Lelah
Lestari agaknya merasa ada yang aneh akhir-akhir ini. Awalnya ia tidak tahu, pun memilih abai lantaran tugas kuliah dan belum lagi keadaan organisasi yang ia geluti yang membuatnya tidak mempunyai waktu senggang selain malam. Sebab awal ia berpikir bahwa mungkin ia dan teman sekamarnya itu hanya sama-sama lelah terkait kesibukan masing-masing. Lantaran menyadari perubahan yang ditampakkan Aruna akhir-akhir ini padanya.
Ya, mereka memang punya kesibukan masing-masing dan hanya bertemu di malam hari. Untuk makan malam bersama kemudian kembali fokus mengerjakan tugas sebelum kembali tidur.
Namun agaknya perubahan yang ditampakkan oleh gadis bersurai sebahu itu tidak bisa benar-benar diabaikan lantaran selepas mereka dari kantin tadi, Aruna tiba-tiba saja meninggalkannya tanpa sepatah kaca dengan raut wajah kecut seolah akan marah barang disenggol saja.
Aruna mendiamkannya.
"Ru, ada masalah apa, sih?" Lestari pada akhirnya mengalah. Langsung bertanya tanpa basa-basi saat keduanya tiba di kosan bersamaan.
"Ada masalah apa?" Aruna balik bertanya, meletakkan kunci motor dan melepas jaketnya untuk disampirkan di balik pintu. Tanpa melirik atau memedulikan Lestari yang tengah menatapnya bingung.
Lestari mengeram setengah gemas, "Kalau ada masalah ayo sini duduk dulu. Diomongin baik-baik. Nggak usah saling diemin gini. Childish banget tau, nggak? Kita sudah dewasa. Nggak seharusnya gini. Kalau bisa diomongin baik-baik, kenapa nggak? Sudah mau seminggu aku perhatiin kamu beda banget."
Aruna menghela napas, pada akhirnya menatap balik Lestari sama-sama bingung, "Justru itu, aku malah bingung sama kamu nanyain apa. Karena memang nggak ada apa-apa," kilahnya.
"Tadi kenapa kamu tiba-tiba langsung beda waktu aku saling ganggu sama Mahesa?" Lestari tersenyum puas, menarik satu sudut bibirnya manakala ekspresi Aruna langsung berubah. Gadis itu bahkan menghentikan kegiatannya selama sepersekian detik manakala melepas jam tangan yang hendak diletakkan di atas rak buku.
"Jadi ini masalahnya?" Lestari maju. Mendudukkan diri di samping ranjang seraya mengamati Aruna yang nampak menyerah dengan kepala tertunduk dan helaan napas panjangnya.
"Bukan itu," ucap Aruna masih mengelak, "pokoknya bukan itu."
"Ru," Lestari mendongakkan kepalanya, menatap Aruna lekat kendati tidak dibalas hal yang serupa, "kamu itu sahabatku, Ru. Sudah berapa lama sih kita bareng? Ya meskipun baru mau dua tahun, tapi kita hidup satu atap, Ru."
"Aku paham banget dan ngerasa banget kalau kamu berubah," Lestari melanjut, "cara kamu balas chat aku, cara kamu ngomong sama aku, dan cara kamu perlakukan aku selama ini," menjeda beberapa detik tanpa berpaling dari Aruna, Lestari menghela napas panjang sembari melanjut, "semuanya beda, Aruna."
"Kelihatan banget, ya?" Lestari dapat melihat samar satu sudut bibir Aruna yang menarik di balik helaian rambutnya, "Padahal aku sudah susah payah biar nggak begitu kelihatan. Ternyata masih ketahuan."
"Aku kenal kamu, Ru. Aku tau kamu. Dan semuanya memang jelas banget. Kamu bisa bohongin semua orang, tapi kamu nggak bisa bohongin aku."
Lestari bangkit dari duduknya. Bahkan belum melepas apapun yang melekat di badannya selain tas punggung yang tergeletak di atas ranjang. Ia berdiri di hadapan Aruna, menyentuh bahu gadis tersebut untuk di hadapkan padanya.
"Ru, kalau feeling-ku benar," Lestari menelan ludah susah payah ditambah Aruna yang kini balas menatapnya. Melanjut ragu, pada akhirnya ia tetap berkata, "Kamu suka sama Mahesa?"
***
"Kamu suka sama Mahesa?" adalah pertanyaan retoris yang keluar dari bibir Lestari dengan tatapan menilai yang menyiratkan keingintahuan besar di sana.
