BAB 19
Yok baca bab 18 duluuu.
==========================================
BAGIAN
SEMBILAN BELAS (19)
==========================================
"Kamu mau ke mana?"
"Toilet." Snana membalas cepat, singkat, nan dingin, pertanyaan diajukan suaminya.
Posisi Mahayusa sendiri sedang duduk di sofa, dengan seluruh atensi pria itu yang selalu dipusatkan pada dirinya.
Seperti seluruh gerakannya diperhatikan oleh pria itu, yang sudah jelas membuat dirinya tidak merasa nyaman sama sekali.
Harusnya memang diabaikan saja. Akan bagus bersikap acuh tak acuh.
Tentu lekas dilanjutkan keinginan turun dari ranjang pasien, dengan kaki kanan yang menapak lebih dulu di lantai.
Entah dari mana, Mahayusa datang begitu cepat untuk membopong dirinya.
Bahkan, ia belum sempat menunjukkan penolakan sebab Mahayusa sudah berjalan cepat ke kamar mandi yang ingin dituju.
Tak berhenti di luar, justru masuk.
Lalu, berhenti tepat di depan toilet. Tentu ia juga diturunkan oleh suaminya di sana.
"Aku bisa sendiri."
"Keluarlah." Snana mengusir blak-blakan. Cara ampuh menjauhkan suaminya.
Tak ada komentar dari Mahayusa, tetap pula bergeming di tempat. Seolah-olah apa yang dirinya katakan tidak didengar.
"Aku mau pipis." Snana menekankan lagi kata-katanya agar Mahayusa mengerti.
Dan akhirnya kali ini, sang suami pergi dari hadapannya. Benar-benar keluar. Pria itu juga menutup pintu rapat-rapat.
Snana pun segera buang air kecil. Ia juga ingin lekas kembali ke atas ranjang karena kepalanya masih terasa pening.
Mungkin akan tidur dua sampai tiga jam kedepan untuk memulihkan kondisinya.
Dirinya tidak boleh terus dalam keadaan lemah seperti ini, mengingat ia memiliki tugas memberikan Ashan ASI setiap hari.
Jika sakit, maka buah hatinya tak akan bisa menyusui. Tentu juga berpengaruh untuk asupan gizi sang putra.
Mengingat, Ashan tak mau susu formula.
Memang ada beberapa botol stok ASI di lemari penyimpanan. Namun tidak akan cukup untuk cadangan selama seminggu.
Jadi, ia harus fokus sembuh agar bisa lagi menyusui Ashan sebagaimana mestinya.
Siapa pun tak akan mau sakit. Ia pun tidak menyangka mengalami pendarahan.
Dokter mendiagnosis, hormonalnya belum bagus karena baru tiga minggu berlalu sejak melahirkan, menjadi pemicu utama.
Baiklah, ia memang salah. Tak dengan serius memerhatikan kondisi sendiri yang justru mendatangkan bumerang baginya. Bahkan, juga Ashan harus menanggung.
"Sudah selesai?"
Kembalinya sang suami masuk ke dalam kamar mandi, tentu sangat mengagetkan.
Untung, ia sudah selesai buang air kecil dan memakai bawahannya semua.
"Sudah selesai, Na?"
Pertanyaan diulang lagi oleh Mahayusa.
Dan kali ini, ia memberikan respons lewat anggukan kecil saja. Mulut ditutup rapat agar tak perlu mengatakan apa pun.
Dalam hitungan seperkian detik yang terjadi sangat cepat, sang suami kembali membopongnya. Membawa ke luar kamar mandi dengan langkah-langkah gesit.
Tak berselang lama, ia pun sudah duduk di atas ranjang pasien. Lalu, dipeluk erat oleh sang suami. Tidak ada celah melepaskan.
"Maaf sudah membuat kamu menderita."
Saat dirinya masih berusaha mengakhiri dekapan Mahayusa, ucapan pria itu tentu mengusiknya. Apa maksud sang suami?
"Aku takut kehilangan kamu, Na."
"Aku belum mati." Snana merespons sinis.
Dan Mahayusa menyudahi pelukan.
Pria itu menatapnya dengan tajam, seolah tak suka dengan jawaban yang ia berikan.
"Jaga ucapan kamu, Na. Aku tidak su-"
"Aku benci kamu, Mas. Jangan berusaha menunjukkan cinta kamu padaku lagi."
"Akan percuma." Snana menekankan.
Dan tepat setelah diselesaikan balasannya yang pedas, diterimanya cumbuan lembut sang suami tepat di bagian bibir.
Mahayusa memang tak berencana untuk mencium Snana yang memerlihatkan rasa benci padanya dengan nyata, tapi ia butuh keintiman seperti ini mengobati rindu akan sosok hangat sang istri sangat dicintainya.
Apalagi, perasaannya tengah berkecamuk atas semua kejadian sial hari ini.
Dan Snana hanya diam. Tak membalas sedetik pun cumbuan dilakukannya.
"Apa kamu sungguh tidak pernah cinta denganku, Na?" Mahayusa bertanya lirih.
"Tidak pernah." Snana menjawab dingin.
"Kamu membenciku?"
"Aku benci kamu, Mas."
"Kenapa kamu membenciku, Na?"
Snana berdecak sinis. Lagi-lagi, ia harus menghadapi pertanyaan dramatis begini. Sang suami menatapnya penuh luka.
Cih, begitu berlebihan sikap Mahayusa.
"Kenapa aku benci kamu, Mas?"
"Kamu bisa merasakan bahagia disayang oleh ibu tiri kamu tercinta, sedangkan aku ditinggalkan sejak aku masih bayi!"
"Aku dan kakakku harus menderita! Kami nggak pernah tahu gimana rasa disayang Mama kami sendiri. Kamu dan adik-adik kamu merebut kebahagiaan kami!"
Mahayusa mematung melihat lelehan air mata yang dengan cepatnya keluar dari netra cokelat sang istri. Ia bisa merasakan kesedihan mendalam wanita itu.
Andai saja, Snana tak mengaduh kesakitan sembari memegang kepala, ia mungkin akan menjelaskan semua kebenaran.
Namun jika bahasan ini diteruskan, maka kondisi Snana bisa saja lebih memburuk.
Yang bisa dilakukan hanyalah memeluk kembali sang istri. Ia tak akan menjauh, walau Snana ingin mereka menjaga jarak.
"Aku minta maaf sudah merebut semua kebahagiaan kamu sebagai anak, Na."
"Hiks. Aku benci kamu, Mas. Aku benci."
"Aku mau pisah dari kamu Mahayusa."
================
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top