Hujan dan Penolakan

Aku akan memberitahukan bagaimana mengesalkannya ditolak bahkan sebelum berjuang

•••••

Kuliah selama tiga semester tidak lantas membuatku langsung percaya begitu saja kepada orang-orang di sekitarku. Dalam artian, aku masih menjaga batas kepada siapa saja orang-orang yang pantas aku ceritakan sebuah kisah yang tidak boleh semua orang tahu, kalian bisa menyebutnya sebagai rahasia.

Sebut aku sedikit berlebihan, tapi memang aku bukanlah orang yang dengan mudah berteman dengan orang lain dalam waktu dekat. Mungkin aku memang terlihat lumayan ramah di luar dan memiliki banyak teman, tapi untuk mempererat hubungan dan menyematkan kata 'percaya' nampaknya hanya segelintir orang saja yang berhasil memenuhi kriteriaku sekalipun itu tidak sepenuhnya aku berikan kepercayaan kepada mereka.

Bukan apa-apa, aku pernah mengalami sebuah kasus di mana aku hendak memberikan kepercayaanku kepada salah satu orang yang kupikir dia bisa dipercaya. Namun, ketika aku baru saja memberikan segelintir kepercayaan itu, dia dengan mudahnya mengecewakanku.

Tidak hanya itu saja, masih ada banyak kasus yang mungkin tidak akan selesai jika aku ceritakan, pun tidak cukup menarik juga untuk aku tuliskan di sini. Bukannya menghibur, kalian yang ada malah mengantuk bosan.

Jadi, apa kesimpulannya?

Adalah aku sedikit kesulitan untuk menceritakan kepada siapa tentang sebuah perasaan yang menggelitik mulai mencoba memasuki rongga dadaku. Baiklah, aku sudah punya Lestari sebagai teman dekatku. Namun kami baru akrab selama beberapa bulan ini ketika memutuskan untuk tinggal bersama. Seperti halnya aku yang belum begitu percaya pada Lestari, perempuan itu juga nampaknya sama. Dia tidak akan mempercayai orang lain sebelum orang itu memberikan kepercayaan padanya.

Pada akhirnya aku memendam sendiri, juga mencoba untuk mengontrol bagaimana aku yang diam-diam melihat laki-laki bernama Baskara Prayogi yang tengah bergabung bersama dengan teman-teman lelakiku untuk makan siang di kantin kampus.

Hujan dan senja adalah hal klise yang selalu ada di setiap kisah cinta. Selain karena memiliki makna yang indah, nyatanya entah bagaimana kedua hal itu secara otomatis akan selalu ada mendampingi kisah cinta nyaris semua orang di dunia ini. Tidak terkecuali denganku.

Baskara sepengelihatanku adalah orang yang sangat menghargai orang lain. Ketika ada yang berbicara dengannya, maka lelaki itu akan memberikan seluruh atensinya pada siapapun yang diajaknya bicara.

Aku ingat ketika aku sedang berbicara dengan Kak Baskara ketika sedang dalam perjalanan menuju ruang kelas lain untuk melanjutkan perkuliahan kami, kala itu temanku Dika yang berjalan dekat kami berbicara cukup keras hingga aku terpaksa menghentikan sejenak ucapanku demi mempersilahkannya bicara dulu.

Kak Baskara pun berkata, "Dika suaramu tuh kalah-kalah toa masjid. Berisik. Udah diem sana jauh-jauh," alisnya menukik seraya menunjuk Dika, sebelum akhirnya mengubah ekspresi lebih ramah dan kembali menatapku, "lanjut, Ru."

Aku tersenyum simpul dan kembali melanjutkan pembicaraan kami. Selagi Kak Baskara mendengar dengan baik-baik sembari satu tangannya terjejal ke dalam saku celana kain hitam yang dia pakai. Sesekali mengangguk atau menjawab singkat menanggapi ucapanku.

Bukan hanya itu, tapi hal lain yang dia lakukan juga cukup membuatku sedikit tersentuh.

"Aru, sini biar aku yang bawa dus airnya. Berat, masa cewek bawa yang berat-berat."

"Ru, sini. Banyak orang nanti kamu malah kesasar."

"Nggak apa-apa, Ru. Nggak usah malu banyak cowok. Wong kamu sama aku sekarang."

"Sini, aku bukain tutup botolnya. Susah, ya?"

Dan yang paling membuatku tidak lupa adalah ketika saat itu, aku sedang ada masalah di rumah. Pun yang tahu masalahku hanya Naomi dan Lestari. Selebihnya di kampus, aku memilih untuk tidak begitu menunjukkan bagaimana keadaanku yang sedang bersedih hati. Percuma, tidak akan ada yang benar-benar peduli.