Tidak bisa untuk tidak dibilang menegangkan lantaran dua tangan Aruna yang terkepal erat di sisi tubuhnya. Bahkan satu tangannya yang tanpa sepengetahuan Lestari meremas ujung bajunya. Gadis itu mengatup bibir dengan bahu yang merosot seolah baru saja dijatuhi beban ratusan kilo di sana.
"Ru," panggil Lestari sekali lagi. Menyadari bahwa Aruna yang tengah menunduk itu tampak tidak baik dengan ekspresi yang mendukung tepat setelah Lestari menanyakan spekulasi yang akhir-akhir ini bercongkol di kepalanya. Seolah mengingatkan Aruna ada pertanyaan yang harus dijawab saat ini juga.
Satu anggukan pelan dari Aruna setelahnya sudah cukup untuk menjawab segalanya.
Belum sempat merespon seperti apa, wajah Aruna terangkat. Memandang Lestari tepat di hadapannya dengan dua mata yang sudah berkaca dan detik setelahnya liquid mulai membasahi dua pipinya, "Aku takut, Les."
"Ru? Hei, kenapa begitu? Kenapa menangis begitu?" Lestari buru-buru menuntun Aruna untuk duduk berhadapan di atas kasur mereka. Mengambil tempat yang nyaman karena tahu pembicaraan ini tidak akan sebentar.
Aruna masih terisak dengan dua tangan yang sesekali menghapus kasar air matanya, "Aku selama ini takut. Takut sama semuanya. Takut nanti nggak kuat hadapin resiko jatuh cinta sama dia. Takut nanti sakit hati kayak dulu-dulu. Terus takut hubungan persahabatan kita bisa rusak cuma gara-gara cowok."
"Karena Mahesa pernah nembak aku?"
Aruna mengangguk sekali lagi. Lestari menahan tawa di bibirnya. Lucu sekali. Aruna merengut dengan bibir bawah yang maju dan isakan yang tak juga berhenti. Belum lagi ucapan-ucapannya yang sedikit menggelikan. Astaga, jadi ini ternyata masalahnya? Hanya karena Aruna cemburu?
"Mahesa akhir-akhir ini nanyain kamu. Terutama pas kamu sakit, belum lagi kamu sering saling goda sama dia. Aku nggak suka lihat. Aku cemburu tapi juga nggak mau ngerasain cemburu."
Lestari masih diam dan mendengarkan dengan baik. Aruna menunduk malu tidak berani menampilkan langsung wajahnya. Biar bagaimana pun, menangis karena lelaki bukanlah Aruna sekali. Meringis dalam hati, hendak berhenti tapi ia juga tidak kuat menahan beban yang selama ini benar-benar mengganggunya.
"Kamu tuh sahabatku. Nggak seharusnya aku benci atau cemburu sama kamu. Aku nggak mau kelahi sama kamu cuma gara-gara cowok. Itu alay banget dan aku nggak mau. Aku udah berusaha nyangkal, berusaha buat baik-baik aja dan nggak meduliin itu. Tapi kenapa masih saja nggak bisa?"
"Duh, Aru. Sini, sini peluk dulu," Lestari sedikit terkekeh dengan tangan yang terulur, pada akhirnya memeluk Aruna dan meletakkan kepala gadis itu di bahunya. Sekalipun sedikit sulit lantaran proporsi tubuh mereka yang berbeda dan Aruna yang lebih besar darinya. Namun itu tidak menyurutkan Lestari. Membiarkan Aruna terus terisak dengan telapak tangan yang menutup wajahnya, lantas tangan Lestari juga tak henti menepuk punggung Aruna.
"Kalau sudah dibicarakan begini kan lega. Nggak ada yang disembunyikan diantara kita. Masalah kelar. Maaf, ya sudah buat kamu cemburu. Maaf sudah buat kamu nggak nyaman. Aku janji setelah ini nggak bakalan gangguin Mahesa lagi."
Merasa Aruna tidak akan menjawab dan hanya mendengarkan, Lestari pun melanjut, "Nggak apa-apa cemburu. Itu wajar kok. Makasih juga ya, Ru sudah nggak mau benci sama aku. Dan ... masalah takutnya kamu sama sakit hati terkait cinta," Lestari kembali menghembuskan napasnya dengan tepukan konstan pada punggung Aruna, "rasa sakit tentang cinta ... itu akan selalu ada, Aruna."
