BAB 21


==========================================

BAGIAN

DUA PULUH SATU (21)

==========================================

"Kenapa, Ma?" tanya Mahayusa manakala melihat ekspresi sang ibu tiri yang tampak kurang suka dengan rasa dari risoto.

"Agak asin."

"Pekat untuk ukuran lidah Mama."

"Mama tidak mau? Nanti biar aku yang habiskan." Mahayusa menawarkan dirinya karena ia cocok dengan menu ini.

Tentu, Ibu Pratiwi akan senang hati beri seluruh risoto beserta piringnya karena ibu tirinya memang selalu mengutamakannya.

Apalagi, untuk urusan makanan.

Apa saja yang dirinya ingin santap, pasti akan dikabulkan oleh Ibu Pratiwi, entah itu saat di rumah ataupun ketika berada di restoran, seperti sekarang ini.

"Mama mau makan apa? Aku sudah ambil risoto, Mama. Bagaimana pesan lagi?"

Tawaranya ditolak oleh sang ibu tiri.

"Tidak, Yusa. Mama sudah kenyang."

"Kenyang? Mama cuma baru coba dua sendok risoto, mana mungkin kenyang."

"Mama sudah kenyang, Yusa."

"Mama sakit?"

"Sakit? Tidak, Nak. Mama sangat sehat. Mama hanya sudah kenyang. Mama tidak bisa makan lagi. Perut Mama penuh."

Jawaban sang ibu yang panjang lebar, jelas jadi alasan harus diterimanya. Dan tak bisa dipaksa untuk menghabiskan makanan.

"Oke, Ma. Sisanya aku yang sapu."

"Snana akan kamu belikan apa, Nak?"

Mahayusa menggeleng cepat.

"Belum tahu, Ma," jawabannya dengan jenis balasan yang apa adanya.

Dirinya memang belum terpikirkan harus membeli apa. Bahkan, tidak ada rencana membawakan makanan untuk sang istri.

Mahayusa pun lalu sadar akan nihilnya respons sang ibu karena tak suka dengan balasan yang dilontarkannya tadi.

"Ada apa, Ma?"

"Seharusnya Mama yang bertanya begitu pada kamu, Yusa, bukan kamu, Nak."

Sang ibu sangat peka. Akan mudah tahu jika dirinya mengalami masalah. Walau sudah coba untuk disembunyikan.

Lalu, sebagai tanggapan, ia membentuk senyuman cukup lebar seraya menggapai kedua tangan ibu tirinya guna digenggam.

"Aku punya dua berita besar, Ma."

"Ada berita buruk dan bahagia. Mama mau aku kasih tahu yang mana dulu?"

Tak bisa ditunda lagi waktu memberi tahu sang ibu tiri semua kebenaran.

"Mama tidak mau dengar kabar buruk, jika itu berkaitan dengan kamu dan Snana. Mama ingin kalian baik-baik saja."

"Kami akan berpisah, Ma."

"Berpisah? Tidak, Nak. Kasihan Ashan jika kalian bercerai. Cucu Mama masih sangat kecil. Dia membutuhkan kalian."

"Aku juga ingin mempertahankan rumah tanggaku dengan Snana, Ma. Tapi dia mau kami berpisah karena tidak mencintaiku."

"Snana malah membenciku."

"Membencimu, Yusa? Apa kamu pernah melakukan kesalahan pada istrimu, Nak?"

"Snana membenciku karena dia berpikir aku sudah merebut kasih sayang Mama dari dia." Mahayusa mulai membuka tabir.

Dan sang ibu tiri seperti belum memahami dengan menunjukkan ekspresi bingung.

"Snana Jayanegara adalah putri kandung Mama. Anak kedua yang Mama lahirkan, sebelum Mama hilang ingatan."

"Putra pertama Mama, Karna Jayanegara."

Mahayusa mempererat genggaman tangan pada sang ibu tiri yang kini tampak begitu kaget dengan semua disampaikannya.

"Aku sudah menemukan anak-anak Mama setelah dua tahun aku dan Yasa mencari tahu mereka." Mahayusa menjelaskan.

"Aku sendiri tidak menyangka Snana itu putri Mama. Tapi aku lega karena bisa tahu sekarang," ungkap Mahayusa jujur.

"Aku akan bantu Mama dan anak-anak Mama bersatu lagi," janjinya mantap.

"Aku ingin Mama bisa bahagia dengan anak-anak Mama yang sudah sangat lama kangen dengan sosok Mama."

Ibu Pratiwi tak bisa berkomentar apa-apa karena air mata beliau sudah keluar deras.

Akankah hati dan juga maaf kedua darah dagingnya bisa didapatkan? Snana bilang jika ibu kandungnya begitu jahat.

Sungguhkah dirinya yang dulu berhati iblis sehingga sang putri sangat benci?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top