Mahesa dan Ceritanya

   

        Aruna sendiri tidak paham. Apakah dia adalah makhluk yang diberikan Tuhan sebagai manusia dengan kuantitas perasaan khawatir yang berlebihan, atau justru Mahesa yang seolah enggan memuaskan kuriositasnya sehingga menciptakan banyak spekulasi tak masuk akal dalam perspektif Aruna.

Dua hal tersebut agaknya sama saja dan pada akhirnya tetap Aruna yang sedikit dirugikan di sini. Ya, meskipun gadis itu tentu saja tidak berkata bahwa ia merasa dirugikan.

Setelah berpamitan dengan Lestari dan memacu membawa motornya lebih cepat. Aruna bisa bernapas lega lantaran sudah berhasil berdiri di depan pintu masuk sebelum melangkahkan kaki seperti orang dikejar setan. Mengabaikan sedikit penampilannya yang tidak terlihat baik di sini. Namun, toh siapa peduli. Bukan hanya dia, orang lain pun jika sudah panik tidak akan sempat berdandan, terutama jika sudah membawa-bawa kata 'rumah sakit' yang merujuk pada seseorang.

Meluaskan jangkauan pandangan serta leher yang memanjang demi mencari sesosok pemuda yang diharapkan presensinya. Pada akhirnya Aruna bisa bernapas lega saat menemukan sosok yang dicari tengah terduduk dengan lemas di depan ruangan dengan kepala tertunduk dalam dan jemari yang saling bertautan, kedua tanyannya dijadikan tumpuan pada pahanya.

"Mahesa," panggil Aruna. Masih dengan napas tersenggal sehabis maraton. Gadis itu mendudukkan diri di sampingnya.

Mahesa mengangkat wajah. Nampak jelas gurat-gurat lelah yang tercetak di sana. Senyum kotak yang biasa dikagumi Aruna seolah raib begitu saja. Pun dengan kulit tan milik pemuda itu yang menjadi memerah total. Dengan kedua mata yang membengkak dan kebahagiaan yang seolah direnggut paksa dari daksa pemuda tersebut.

"Kamu sudah datang, Ru?"

Bahkan hanya dengan mendengar suaranya saja, Aruna bisa tahu hidung lelaki tersebut malafungsi ditambah serak dari tenggorokannya yang tersampaikan jelas sampai rungu milik si gadis. Aruna lekas mengeluarkan botol berisi air mineral dari dalam tasnya. Menyondorkannya pada Mahesa setelah dirasa pemuda tersebut nampak sangat lelah dan hanya mampu tegak seperti ini dengan sisa-sisa tenaga yang ia miliki.

"Minum dulu."

Pun Mahesa tidak menolak. Menerima air pemberian Aruna sebelum ditenggak sampai habis setengahnya. Menyeka bibir yang basah dengan punggung tangan sebelum mengembalikan lagi botol tersebut pada sang pemilik.

"Sebenarnya ada masalah apa? Ada keluarga kamu yang dirawat di sini? Atau kamu sakit? Luka-luka yang kemarin belum sembuh total, ya? Pasti rasanya sakit sekali."

Mahesa terkekeh pelan menerima rentetan tanya tersebut. Dilihatnya Aruna yang tampak begitu khawatir tanpa berniat melepas pandang barang sejenak. Gadis tersebut terlihat benar-benar kelewat polos dengan pertanyaannya. Luka-luka yang ia derita? Tentu saja itu sakit tapi tetap saja bukan itu alasan Mahesa menelepon hanya untuk mengundang Aruna untuk mendatanginya begitu saja. Terutama membiarkan gadis tersebut melihat keadaannya yang kacau balau begini. Ya, meskipun terlihat beberapa kain kasa yang menempel di wajah dan tangannya.

"Aku baik, Ru," ucapnya. Menelan ludah susah payah dan mengambil napas dalam untuk memuaskan paru-parunya agar sedikit saja melepas rasa sesak di sana, "Setidaknya fisikku baik," lanjutnya.

