Hal-hal Melankolis Tentang Hujan

Orang bilang, hujan, cinta, dan rindu memiliki sebuah ikatan khusus

•••••

Teruntuk sosok yang sedang aku pikirkan saat ini.

Mahesa.

Kamu sedang apa? Di rumahku, malam ini sedang hujan. Aku seharian membungkus diri dengan selimut. Cuacanya sangat dingin, Sa. Kuharap kamu memakai hoodie abu favoritmu itu jika keluar agar tidak dingin dan sakit. Pergantian musim membuat daya tahan tubuh setiap orang menurun.

Termasuk kamu.

Jadi, karena aku kini sepertinya tidak bisa lagi mengoceh panjang lebar memintamu untuk makan teratur, berhenti membawa motor ketika hujan, memakai pakaian lebih tebal, minum vitamin, dan istirahat. Ku harap kamu lebih memerhatikan dirimu.

Karena aku kini hanya bisa menahan diri setiap kali melihatmu sedikit berantakan dari kejauhan.

Ah, omong-omong kisah kita sudah dimulai lho. Aku jadi deg-degan mulai menuliskan kisah kita sejak awal saling mengirim pesan hingga hanya menjadi penonton story. Baiklah, kamu mungkin tidak perlu membacanya karena sudah tahu apa-apa saja yang sudah kita lalui.

Namun, setidaknya kamu bisa mengenang sedikit tentang kita melalui cerita ini.

Aduh, aku lupa lagi. Aku harus kembali menyadarkan diri karena posisiku saat ini belum sampai ke tahap orang-yang-bisa-kamu-kenang. Mengingat aku bukanlah orang yang penting-penting sekali di hidupmu.

Tapi, tidak apalah. Kalau kamu tidak mau ya biar aku saja yang mengenang kisah kita ini sampai akhir. Jadi, Sa. Mulai bab ini aku tegaskan, bahwa kamu mutlak menjadi seorang tokoh utama yang selalu dibutuhkan.

Yang dulunya selalu ... aku butuhkan.

Aruna Lilian

***

Tidak mau menghabiskan waktu untuk patah hati lama-lama. Aku sadar diri harus segera bangkit dan tidak boleh terpuruk setelah dua minggu meringkuk di atas kasur dan berangkat kampus sudah macam zombie yang kelaparan butuh asupan daging manusia.

Sempoyongan sana-sini.

Sebenarnya setelah curhat dengan Lestari, aku bisa menahan diri dan tidak berlarut-larut sedih. Hanya saja, sehari setelahnya tiba-tiba Naomi datang ke kosan kami dengan senyum lebar dan wajah semringah miliknya seraya mengucapkan,

"Kak Baskara nembak aku. Kita resmi pacaran!"

Setelah itu, aku sudah macam orang miris, merana, yang sepulang kampus lebih memilih tidur di kosan dan memandang luar jendela dengan  playlist lagu-lagu patah hati yang memenuhi ruangan. Jadi, jangka 'galau'-ku terpaksa diperpanjang menjadi dua minggu.

Beruntung Lestari tipikal orang dengan tingkat kesabaran yang tinggi, pun pendengar yang sangat-sangat baik. Aku tidak hentinya mengucap syukur.

Entah sudah berapa kali aku menceritakan perkara patah hati dengan kisah yang mirip-mirip, tapi intinya sama.  Sedang Lestari tidak pernah sekalipun merasa kesal atau marah. Dia hanya diam dan mendengarkan. Membuatku merasa nyaman dan setidaknya memiliki tempat untuk berbagi.

Dua pasangan romantis itu kini sedang duduk bersebelahan.  Tertawa lepas dan bercanda.  Membuatku pada akhirnya memilih membuang muka sebagai opsi terbaik demi meredakan sesak dan cemburu dalam dada.

"Makanya,  Ru.  Jomblo jangan kelamaan.  Biar nggak ngelihatin orang pacaran kayak gitu."

Aku spontan menoleh.  Melihatmu yang tetiba saja datang dan mengambil tempat duduk di sebelahku,  hadir dengan senyum kotak khas yang kamu punya.  Seraya membuka tas dan mengeluarkan ponselmu.

"Nggak mau pacaran," kataku singkat.  Lantas kembali membuka lembaran buku sekalipun tidak membacanya.

Kamu tertawa singkat mengejek, sembari memainkan ponsel,  kamu menjawab, "Anak baik, nih,  ceritanya?" ledekmu.

"Iya," aku menjawab cepat, "dilarang Mama Papa."

Tawamu sontak meledak.  Mengudara memenuhi ruangan kelas sehingga membuat beberapa pasang mata menatap kita selama beberapa saat,  sebelum pada akhirnya kembali fokus pada kegiatan mereka masing-masing dan tidak terlalu peduli.

Aku juga tak kalah menatapmu heran.  Dari perkataanku tadi,  memangnya apa yang lucu?

