BAB 11


Yok vote sebelum baca.

Nih buat menemani makan siang.



==========================================

BAGIAN

SEBELAS (11)

==========================================



"Ashan datangg!"

Mahayasa dan Mahayara kompak menoleh pada ibu tiri mereka, saat mendengarkan seruan dikeluarkan oleh Ibu Pratiwi.

Keduanya masih menoleh berbarengan ke sosok mungil keponakan ganteng mereka yang berada dalam gendongan Ibu Pratiwi.

Mahayara bahkan langsung mendekat, tak sabar ingin melihat rupa dari putra kakak sulungnya. Tentu akan sangat tampan.

"Ashannn!" Mahayara berseru gemas.

Tante di belahan bumi mana pun, pasti akan senang memiliki keponakan baru dan yang pertama juga dalam keluarganya.

Apalagi, sejak Ashan lahir, ia belum bisa bertemu langsung karena sedang berada di Amerika untuk urusan mencari investor.

Setelah tiga minggu sangat sibuk, akhirnya ia bisa membebaskan diri sejenak dengan mengunjungi keponakan barunya.

"Ashan ganteng banget," puji Mahayara dalam nada yang sarat akan kekaguman.

"Gemas banget, Aunty." Mahayara sudah membelai lembut pipi keponakannya.

"Aku boleh gendong kan, Ma?" pintanya pada sang ibu tiri, kemudian.

"Boleh saja, Yara, tapi gendongnya harua rileks. Tidak boleh tegang, Sayang."

"Enggak akan tegang aku, Ma."

"Sini kasih Ashan ke aku." Mahayara pun kian semangat mengajak keponakannya.

Dalam hitungan detik sosok kecil Ashan Tungga Whibawa sudah berpindah.

"Bagaimana? Tegang?"

Mahayara segera menunjukkan gelengan kepala atas pertanyaan sang ibu tiri.

"Aman, Ma. Aman."

"Aku gendong erat ini Ashan biar nggak jatuh. Mama nggak usah cemas. Siap?"

Ibu Pratiwi terkekeh mendengar celotehan Mahayara yang memang suka bercanda dan lebih ekspresif saat berbicara.

Kontras dengan Mahayusa serta Mahayasa yang cenderung kalem, tak banyak omong.

Ketiganya punya keunikan masing-masing yang tetap bisa saling bersinergi.

Paling penting juga bisa menyayangi satu sama lain sebagai saudara. Kekompakan mereka pun erat dalam berbagai hal.

Ibu Pratiwi selalu bangga dengan mereka bertiga. Didikan sejak kecil yang sudah ditekankan untuk senantiasa saling peduli serta menyayangi, diterapkan dengan baik.

Tentu boleh Ibu Pratiwi merasa bangga dengan ketiganya yang selalu berbakti.

Walau tak pernah melahirkan Mahayusa, Mahayasa, dan Mahayara, namun mereka tetaplah anak-anak yang beliau besarkan dengan segenap sayang dan ketulusan hati.

"Mama?"

Mahayasa memanggil.

Lalu, memeluk dari belakang. Kebiasaan yang suka dilakukannya sejak lama.

Tentu senang bisa sedekat ini dengan sang ibu sambung, setelah beberapa bulan tak bertemu karena tinggal beda benua.

"Hallo, Yasa. Kamu sehat?" tanggap Ibu Pratiwi sembari membelai pipi Mahayasa.

"Lelah, Ma. Capek dua mingguan ini kejar investor. Kerja bagai kuda aku dan Yara."

Ibu Pratiwi pun tertawa.

"Iya, Ma. Kerja bagai kuda aku sama Kak Yasa. Untung kita dapat lumayan investor yang mau tanam modal di bisnis real estat Kak Yusa. Nilainya puluhan juta dollar."

Mahayara sangat bersemangat bercerita.

"Investasi puluhan juta dollar?"

"Kalian berdua hebat, Yara, Yasa. Mama bangga dengan hasil kerja keras kalian."

"Makasih, Ma." Mahayasa berterima kasih dengan tulus pada sang ibu tiri.

"Kami emang hebat, Ma." Yara membalas dalam gaya bicaranya yang ceria.

Mahayasa dan Mahayara pun kompak memamerkan senyuman senang karena dipuji oleh ibu sambung mereka.

Namun kemudian, keduanya bersamaan memasang ekspresi sinis saat menyadari kedatangan Snana Jayanegara dengan sang kakak sulung, Mahayusa Whibawa.

Mahayasa dan Mahayara tentu sudah tahu kelakuan ipar mereka itu yang pergi tanpa izin. Keduanya pun kesal pada Snana.

"Yusa? Akhrinya kamu pulang, Nak."

"Selamat datang di rumah."

Ibu Pratiwi tentunya menyambut bahagia kedatangan Mahayusa. Bergegas beliau memeluk sang putra kesayangan.

"Terima kasih, Ma."

"Aku pulang bersama istriku."

Ibu Pratiwi langsung melepaskan pelukan dari Mahayusa. Lalu, memberikan atensi pada sosok Snana Jayanegara yang untuk pertama kali beliau jumpai langsung.

"Hallo, Nak Snana."

"Selamat datang di rumah."

"Mama senang kamu pulang."

Snana Jayanegara tentu bersikap sinis. Ia menatap benci pada Ibu Pratiwi Sasia.

Setelah dua puluh sembilan tahun hidup tanpa sang ibu kandung, kini akhirnya ia bisa bertemu dan juga hadapi.

Rasanya? Sangat benci.

Bolehkah ia mengamuk?

===============

Komen yok komen.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top