Seolah paham akan pembicaraan mereka, Aruna pada akhirnya menghela napasnya. Menatap Mahesa setengah tidak percaya, "Tau nggak, sih? Temenan sama kamu itu bikin aku lama-lama jadi pintar."

Menatap polos Aruna. Mahesa bertanya, "Kenapa?"

Aruna kembali menghela tak percaya, "Kamu kalau ngomong tuh nggak pernah jelas. Sering bikin penasaran, bikin aku harus mikir dulu buat bisa ngerti apa maksudnya."

Tertawa sumbang, yang bahkan itu terdengar sangat menyedihkan di telinga Aruna. Mahesa menimpali, "Kenapa kamu nggak pernah nanya kalau kamu penasaran?"

"Aku pernah nanya. Sekali, tapi kamu selalu saja ngehindar. Di minimarket. Kamu lupa?"

Mahesa terdiam beberapa saat. Aruna kembali melanjut, "Kamu malah nggak jawab. Lebih milih denial sama perasaanmu sendiri. Besoknya nyoba terlihat baik di depan orang, yang sayangnya di depanku kamu jadi kelihatan semakin menyedihkan."

"Kamu selalu nanya ke aku, perihal kenapa aku nggak pernah penasaran sama kamu. Sejujurnya, aku penasaran. Penasaran banget sampai rasanya mau maksa kamu buat cerita. Tapi setelah apa yang selama ini kamu tunjukin di depanku, kamu pikir aku masih tega buat maksa? Karena setiap aku tanya, kamu selalu ngehindar ke topik lain. Dari sana saja sudah terbaca jelas kalau kamu memang nggak mau ditanyain begitu, kalau kamu pengin menghindar dari topik itu dan nggak mau siapapun nyinggung masalah itu. Kalau kamu ada di posisiku, apa kamu masih mau buat nanya-nanya lagi?

"Kamu mungkin berpikir bahwa aku cuman penasaran saja. Aku cuma bersikap simpati hanya karena kamu kelihatannya butuh dikasihani gitu. Tapi, Sa, kamu sendiri yang bilang kalau kita itu sahabatan. Di logikamu saja, memang ada ya sahabat yang nanyain kondisi sahabatnya yang lain hanya atas dasar penasaran saja?

"Sa," Aruna memperbaiki posisi duduknya. Menatap Mahesa yang tampak gusar, "Kalau ada masalah itu cerita. Bicarakan baik-baik, barangkali aku bisa cari solusinya. Dulu kita baik-baik saja, lho. Akhir-akhir ini saja sedikit bermasalah kamunya. Setidaknya, kalau kita nggak bisa nemuin solusi, kamu bisa sedikit lega karena sudah berbagi."

Selama beberapa saat, keadaan dibiarkan menghening dengan para pekerja rumah sakit yang mondar-mandir tergesa. Suara anak-anak yang menangis karena tidak mau kulitnya terkena jarum suntik, derap kaki langkah dokter yang melaju terburu, ataupun suara laju roda ranjang yang tengah membawa manusia dengan darah yang bercucuran di sekitar kepala.

"Tadi aku baru saja tertabrak motor," ucapnya lirih, "yang nabrak udah tanggung jawab buat biayain pengobatan. Kami sudah damai dan dia pergi waktu aku sudah yakinin dia juga kalau aku baik-baik saja. Memang salah dia yang terlalu bawa motor mengebut di daerah gang, tapi sebenarnya bukan sepenuhnya salah dia juga."

"Dan intinya bukan di sana," Mahesa menyorotkan atensinya pada Aruna, "alasan aku yang malam-malam jalan kaki sampai nggak lihat ada motor mungkin jadi alasan utamanya."

Menggeser posisi duduknya seraya tersenyum dengan mata sayunya. Mahesa berbicara dengan suara serak, "Mau mendengar cerita, Aruna?"

