[EBOOK VERSION] Bab 2. Hujan & Sebuah Penolakan

Menulis bagiku adalah salah satu cara untuk bisa menyembuhkan diri.
Kendati setiap kata yang ku tulis dengan sepenuh hati,
terselip kerinduan dan kenangan yang tentunya mustahil untuk terulang kembali.
Maka hadirlah kisah ini untuk menjadi pelipur hati.
Aku janji, ini adalah untuk yang terakhir kali.

—Aruna Lilian

***

Aruna beberapa kali harus mengontrol diri dengan teramat apik, lantaran dua manik yang sejak tadi curi-curi pandang ke bangku paling belakang, tempat di mana Baskara tengah duduk dan berbincang bersama kawan-kawannya. Sedang si gadis justru menempati bangku pada barisan ke dua paling pojok, Aruna masih sempat-sempatnya memutar badan ataupun kepala hanya untuk melihat lesung pipit tersebut bereksistensi sejak tadi.

Ia tersenyum diam-diam. Hatinya berbunga.

Payah sekali. Ini bukan pertama kalinya dia jatuh hati. Dulu pun, dia sudah beberapa kali merasakan ketertarikan dengan lawan jenis saat menduduki bangku SMA. Kendati barangkali saja rasanya tidak sekuat ini. Agaknya, keberadaan Baskara dengan segala tingkah lakunya yang cukup manis dan sopan bisa membuat si rambut panjang tersebut cukup merasa nyaman dan berakhir melabuhkan sebuah rasa.

"Harusnya dia satu tingkat di atas kita, 'kan?" Lestari tiba-tiba membuka suara. Membuat perhatian Aruna sesaat terputus dan menoleh setengah heran.

"Apa?"

"Dia," tunjuk Lestari dengan dagunya, "Kak Baskara harusnya satu tingkat di atas kita."

"Iya," Naomi tiba-tiba menimpali, kendati kini tengah sibuk merapikan dan menaburkan bedak di wajahnya, "dia pernah kecelakaan. Jadi harus cuti satu tahun terus akhirnya gabung di kelas kita."

Penjelasan Naomi membuat satu alis Lestari terangkat menyadari sesuatu yang aneh di sana, "Kamu tau banyak tentang Kak Baskara, Nao. Kita saja nggak ada yang setahu itu, lho."

Naomi menutup bedaknya. Tersenyum tanpa dosa selayaknya anak kecil yang tak sengaja melakukan kesalahan. Agaknya segala ekspresi yang Naomi tampilkan membuat jantung seseorang di sana berdebar harap-harap cemas.

"Kita beberapa kali chatting-an. Kadang telfonan juga."

Lestari terkesiap, Aruna apalagi. Mendadak pendengarannya seolah malfungsi. Tak diindahkan pekikan tertahan Lestari dan kehebohan dua manusia itu saat Naomi perlahan menguak satu-dua ceritanya bersama Baskara ditambah memperlihatkan isi pesan mereka. Sesekali Aruna tertawa dan bertingkah seolah dia juga sama terkejutnya saat tahu salah satu di antara mereka sedang didekati dengan seseorang yang tengah Aruna kagumi detik itu.

"Mau kemana?" Lestari bertanya saat mendadak Aruna bangkit dari tempat duduknya.

"Keluar. Cari angin." Aruna berkata ringan. Tersenyum simpul seolah mencoba menyembunyikan sebuah sesak yang ia sedang simpan baik dalam dada. Lantas, gadis tersebut keluar dengan ponsel yang ada di genggaman tangannya.

***

"Ru? Kenapa di luar?"

Aruna terkesiap saat tiba-tiba saja Mahesa sedang berdiri tak jauh darinya. Aruna menggeleng, "Nggak kenapa-kenapa. Pak Kausar nggak bisa hadir. Di ganti jadwalnya ke lain hari," beritahu Aruna saat dikiranya Mahesa belum tahu kabar tersebut.

Sebuah helaan napas panjang terdengar diiringi bahu yang merosot lemah. Hal-hal kecil terkait Aruna sejak tadi tak luput dari perhatian Mahesa. Agaknya gadis tersebut nampak tidak terusik, atau barangkali saja tidak peduli. Karena yang ia lakukan hanya terus menatap lurus dan sesekali menengadah melihat langit. Tidak ada sebuah senyum hangat yang kerap diterima Mahesa seperti saat-saat ia biasa bertegur sapa dengan gadis tersebut.

"Cantik."

