
Namun ucapan Naomi tidak lagi menjadi titik fokus Aruna. Lantaran gadis itu tanpa sengaja menangkap satu sosok yang tidak asing lagi tengah berdiri tidak jauh darinya dan sedang ditarik paksa oleh beberapa orang yang berada di sekitar.
Naomi barangkali tidak cukup tanggap, pun dengan orang-orang lain yang ada di sekitar. Namun Aruna sudah mengenal Mahesa dengan baik. Ia cukup yakin bahwa dari ekspresi yang Mahesa tunjukkan di hadapan tiga lelaki yang menghadang jalannya sebelum menuntun pemuda itu pergi, itu bukanlah ekspresi baik yang biasa Mahesa perlihatkan di hadapan orang-orang.
Mahesa sedang tidak dalam situasi yang baik. Setidaknya begitu pikir Aruna.
"Naomi, kamu duluan saja, ya. Aku baru ingat kalau aku harus nemuin Kak Ria siang ini."
"Lho, kenapa tiba-tiba begitu?" Naomi bertanya.
"Mau kasih buku yang ku pinjam. Kamu hati-hati, ya." kilah Aruna.
Naomi mengangguk tanpa curiga. Melambai sebelum akhirnya benar-benar pergi dan menghilang di balik dinding. Maka, cepat dan tidak butuh waktu lama. Aruna segera melangkahkan kakinya. Menaiki anak tangga dan setengah berlari menuju tempat di mana Mahesa di tuntun oleh tiga lelaki tadi.
Sial sekali.
Aruna melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah sepuluh menit kira-kira dia setengah berlari. Mengecek tiap ruangan yang barangkali Mahesa memang berada di sana. Namun nihil. Tidak ada tanda-tanda Mahesa. Juga tiga sosok lelaki yang entah siapa juga Aruna tidak kenal, raib tanpa jejak.
Aruna mendesah setengah frustasi. Menggigit bibir bagian dalamnya dengan jantung yang berdetak tidak karuan. Tetap menekan rasa panik dan kembali memutar otak untuk mencari lokasi Mahesa.
"Ya, lihat Mahesa nggak?" Aruna mencegah Arya, salah satu teman kelasnya yang tidak sengaja lewat di hadapannya.
Arya hendak menggeleng. Menandakan tidak tahu menahu keberadaan orang yang ditanya Aruna. Namun tatkala melihat sosok tak asing yang tengah berjalan mendekati mereka, pemuda itu sontak menjawab, "Itu, kan dia."
Tidak butuh waktu yang lama bagi Aruna untuk segera berbalik. Melihat presensi Mahesa dengan kepala tertunduk dan tudung jaket yang menutupi sebagian wajahnya. Dua tangannya tenggelam di saku jaketnya. Melangkah tanpa memerhatikan jalan bahkan nyaris menabrak beberapa orang yang melintas di hadapannya.
Aruna menghela napas berat, "Makasih, Ya," katanya, yang pada saat itu Arya segera pergi setelah mengucapkan selamat tinggal.
"Sa," panggil Aruna.
Mahesa mendongak. Tampak sedikit terkejut dengan bola matanya yang sedikit membesar menangkap Aruna yang tengah tersenyum dan tangan berlambai ke arahnya. Pemuda itu cepat-cepat menetralkan ekspresi wajahnya. Lantas tersenyum tak kalah lebar dengan satu tangan yang juga terangkat dan melambai ringan.
"Belum pulang, Ru?"
Aruna menggeleng, "Belum, kamu dari mana saja?"
"Tadi habis ada urusan, tapi sudah selesai kok."
Mahesa menjawab ringan. Pun segera melingkarkan lengannya di bahu Aruna. Merangkul dan mengajaknya berjalan bersama seperti biasa. Bukan hal yang asing dan bukan sesuatu yang aneh terjadi antara mereka. Bahkan semuanya terlihat benar-benar normal.
Namun kembali lagi pada fakta awal. Aruna yang sudah mulai mengenal Mahesa. Gadis itu bukan tidak paham dan tidak mengerti akan gurat-gurat lelah yang tersirat melalui dua netra cokelat milik pemuda itu. Pun dengan seulas senyuman palsu yang terbaca jelas dalam benak Aruna.
Kendati gadis itu seolah tidak mau merusak suasana. Atau barangkali tidak mau membuat Mahesa merasa bahwa privasinya terganggu. Bertindak semuanya baik-baik saja nampaknya bukan opsi yang buruk untuk dilakukan. Lantas, Aruna kembali memasang ekspresi awal. Tersenyum hangat dan menyambut rangkulan Mahesa tidak kalah hangat. Membiarkan lengan panjang itu melingkar baik di pundaknya bersama dengan keduanya yang membahas hal-hal tak penting sepanjang jalan.
Namun tatkala sudah sampai di parkiran, manakala keduanya sudah hampir pulang dan saling pamit. Di detik selanjutnya, Aruna dibuat stagnan. Lantaran merasa bahwa sepertinya usahanya yang tengah membangun atmosfir baik itu benar-benar gagal.
"Ru," panggil Mahesa bersamaan dengan netra sendunya dan ekspresi yang berubah total, "aku tau sekarang banyak sekali pertanyaan ada di kepalamu. Nggak usah pura-pura kalau kamu nggak tau apa-apa. Tanya saja, karena aku benci sama mereka yang pembohong dan ..."
Mahesa menghela napas berat, membuang muka selama sedetik guna melepas tawa remehnya sebelum melanjut, "bertindak bahwa semuanya seolah baik-baik saja."
Lantas Aruna menarik satu sudut bibirnya. Menyilangkan tangannya di depan dada sembari memutar otak akan pertanyaan apa yang harus ia tujukan. Semata-mata agar tidak menyinggung pihak mana pun di sini dan sedikit rasa ingin tahu Aruna setidaknya bisa sedikit terobati.
"Oke," Aruna mengangguk, "satu pertanyaan saja, Sa," lanjutnya.
Mahesa mengangguk. Nampak sudah siap dengan semua pertanyaan yang akan meluncur dari belah bibir Aruna.
Tidak butuh waktu lama, lantaran di detik selanjutnya sebuah pertanyaan pun tertuju, "Kamu termasuk yang mana? Baik atau jahat?"
Mahesa menghela, "Nggak ada pertanyaan lain?"
Aruna menggeleng tegas, "Nggak. Cukup jawab itu saja. Kamu baik atau jahat?" tekan Aruna sekali lagi. Matanya menatap lurus Mahesa.
Mahesa menunduk sebentar guna mengambil napas dan menghembuskannya. Selama sepersekon Aruna dibuat menunggu kendati gadis itu masih cukup sabar. Lantas setelah mengangguk dua kali, Mahesa mengangkat wajahnya, menatap Aruna lekat seraya tersenyum tipis. Lantas di detik selanjutnya ia menjawab.
"Aku ... termasuk orang yang baik, Aruna."
Maka Aruna tersenyum. Tersenyum lebar dengan dua sudut bibir tertarik sempurna. Matanya menyipit menatap Mahesa dengan sorot hangat yang biasa ia tunjukkan. Di detik setelahnya, setelah tertawa kecil, ia menjawab.
"Kalau begitu nggak masalah," ucapnya, "selagi kamu sendiri masih menganggap bahwa kamu orang baik, maka aku juga akan beranggap demikian."
Aruna maju satu langkah, mengikis jarak dengan senyum yang tak kunjung pudar. Ia lantas menepuk pundak Mahesa dua kali, "Di mataku, kamu adalah orang yang baik."
**********************
Vote komen jangan lupa gaisss
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top