9: New Stage
***
Malam ini sekitar pukul 08.00 Tea menyibukkan diri dengan buku yang ia pinjam. Bukan, bukan buku yang ia pinjam dengan asal-asalan tadi, melainkan sebuah buku tua yang menarik perhatian Tea.
Bagaimana cara Tea meminjamnya? Jawabannya sangat mudah. Untuk kali ini biarkan gadis itu melanggar aturan sekolah. Ya, Tea menyembunyikan buku tua itu dibalik jas sekolahnya dan berpura-pura meminjam buku lain sebagai menutupi aksi curangnya agar tidak diketahui Mr. Yefers.
Tea mendongak menatap atap kamarnya. "Tolong maafkan aku, Mr. Yefers," ucapnya sembari memejamkan mata dan mengingat lagi kejadian siang tadi yang tidak pantas ditiru. Merasa cukup, akhirnya si gadis membuka kembali buku tua tersebut. Dengan sangat pelan ia membalikkan halaman demi halaman yang tersedia, manik biru cerah itu menelusuri kata setiap kata yang tertulis dengan ... tinta celup?
"Aneh, apakah ini memang buku yang sudah sangat kuno? Bahkan setiap kata yang tertulis menggunakan tinta celup," ucapnya dengan nada lirih.
Kembali ia membalikkan setiap halaman dan membaca satu persatu kata yang tersusun rapi, membentuk sebuah kalimat yang memiliki pola berbentuk kiasan.
Keanehan lain ia temukkan di dalam buku tersebut adalah fakta bahwa buku tersebut seperti sebuah journal. Ya, ada beberapa coretan tanggal-tanggal yang tidak jelas, lalu di bagian lain juga ada sebuah daftar kota dengan satu nama jalan, tidak hanya itu Tea menemukkan satu halaman berisi silsilah keluarga. Pohon keluarga yang membentuk pola rumit, nama yang di tulis pun tampak ada yang pudar dan disobek.
Tampaknya perhatian si gadis tertuju pada sebuah judul yang di tulis dengan huruf tebal dan besar, kerutan samar sedikit terlihat di dahinya, ada memori menyakitkan yang sekilas terlewat begitu saja.
"A big incident six years ago?" gumam Tea. Ia ingat jika enam tahun yang lalu adalah tahun yang sama saat pesawat ibunya mengalami kecelakan, hari di mana ia benar-benar kehilangan sosok berharga dalam hidupnya.
Ia memang tidak ingin lagi mengingat kembali masa-masa sulit itu, baginya tahun 2016 adalah tahun yang sangat buruk, benar-benar buruk bahkan. Tapi, di saat si gadis membuka halaman lain, sebuah foto terjatuh ke pangkuannya, diambilnya foto tersebut dan menelitinya, siapa tahu jika Tea bisa mengenalinya. Namun, sayangnya ia tidak tahu menahu siapa orang dibalik foto kusam itu.
Terlebih lagi saat ia membaca deskripsi yang ada di sana, hanya ada sebuah kalimat bertulis; Saat waktu yang dimiliki seorang pahlawan bisa di renggut paksa oleh hitamnya dunia yang berpegang pada kelicikan.
Mengapa semua yang tertulis memiliki arti yang sulit diartikan? Sampai-sampai si gadis saja merasa bingung harus apa. Karena tidak adanya petunjuk yang ia dapatkan dari sana akhirnya Tea menutup buku tersebut dengan sedikit kesal. Maniknya memutar, kini giliran bunyi tulang-tulang yang terasa sangat kaku. Si gadis bangkit dari tempatnya duduk. Mengamati sekitarnya, berharap menemukan sesuatu yang bisa membuatnya tertarik.
Perhatiannya tertuju pada sebuah buku tebal yang diberikan oleh Venic. Berjalan menghampiri dan megambilnya. Tea baru ingat jika ia sama sekali belum membaca ataupun membukanya, walau barang sekali. Jadi, biarkan malam ini si gadis menyelami seluruh biografi milik keluarga Raltfoy.
Ketika halaman pertama terbuka, ia mendapat sebuah surat kecil yang bertanda tangan lengkap dengan nama terang. "Adrian Francisco Saint," lirihnya. Gadis itu mengangguk-anggukkan kepalanya dan membuka halaman lain.
Halaman pertama ada sebuah judul besar; Raltfoy. Ya, hanya satu kata saja. Tea membacanya, menilik lebih dalam siapa dan apa latar belakang keluarga yang di kenal banyak orang itu.
Sempat si gadis ingin berteriak kesal saat membaca perjalanan hidup yang di lalui sosok Raltfoy ini. "Apa? Pantas saja mereka tidak mengizinkan buku ini dijual, keluarga ini memang sangat aneh dan kejam," ujarnya sembari membalik halaman lain, meloncati beberapa bab hingga ia menemukkan bab terakhir. Namun, sedikit ada rasa heran dalam dirinya.
"Kenapa tidak ada biografi tentang Hans sama sekali? Mengapa ia tidak menulis apa pun tentang pria itu?" tanyanya pada diri sendiri. Helaan napas terdengar di tengah heningnya malam.
Tapi, bukan Tea namanya jika belum menemukan sama sekali apa yang ia selidiki. Halaman terakhir memang memuat sebuah nama seseorang, ia adalah Arthur Elyon Raltfoy.
"Arthur Elyon Raltfoy, ia lahir pada tahun 1984 dan meninggal pada tahun 2016. Arthur adalah lulusan Atherty High School yang memiliki nama cemerlang dari para sahabatnya." Si gadis terdiam sejenak. "Sebentar, jadi pria ini pernah bersekolah di Atherty?"