Aku juga tidak butuh banyak perhatian dari banyak orang. Maka aku bertingkah seperti Aruna yang biasa. Lebih tepatnya mencoba biasa. Hanya saja tampaknya ada satu pihak yang menyadari sesuatu yang tidak beres.

"Ru, kamu kenapa?"

Aku tersentak, menatap heran Kak Baskara yang duduk di sampingku, "Nggak apa-apa, Kak. Kenapa?"

Kak Baskara mengedikkan bahu, "Nggak pa-pa. Kamu tumben diem, nggak cerewet dan heboh kayak biasa."

Aku menaikkan sebelah alis, "Emangnya kelihatan, ya?"

Kak Baskara tersenyum simpul, mengangguk dua kali lantas menjawab, "Kelihatan banget di mataku."

"Itu kating yang cuti terus lanjut di kelasmu, 'kan, Ru?"

Lamunanku terinterupsi. Aku menghentikan satu suap nasi yang hendak memasuki mulut, menoleh sejenak menatap Anandita, anak kelas sebelah, yang bertanya dengan arah mata ke luar jendela tempat cowok-cowok berkumpul, "Iya, setahuku dia cuti gara-gara kecelakaan. Dia juga kadang izin nggak masuk buat check up," jawabku.

Anandita mengangguk, melanjutkan kembali makanannya.

Suasana di kantin cukup ramai. Pertama, karena jam makan siang yang otomatis banyak orang mampir untuk makan siang tentunya, atau sekedar membeli makanan ringan untuk mengganjal perut. Kedua, karena langit yang sejak tadi menggelap sehingga banyak orang yang memilih berlindung di dalam sebelum tiba-tiba terguyur hujan.

Kendati tampaknya, teman-teman laki-lakiku memilih untuk menghabiskan makan siang mereka di meja luar, terletak di bawah pohon yang dekat dengan rombong Bibi Jum, penjual cilok senior yang keenakan ciloknya sudah tidak perlu diragukan lagi. Favorit kami semua.

"Kak Bas! Arini mau kehujanan, nih! Peka dong peka." Suara tak asing milik Lestari tertangkap pendengaranku.

Lestari berdiri di luar sedang memesan minuman sembari meledek Baskara yang tengah berdiri tak jauh darinya. Lelaki yang awalnya sedang melihat daftar menu itu kini menoleh, menuju arah tatapan Lestari, tempat Arini berdiri sembari tertunduk malu-malu.

"Aduh, aku nggak pakai jaket, nih. Gimana, dong? Nggak ada yang punya payung, ya?"

"Uhuk! Uhuk! Uhuk!"

"Aru, kenapa? Pelan-pelan makannya. Nggak usah buru-buru." Naomi terkejut, badannya tercondong dengan tangan menepuk punggungku beberapa kali, sedang Anandita menyondorkan minuman untukku.

Aku menerima satu botol air mineral dan segera meneguknya. Biar begitu, dalam hati otakku bekerja dengan arah mata menuju luar jendela tempat Lestari sedang menggoda Kak Baskara tanpa henti.

Bukan perkara sok kenal atau bagaimana. Namun sejauh pengetahuan dan apa yang aku lihat, Kak Baskara bukanlah orang yang akan menanggapi dengan serius candaan macam itu. Jika ada yang menggodanya, maka Kak Baskara akan menggoda balik lebih-lebih dari orang itu menggodanya. Tidak seperti tadi, di mana Kak Baskara justru menatap serius Arini dengan sebersit khawatir di sana.

Naomi melihat arah tatapanku ke luar jendela. Dia tampaknya sudah paham dengan apa yang ku lihat. Pun adegan Kak Bas yang meminta maaf tidak bisa membantu banyak juga Arini yang malu-malu dan menolak halus.

"Mereka deket yang begitu, ya?"

Naomi berpikir sejenak kemudian mengangguk, "Sejauh yang aku tahu, sih, gitu, ya. Dengar-dengar Kak Bas juga suka sama Arini. Dia cantik, sih. Nggak heran. Sering chattingan juga mereka."

Maka spontan nafsu makanku hilang. Seolah lapar yang aku rasa menguap begitu saja. Soto yang kumakan tidak lagi menggugah selera.