Aruna memundurkan badannya. Tangisnya sudah mereda sekalipun masih sesenggukan. Lestari memberikan beberapa lembar tisu yang diterima baik oleh Aruna. Setelah menghapus sisa-sisa air mata yang masih mengalir sampai bersih, ia bertanya dengan suara seraknya.
"Kenapa kamu nggak kaget aku suka sama Mahesa?"
Lestari terkekeh. Menggeleng pelan sebelum menjawab, "Setelah kamu patah hati gara-gara Kak Baskara, kedekatanmu sama Mahesa setelah itu sudah jadi rahasia umum, Aruna. Selama dua semester kedekatan kalian setelah itu, bukan sekali-dua kali aku ngerasa kamu memang punya rasa sama dia. Bukan hal yang bikin kaget terutama setelah kamu sering cerita tentang keseharianmu sama dia."
"Aku cuma takut kalau aku jatuhin hati ke orang yang salah, kamu tau sendiri gimana pandangan orang tentang Mahesa."
Lestari mengangguk mengerti, "Ru, semua orang punya sisi buruknya masing-masing. Bahkan orang kayak Ata, Baskara, yang dinilai baik oleh orang lain. Di mataku dan Naomi, mereka nggak sebaik itu. Mereka berdua juga punya kok hal yang nggak kami suka, hal yang menurut kami buruk. Mereka manusia, Ru. Begitu juga Mahesa.
"Mungkin, memang sedang sialnya saja bagi Mahesa. Saat kehidupan dan sisi jahatnya ketahuan oleh orang lain. Tapi yang paling penting, ini adalah bagaimana kamu nerima dia. Bagaimana kamu bisa terima buruknya dia, kekurangannya dia. Sekalipun ini semua di tangan kamu, Ru. Kamu sanggup atau nggak nerima itu semua? Kalau kamu ngerasa nggak sekuat itu, stop sampai sini. Nggak usah lagi peduliin perasaan itu. Buang jauh-jauh. Anggap Mahesa sama seperti kamu anggap teman-teman cowokmu yang lain."
"Di mataku, dia nggak seburuk itu. Di mataku, dia nggak sejahat itu. Dan entah kenapa, di mataku, aku selalu menemukan dan memaklumi semua hal-hal buruk yang dia lakukan, Les."
Pada akhirnya, malam itu berlalu dengan Aruna yang mulai menceritakan segalanya. Sejenak saja mereka melupakan tumpukan tugas dan kepentingan organisasi yang menunggu. Pun Lestari tidak masalah sekalipun waktunya terbuang hanya karena mendengar cerita-cerita Aruna. Tentang Mahesa yang masih abu-abu. Mahesa yang belum benar-benar dikenalnya. Juga tentang bekas-bekas goresan merah di lengan pemuda tersebut, ataupun luka-luka memar yang kerap Aruna obati di dua kali pertemuan mereka. Tidak luput setiap perlakuan dan ucapan Mahesa padanya. Semua itu, tanpa ada yang benar-benar disembunyikan.
Seberapa kuatnya sosok Aruna di mata orang lain. Ataupun bagaimana orang-orang kerap menilai gadis itu sebagai sosok yang dewasa, Aruna tetaplah manusia. Punya titik lemahnya yang saat ini hanya bisa terlihat dalam perspektif Lestari saja. Sedang bagi Lestari? Mendengar curahan hati seorang Aruna Lilian bukanlah hal yang buruk. Aruna sahabatnya. Melihat sahabat sendiri menangis sesenggukan dan terlihat kehilangan arah, maka sudah sebaiknya Lestari mengutamakan Aruna di atas kepentingannya saat ini.
Lestari mendengarkan dengan baik. Tanpa melepas atensi barang sedetik. Dia bahkan tidak repot-repot mengambil dua minuman dingin yang sempat dibeli mereka sebelum pulang, juga dua bungkus lalapan ayam sebagai makan malam mereka dengan cerita Aruna yang masih berlanjut. Semuanya mengalir begitu saja, dan setelahnya Lestari bisa melihat dengan jelas bagaimana akhirnya satu napas lega itu menjadi sebuah penutup. Menandakan cerita Aruna sudah benar-benar berakhir, dan perasaan lega tercetak jelas di sana.
