Kita Hanyalah Manusia Biasa

Kita hanyalah dua orang biasa dengan kisah cinta yang biasa

•••••

Dear Mahesa,


Hari ini, tepatnya tadi pagi, aku melihatmu lagi. Memasuki kelas dan mengambil duduk di bangku nomor dua dari belakang. Bergabung bersama Kak Baskara dan Dika entah membicarakan apa. Kamu tampaknya benar-benar menikmati saat-saat sebelum Pak Yu datang dan meminta kita untuk membuktikan kenapa satu dikali nol bisa menghasilkan nol.

Kamu masih tidak sadar, tapi aku melihatmu secara sembunyi dari sini. Selama beberapa detik, kuharap waktu berhenti saja sebentar. Agar aku bisa melihatmu lebih lama.

Namun, aku harus kembali kepada realitas. Mengusaikan acara mengagumi dalam diam itu sebelum kamu menyadarinya.

Aku kembali pada kegiatanku. Lestari dan Naomi tampak sibuk membicarakan merk kosmetik yang akan mereka beli karena sedang ada diskon di salah satu pusat perbelanjaan. Maka aku menikmati saja salah satu novel yang sedang kubaca di platform orange ini.

Membaca kisah antara gadis yang memiliki kehidupan menyedihkan bertemu dengan seorang lelaki kaya yang menyelamatkannya. Membawa gadis itu pergi dan menjanjikan kebahagiaan. Sehingga mereka pada akhirnya hidup bahagia bersama.

Penulisnya benar-benar menyajikan dengan apik. Pun diksi yang dituliskan membuatku terbuai sehingga melanjutkannya. Membaca lagi dan lagi sampai tulisan 'tamat' menjadi hal terakhir yang aku baca.

Klise.

Entah kenapa, kisah cinta yang aku baca sebagian besar berisi seperti itu. Sebuah kisah dengan konflik pelik dan menguras emosi.

Sa, kisah kita yang aku tulis mungkin tidaklah se-rumit itu. Kita adalah dua orang dengan kehidupan normal dan biasa saja, pun memiliki permasalahan cinta yang biasa.

Kamu bukanlah seorang ketua geng motor, bad boy, kapten basket, orang kaya terohor, CEO, ketua mafia, atau apapun tokoh-tokoh sempurna itu. Dan aku juga bukanlah gadis miskin dengan kisah hidup merana yang butuh pertolongan dari lelaki gagah bergelimang harta.

Kamu ya kamu, aku ya aku. Dua orang biasa dengan kehidupan normal selayaknya orang kebanyakan.

Semuanya serba biasa.

Kadang aku berpikir, orang-orang biasa seperti kita ini ... apa tidak boleh menerima akhir yang bahagia seperti kisah-kisah cinta yang pelik itu?

Aruna Lilian

***

"Gimana, Ru? Udah bisa, kan?"

Aku menggigit bibir, ragu, "Aku takut uangku nggak cukup."

"Nggak apa-apa. Nanti aku nyusul ke sana kalau emang uangmu kurang. Lagian deket kosanku juga. Kamu nggak apa-apa?"

Aku mengangguk meskipun kamu tidak melihatnya, "Cuman kena luka di lutut sama memar."

"Makanya jangan pecicilan. Nyetir yang hati-hati," omelmu di ujung sana. Aku bisa membayangkan raut wajahmu yang tegas dengan tatapan mata tajam memarahi kecerobohanku.

"Sini kek temenin aku. Dihibur atau apa denger temennya habis jatuh dari motor. Malah dimarahin. Nggak ada temen, nih di sini. Banyakan bapak-bapak."

"Kamu cewek sendirian di sana?"

"Iya," ucapku, "nanti sekalian beliin jajan, ya."

"Dih, pede banget aku mau nyamperin," katamu.

"Jahat banget. Lagian kamu di kos juga paling guling-guling nggak ada kerjaan. Mending nemenin aku di sini biar nggak gabut."

"Dasar. Pinter banget nge-les. Yaudah, aku ke sana."

***

Sekalipun sudah sering ke bengkel untuk service motor sebulan sekali, aku biasa ditemani Lestari. Melakukan service motor bersama karena untuk kategori perempuan, berdua lebih baik daripada sendirian tanpa orang dikelilingi banyak lelaki.