Aruna menatap heran. Spontan menoleh melihat lelaki di sampingnya yang tengah menengadah menatap langit, "Apanya?"

"Langitnya."

Sekali lagi, ia mengikuti arah pandang Mahesa, "Cantik dari mananya? Mendung begitu. Hujan pula. Motorku pasti basah. Di mana-mana becek."

Mahesa terkekeh, "Seenggaknya, lebih cantik dari kamu."

"Eh?" Aruna sekali lagi menoleh heran. Satu alisnya merangkak naik.

"Iya, habis kamunya dari tadi juga kusut begitu. Wajahmu sama langit itu sekarang lagi sama saja. Sama-sama mendung. Lagian galau kenapa, sih? Berdiri sambil lihatin hujan, sudah kayak model video klip lagu-lagu saja," ledek Mahesa.

Mendengkus setengah kesal. Namun Aruna sadar ia tidak berhak melampiaskan amarahnya begitu saja. Lantas ia memilih mengabaikan Mahesa yang terkekeh di sampingnya.

"Presentasi kita sukses, Ru. Di puji juga karena PPT buatanmu memang nggak ada lawan, deh. Paling keren. Pemaparan materi kita juga lancar, kita bisa jawab pertanyaan-pertanyaan teman-teman."

"Terus apa hubungannya?"

"Dari kemarin kan kamu stres mikirin itu. Lagian semuanya sudah lancar. Tadi kamu keren banget. Sekarang malah galau."

Benar juga. Harusnya dia bahagia. Harusnya setelah tadi pagi ia memekik senang dengan Mahesa yang turut ia ajak serta, lantaran nyaris setiap malam mereka kehilangan jatah tidur. Kenapa semudah itu perasaannya berbalik dan ia sendiri tidak merasa benar-benar bahagia setelah merasa dijatuhkan begitu saja.

"Nggak tau," Aruna berkata singkat, dilepaskannya ikat rambut yang ia pakai sampai setiap helaian itu terlepas sempurna dan menjuntai sampai punggung, "Harusnya memang bahagia. Ngeselin banget ya, Sa. Baru saja tadi pagi kita senang-senang, sekarang malahan tiba-tiba badmood begini."

Mahesa terkekeh kecil. Suara bariton yang mengalun hangat di rungu Aruna menjadi sebuah penarik atensi sampai gadis itu benar-benar menghadap si kawan yang beberapa minggu terakhir cukup akrab dan dekat dengannya. Aruna sendiri tidak tahu, apakah ini pengaruh suasana hatinya yang tidak dalam kondisi baik, sampai ia tiba-tiba saja berucap seperti tadi atau justru dia yang seolah kehilangan kontrol diri?

Namun agaknya, Mahesa cukup paham untuk tidak semakin menertawakan kawan seperjuangannya itu.

"Hati memang bukan kita yang atur, Aruna. Kayak kamu sekarang, bisa saja tadi pagi senyum lebar sekali. Sekarang, senyumnya pergi begitu saja. Memang nggak enak, memang nggak nyaman. Atau kamu merasa kaget barangkali, karena rasa bahagia yang baru saja kamu rasa itu tiba-tiba direnggut secara paksa. Tapi dinikmati saja."

Sebenarnya, kalau keadaan tidak sendu seperti ini. Atau mungkin saja jika suasana hati Aruna tidak seburuk ini, gadis tersebut mungkin akan tertawa terpingkal. Lengkap setelahnya akan meledek Mahesa karena tiba-tiba menjadi sok puitis seperti itu.

Pemuda tersebut tersenyum hangat. Sorot mata teduh di balik poni yang menutupi sebagian matanya. Di sana, Mahesa seolah bukan menjadi seseorang yang akan menertawakan apapun permasalahan Aruna, atau seperti teman laki-lakinya yang lain yang hanya menjadi pendengar atau menanggapi seadanya.

Sesuatu yang membuat Aruna merasa lebih tertarik untuk melanjutkan pembicaraan lebih lanjut, "Kenapa harus dinikmati? Padahal yang aku rasakan bukan sesuatu yang bisa aku nikmati," sanggahnya.

"Karena semuanya pada akhirnya akan jadi biasa saja," Mahesa berujar sabar. Maniknya menatap lurus pada rintik air yang terus jatuh sejak tadi. Di cuaca yang cukup dingin ini, Mahesa justru kembali mematri senyum hangatnya.

