Kepingan Puzzle
Ada banyak hal yang ingin aku sampaikan. Ada banyak harapan yang ingin aku kabulkan. Serta ada banyak urusan yang ingin aku tuntaskan.
•••••
"Makasih, ya," kataku sembari menepuk-nepuk hoodie merah mudaku, bermaksud merapikannya setelah turun dari motormu.
Kamu mengangguk, "Nanti aku kirim file, nitip print di kamu, ya."
"Oke, aku juga nanti mau nanyain soal nomor lima sama tiga."
"Kalau aku nggak ketiduran, ya."
Mataku membelalak, "Esa! Pelit banget, sih sama temen sendiri. Kan kamu nitip print di aku."
"Siapa suruh kamu minta aku nemenin ke bengkel panas-panas. Aku jadi nggak dapet jatah tidur siang."
"Bantu temen tuh dapet pahala lho, Sa. Apalagi bantu cewek cantik kayak aku."
Kamu membuang muka, bersamaan dengan helaan napas kasar dan tawa mengejekmu yang khas, "Ru, udah sana kamu mending tidur. Kayaknya kamu udah teler."
"Muji temen sendiri apa susahnya, sih. Dasar. Ya udah, makasih. Hati-hati di jalan."
Kamu tertawa kecil, lantas menyalakan motor maticmu, "Aku pulang dulu, Aruna. Duluan, ya."
Usai berpamitan dan melambaikan tangan kepadanya. Aku membuka gerbang besar kosan tatkala motormu sudah melaju. Bermaksud hendak beristirahat sebentar. Minum kopi susu yang tadi aku beli bersamamu sebelum pulang sembari menonton drama korea sebelum melanjutkan lagi tumpukan soal yang harus ku selesaikan hingga tuntas, semua itu terpaksa harus terjeda karena suara geraman Lestari yang berasal dari arah dapur.
"Iya, Mahesa tuh deket sama Aruna. Wajar lah mereka barengan kita waktu pulang. Dia juga sering kemana-mana bareng Aruna. Lagian gue kan juga tadi jalan bareng lo. Kenapa mesti marah-marah gini, sih?"
Mendengar namaku disebut-sebut, sontak tatapan penuh tanya aku arahkan pada Lestari. Dia memberikan tanda dengan tangannya, memintaku menunggu penjelasan. Perempuan itu mengambil tempat duduk atas kasur kami dengan ponsel yang diapit oleh bahu dan telinganya, selagi kedua tangan digunakan untuk membawa piring berisi makan malam.
"Ck, Ta, gue nggak seneng, ya lo jadi childish gini. Nggak lucu tau, pms ya, lo? Lagian tinggal tunggu tanggal main paling juga ntar Aru sama Esa bakalan jadian. Mereka udah deket, kok."
"Uhuk! Uhuk! Uhuk!"
Lestari tidak peduli dengan sedakanku. Beruntung saja es kopi susu yang tadi ku beli tidak menyembur di wajahnya-sekalipun aku benar-benar berharap itu yang terjadi-bahkan gadis itu mengabaikan delikanku yang jelas-jelas tertuju untuknya. Memilih berbaring dengan kaki yang diselonjorkan dan mata yang menatap langit-langit.
"Ta! Nggak usah percaya! Lestari genit tadi goda-godain, Mahesa! Diemin aja dia seminggu biar dia tau rasa!"
"Sialan! Aruna! Lo ngajak gelud sama gue, nih ceritanya?"
"Bodo!"
Aku berseru keras. Sengaja supaya Ata mendengar. Biar saja supaya Lestari tahu dan tidak berani macam-macam lagi padaku. Memangnya dia pikir hanya dia saja yang bisa mengerjaiku? Didiamkan oleh Ata baru tahu rasa dia.
