BAB 20
==========================================
BAGIAN
DUA PULUH (20)
==========================================
"Aku bisa sendiri," tolak Snana saat sang suami ingin membantu memapahnya.
"Aku belum lumpuh."
"Aku berjalan dengan baik." Snana pun menekankan kata-kata yang dilontarkan.
Ayolah, ia sudah sembuh total. Dokter pun bilang keadaannya sudah sangat sehat.
Namun, Mahayusa masih bersikap terlalu perhatian dan memperlakukannya sebagai orang sakit yang membuat dirinya risi.
Saat tadi di rumah sakit, berangkat dari ruang rawat inap menuju parkiran, pria itu bahkan menggendongnya. Padahal dapat digunakan kursi roda yang disedikan.
Mengingat hubungan di antara mereka tak akur serta masih menjaga jarak, maka sudah jelas tindakan-tindakan Mahayusa tidak akan pernah menyenangkan baginya.
Sekecil apa pun itu, nyatanya sangatlah dapat menciptakan semacam sensasi rindu akan kebersamaan mereka dulu.
Walau bukan dengan cumbuan ataupun sentuhan fisik lainnya bersifat intim, tetap saja mampu memengaruhi dirinya.
Tentu tak boleh dibiarkan seperti itu lagi.
"Aku bisa sendiri. Paham?" Snana pun memperingatkan, saat sang suami masih memiliki keinginan membantunya.
Segera dilangkahkan kaki. Berjalan ke lift berada, sebelum pria itu menggendongnya kembali seperti dilakukan tadi.
Dan Mahayusa mengikutinya di belakang.
Setidaknya ini lebih bagus dibandingkan memapahnya seperti orang tak berdaya.
Dipilih lift yang kosong agar bisa segera sampai di lantai tujuan, tempat apartemen berada. Ingin segera melihat Ashan.
Meninggalkan bayinya selama dua hari, rasanya sangat lama, berminggu-minggu.
Snana pun belum bisa menghilangkan rasa bersalah karena sudah absen menyusui.
Tentu, setelah nanti bertemu Ashan, ia akan langsung memberikan ASI.
Dokter pun mengizinkan. Asalkan tetap dijaga pola makan dan waktu istirahat agar tak terulang kembali pendarahan.
Yang paling utama adalah mentalnya. Ia tak boleh terlalu banyak pikiran, sehingga menjadi terbebani dan stres.
Namun apakah dirinya bisa tenang jika masih tinggal seatap dengan sang ibu?
Sepertinya, harus segera solusi supaya ia tak perlu menetap satu apartemen lagi.
"Aku ingin bicara."
Ucapan Mahayusa malas ditanggapi. Dan andai memang memiliki hal penting yang harus disampaikan, cepat saja katakan.
"Aku akan menyetujui permintaan kamu, Na. Kita akan segera bercerai."
"Aku akan mengurusnya. Aku akan sewa dua pengacara. Kamu sebagai penggugat."
"Aku akan urus bulan ini."
Snana mengalihkan atensi ke sosok sang suami yang berdiri di sampingnya. Dan terjadilah kontak mata di antara mereka.
"Oh, begitu? Baguslah." Snana memberi tanggapan seolah ia senang mendengar.
Padahal, pernyataan sang suami sangatlah membuatnya kaget. Namun sudah jelas ia tak akan bertanya alasan mengapa pria itu akhirnya bersedia untuk bercerai.
Sudah bagus Mahayusa setuju.
"Tentang ibu kandung kamu, aku in-"
"Nggak perlu." Snana menjawab cepat.
"Aku nggak mau bahas," tegasnya dalam suara dingin. Topik ini begitu sensitif.
"Aku sudah tahu semuanya, Na."
"Lalu kenapa setelah kamu tahu semua, Mas? Akan bisa mengubah kebencianku?"
Sebelum sang suami bisa menjawab, ia pun memilih keluar dari lift lebih dulu.
Meninggalkan pria itu menuju apartemen. Lebih bagus menjauh, dibandingkan harus membicarakan hal-hal yang akan membuat emosi dan kemarahannya bergolak.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top