Debaran Jantung Aruna

"Mahesa belum masuk lagi, Aruna?"

Barangkali, respon Aruna memang sedikit berbeda dari sebelum-sebelumnya. Tidak bermuka masam, berdecak pelan, ataupun berpura-pura mengalihkan topik hanya untuk menghindari pertanyaan serupa. Pun Lestari dan Naomi yang agaknya sudah tahu kenapa sebab gadis itu berubah dalam kurun waktu semalam setelah tiga hari ini uring-uringan dan mendadak kesal kepada semua orang.

Tentu saja dengan pertemuan singkat di malam itu, ketika sepulang dari minimarket dan Lestari menemukan wajah Aruna yang entah mengapa terlihat lebih baik daripada sebelum-sebelumnya. Sudah bisa tersenyum dan alis yang kembali ke posisi semula, tidak menukik seperti yang sudah-sudah.

"Dia masih harus selesaikan urusannya. Mungkin besok atau lusa baru masuk lagi, paling lambat minggu depan."

Begitu ucap Aruna. Dengan nada bicara yang terkesan lebih lembut diakhiri senyum simpul sebagai wujud sopan santun. Namun, ketika orang tersebut kembali mengajukan pertanyaan beruntun. "Urusan apa, Ru?" ― sejenis pertanyaan semacam ini, misalnya, saat itu pula Lestari dan Naomi akan terang-terangan memuji Aruna manakala gadis itu balas menjawab.

"Mahesa itu sudah bisa menyelesaikan urusannya sendiri tanpa butuh bantuan kamu. Jadi, kayaknya aku nggak perlu kasih tahu kamu urusan apa itu."

Es kopi seharga lima ribu di hadapan Aruna sudah habis setengah. Gadis itu nampaknya sudah berhasil meredakan sedikit saja sisa kantuknya manakala hanya bisa tertidur selama 3 jam tadi malam. Merampungkan seluruh tugas-tugas dengan sisa kertas yang berserakan di kamar kos dengan Lestari. Teman satu kamarnya itu juga tidak mau kalah, pagi-pagi sudah direpotkan dengan mencari concealer lantaran kantung mata yang katanya sudah sedalam sumur tua di rumah neneknya.

Berlebihan. Aruna bahkan masih ingat pekikan gadis itu saat bercermin tadi pagi.

"Lapar, Ru. Nggak mau beli makan siang sekalian?"

"Duluan saja. Aku nggak, deh," ucap Aruna. Jemarinya masih asyik bergerilya di atas ponsel berwarna merah muda itu, sedang Lestari hanya menurut kala ia benar-benar pergi untuk memesan semangkuk soto sebagai teman makan siang.

Sepergian Lestari, barulah Aruna menghela napas panjang. Gadis itu kembali membuka room chat yang sejak tadi pagi dilihat perkembangannya. Tidak ada balasan. Tidak ada kabar. Dan tidak ada kemajuan.

Di sana juga menegaskan bahwa orang yang sedang dinanti pesannya oleh Aruna itu baru aktif terakhir tadi malam, waktu dimana mereka benar-benar bertemu dan membahas banyak hal yang sedikit sensitif, tapi memang lebih baiknya seperti itu. Agar Aruna juga tidak harus stress setengah mati dengan berbagai spekulasi yang sejak awal bercongkol di kepalanya. Goyah lantaran harus memilih menetap atau pergi.

Penantian Aruna agaknya sudah terbalas lantaran satu panggilan tertuju padanya. Gadis itu bahkan sampai terlonjak kaget dan nyaris menjatuhkan ponsel pink yang berada di genggamannya. Tidak bisa untuk tidak bernapas lega saat sebuah nama yang sejak tadi ditunggu itu.

"Halo, Ru. Sudah pulang kampus?"

Aruna tidak bisa menyembunyikan seulas senyum di wajahnya. Gadis itu mengangguk kendati seseorang diujung sana tidak bisa melihatnya, "Iya, baru saja pulang. Lagi nungguin Lestari beli makan siang."

"Kamu nggak makan?"

Aruna menggeleng, "Nggak. Nanti saja makannya. Sekarang lagi nggak lapar."

"Yah, sayang banget."

"Kenapa?"

"Padahal aku niatnya mau ajakin kamu keluar makan."

"Lho, tumben banget."

"Nggak ada teman makan siang."