Perdebatan dua sejoli itu masih terus berlanjut bahkan setelah aku keluar dari kamar mandi dengan handuk yang mengalung di leher. Entah membicarakan apa atau melakukan gombalan macam apa. Sisi manja Lestari yang benar-benar membuatku geli pun kalimat-kalimat yang dia lontarkan agar Ata tidak marah.
Percaya, deh. Jika kalian ada di posisiku terutama dengan status single, lebih baik tidak mendengar lebih lanjut lagi. Tidak usah tahu atau bahkan merasa penasaran. Tidak. Jangan berani-berani merasakan itu jika tidak mau telinga kalian geli dan punggung yang bergidik sudah macam dijatuhi ulat bulu.
Lantas, aku memilih opsi lain. Memasang earphone dengan volume yang cukup keras agar suara Lestari ataupun samar-samar suara Ata tidak terdengar di telinga.
***
Lestari sialan.
Setelah semalaman berkelahi dengan pacar. Dia berani-beraninya meninggalkanku sendiri. Mentang-mentang sudah baikan. Memang dasar orang bucin. Katanya, tidak mau membuat Ata marah, dia menurut ketika lelaki itu mengajak ke kampus bersama. Meninggalkan aku sendiri yang pada awalnya kami berdua berniat berangkat bersama.
Kalian tentu tidak lupa kondisi motorku, bukan?
Aku bisa saja membawa motor Lestari. Sekalipun masih sedikit takut lantaran baru saja terjatuh kemarin. Namun, ku yakin anak itu pasti lupa mengeluarkan kunci motor dari dalam tasnya dan berakhir membawa kunci itu ikut serta.
Lantas, aku harus susah payah menunggu ojek online yang sedikit lama datang membuatku nyaris terlambat dan harus berlarian untuk mencapai kelas.
"Pagi-pagi udah keringetan. Abis lari-lari?"
"Iya, si tukang bucin ninggalin temennya sendiri." Aku menjawab asal pertanyaan Naomi. Masih dengan napas tersenggal dan tangan yang mengipas wajah lantaran terasa panas. Aku pun menerima tisu yang disondorkan Naomi untuk mengelap keringat di dahiku.
"Maaf, Ru. Nanti kalo lo dah punya pacar juga lo bakalan ngerti sendiri."
"Ogah," aku menatap sinis pada Lestari yang duduk di sebelah Naomi, "besok gue yang mau marahin pacar gue. Enak aja gue yang dimarahin sama dia."
"Nggak cocok, Ru."
"Apanya?"
"Nggak usah sok-sokan pake lo-gue. Udah cocokan pake aku-kamu aja."
Lestari tertawa. Gemar sekali menggodaku yang tengah mendelik tajam padanya. Mana pula dosen ini? Sudah lelah aku berlarian agar tidak telat, malah nggak datang-datang.
"Guys! Pak Putu nggak bisa hadir. Kita ditinggalin tugas untuk ngerjain."
Ya ampun.
***
Hilir mudik buku terjadi saat Nima, salah satu murid yang pintar di kelasku, dengan murah hati memberikan jawabannya secara suka rela. Jarang-jarang kami mendapat rezeki seperti ini. Maka, buku milik Nima sudah pasti berpindah tangan untuk difoto jawaban yang tertulis di dalamnya.
Suasana kelas masihlah seramai tadi saat kedatanganku. Pun kegiatan-kegiatan normal yang biasa kalian lihat ketika di kelas, dengan puluhan manusia berbeda tipe dan kepribadian bisa kalian dapatkan cukup mudah.
Anak-anak pintar saling berkumpul bersama guna berdiskusi jawaban yang telah mereka jawab. Ekhem, aku juga bergabung dalam kelompok mereka omong-omong. Sekalipun otakku tidak se-encer Naomi, tapi setidaknya aku hadir sebagai pendengar agar bisa mengerti materi yang kami lewati hari ini.