"Maaf-maaf," kamu berujar di sela tawamu, lantas menormalkan napas akibat menghabiskan energi pada sesuatu yang tidak lucu, "nggak tahu kenapa, kalimatmu tadi kedengarannya lucu di telingaku."

"Memangnya apa salahnya Mama Papa larang anaknya pacaran?" aku bertanya,  sungguh karena aku benar-benar tidak paham.

"Tidak ada yang salah," tukasmu,  "cuman  kamu membuatnya kedengaran lucu.  Berbicara begitu,  udah kayak kamu anak kecil SMA yang dilarang orang tuanya pacaran karena sekolah.  Sementara kamu sendiri udah kuliah dan bisa hidup bebas."

"Kamu sendiri?  Niat pacaran nggak?" aku balas mengganggu.

Kamu membuat gestur berpikir. Serius sekali.  Meletakkan ponsel atas meja selagi ibu jari dan telunjukmu membuat semacam tanda centang di dagu, lengkap  dengan mata yang menerawang,  "Tergantung."

"Tergantung?"

"Ya,  tergantung," kamu tersenyum menggoda dengan alis naik turun,  "tergantung kalau cewek itu udah dibolehin pacaran atau belum sama Mama Papanya."

Aku diam sejenak. Menatapmu polos dengan otak yang memroses maksud ucapanmu.  Cukup berselang lama selagi kamu tidak mengalihkan pandang dariku masih dengan senyum yang menggodaku seperti tadi.

Maka,  setelah tidak kunjung mendapatkan respon yang kamu harapkan,  kamu lantas berdecak. Mengibaskan tangan di udara dan berkata,  "Ah,  Ru.  Kamu nggak asyik."

"OH!" aku berseru keras.  Menampilkan senyum dua jari setelah paham maksud ucapanmu barusan.

"Ngomong sama kamu nggak enak, Ru.  Loading-nya kelamaan.  Serius,  deh."

Aku tertawa seraya memukul bahumu pelan, "Sialan,  kamu.  Lagian ku pikir kamu ngomongin apa gitu. Serius banget,  sih."

"Habis kamu nanya menjurus ke privasi.  Jadi harus ditanggapi serius,  dong."

"Berarti aku sudah masuk bagian dari privasimu,  Sa?" aku balas menggoda.

Kamu melirikku sejenak.  Kemudian menggerakkan kembali bola mata cokelat itu menuju layar dari benda pipih di tanganmu,  "Nggak jadi.  Kamunya diajak ngomong nggak nyambung."

"Dih!  Siapa bilang?" ujarku tak terima.

"Aku. Barusan, kan?"

"Lagian,  kan-"

"Udah,  Ru. Aku tahu kamu nge-fans berat sama aku, tapi jangan mempersulit diri.  Nanti juga kalau kita jodoh,  bakalan nyatu sendiri."

Seketika tatapanku berubah datar.  Bersamaan dengan kedua telunjuk yang digunakan untuk menyumpal telinga dan seruanku yang mengudara,  "Nggak denger! Nggak denger!"

Kamu terkekeh, mengacak rambutku seperti biasa sebagai respon seruanku.

***

Bulan Februari,  awan nampaknya masih rindu untuk berjumpa dengan bumi.  Jatuh dari tempat yang tinggi,  membentuk sebuah tetesan air yang pada akhirnya mendarat dan meresap daratan dengan cepat.  Melebur dan membentuk sebuah aroma tanah yang menyeruak memenuhi penciuman tiap anak adam.

Tanganku terjulur,  menengadah menampung air hujan yang terbawa angin melalui lantai tiga gedung tempatku kuliah.  Lantas seulas senyum merekah tatkala melihat air hujan yang justru terjatuh alih-alih tertampung dengan baik.

"Ru,  mau ikut turun,  tidak?  Kita tunggu di bawah." Suara Lestari dari belakang terdengar.

"Duluan saja.  Aku nyusul," ujarku,  masih dengan arah mata pada telapak tangan pucat yang tetap bersikeras menampung air hujan.

"Ya,  sudah.  Aku dan Naomi ke bawah.  Mau ketemu pak Adrian dulu," kata terakhir yang mereka lontarkan padaku sebelum pergi.

Sejamang tidak ada yang aku lakukan selain membiarkan tanganku yang kian memucat.  Pun rambut aku biarkan tergerai.  Menjadi penghangat leher kala angin dingin hujan mulai menyapa epidermis kulit.

"Menyukai petrikor,  Ru?"

Sebuah suara kembali menginterupsi.  Bersamaan dengan hadirnya seseorang yang menempati tempat disebelahku.  Turut memandang hujan dengan kedua tangan yang terlipat pada dinding pembatas.

"Iya.  Aromanya menenangkan." Aku menjawab jujur.

"Aroma tanah kering ketika hujan membawa banyak hal yang membuat kita merasa emosional."

Aku menoleh sejenak.  Melihatmu yang sedang memandangi langit kelabu dengan tatapan sendu, "Jadi,  kamu sekarang lagi emosional?  Gitu?"