Kemarin-kemarin, aku berdoa pada Tuhan. Ku bilang bahwa aku tidak mau menyukai Kak Baskara. Aku berdoa bahwa agar perasaan ini tidak segera menggangguku, mengingat aku dan Kak Baskara sudah akrab satu sama lain. Aku hanya tidak mau mengganggu lingkaran pertemanan di antara kami. Pun setelah itu, aku terus berusaha selagi berharap bahwa perasaan ini tidak kian tumbuh.

Kendati yang terjadi adalah sebaliknya.

Saat itu langit kelabu, tidak memerlukan waktu lama sebelum butiran air mulai berlarian membasahi bumi. Rintik hujan yang semakin deras. Aku melihat dengan jelas bagaimana Arini yang tampak malu-malu menolak bantuan Baskara yang bersikeras mencari jaket atau setidaknya payung untuk perempuan itu. Membuatnya menggeleng pelan sebelum pamit, kedua tangannya berada di atas kepala, melindungi agar tidak basah terkena hujan. Setelahnya Arini berlari kecil, meninggalkan kami sebelum hujan kian bertambah besar.

Ah, kenapa aku mendadak tidak suka melihat itu?

Jangan melihatnya, Aruna.

Aku merapalkan kata itu beberapa kali. Kendati aku sudah terlanjur dan berniat untuk segera mengenyahkan ingatan tadi. Aku hanya tidak mau cemburu terlalu lama atau justru semakin tidak suka dengan Arini. Padahal perempuan itu baik sekali denganku, jika saja hal tadi tidak terjadi, maka aku tidak akan sekesal ini padanya.

"Dengar-dengar Kak Bas juga suka sama Arini. Dia cantik, sih. Nggak heran. Sering chattingan juga mereka."

Tahu tidak apa yang lebih menyesakkan?

Setelah waktu-waktu aku lalui untuk mencaritahu apakah perasaan yang kujatuhkan pada Baskara itu benar-benar suka atau hanya tersentuh, siang hari yang basah itu aku mulai memantapkan satu hal. Bahwa aku memang menyukai Baskara.

Aku suka dengan setiap hal sederhana yang dia lakukan ketika bersamaku. Sesederhana itu perasaan ini akhirnya tumbuh sehingga di siang yang diguyur hujan itu aku memantapkan hati.

Namun, alih-alih senang karena berhasil bisa memantapkan hati. Aku justru mendapatkan hal yang tidak begitu menyenangkan hati.

Ternyata, begini rasanya ditolak bahkan sebelum mulai berjuang.

***

Naomi sudah pergi. Katanya harus ke perpustakaan untuk mengerjakan makalah bersama teman satu kelompoknya. Aku kebetulan satu kelompok dengan Lestari, perempuan itu tidak makan ikut makan siang tadi. Maka tidak heran kini dirinya sedang berlindung di bawah terpal, yang melindungi rombong cilok milik Bibi Jum dan perlengkapan lainnya milik wanita itu agar tidak basah, selagi membeli cilok untuk dirinya sendiri.

"Aruna! Mahesa! Mau cilok juga nggak?" kepala Lestari menyembul dari balik rombong. Menatapku yang sedang berteduh di depan kelas yang tak jauh dari kantin, lebih tepatnya menatap kita.

"Boleh, deh. Pakein kuah, Ri!" jeda sejenak, "Aru, kamu mau pakai kuah juga, nggak?"

Aku saat itu tidak begitu nafsu makan sebenarnya. Namun hujan begini di suhu yang cukup dingin terutama aku yang tidak menggunakan pakaian tebal, sepertinya makan cilok yang berkuah cukup menghangatkan juga. Lantas aku menoleh ke kanan, di mana kamu sedang menatapku guna menunggu jawabanku.

Aku mengangguk, "Bilangin, Tari, kalau punyaku pedas."

Kamu mengangguk, kembali menoleh tempat Lestari berada, "Ri! Punyaku dan Aru pedas, ya!" serumu.

Setelah itu kita diam. Hanya terdengar rintik hujan yang saling memburu dari atas genteng. Membentuk lubang-lubang kecil yang berjajar rapi berasal dari setiap air hujan yang mengalir dari atas. Tanganku tergerak, terjulur ke depan dan mengadah. Merasakan dinginnya air hujan mulai membasahi permukaan telapak tangan.

Kamu tidak melakukan hal yang serupa. Memilih diam sembari menatap sekitar. Menunggu Lestari membawa pesanan kita sebelum kita pulang ke rumah masing-masing.

"Kenapa nggak langsung pulang?" aku bertanya.

Kamu melirikku sebentar, lantas kembali menatap lurus ke depan, "Nggak kenapa-napa, cuma masa aku harus ikut hujan-hujanan gini."

"Bukannya cowok-cowok lain udah pulang, ya?"