"Masalahnya Mahesa kayaknya besar banget sampai dia cutting begitu. Belum lagi gosip-gosip dia jadi personil tambahan yang dibayar buat ikutan tawuran. Tapi selama ini dia nggak pernah ngapa-ngapain kamu kan, Ru?"
Aruna menggeleng tegas, "Nggak pernah. Dia selalu baik banget sama aku. Setiap jalan bareng pun selalu manis banget sama aku. Makanya sekalipun di mata kalian dia orangnya jahat, cuek, ngeselin, dan nggak pedulian. Di mataku dia baik."
"Sebenarnya aku juga penginnya kamu nggak usah terlalu dekat sama dia. Tapi masalahnya dulu dia kan kelihatan baik. Hubungannya dia sama keluarganya juga kelihatan normal. Baru-baru ini dia agak kehilangan jalan begitu," ucap Lestari.
Lestari mengangguk akhirnya. Membersihkan sisa makanan mereka sebelum dibawa ke dapur, "Ya sudah kalau begitu kamu nggak perlu peduliin apa kata orang. Lagian, mereka kan nggak benar-benar tau tentang Mahesa," sahut Lestari dari arah dapur yang masih bisa terdengar di telinga Aruna.
"Menurutku sah-sah saja kamu suka sama dia. Itu perasaanmu, milikmu. Perihal sakit hati karena cinta, aku yakin kamu sudah tau resikonya bagaimana," Lestari berucap setelah muncul dari balik dinding untuk kembali duduk di hadapan Aruna dan menyerahkan satu gelas air untuknya, "yang pasti, jangan lupa untuk tetap realistis dan logis biar nanti kedepannya kamu nggak terlalu sakit hati. Oke?"
Aruna mengangguk. Merasa perasaannya benar-benar membaik selepas menceritakan itu semua pada Lestari. Diam-diam bersyukur dalam hati lantaran mempunyai teman bercerita yang sebaik Lestari pun dengan wejangan-wejangan yang selalu dia dapatkan. Meminta solusi dari Lestari memang pilihan terbaik, tentu saja Naomi menjadi salah satunya juga. Ah, mendadak ia merasa bersalah karena menyembunyikan ini dari Naomi. Sepertinya, besok-besok ia juga harus menceritakannya agar sahabatnya yang satu itu tidak merasa cemburu lantaran terlupakan.
Pada akhirnya selepas makan malam dan membersihkan diri. Mengganti pakaian menjadi lebih santai dengan celana training dan baju kaos berlengan panjang lantaran hawa sedikit dingin, Aruna yang baru saja merebahkan diri di atas ranjangnya ditemani tontonan youtube itu terpaksa harus menjeda sedikit kegiatannya. Ponsel berdering dan nama Mahesa tertera di layar.
"Halo?"
Aruna mengernyit heran. Untuk beberapa saat sapaannya tidak dibalas oleh seseorang di ujung sana. Lebih parah dari itu, alih-alih mendapat jawaban, Aruna justru mendengar suara isakan tangis yang samar namun masih bisa terdengar jelas olehnya.
"Mahesa? Sa? Kamu kenapa?"
"Ru," panggil seseorang di ujung sana dengan suara seraknya, "kamu lagi sibuk?"
Aruna melirik sebentar tumpukan buku yang sudah dia keluarkan dari rak. Berniat mengerjakan tugas tersebut bersama Lestari setelah gadis itu keluar dari kamar mandi. Namun menghela napas dengan kepala menunduk, gadis itu justru menjawab, "Nggak. Ada apa?"
"Boleh aku minta tolong?" suara itu sedikit tersendat lantaran isakan dan sesenggukan yang semakin membuat Aruna khawatir sampai mendudukkan diri, "datang ke rumah sakit sebentar saja. Aku nggak tau mau nelfon siapa sekarang. Alamatnya nanti aku share location ke kamu."
"Oke, aku siap-siap sekarang, ya. Kamu diam dan tunggu di sana. Ni aku langsung jalan." Aruna lekas bangkit, menjepit ponselnya di pundak seraya menggunakan jaket di tubuhnya dan meraih kunci motor.
"Ru," panggil Mahesa sekali lagi dengan suara lemahnya, Aruna menghentikan langkahnya yang nyaris membuka pintu kamar kosan. Jantung yang berdentum tak karuan selama selang waktu singkat yang diberikan Mahesa padanya.
"Aku ... lelah, Ru. Lelah sekali."[]
Tekan tombol vote-nya jangan lupa. And of course leave comment if you dont mind :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top