Kita yang Tidak Cocok

Kata 'indah' terdengar terlalu berlebihan,  sedang kata 'biasa saja' juga terlalu sederhana.  Ku pikir kita berada di antaranya
-.-


"Ru,  mau kemana?" Langkahku terhenti kala seorang yang sedang menyapu di teras kamar kosan miliknya menyapa.

"Eh, Mba Lintang.  Mau pergi ke mini market, Mba," jawabku,  seraya menyimpul senyum lantas melanjut,  "Mba Nina pergi,  ya?"

Mba Lintang mengangguk sembari memasukkan sampah sapuannya ke dalam trash bag dengan sekop,  "Iya, dia ada jadwal ngajar sore ini."

"Lho,  mba nggak ngajar juga?"

Mba Lintang menggeleng,  "Muridku minta ganti jadwal.  Dia mau les tambahan pelajaran lain, biasa anak kelas 3 SMA udah mulai sering try out."

Aku mangut-mangut mengerti.  Mba Lintang dan Mba Nina adalah tetangga di kamar sebelahku dan Lestari.  Keduanya adalah kakak tingkatku yang kuliah sembari bekerja.  Karena kami sama-sama berasal dari background yang sama yakni matematika,  tidak heran kami berempat cukup akrab dan nyambung ketika mengobrol.

"Oh,  iya. Aku lupa. Bentar,  Ru." Mba Lintang tergesa memasuki kamar kosannya.  Mengambil sesuatu dan akhirnya keluar dengan satu kantung plastik hitam berukuran sedang.

"Dari ibuku.  Katanya kasih untuk Aruna sebagian." Mba Lintang tersenyum hangat seraya menyerahkan kantung plastik itu.

Aku mengintip,  ada abon sapi dan beberapa lauk kering di sana, "Mba kapan pulang ke Purwokerto?"

"Barengan pas kamu balik Solo minggu lalu.  Nggak dikasih tahu sama Lestari?"

Aku menggeleng singkat,  "Nggak.  Ya sudah,  deh.  Salam ke bude,  ya,  Mba.  Makasih banyak udah repot dibikinin lauk kering segala."

Mba Lintang tersenyum,  "Iya.  Kamu kan adikku juga.  Santai aja.  Oh,  iya,  Mba nitip beliin sabun cuci, ya.  Tadi lupa minta Nina beli."

"Oke,  nanti aku bawain. Sekali lagi makasih,  Mba."

"Iya,  hati-hati,  Ru."

Memanggil Lestari untuk menyimpan pemberian dari Mba Lintang, setelah itu aku melangkah menuju tempat parkir.  Menyalakan motor dan melaju keluar kosan demi membeli perlengkapan yang sudah habis.

***


Ketika membaca kisah cinta dari novel-novel koleksi Lestari,  aku selalu melihat bagaimana pertemuan pertama menjadi pertanda bahwa kisah bermulai. 

Beberapa ada yang klise.  Seperti ketika tidak sengaja bertabrakan di jalan dengan salah satu pihak yang terburu-buru, berawal dari saling membenci,  terlibat perkelahian, atau salah satu pihak ada yang pemberontak dan satunya lagi keras kepala.

Terkadang aku berpikir,  bahwa bagaimana kisah cinta yang akan aku miliki itu bermulai dan berakhir.  Apa sama seperti mereka? 

Aku tidak pernah benar-benar patah hati sebelumnya.  Tidak pernah pula benar-benar merasa kehilangan.  Karena rasa yang kuberikan tidaklah sepenuhnya. 

Kendati denganmu,  aku tidak tahu apa yang membuatku merasa tersentuh dan berakhir bahwa ...  sepertinya memberikan rasa yang tidak sedikit ini juga tidak terlalu buruk.  Bukanlah pilihan yang pada saat itu aku sesali. 

Aku tidak tahu harus menuliskan bagaimana.  Pun aku tidak mengingat benar bagaimana pertemuan awal kita bermulai.  Itu sebabnya sejak awal cerita ini dituliskan, aku tidak menceritakan kisah pertemuan tentangmu di dalam sini.  Karena yang kuingat adalah ketika salah satu temanku memanggilmu dengan menyerukan "Mahesa" cukup keras.  Pun hal yang sama juga sepertinya berlaku padamu.

Kita kenal begitu saja.  Tanpa adanya jabatan tangan atau embel-embel kalimat perkenalan yang bisa membuat satu pihak terkesan untuk kesan yang baik di pertemuan pertama.

Maka semenjak saat itu kita mulai berteman seperti biasa.  Sewajarnya dan senormalnya lelaki dan perempuan berteman.  Tanpa melibatkan apapun yang membuat repot. 

Sehingga ketika aku tanpa sengaja melihatmu di depan minimarket,  sedang bermain dengan kucing liar yang tampak kelaparan,  aku hanya menatap heran seraya berujar-

"Mahesa?"

Kamu menghentikan usapan kasihmu pada kucing itu.  Mendongakkan kepala melihatku yang berdiri dengan satu cengiran yang belum hilang.  Sepertinya, bermain dengan kucing membuatmu sesenang itu,  ya?

"Aruna?"