Kamu menggeleng pelan, "Mereka pada numpang di kelas-kelas yang kosong. Mau pada bikin makalah sama kelompoknya masing-masing katanya."

"Iya juga, sih," timpalku, "kalau ke perpustakaan nanti basah kuyup."

Kamu mengangguk. Percakapan kita berhenti. Sepertinya kita memang tidak punya niat untuk kembali berbicara lanjut. Aku sendiri tidak punya ketertarikan untuk mengembangkan topik seperti biasa. Kalian tahu apa? Patah hati di siang bolong bukanlah hal yang enak untuk dialami. Terutama ketika belum sempat satu hari aku mengakui perasaan ini, sebuah fakta kembali membuatku tertampar.

Benar-benar mengesalkan.

Jadi aku tidak mau berbicara apapun. Terlalu malas juga. Kalau Mahesa ingin bicara, biar saja dia yang membuka topik, aku akan diam saja dan-

"Ru, cewek yang pakai jilbab biru itu cantik, ya."

Pemikiranku yang berkelit terpaksa terhenti. Aku menatapmu heran, lantas tergerak mengikuti pandangmu pada tiga perempuan yang mendatangi rombong Bibi Jum dan membeli cilok di sana.

Maka aku mendengus kesal kala kata 'cantik' itu terucap. Mendadak teringat ucapan Naomi, perihal Kak Baskara yang tidak heran menyukai Arini karena perempuan itu cantik.

"Kenapa, sih, cowok itu sukanya sama cewek cantik aja. Ya, aku juga nggak nyalahin mereka karena aku juga liat orang pasti dari tampang. Cuma kan – ahh, udah, deh. Nggak jadi." Aku mendadak kesal sendiri, sedang kamu yang menatapku bingung sendiri.

Alis menukik dan sorot penuh tanya itu memenuhi pandanganku. Kedua tanganmu berada di dua sisi memegang tali tas punggung, badanmu berputar sedikit agar bisa berhadapan denganku. Aku masih menatap hujan dengan wajah tertekuk.

"Aru, Aru." Kamu menggumam seraya terkekeh, menarik atensiku.

"Kenapa?" tanyaku heran, apa yang perlu ditertawakan pada keadaan seperti ini?

Kamu menggeleng, masih menyimpan sisa-sisa tawa dengan senyum yang terpatri, "Kami cowok jelas suka lihat yang cantik-cantik, Ru, tapi kalau untuk dijadiin pasangan, kami juga bakalan lihat sikapnya dia gimana."

Aku masih menatapmu sedikit bingung, matamu tertuju pada tiga perempuan tadi, dengan kedua tangan yang terjejal dalam kantung jaket, kamu kembali berujar, "Cantik tapi nggak baik, ya percuma. Hati itu tetap yang paling penting, Ru."

Penjelasanmu memang teramat singkat. Sekalipun aku bisa menangkap baik maksud dari pernyataanmu itu. Keheningan kembali menyapa kita. Bukan, bukan karena aku yang kembali malas memperluas topik. Hanya saja otakku kembali memutar ulang informasi dari setiap perkataanmu. Bukan berusaha memahami, tapi berusaha menegaskan.

Bahwa seperti yang kamu bilang, fisik itu bukanlah segalanya.

Senyum tersungging di wajahmu. Membalas keheningan dan tatapan lurusku yang sejak tadi belum berpaling darimu. Tidak lama setelahnya, kedua tanganmu keluar dari tempat bernaungnya sejak tadi. Beralih menutupkan tudung jaket sehingga menutupi seluruh kepalamu, menyisakan poni yang menutupi dahimu.

Tanganmu terangkat, menepuk pundakku dua kali, "Sudah, ya? Aku pamit, Ru," pamitmu.

Belum sempat menjawab, kamu berlari menerjang hujan yang kini sudah berubah menjadi gerimis. Menghampiri Lestari guna mengambil pesananmu dan berpamitan singkat dengannya sebelum kamu kembali berlari.

Aku masih diam tanpa mengalihkan sedikit saja perhatian darimu. Memandang punggungmu yang kian mengecil dan hilang.

Maka tanpa sadar kedua sudut bibirku tertarik. Seiring dengan perasaanku yang membaik. Terimakasih atas penjelasan sederhanamumu di siang yang tidak terik. Karenanya, aku tidak se-sedih tadi dengan suasana hati yang pelik.

*******************************************

Jadi kalian tim Aruna-Mahesa atau Aruna-Baskara?

p.s : Jangan pelit-pelit vote komen ya. Gratis kok. 

See you next chapter

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top