Di belakang, ada kumpulan kawan-kawan lelakiku yang tengah duduk saling berhadapan dengan menggeggam ponsel dan saling berteriak satu sama lain. Baiklah, mereka sedang bermain game bersama atau bahasa kerennya adalah 'mabar' yang memiliki kepanjangan 'main bersama'.
Kemudian di bagian tengah berkumpullah para perempuan yang tengah saling berbagi cerita tentang gosip-gosip terbaru kampus. Siapa dekat dengan siapa. Diselingi dengan diskusi merk kosmetik apa yang kira-kira bagus untuk dipadukan dengan style saat kuliah.
Di ujung dekat pintu, para penyanyi kelas dengan suara yang bahkan lebih baik jika mereka tidak menyanyi, dengan kadar percaya diri setinggi langit, tidak berhenti menyanyikan lagu dangdut yang biasa kalian dengar di pernikahan orang-orang.
Semua sedang asyik dengan kegiatannya masing-masing. Sisanya yang tidak bergabung memilih menghabiskan waktu-
-sendiri.
Kegiatanku yang sedang melakukan observasi seisi kelas terpaksa terhenti lantaran melihat satu lelaki tak asing tengah duduk di dekat jendela, menatap luar dengan earphone menyumpal di telinga.
Kamu.
"Ru? Dah paham?"
Aku mengerjap kala mendengar pertanyaan Naomi yang tiba-tiba saja menjurus padaku, "Ah? Ya. Udah, kok," jawabku cepat.
"Kantin, yuk. Laper. Nggak sempet sarapan di kosan." Naomi mengajak yang dibalas anggukan setuju dariku dan Lestari.
Pun setelah itu, arah pandangku tidak lepas darimu. Berpikir apa yang sedang kamu pikirkan di diammu saat ini. Karena memang tidak biasanya kamu begitu. Terutama setelah tadi malam tidak ada yang terjadi diantara kita. Bahkan kamu nampak baik-baik saja.
Aku memgambil tas dan memasukkan buku-bukuku di sana. Hendak pergi sekalipun penasaran karena melihatmu yang tidak banyak bicara pagi ini, aku masih menghargai privasimu, langkahku terhenti saat seseorang memanggil.
"Ru, kamu dekat dengan Mahesa, ya? Kalian pacaran?"
Aku sontak menoleh cepat, "Siapa yang bilang gitu? Aku nggak ada apa-apa sama dia," jawabku, masih mengelak. Tentunya menjaga suaraku agar tidak terdengar dan berakhir memalukan diri sendiri.
Mira, salah satu geng yang kubilang tadi gemar menggosip, mengangguk seolah tidak terganggu dengan dia yang menuduhku yang tidak-tidak seperti tadi, "Baguslah kamu nggak pacaran sama dia. Jangan terlalu deket sama dia, Ru."
Aku hendak pergi. Tidak mengindahkan ucapan Mira jika saja kalimat terakhirnya tidak menarik perhatianku, "Kenapa?"
Mira menyondongkan badan. Sembari melihat ke kanan dan ke kiri memastikan tak ada yang mendengar pembicaraan kami, "Dia bukan berasal dari keluarga yang baik-baik. Ku dengar juga, Mahesa rela melakukan kerjaan apa aja demi dapet uang. Kamu pernah mikir nggak kenapa nilainya Adit, cowok yang nggak pintar-pintar amat kayak dia, bisa bagus semester lalu?"
Belum selang lama keterkejutanku, Mira melanjut, "Jauhin dia, Ru. Bisa saja dia baik depanmu, tapi belakangnya dia cowok yang nggak baik. Jangan sampai dia macem-macem ke kamu."
Sejak hari itu. Berbagai spekulasi mulai hadir di kepalaku. Pun pertanyaan mengenai siapa kamu sebenarnya sampai-sampai dibicarakan begini.
Hendak pergi untuk memilih opsi yang lebih baik, tapi aku menemukan fakta yang lebih menarik.
Bahwa entah kenapa, keberadaanmu sangat sulit untuk aku abaikan.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top