***

Agaknya malam hari selalu identik dengan hal-hal yang memang berkaitan dengan Mahesa. Seperti halnya malam-malam lalu yang menciptakan kisah, malam ini pun Mahesa kembali hadir untuk membawa ceritanya. Membayar balik Aruna atas segala pengobatan kelewat sederhana di dua malam dulu katanya. Lantas ia membawa Aruna menuju sebuah kafetarian rumah sakit untuk kemudian membelikan gadis itu kopi susu yang tersaji dalam paper cup sebagai teman bercerita malam mereka.

"Di rumah, aku punya adik namanya Keenan dan Leony," Mahesa berbicara. Mengawali kisah mereka.

Nama itu rupanya. Aruna sudah tidak asing lagi. Lantaran Keenan si anak tengah dan Leony si bungsu dari keluarga kecil Mahesa yang sering diceritakan oleh pemuda tersebut. Namun agaknya ekspresi yang ditampakkannya berbeda. Dulu, manakala keluarga kecilnya diangkat menjadi topik, Mahesa akan terlihat bahagia sekali dengan senyum merekah dan sorot mata yang seolah membawa banyak binar kebahagiaan di dalam sana. Terkait bagaimana bahagianya dia dengan keluarga yang terus ia rindukan di rumah.

Kendati kali ini, ekspresinya sangat amat berbanding terbalik dengan dulu.

"Belakangan ini keluargaku lagi nggak baik-baik saja," Mahesa menghela sejenak. Sesekali memandang paper cup miliknya untuk kembali melanjut cerita, "Biaya kuliahku dan hidupku di sini yang nggak sedikit. Belum lagi sekolah Keenan dan Leony yang memang butuh biaya nggak kalah banyak. Keenan sudah kelas dua belas, sebentar lagi lulus dan biaya nggak banyak.

"Awalnya biasa saja. Ku pikir masalah keuangan hanya menjadi satu-satunya masalah di keluarga kami. Kayak yang kamu tau juga, Ru. Di sini pun aku ambil paruh waktu. Kerja sambilan untuk sedikit meringankan beban ortu. Tapi belakangan, makin ketahuan bahwa penyebab keuangan yang mulai sedikit terganggu adalah fakta bahwa ... ternyata Papa punya cewek lain."

Aruna tidak berani menyela. Kendati di hadapannya, Mahesa tampak benar-benar rapuh dengan bahu yang terlungkai lemah dan punggung yang bersandar di kursi. Mengabaikan beberapa orang di kafetaria yang keluar-masuk membeli makanan. Porosnya kali ini hanya tertuju pada Mahesa. Sekalipun terkejut setengah mampus lantaran pembahasan macam ini barangkali hanya didapati Aruna dari tontonan drama Korea atau film-film yang ditontonnya. Tidak menyangka saja kalau dia akan mendapati hal serupa di dunia nyata.

Namun meskipun begitu, Aruna masih mendengarkan.

"Nggak hanya sampai sana," lanjut Mahesa, "selepas masalah itu, Mama marah besar. Sempat pisah ranjang dan aku nggak menyalahi Mama. Perbuatan Papa memang salah. Fatal malah. Bahkan awalnya, Mama sempat mau gugat cerai Papa kalau bukan nggak ingat sama anak-anaknya.

"Sebenarnya kalau mereka hanya kelahi biasa tanpa libatin siapapun, nggak akan separah ini. Tapi itu semua tentu saja sampai ke telinga Keenan dan Leony. Bukan hal yang mudah, Ru, untuk tetap menyemangati adik-adikmu saat kondisi rumah sudah hampir hancur dan mentalku sendiri yang juga nggak baik. Saat pondasi kokoh yang kita bangun selama ini sudah nyaris runtuh dan seolah nggak ada alasan lagi untuk dipertahankan.