Mematri senyum, lantas kamu berujar, "Kamu termasuk mana,  Aruna? Pluviophile atau bukan?" alih-alih menjawab,  kamu kembali mengajukan kalimat yang berakhir tanda tanya.

"Bisa dikategorikan, sih. Cuman kadang-kadang aku juga tidak suka hujan. Contohnya, kalau aku lagi naik motor terus kehujanan," aku mencoba melucu, lantas ketika mendengar tawa kecilmu sebagai tanggapan, aku melanjut, "kamu sendiri?  Gimana?"

"Entah.  Ku pikir tidak," kamu menjawab menerawang,  aku masih memerhatikanmu berbicara dari samping,  "karena aku belum benar-benar merasakan hal-hal yang klise dibalik itu," lanjutmu dengan gedikkan bahu.

Kamu tiba-tiba saja menatapku.  Dengan seulas senyum tipis sebagai penggiring,  aksaramu pun mengudara,  "Jadi,  siapa lelaki yang buat kamu pada akhirnya menjadi seorang pluviophile?"

Aku menarik satu sudut bibir bersama dengan hembusan napas kasar,  "Memang harus ada cowok untuk menjadi penikmat hujan yang begitu?"

"Tergantung konsepnya, Aruna," kamu menukas,  sudah membentuk gestur akan menggurui,  "kalau kamu bawa konsep cinta, maka sudah pasti ada orang lain di sana.  Bukannya hujan dan cinta itu seolah punya ikatan tersendiri?"

"Bagaimana jika aku mengambil konsep 'rindu'?  Bukannya itu juga masuk ke dalam jenis pluviophile?"

Kamu berpikir sejenak, "Mungkin bisa saja.  Cuman,  apa ada sesuatu lain yang kamu rindukan saat hujan,  kalau itu bukan berkaitan dengan cinta?"

Aku mengangguk yakin,  "Tentu.  Seperti  ... saat-saat dimana aku harus hujan-hujanan ke bimbel untuk persiapan SBMPTN dulu. Kadang kalau hujan,  aku rindu saat-saat itu."

Kamu tersenyum,  "Ternyata ada.  Ku pikir hujan dan rindu selalu berkaitan dengan cinta."

"Kayaknya itu lebih mendominasi," anggapku, "bukannya kamu juga bilang,  kalau hujan dan cinta itu punya ikatan khusus?"

"Ya," lirihmu, "sebuah ikatan yang sampai saat ini ... tidak aku mengerti."

"Kenapa jadi serius gini,  sih?" aku tetawa hambar,  kamu pun begitu,  "mau bahas teori-teori hujan dan cinta, nih,  ceritanya?"

"Boleh,  gimana kalau sambil jalan?  Lagian hujan sudah  mau berhenti."

Aku mengangguk,  melempar senyum bulan sabit padamu, "Boleh nebeng,  nggak?  Lestari dijemput Ata.  Aku nggak bawa motor karena masih di service."

Kamu mengangguk tanpa pikir panjang,  "Ayo," ujarmu,  melingkarkan tangan di pundakku seraya mendorongku untuk berjalan menyamakan langkah panjangmu,  "kali aja sepulang ini aku jadi puitis sekelas Boy Chandra."

"Sa,  tahu nggak kalau hujan itu,  selain identik sama cinta juga identik sama hal lain, lho?" Aku mengganti ke topik yang sedikit berbeda.

Kamu menunduk,  menatapku tertarik, "Oh,  iya?  Apa?"

Aku tersenyum penuh arti,  "Mie rebus."

Tawa renyahmu pun mengudara bersamaan dengan dua anggukan ringan, cepat sekali kamu mengerti,  "Boleh.  Kayaknya, Bude Yuni masih punya banyak stok mie rebus buat kita."

"Yuk!" aku berseru antusias, "makan mie rebus hujan-hujan bareng aku.  Jarang-jarang, lho,  Sa. Dijamin nggak kalah romantis sama orang-orang diluar sana."

"Bawel," ledekmu, "udah ayok,  cepetan.  Nanti kehabisan baru tahu rasa."

Kamu berakhir menggeretku dengan langkah lebarmu.  Berlari kecil dengan tangan mengadah hujan agar tidak semakin membasahi kepala.  Jadi,  kisah kita hari itu berakhir bersamaan dengan satu mangkuk mie kuah telur untuk masing-masing, dengan aromanya serta uap-uap panas yang menggugah selera.

************************************1. Petrikor merupakan aroma khas saat rintik-rintik hujan mengenai tanah yang kering.
2. Pluviophile merupakan istilah dalam dunia psikologi yang berarti pecinta hujan. Jadi saat rintik-rintik air mengenai tanah, kaum pluviophile akan merasakan ketenangan, kedamaian, rindu yang mendalam, cinta dan hal-hal manis lainnya.

Hahay,  nih cerita Mahesa dan Aruna akhirnya dimulai. Sudah siap untuk tahu perjalanan cinta mereka selanjutnya gimana?

Sampai jumpa next chapter dan jangan lupa tinggalkan jejak 🤗🤗

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top