Kamu benar, aku terlalu ceroboh. Tidak berhati-hati mengendarai motor, konyol rasanya jatuh dari motor hanya karena tidak sengaja tergelincir mangga yang tergeletak di sisi jalan, tapi untungnya ada bapak-bapak baik yang membantuku bangun dan menggeret motorku sampai bengkel. Membuatku sampai harus berterimakasih dan membungkuk dalam-dalam saking syukurnya.

"Sendirian, Mba?"

Aku melirik sebentar, melihat satu lelaki yang duduk tidak jauh dariku mengajak mengobrol. Sepertinya dia juga tengah menunggu motornya yang sedang diperbaiki.

Mengangguk singkat, tidak mau memperpanjang percakapan, aku menjawab, "Nggak. Nanti ditemenin, kok."

"Yah, sayang banget. Padahal saya pikir Mba sendiri."

Mahesa sialan, runtukku dalam hati. Aku tidak habis berpikir. Seberapa lama sebenarnya kamu menghabiskan waktu untuk berdandan? Kamu lelaki, tidak perku menggunakan bedak dan gincu. Ditambah aku tidak nyaman karena lelaki di sampingku sedari tadi mengajak bicara.

Aku hanya membalas sekadarnya. Tertawa hambar jika dia berusaha melucu. Tolong Mahesa, cepatlah kamu datang. Nggak lihat, ya kalau aku ini nggak nyaman kalau-

"Ah, dingin!" Aku memekik kaget lantaran sesuatu yang dingin tiba-tiba saja menyentuh pipi. Melihat sepatu yang tak asing berada di hadapanku, lantas aku cepat-cepat mendongak, senyum yang merekah tercipta saat melihat sosok jangkung yang ditunggu sejak tadi akhirnya tiba.

"Lama banget," aku mencibir dengan wajah tertekuk.

Kamu melirik sekilas lelaki yang duduk tak jauh dariku. Lantas mengambil duduk tepat disebelahku, menjadi penghalang antara aku dan laki-laki tadi.

"Ya, maaf lama. Habisnya kamu bawel minta dibawain jajan. Tadi ngantri panjang." Minuman dingin yang kamu tempelkan di pipiku tadi kini sudah berpindah tangan.

Aku menerimanya dengan suka cita. Pun cepat-cepat mencobloskan sedotan dan segera menyeruput. Membiarkan rasa dingin dan manis memanjakan tenggorokan.

Wajahku mengadah, dengan mata tertutup. Menikmati rasa manis yang tercecap di lidah. Sejak siang aku belum minum apapun. Jadi, jangan salahkan aku yang benar-benar haus dan menganggap ini minuman yang paling enak. Tidak berniat meninggalkan bengkel untuk sekadar membeli air karena mendengar kabar dari tanteku yang motornya dicuri saat sedang diperbaiki di bengkel juga. Hanya ditinggal sholat, motor itu raib begitu saja.

Puk ... puk ... puk

Tepukan lembut ku rasakan di kepala. Aku menoleh. Menatapmu yang tengah tersenyum hangat dengan tangan yang berada di atas kepalaku. Belum henti keterkejutanku, kamu kembali mendekat, hingga aku pada akhirnya mendengar bisikanmu.

"Maaf lama. Cowok ini dari tadi gangguin kamu ya, Ru?"

"Uhuk! Uhuk! Uhuk!"

Kamu tampak panik. Lantas, tangan besar itu kini berada di punggungku. Menepuknya beberapa kali sampai sedakanku mereda dan aku bisa bernapas dengan normal lagi.

"Pelan-pelan, Ru. Kalau masih haus, minumanku masih ada." Kamu mengangkat minuman yang belum tersentuh itu, menunjukkan padaku bahwa aku boleh memilikinya.

Namun, bukan itu masalahnya. Sungguh.

Sudut penglihatanku, aku melihat lelaki yang sejak tadi membuatku tidak nyaman itu buang muka. Tidak lagi mengganggu atau sok kenal seperti tadi. Dia lebih asyik dengan ponsel yang ada di tangannya. Aku maklum saja dan bersyukur tidak harus menggubrisnya.

Aku memang berharap Mahesa segera datang agar aku tidak lagi merasa terganggu. Hanya saja, aku masih tetap mengharapkan sesuatu yang normal.

