BAB 07


Baca dulu bab 06 untuk paham alur ya.

Yok habis itu, baca part ini sambil vote.

==========================================

BAGIAN

TUJUH (07)

==========================================

"Ibu Pradnya sedang di atas, Nona Snana."

"Apa perlu saya panggilan Ib-"

"Nggak usah, Bibi." Snana pun memotong cepat ucapan sang kepala pelayan rumah kakak laki-lakinya, Destiya Wahyuning,

"Aku udah telepon Pradnya tadi. Pasti dia akan turun sebentar lagi ke sini."

"Baik, Nona Snana."

"Ah, apa Nona ingin minum? Apa yang harus saya buatkan? Cappucino mil-"

"Nggak usah, Bibi. Aku masih kenyang."

"Bibi bisa lanjut kerja. Dan aku akan di sini tunggu Pradnya turun." Snana secara tak langsung menunjukkan keinginannya untuk sendiri di kamar tamu.

Mengingat, ia butuh berbaring sejenak guna menghilangkan rasa lelah perjalanan selama belasan jam dari benua Eropa.

"Baik, Nona Snana. Saya tinggal keluar."

"Jika ada yang Nona butuhkan, hubungi saya lewat telepon satelit rumah ini."

"Siap, Bibi. Terima kasih."

Setelah mendengar jawabannya, tentu saja sosok Bibi Destiya Wahyuning lekas pergi meninggalkannya di dalam kamar.

Dan ketika ia hendak naik ke atas kasur, didengarnya seruan suara menggemaskan Devenda memanggil-manggil dirinya.

Tentu, segera dilangkahkan kakinya keluar ruangan untuk menemui sang keponakan.

"Anteee Anaaa!"

Devenda berlari kecil ke arahnya begitu semangat sambil tersenyum ceria.

Tentu, ia segera memosisikan diri untuk bersimpuh dengan kedua tangan yang juga direntangkan guna menyambut keponakan gantengnya berusia dua setengah tahun itu.

Dalam hitungan detik saja, Devenda pun sudah berada dalam gendongannya.

"Holaaa, Baby Dev."

"Ante Nana, haooo."

Snana cekikikan mendengar cara cadel batita itu bicara. Sangat lucu untuknya.

"Baby Dev, kangen sama Ante Nana?"

"Angennn!"

Snana semakin gemas dengan keponakan gantengnya yang masih sangat semangat dalam berinteraksi bersama dirinya.

Namun kemudian, tawa harus dihentikan karena kehadiran dari sang kakak yang berjalan ke arahnya dengan raut marah.

Karna Jayanegara namanya. Saudara yang satu-satunya dimiliki di dunia ini.

Dan di samping kakak laki-lakinya, sang istri pun mendampingi. Pradnya Gitasha.

Wanita itu adalah sahabat baiknya sejak SMA. Tentu, sampai kali ini masih tetap bersahabat dengan amat akrab.

Pradnya bahkan tahu semua tentangnya, termasuk misinya kabur ke Eropa. Lalu, rencana bercerai dengan Mahayusa.

Dan mungkin, Pradnya telah mengungkap seluruh agendanya pada sang kakak. Tak apa. Ia tidak merasa marah sama sekali.

Lagi pula, lambat laun saudaranya pasti akan tahu semua yang dilakukannya.

"Tolong bawa Dev ke atas. Saya harus bicara berdua dengan Snana."

"Iya, Mas. Baik."

Sang sahabat pun segera mengambil alih Devenda dari gendongan. Dan sebelum menjauh, lengannya ditepuk pelan oleh Pradnya. Cara menunjukkan dukungan.

Mereka akan bicara nanti, setelah selesai menerima ocehan marah sang kakak.

Pradnya menjadi tempat terbaiknya untuk berkeluh kesah dengan segala masalah.

Hanya kawan baiknya itu yang mampu memahami kondisinya. Sekalipun, tidak semua tindakannya didukung Pradnya.

"Duduk di sana, Snana."

Perintah saudaranya yang bernada dingin, tak ingin dilakukan. Ditunjukkan dengan gelengan beberapa kali yang mantap.

Dirinya tak akan pergi ke sofa, lalu bicara dalam suasana formal dengan kakaknya.

"Aku mau tidur. Aku lelah dua puluh jam lebih terbang dari Yunani ke sini."

Dilihatnya rahang wajah saudaranya yang mengeras. Sang kakak kian berang.

"Kak Karna mau nanya apa? Bilang aja, aku nggak ada waktu banyak," tantangnya.

"Kenapa kamu pergi, Snana?"

"Oh, kenapa aku meninggalkan bayiku dan suamiku? Karena aku mau jalan-jalan lah ke Eropa. Capek habis melahirkan."

Rencana berlibur selama dua minggu pun berjalan lancar, walau setiap hari ia harus menerima belasan panggilan.

Berasal dari kakaknya dan Mahayusa.

"Enteng sekali kamu berkilah."

Karna Jayanegara semakin marah, sangat kentara dari nada bicara saudaranya itu dan tatapan tajam yang dilayangkan.

"Aku butuh liburan, Kak. Lagian tanpaku, akan aman bayiku bersama Mas Yusa."

"Kakak lupa kita bisa tumbuh besar tanpa seorang ibu? Bayiku juga akan begitu."

"Dia akan baik-baik saja tanpa diriku."

"Apa maksud kamu, Snana?"

Sang kakak memahami maksud tersirat di dalam jawaban-jawaban. Jadi, lebih bagus lagi, diungkapkan rencana besarnya.

"Aku akan bercerai dengan Mas Yusa."

"Aku akan beri dia hak asuh anakku kayak yang dulu ibu kita lakukan, Kak."

"Aku nggak mau mengurus anakku. Aku mau fokus dengan karierku di Bank JN."

"Snana!"

Sang kakak seperti sudah begitu geram dan menyerukan namanya dengan marah.

Dirinya tak akan gentar. Tidak akan pula mengubah keputusan untuk berpisah.

Mahayusa harus merasakan sakit hatinya dipisahkan dengan sang ibu sejak kecil, sedangkan pria itu malah begitu disayang oleh ibu kandungnya seperti anak sendiri.

"Kamu harus kembali ke Singapura."

"Aku nggak mau, Kak! Aku akan segera gugat cerai suamiku." Snana bersikukuh.

"Kak Karna nggak usah ikut campur lagi urusan rumah tanggaku," peringatnya lalu.

=============

Ada yang belum paham alurnya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top