"Teman-teman kamu kan banyak. Kenapa harus sama aku?"

"Ya, karena aku maunya sama Aruna."

"Kenapa harus sama Aruna?"

"Karena yang namanya Aruna cuman kamu."

"Memang yakin?" Aruna setengah meledek.

"Ru, ngajak kamu makan siang saja susah banget. Gimana kalau aku ngajak kencan?"

Sejenak Aruna sempat tidak bisa berkata apa-apa. Terlampau terkejut manakala menanggapi candaan Mahesa yang sebenarnya sudah tidak jarang dia terima. Terutama candaan yang menjurus ke hal-hal romansa macam ini. Namun, entah kenapa, Aruna juga tidak tahu apa yang sedang terjadi. Terutama ketika ia sadar dengan debaran jantung yang sedikit keluar dari ritme yang seharusnya.

"Memangnya makan siang berdua itu nggak termasuk kencan?" Aruna membalas, demi melepas kecanggungan yang terjadi di antara mereka. Seperti yang ia lakukan dulu-dulu, "Atau kayaknya cuma aku saja yang anggap gitu? Jahat banget kamu jadi cowok."

"Duh, malah baper kamunya. Kan lagi-lagi cowok yang disalahin. Mana yang katanya kesetaraan gender? Ujung-ujungnya cowok yang salah."

Aruna terkekeh, "Di mataku kamu memang selalu salah, Sa. Nggak usah drama begitu ya, tolong."

"Nggak apa-apa kalau gitu," Mahesa terdengar menghela di ujung saja, "asalkan cowok yang selalu kamu anggap salah cuma aku saja, yang lain jangan."

Mahesa sialan. Padahal Aruna sudah susah payah menanggapi. Namun kenapa malah jadi mati kutu begini? Menelan ludah dan menormalkan debaran jantung, gadis itu sontak berdecak kesal, "Katanya mau ngajakin makan. Ya sudah mau makan dimana? Lama."

Di ujung sana, tawa renyah Mahesa terdengar. Aruna bahkan bisa membayangkan senyum kotak khas lelaki itu manakala melanjut, "Ya sudah. Kamu pulang dulu gih sana. Nanti aku jemput di kosanmu. Oke? Kamu temanin Lestari saja sampai selesai makan."

Aruna mengangguk, "Oke, nanti ku tunggu ya."

***

Pada akhirnya, Aruna benar-benar duduk di ayunan yang sengaja disediakan di halaman kosannya sembari menunggu Mahesa. Kendati katanya hanya makan siang, yang pada awalnya Aruna hanya menggunakan baju santai, tapi baik Lestari dan Naomi yang memang pada saat itu sedang ada di kosan bersamanya menolak mentah-mentah baju yang Aruna pakai.

Maka, ia bisa melihat kerja keras temannya itu yang tidak main-main. Memilihkan rok berwarna hitam yang dipadukan dengan kemeja baby pink dengan rambut Aruna yang diikat menyamping dan riasan tipis di sana. Baiklah, untuk acara rias-merias itu, Aruna tidak bisa menyerahkannya pada Lestari karena gadis itu akan benar-benar memberikan pelayanan terbaiknya. Yang mana sudah pasti, Aruna terang-terangan menolak. Dia hanya makan siang, bukan pergi kondangan.

Ya, meskipun jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah lima, masih bisa digolongkan makan siang. Hitung-hitung merangkap sampai makan malam.

"Selamat datang, Tuan Putri."

Aruna tersenyum saat ia benar-benar keluar pagar dan melihat motor Mahesa yang terparkir di sana. Gadis itu melambai singkat sebelum berlari kecil untuk menghampiri pemuda pemilik senyum kotak yang kini sedang duduk di atas motornya.

Bermaksud menanggapi candaan. Aruna menyilangkan kakinya dan membungkuk, menarik ujung rok lebar selututnya di dua sisi, sembari berucap, "Terimakasih sudah datang menjemput, Pangeran."

Mahesa terkekeh. Nampak senang manakala candaannya diladeni baik oleh Aruna. Pria tersebut memberi tanda dengan kepalanya yang ditanggapi baik oleh Aruna saat ia duduk di belakang, "Pakai helm ini nggak apa-apa? Atau kamu boleh kok ambil helmmu saja kalau nggak nyaman."