"Susah untuk yakinin Keenan agar fokus sama sekolahnya. Supaya dia nggak usah dulu mikirin urusan keluarga yang mana itu biar jadi tanggung jawabku. Pun minta uang, aku bilang minta ke aku saja, dalam artian kalau dia mau jajan atau pengin beli apa-apa. Selain keperluan sekolah. Gitu juga sama Leony. Dua-duanya aku kasih uang sesuai kebutuhan mereka. Aku kasih cuma-cuma supaya mereka bisa senang-senang dan nggak stress di rumah.

"Tapi kamu tahu apa yang nyakit, Aruna?"

Masih bergeming dan menjadi pendengar yang baik, Mahesa melanjut, "Aku baru saja dapat kabar dari Keenan kalau Leony ternyata masuk rumah sakit. Nggak lama setelahnya, aku tau kalau ternyata adikku itu jadi korban bully di sekolahnya."

Mahesa menghela napas berat dengan usapan kasar di wajahnya, "Seminggu aku menghilang itu, untuk lihat gimana keadaan dia di sana. Sekaligus selesaikan urusannya dengan pihak sekolah yang ku harap membantu. Gimana pun aku nggak mau lihat adikku kenapa-kenapa. Dia pasti ketakutan sekali dan nggak bisa apa-apa. Uang yang selama ini aku kasih susah payah, sampai rela jadi personil bayaran salah satu geng buat ikut kelahi antar mereka. Ya, gosip itu memang benar tapi aku juga punya alasan jelas untuk itu," Mahesa cepat-cepat menjelaskan agar Aruna tidak salah tangkap, "uang-uang itu ternyata nggak dipakai untuk dia senang-senang, Ru. Dia jadi babu di sekolahnya, mau saja disuruh teman-temannya buat beliin ini-itu. Bahkan ketika dia sudah nggak kuat dan ngelawan, akhirnya dia malah babak belur di rumah sakit. Sampai patah tangan begitu."

"Pas aku balik ke Bekasi. Ku pikir keadaan nggak akan sekacau itu, tapi ternyata aku salah. Papa yang nggak datang jenguk barang sehari, Mama yang uring-uringan. Leony yang benar-benar hancur dan Keenan yang ngerasa nggak becus jadi kakak dan belum lagi harus ngurusin ujian-ujiannya dia di tingkat akhir. Semuanya seolah numpuk jadi satu, dan aku harus selesaikan itu semua satu-satu. Di sana aku mikir, adik-adikku hancur, maka aku nggak boleh untuk terlihat hancur. Lihat mereka begitu saja aku sudah nggak tega, Ru. Belum lagi lihat Mama yang semakin kurus begitu. Rasa-rasanya aku mau berhenti kuliah saja.

"Terus gimana? Semua sudah selesai?" Aruna memberanikan diri bertanya lantaran jeda yang cukup panjang itu.

Mahesa mengangguk, "Syukurnya sudah. Anak yang bully Leony sudah kena detensi. Leony di bawah pengawasan Keenan. Sedang Keenan sendiri sudah aku paksa untuk lulus yang benar dengan nilai terbaiknya. Lalu Mama dan Papa ..." menggantungkan ucapannya, Mahesa tersenyum getir seolah enggan melanjut, "masih nyoba untuk bertahan."

Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya yang menciptakan sebuah kisah. Mahesa dengan cerita hidup yang dibawanya itu pada akhirnya berhasil membuat benang-benang kusut di kepala Aruna tergulung dengan rapi tanpa adanya sebuah pertanyaan ataupun spekulasi yang selama ini mengganggunya.

"Hei," Aruna memanggil lembut. Menampilkan senyum manisnya di hadapan Mahesa yang tengah gundah. Satu tangannya menarik tangan Mahesa untuk digenggam di ditepuknya pelan.

"Nggak apa-apa," ucap Aruna, "aku mungkin nggak bakalan paham posisimu karena aku nggak pernah ada di sana. Tapi setidaknya aku bisa mencoba untuk mengerti."

Meremat sedikit tangan Mahesa di genggamannya untuk sekadar memberi kekuatan. Aruna masih mematri senyum dengan tatapan teduh nan hangat yang ia berikan untuk Mahesa, "Gimana pun besarnya masalah kamu, kamu nggak akan sehancur itu, Sa. Karena kamu masih punya Aruna Lilian di sini."