"Kamu ngapain di sini?" Aku bertanya,  ikut mengambil posisi agar tinggi kita sejajar.

"Pengin makan es krim.  Nggak sengaja lihat kucing kelaparan.  Kasihan," jawabmu,  kembali membelai bulu-bulu kucing yang kurus itu tanpa merasa takut kotor.

Aku terkekeh,  "Tumben cowok makan es krim.  Biasanya juga cewek."

"Lagi pengin yang manis-manis aja,  Ru.  Emang es krim cuma buat cewek aja,  ya?" ujarmu tanpa mengalihkan pandangan dan masih asyik melihat kucing liar memakan makanan yang kamu berikan.

"Lihat Aru saja kalau begitu.  Sudah manis." Aku menggodamu,  lantas menampilkan senyuman semanis mungkin dengan dua mata yang mengerjap.

"Nggak usah sok imut begitu.  Kamu nggak mirip Kim Ji-Won." Kamu menatapku datar.

"Harus banget,  ya,  Kim Ji-Won. Heran, deh." Aku kembali normal dengan raut wajah seperti semula.

"Lagian video dramanya dia yang sok imut itu nyebar dimana-dimana. Ya,  aku tahunya itu." Kamu berdiri.  Aku mengikuti.  Menepuk tanganmu dua kali dari debu-debu yang tertempel di bulu-bulu kucing.

"Iya.  Wajar,  sih.  Kim Ji-Won kan pasangannya sama Park Seo Joon.  Jadinya mau sok imut gitu cocok.  Lha aku mau sok imut depan kamu.  Nggak banget." Aku tidak mau kalah.

"Kenapa?  Aku gini-gini ganteng,  lho."

"Nggak usah sok gantengin diri.  Kamu nggak mirip Kim Taehyung." Aku membalikkan ucapanmu. Puas sekali melihat raut wajahmu yang kaget dan tidak menyangka akan balas dendam yang ku lontarkan.

Kamu terdiam sejenak, terlihat berpikir.  Kemudian tersenyum penug arti dan kembali berujar,  "Ru,  kamu bilang Kim Ji-Won sama Park Seo Joon itu cocok,  'kan?"

Aku mengangguk.

"Kenapa?"

"Ya,  cocok,  lah," aku menjawab tanpa pikir panjang, "Kim Ji-Won cantik,  mau sok imut depan Park Seo Joon yang ganteng, cocok.  Pas aja gitu.  Serasi."

Kamu terlihat menahan senyum. Lantas lanjut berkata,  "Berarti ... kita juga cocok,  dong,  Ru."

Dahiku mengernyit,  "Hah?  Kenapa gitu."

"Iya," kamu mengangguk yakin,  "kalo dua orang tadi cocok karena sama-sama cantik dan ganteng. Kita berdua cocok karena sama-sama nggak cocok. "

"Hah?  Apaan, sih.  Esa nggak jelas gitu."

Kamu menghela napas,  "Kita sama-sama jelek maksudnya." Kamu berbalik, berjalan menuju motor dan memutar kunci.  Tampak sedikit geregetan melihat aku yang tidak kunjung paham.

Aku mengekor di belakang, "Apa?  Jadi maksud Esa,  Aru jelek,  gitu?"

"Iyalah,  kamu aja nggak pernah bilang aku ganteng."

"Ya,  karena kamunya nggak pernah bilang aku cantik,  sih.  Harus adil kita." Aku tidak mau kalah.

"Bawel. Nggak usah cerewet nanti aku nggak jadi suka."

"Idih,  kalau nggak jadi suka terus nanti kenapa coba?"

"Kalau nggak jadi suka,  nanti kita nggak jadi cocok."

Aku menatapmu datar.  Lantas kamu terkekeh seusai menggodaku begitu,  "Nggak ngarep buat cocok sama kamu juga,  Sa. Lagian kalau gitu,  berarti kamu nggak suka sama aku apa adanya.  Jahat banget."

"Iya,  kamu nggak cantik soalnya," kamu menunjuk diam-diam,  menuju kumpulan cewek-cewek yang sedang mengobrol sembari makan beberapa snack di sana, "kayak mereka, Ru.  Cantik-cantik.  Putih mulus."

Pletak!

"Aduh! Ru,  sakit,  tahu!" Kamu mengaduh seraya mengusap dahi yang tadi terkena jitakanku.

"Masih syukur nggak matamu aku colok.  Dasar jelalatan."

"Kan kasih contoh.  Biar kalau mau cocok sama aku harus masuk kriteria cantik dulu."

Aku berjalan,  menuju motor yang tidak jauh darimu,  "Nggak mau cocok sama kamu.  Kamu juga nggak masuk kriteria ganteng. Jadi,  maaf-maaf, nih, ya."

Kamu terkekeh seraya geleng-geleng kepala.  Lantas tidak lama setelah motor kita menyala dan bersiap pergi,  aku harus kembali dikejutkan kala seruanmu mendadak terdengar.

"Aru!  Es krimku mencair!"

********************
Jangan lupa vote dan komentar.. Gratis kok dan nggak susah😊😊
Sampai jumpa di bab berikutnya

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top