"Nggak apa-apa," sahut Aruna, memakai helm pemberian Mahesa kendati cukup kebesaran di kepalanya, "asal nggak bau apek saja. Ini masih aman, kok."

"Dasar, aku selalu rawat semua barang-barangku lho, Ru. Apalagi mau bawa tuan putri di atas kuda kebanggaanku ini," ucap Mahesa seraya menepuk pelan motornya sebelum menyalakannya dan mulai melaju.

"Kuda apaan kalau kudanya saja warna merah," sahut Aruna, sedikit mengeraskan volume suaranya dengan badan menyondong agar bisa berbicara dengan Mahesa.

"Ya anggap saja pelayanan khusus dan terbaik yang bisa diberikan untuk tuan putri. Memangnya kamu nggak mau diberikan pelayanan khusus?"

Aruna terdiam sejenak, menampilkan gestur pura-pura berpikir, "Kalau pelayanan khususnya cuma buat aku saja sih nggak apa-apa. Tapi berani taruhan kalau motor ini sudah bawa banyak tuan putri sebelum aku. Iya, kan?"

"Ya nggak, lah!" Seru Mahesa, menggeleng cepat tatkala Aruna menuduhnya yang macam-macam, "Kuda ini khusus untuk tuan putri Aruna. Nggak boleh untuk yang lain."

"Memangnya kenapa nggak boleh untuk yang lain?"

"Karena bolehnya memang cuma untuk kamu."

"Kenapa hanya boleh untuk aku?"

"Karena memang hanya untuk Aruna saja, aku nggak mau untuk yang lain."

Aruna seolah tidak mau langsung percaya. Kendati gadis itu tengah berusaha meredam detakan jantungnya yang kini sedang menggila. Gadis itu mencoba menutupi kegugupannya dengan mengudarakan tawa remeh seolah tak percaya. Ia menusuk punggung Mahesa pelan dengan telunjuknya, "Eiy, sudah nggak usah sok-sok menutupi. Orang genit kayak kamu mana bisa tipu-tipu aku. Bahkan daftar chat cewek di hapemu saja aku tau lho, Sa. Nggak usah sok-sok polos gini."

"Iya," Mahesa mencoba sabar, lelaki itu menjeda untuk melihat kondisi jalan saat akan berbelok ke kanan, "chat cewek banyak. Tapi genitnya sama kamu doang. Kamunya aja yang nggak pernah peka."

"Kamu nggak pernah kasih kode makanya aku nggak pernah peka."

"Siapa bilang?" sahut Mahesa tidak setuju, "Ini kan aku lagi kasih kode. Kamunya aja yang anggapnya aku bercanda."

Aruna menghela, gadis itu menggeleng pelan. Tidak boleh begini, pikirnya. Namun, seolah tidak mau Mahesa tahu bahwa dirinya tengah menahan diri susah payah. Mencoba menanggapi candaan seperti ini yang sudah tidak jarang ia terima. Aruna membalas tak kalah hebatnya.

"Makanya kalau ngode itu yang serius. Biar nggak dianggap bercanda."

"Supaya kamu langsung peka?"

"Supaya kamu langsung aku hajar," sahut Aruna, "jaman gini sudah nggak ada lagi main kode-kodean. Semuanya langsung main jujur-jujuran kalau mau langsung dapat."

Mahesa tertawa kecil, ia menggeleng pelan sebelum melanjut, "Kalau sama kamu main kode-kodean dulu saja, Ru. Jujur-jujurannya nanti."

"Kenapa?"

"Tunggu aku siap lahir dan batin. Baru kita main yang ke tahap serius."

"Ada ya orang main-main, tapi serius."

"Ada, aku kan orangnya."

"Dasar."

***

"Kita makan di sini?" Aruna bertanya. Kepalanya bergerak ke sana ke mari dengan mata yang menjelajahi berbagai sudut tempatnya berpijak. Mahesa melepas kunci motornya tatkala sudah memarkirkan si kuda merah miliknya itu dengan benar.

"Iya, kenapa? Nggak suka?" tanyanya.

Aruna menoleh, Mahesa menaikkan sebelah alisnya. Nampak khawatir bahwa tempat makan tujuannya ini tidak sesuai selera.

"Nggak, kok," menampilkan senyum simpul guna meredakan sedikit kekhawatiran temannya itu, Aruna melanjut, "cuma baru pertama kali saja lihat tempat ini. Aku kan jarang makan di sekitar sini."