Menelan ludah getirnya. Aruna masih mencoba untuk mempertahankan seulas senyum yang ia berikan, "Makasih ya sudah mau cerita. Dan makasih," berat untuk mengucapkan kalimat selanjutnya lantaran dilemma dan sedikit tak rela. Namun toh Aruna tetap saja melanjut, "Karena sudah percayain aku sebagai ... sahabat kamu."

***

"Mahesa, kamu tau nggak sisi positif dari kasusnya Leony itu apa?"

Sejamang Mahesa tidak bisa menjawab dengan sebersit rasa penasaran yang mulai mendatanginya. Pemuda tersebut memajukan duduknya. Menyondongkan badan agar masih bisa mendengarkan penuturan Aruna di tengah deru angin yang menyapa rungu sepanjang perjalanan.

"Apa?" tanyanya.

Aruna tersenyum sekalipun Mahesa tidak bisa melihat jelas di belakangnya, "Tandanya, uang hasil perbuatanmu yang nggak baik itu akhirnya nggak dipakai sama adikmu. Pekerjaan di luar masih banyak, Sa. Nggak seharusnya kamu nyiksa diri untuk jadi petarung tambahan begitu."

Mahesa masih terdiam. Dia pun tidak memiliki alasan lain untuk mengelak. Lantaran memang, dirinya juga salah. Pun menyadari juga bahwa perbuatannya juga salah.

"Kebayang gimana sedihnya Leony sama Keenan kalau tau kamu begitu ke mereka. Uang itu hasil dari perbuatanmu yang nggak benar. Syukur saja kamu nggak nyuri atau apapun itu. Sekalipun kamu benar-benar terdesak, kamu bisa cari aku. Aku masih punya beberapa lembar tabungan. Pokoknya jangan begitu lagi, oke?"

"Iya," Mahesa langsung menurut, menciptakan senyum yang terbit di wajah Aruna setelahnya, "makasih ya, Ru."

"Masalahmu apa lagi selain itu? Benar-benar sudah selesai?" Aruna bertanya sekali lagi.

Mahesa menggeleng, "Belum sepenuhnya. Tapi setidaknya setelah kepulanganku kemarin, keadaan jauh lebih baik."

Aruna mengangguk. Menghentikan motornya di lampu merah, gadis tersebut mengambil tangan Mahesa untuk ditepuknya perlahan, "Setelah ini, nggak usah main barang-barang yang tajam, ya, Sa. Bahaya."

Mahesa tak berbicara apapun manakala Aruna mengelus lengannya. Agaknya gadis itu sudah terlebih dahulu tahu di mana letak luka-luka yang selama ini disembunyikan Mahesa di balik lengan panjangnya. Lagipula Aruna sudah melihat itu, dan Mahesa juga sudah bercerita. Jadi agaknya dia tidak mempunyai alasan untuk mengelak ataupun kabur seperti dulu.

"Kalau main-mainnya sama Aruna. Boleh, tidak?"

Aruna berdecih, kendati dalam hatinya sedikit bersyukur lantaran Mahesa sudah tidak sekacau tadi, "Asal jangan mainin perasaan. Nggak apa-apa," timpalnya.

Mahesa terkekeh. Suara beratnya yang mengalun indah itu tersampaikan dalam rungu Aruna. Lekas gadis itu melajukan kembali motornya manakala lampu lalu lintas menunjukkan warna hijau.

"Sekarang gimana?"

Mahesa mengernyit heran, "Gimana apanya?"

"Masih lelah, nggak?"

Tertawa kecil, Mahesa menggeleng pelan, "Untuk saat ini, sudah tidak lelah. Makasih ya, Aruna Lilian."[]







Anyway jangan lupa vote dan komentarnya yaa.

hayuk, kenalan sama sosok Keenan. 





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top