"Sedih, bahagia, senang, sakit hati. Semua perasaan yang semacam itu, dinikmati saja, Aruna. Kamu nggak akan tahu kapan dia berakhir, bisa saja dia tiba-tiba diambil secara paksa. Bisa saja berhenti dirasakan ketika sudah terlalu lama merasakannya. Tapi itu semua, dinikmati saja. Sesedih apapun kamu, biarkan saja perasaan itu berjalan dengan semestinya."

"Lalu?"

"Jangan disanggah. Semakin kamu menyanggah perasaan itu, dia akan semakin datang. Semakin minta kehadirannya dirasakan. Terima saja. Sesedih apapun kamu saat ini, toh pada akhirnya entah besok, lusa, atau kapan pun itu, perasaan itu akan hilang dengan sendirinya. Karena kamu tau sendiri hukum mutlak dunia itu seperti apa. Tidak ada yang abadi."

Cukup mengejutkan. Aruna memandang Mahesa takjub lantaran tiap kata yang diucapkan pemuda tersebut tersampaikan cukup baik sampai ke dalam hatinya. Membalas itu semua dengan senyum simpul yang juga merupakan representasi dari sebuah ungkapan terima kasih. Mahesa, melakukan hal yang serupa. Keduanya diam cukup lama di depan kelas dengan sayup-sayup suara teman-teman mereka dari dalam.

Berniat mengambil tas beserta perlengkapannya, langkah Aruna yang awalnya cukup ringan dengan perasaan yang mulai membaik kini harus terhenti secara tiba-tiba. Perasaan nyaman dan hangat yang sejak beberapa menit lalu diciptakan teramat apik oleh Mahesa mendadak hilang entah kemana.

Manakala di hadapannya, melalui jendela kelas mereka. Aruna dapat melihat jelas bagaimana Baskara yang mengambil tempat di sisi Naomi. Berbincang hangat dengan Lestari yang agaknya menjadi tim sukses kedekatan mereka.

Spontan dua tangan Aruna terkepal. Melampiaskan segala kekesalannya di sana. Dan di satu waktu yang sama, Mahesa tersenyum getir―diam-diam paham yang tengah dirasakan temannya itu. Jadi, dia melakukan sesuatu yang cukup mengejutkan dan sanggup membuat Aruna terperanjat.

Mendadak seluruh pandangannya menghilang. Hitam adalah satu-satunya yang bisa dilihat Aruna saat sebuah telapak tangan tiba-tiba menutupi penglihatannya.

"Aku bilang kamu untuk nikmati sakitnya, sedihnya. Bukan berarti aku minta kamu untuk dekat-dekat dengan sesuatu yang buat kamu sakit. Aruna."

Itu mengejutkan.

"Kamu tahu?" tanya Aruna lirih. Menelan ludah getir dengan kepalan yang semakin terasa.

Mahesa tersenyum kendati tak terlihat gadis di hadapannya, "Sangat terlihat, Aruna. Baskara itu laki-laki bodoh yang nggak bisa sadar tulusnya perasaan kamu ke dia."

Penutup mata itu terlepas, dua tangan Mahesa beralih menuju bahu Aruna untuk membalik tubuh gadis tersebut dengan teramat lembut, "Kalau ini semua terlalu menyiksa dan menyakitkan untuk kamu, kamu berhak untuk ambil waktu dan pergi sebentar. Menghindar bukan berarti pengecut, tapi memberikan jeda bagi kamu untuk menyembuhkan diri kamu sendiri. Paham?"

Aruna mengangguk, menurut.

Mahesa kembali menarik dua sudut bibirnya. Lantas ia berdeham untuk mengembalikan suasana agar tidak semakin keruh.

"Aku ambilkan dulu tasmu, ya? Tunggu di sini."

Kembali Aruna mengangguk dan menjadi gadis penurut. Membiarkan Mahesa mengambil alih semuanya. Tidak mempunyai tenaga dan mampu berpikir jernih karena baru saja mengalami sebuah patah hati yang barangkali membuatnya terlihat benar-benar merana. Namun agaknya, di lubuk hati terdalam gadis tersebut― perasaannya membaik.

Mahesa keluar lengkap dengan tas punggung milik Aruna yang diberikannya. Tersenyum simpul dan menyampirkan helaian rambut di belakang telinga, Aruna berkata lirih, "Makasih ya, Sa."

Benar. Setidaknya, mengetahui ada seseorang yang berada di sisi kita. Pun sebuah pertanda bahwa dari sana kita tidak benar-benar sendiri. Agaknya bagi Aruna Lilian, itu sudah lebih dari cukup.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top