"Di sini apa-apanya tergolong murah. Enak juga. Biasanya aku sama adikku sering makan di sini. Yuk."

Aruna mengangguk. Hendak maju selangkah sebelum tiba-tiba tangannya sudah ditarik keras oleh Mahesa sebelum lelaki itu berseru, "Aru! Awas!"

"Dasar! Dah tau jalan kecil masih aja ngebut begitu!" sungut Mahesa seraya menatap tajam motor yang tadi melintas sembarangan di depannya. Hampir menabrak Aruna.

Aruna masih meredakan keterkejutannya manakala ditarik secara tiba-tiba begitu. Nyaris limbung jika saja Mahesa tidak menahan tubuhnya dari belakang. Atau mungkin, nyaris benar-benar masuk rumah sakit dan berakhir mengenaskan dengan jatuh berguling di sisi jalan misalkan. Tidak. Aruna tidak rela dandanan baiknya harus rusak hanya karena dia yang juga tidak melihat kanan-kiri terlebih dahulu.

Namun syukurlah. Keberadaan sosok lain di dekatnya itu berhasil menyelamatkan dia dari kejadian yang hampir mengenaskan dan barangkali saja membuat Aruna tidak memasuki kampus selama satu minggu. Aruna bernapas lega. Sudah berhasil menarik napas dalam-dalam sebelum dihembuskan perlahan sebagai wujud menenangkan diri.

"Kamu nggak apa-apa, Ru?" Mahesa bertanya. Dua tangannya berada di pundak Aruna. Masih setia di posisi tadi saat ia menahan Aruna yang nyaris jatuh kala menariknya.

Aruna menoleh melihat Mahesa yang berada dalam jarak yang dekat di sampingnya. Meneguk ludah susah payah, gadis itu mengangguk cepat. Tak mampu berucap apapun kendati di dekatnya, Mahesa terang-terangan menatap khawatir dengan napas yang tertahan.

"Syukurlah," ia bernapas lega, "yang penting kamu nggak apa-apa."

Belum sempat benar-benar meredakan keterkejutannya lantaran si pengendara yang tidak tahu tempat itu. Aruna harus kembali dikejutkan dengan tindakan Mahesa yang secara tiba-tiba dilakukan padanya.

"Nggak bisa begini," ucapnya, "nanti kamu kenapa-kenapa lagi."

Baiklah. Sisa-sisa kekhawatiran itu tampaknya masih bersisa di wajah Mahesa. Pun dengan satu tangan lelaki itu yang berpindah menuju telapak tangan Aruna. Menggenggamnya erat kendati si gadis belum melakukan balasan yang serupa. Namun agaknya Mahesa tidak peduli dan tidak mau berpikir lebih jauh. Di biarkan saja jemari panjang dan tangan lebarnya itu memenuhi dan menutupi tangan kecil Aruna di genggamannya. Memastikan gadis itu aman dalam jangkauannya.

"Ini ... harus pegangan tangan, ya?" Aruna bertanya ragu.

Mahesa melirik apa yang dimaksud Aruna, ia mengangguk tanpa pikir panjang, "Harus, supaya tuan putri nggak kenapa-kenapa," jawabnya.

Aruna tampak gelisah dan sedikit tak nyaman, "Tapi aku bisa sendiri, kok. Serius. Bakalan hati-hati dan nggak kayak tadi."

Mahesa menggeleng. Tampak tak peduli dengan apa yang diucapkan Aruna. Pemuda itu menyelipkan poni panjang Aruna yang menjuntai di sisi wajah ke belakang telinga. Menciptakan kembali roda merah muda samar di pipi si gadis. Dengan seulas senyum yang terpatri, Aruna harus kembali menahan detakan jantung yang keluar dari irama yang seharusnya manakala Mahesa berkata.

"Kalau lagi sama aku, kamu nggak boleh kenapa-kenapa, Ru," ucapnya, bersamaan dengan sebuah usapan lembut dari ibu jari Mahesa di punggung tangannya. Lelaki itu kembali berkata, "Di depanku, kamu nggak boleh terluka sedikit saja. Bersamaku, aku bakalan pastikan kalau ... kamu akan aman dan baik-baik saja."[]

******************

Jangan lupa tinggalkan vote serta komentarnya yaa.

Instagram : @bintangsarla

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top