BAB 22

==========================================

BAGIAN

DUA PULUH DUA (22)

==========================================

Snana akhirnya bisa keluar kamar, setelah memastikan Ashan tak akan bangun. Tidur sang buah hati sudah sangat lelap.

Ya, sejak pukul dua dini hari tadi, bayinya terjaga sampai jam empat pagi. Tentunya sambil terus minta menyusui.

Ashan pun sedikit rewel saat ditaruh di dalam boks bayi ketika sudah tertidur. Dan bangun tatkala dirinya beranjak menjauh.

Kontras saat digendong, Ashan akan amat lelap. Bayinya tak terbangun sama sekali.

Dan tentu setelah berjam-jam begadang, ia juga butuh istirahat sebentar. Syukurnya, sang putra akhirnya mau tidur di boks.

Snana ingin memanfaatkan waktu untuk makan. Perut sudah cukup keroncongan karena harus menyusui sepanjang malam.

Snana berencana memakan apa pun yang ada di dapur, saat sampai di meja makan, ia mendapati banyak hidangan.

Masakan rumahan khas Indonesia yang dibuat Ibu Pratiwi. Sangat menggoda, baik sajian maupun aroma yang terhirup oleh hidungnya. Namun, ia akan tak menyentuh makanan-makanan tersebut, walau lapar.

"Selamat pagi, Nak Snana."

Sapaan ramah dan lembut dari sang ibu kandung, langsung menimbulkan sensasi aneh pada dirinya. Ia pun merasa tegang.

Dan ketika disadari keberadaan dari Ibu Pratiwi yang tengah berjalan mendekati ke arah dimana ia berdiri, maka segera dicoba diambil upaya untuk menjaga jarak.

Jika sangatlah dekat, pertahanannya pasti akan mudah luntur seperti ketika ia alami pendarahan, beberapa hari lalu.

Tentu enggan diulangi kebodohannya yang menangis di hadapan sang ibu kandung, hanya karena merasa begitu rindu dengan sosok orangtuanya sejak lama.

Benar-benar tolot sikapnya tempo hari.

"Nak Snana mau sarapan sekarang?"

"Mama buat beberapa makanan Indonesia yang mungkin akan Nak Snana sukai."

"Nak Snana suka sayur bening kan? Mama juga masak ayam kuah kesukaan a-"

"Aku nggak akan makan," potong Snana dengan nada dingin dan juga sinis.

"Aku sudah kenyang."

Setelah menjawab, Snana pun ingin pergi dari ruang makan. Namun, tangan kirinya tiba-tiba diraih oleh sang ibu kandung.

Tentu, ia melayangkan tatapan tajamnya, walau tak berusaha menepis dengan kasar.

"Snana, ini Mama."

"Mama minta maaf Mama tidak tahu lebih awal keberadaan kamu, Nak."

"Mama tidak ingat sama sekali tentang kamu, Snana. Mama hilang ingatan."

"Mama lupa kapan Mama melahirkanmu dan kakak kamu bernama Karna."

"Memori ingatan Mama semuanya hilang, Nak. Mama tidak bisa ingat kalian."

"Tolong maafkan semua kesalahan Mama yang sudah meninggalkan kalian."

"Mama sangat salah sudah pergi dulu."

"Kamu pantas membenci Mama, Nak. Mama adalah ibu yang jahat, tapi tolong beri Mama pengampunan sekali saja."

"Mama ingin kembali bersam-"

"Berhenti bicara!" Snana berseru marah dengan emosinya yang memuncak.

"Aku nggak mau dengar omong kosong apa pun lagi sebagai pembelaan!"

"Sekali aku benci, aku akan terus benci. Jangan pernah memohon maaf dariku!"

"Aku benci Mama!"

Snana benci akan air matanya yang amat deras mengalir turun dengan kemuakan dan kemarahan yang membakar dadanya.

Snana pun berlari meninggalkan ruangan makan. Jika lebih lama menghadapi ibu kandungannya, ia pasti akan luluh pada akhirnya. Tentu, tak boleh terjadi.

Luka masa kecilnya terlalu dalam. Tidak bisa dihapus dengan kata-kata maaf yang seperti begitu penuh sesal ditunjukkan oleh sang ibu. Hatinya belum menerima.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top