Tidak tahu, mungkin ini efek hormon karena aku sedang datang bulan barangkali? Aku juga tidak tahu kenapa. Namun, jika kalian berada di posisiku, apa yang akan kalian lakukan? Atau tepatnya, rasakan?

Sa, kuakui kamu benar-benar manis.

Maksudku, memperlakukanku secara manis.

Kamu tahu aku tidak nyaman dan segera mengambil tindakan. Melirik lelaki tadi setajam elanb dan segera memperlakukanku dengan teramat manis, seolah ingin menunjukkan "Hei, ini pacarku. Jangan ganggu jika tidak mau aku marah" pada lelaki itu melalui sorot mata tajammu. Membuat lelaki itu tak berkutik dan memilih diam, tidak lagi menggangguku.

Maaf, aku terlalu percaya diri menyimpulkan, tapi begitulah aku menangkapnya.

Hanya saja, kamu kan bisa biasa saja memperlakukanku. Tidak perlu menepuk kepalaku dengan lembut sambil berbisik di telingaku dengan suaramu yang berat, sedikit serak, dan dalam begitu.

Aku kan kaget, malu, salah tingkat, ah begitu deh.

Kamu sendiri juga pakai acara tidak sadar lagi. Ah, itu sepertinya bagus. Karena aku tidak perlu menjelaskan padamu tentang apa roda merah yang tiba-tiba saja tercetak jelas di kedua pipiku sampai aku cepat-cepat buang muka.

"Hati-hati, Aruna. Jelek banget kakimu sekarang." Kamu berkomentar saat matamu menangkap luka gores merah cukup besar di lututku.

"Iya, sudah nggak mulus kayak dulu. Gara-gara mangga, aku jadi gini." Bibirku mengerucut, setelah menormalkan detakan jantung yang tidak karuan, aku kembali menanggapimu.

Kamu tertawa geli, sampai-sampai matamu membentuk garis melengkung di sana, "Untung nggak ada aku. Kalau ada aku, aku ketawain dulu sampai puas. Baru tolongin."

"Dasar teman laknat."

"Lestari mana?" kamu bertanya, seraya menyobloskan sedotan di minumanmu dan menyeruputnya. Aku dalam hati tertawa geli, mengingat ucapan Lestari, aku jadi sedikit sensitif dengan kalian.

"Kenapa? Kangen? Nggak boleh kangen sama pacar orang." Aku berkata ringan seraya terkekeh menggodamu.

"Bukan gitu. Biasa kan kalau ada apa-apa kamu nelfonnya ke Lestari."

"Keluarganya yang dari Jakarta dateng. Jadi, dia ada acara makan-makan sekeluarga. Nggak enak juga gangguin," jelasku.

Kamu mengangguk mangut-mangut, menyandar pada sandaran kursi seraya menikmati minuman dinginmu yang berasa vanila.

Dari samping, aku tanpa sadar memandangimu. Cukup lama sampai aku berpikir apa alasan Lestari menolakmu? Maksudku, kamu tidaklah seburuk itu.

Bulu mata lentik itu bergerak tatkala kamu mengerjap, "Jangan liatin aku terlalu lama, Aruna. Nanti kalau kamu jatuh cinta, aku yang repot."

Mendadak aku salah tingkah. Cepat-cepat menormalkan ekspresi, lantas aku menukas cepat, "Sialan. Bisa nggak, sih, nggak usah kepedean gitu."

"Bukan kepedean. Hanya ngomongin realitanya saja. Aku tahu aku ganteng. Kalau kamu ikutan kasih aku cokelat kayak cewek lain, terus nanti cokelatmu aku kasih siapa, dong?"

"Aku sendiri yang makan. Ogah banget habisin uang cuma buat beliin kamu cokelat. Nggak penting."

Tawa berat khasmu terdengar, kamu kembali berujar, "Habis ini ke rumah Naomi, mau ikut?"

"Buat apa?"

"Mamaku ngirim paketan jajan. Aku ajak yang lain juga kalau mereka bisa. Besok juga kita libur."

Aku tersenyum lebar, "Yeyeye, jajan dateng."

Kamu merotasikan mata, "Giliran gini aja kamu semangat. Mau ikut?"

Aku mengangguk cepat, "Tapi nebeng, ya. Belum berani bawa motor. Ceritanya masih trauma."

"Sok-sok trauma. Pulang ini langsung obatin lukamu."

"Iya, bawel."[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top