Kembali lagi si gadis membacanya. "Karirnya dimulai sesaat setelah ia lulus sekolah, mendapatkan sebuah warisan mendadak dari sang ayah dengan jumlah yang tidak main-main. Berita mengatakan jika Godam—sang ayah mengalami overdosis obat-obatan terlarang."
Si gadis menggeleng tidak percaya dan bangkit, mendudukkan dirinya di depan layar laptop yang kini menyala dengan cukup terangnya. Keyboard itu mengetik sesuai dengan jemari Tea yang mengontrol, layar putih tersebut berubah menjadi beberapa lampiran dan berita yang sempat termuat. Ya, Tea mengakui benar adanya tentang latar belakang keluarga yang memiliki sejarah kelam dalam dunia gelap. Termasuk mengedarkan barang terlarang, memperjual belikan budak, melakukan penggelapan uang pajak dan melakukan aktifitas terlarang lainnya.
"Ini yang dimaksud Venic tentang kelompok mereka, benar jika aku harus berhati-hati tentang kasus ini. Hans adalah bagian, bukan pemimpin, tapi termasuk bagian yang terpenting," gumamnya.
Manik biru itu bergerak ke kanan dan kiri, sesekali tangannya menyisihkan sebagian rambut yang terjatuh. Di tengah pencariannya tiba-tiba saja layar laptop itu seketika berubah menjadi gelap, entah kenapa sebuah pesan tertulis. Kata demi kata tertulis, Tea sempat terkejut sekaligus penasaran akan kalimat yang tertulis.
"Hai, aku tahu kau mencari informasi tentang keluarga Raltfoy."
Kalimat tersebut hilang setelah beberapa detik terdiam. Kini berganti dengan kalimat lain.
"Aku tahu jika kau penasaran tentang kematian tidak berujung itu, mereka merenggut semua nyawa tanpa ampun. Begitulah cara untuk membalas."
Hilang, untuk yang kedua kalinya.
"Aku memberikan satu clue; V20X."
Tea mengerutkan keningnya karena tidak mengerti. Namun, mendadak layar laptop itu kembali semula. Si gadis yang ketakutan segera menutupnya dan beranjak menuju tempat tidur. Kejadian aneh itu pastinya berhasil membuat Tea benar-benar merasa diawasi.
"V20X, ya?" lirihnya sebelum akhirnya si gadis terlelap dalam tidurnya dan berusaha melupakan hal ganjil tadi.
***
Ketika hari libur tiba, tampaknya Tea akan menghabiskan waktunya bersama Anantha. Entah karena memang terencana atau karena tidak sengaja bertemu. Kini keduanya berada di salah satu toko milik keluarga Gacfen. Toko besar dengan desain simpel dan menarik. Toko itu banyak menjual berbagai macam jenis barang-barang antik.
Gacfen's Store terletak di pinggiran taman pusat kota, alhasil tempat yang strategis itu mampu menarik pembeli untuk sekadar melihat barang berkualitas tinggi dan berkelas tersebut.
Jika membahas keluarga Gacfen, kita akan membahas hal ini cukup panjang. Ternyata selain toko itu, keluarga Gacfen juga mempunyai pabrik besar yang memproduksi kosmetik terkenal yang memiliki nama Beautiful Girl; Gacfen for You. Toko dan perusahaan milik keluarga itu tidak hanya di Kota Bedlam saja. Namun, tersebar hampir diseluruh kota-kota besar bahkan di luar negeri.
Ya, belum lagi ibunya yang juga seorang desainer berbakat, merancang berbagai jenis baju dengan desain unik dan menarik. Adapun butik miliknya, yang terletak di pusat kota. Berdekatan langsung dengan gedung Golden World—gedung yang biasa digunakan untuk menerima tamu istimewa dari luar negeri. Biasanya gedung ini digunakan juga sebagai tempat pemberian penghargaan bagi selebriti terkenal.
Anantha benar-benar dikelilingi oleh harta yang kapan saja bisa jatuh di tangannya. Dan itu belum juga usaha yang akan dibangun oleh sang gadis, ia mengatakan akan terjun ke bidang fashion seperti sang ibu.
Kembali lagi pada Tea yang masih sibuk mengelilingi toko itu dengan senyum yang seakan tidak pernah pudar. Ia cukup tertarik dengan semua barang yang ada di sana. Bahkan kalau pun bisa, mungkin Tea akan membeli semuanya.
Perhatiannya kini teralihkan pada sebuah jam pasir unik dengan hiasan sulur-sulur tanaman dan sebuah kepala ular. Namun, ia mengalihkan pandangan saat Anantha datang dan menepuk pundaknya.
"Maafkan aku, apakah aku terlalu lama?" tanya Anantha.
Tea menatap sekitarnya dan menggeleng. "Tidak, tidak masalah, karena aku menyukai tempat ini," ungkapnya dengan menarik sudut bibirnya.
Mendengar ucapan Tea, gadis yang tengah memakai terusan berwarna coral itu tampaknya terlihat senang. "Baiklah, kita pergi sekarang atau kau ingin membeli sesuatu?"
Tea menoleh kembali ke arah jam pasir yang sempat memikat hatinya. "Aku tertarik dengan salah satu barang yang ada di sini," ujar Tea kemudian.
Anantha memang menyadari tatapan gadis di depannya, ia maju selangkah dan mengambil benda tersebut. "Jam pasir ini, pasti," ucap Anantha.
Karena memang benar, gadis bermanik biru itu hanya menganggukkan kepalanya dan mengambil benda yang berada di tangan temannya.
"Pilihanmu bagus! Jam itu sangat langka dan unik. Tapi aku tidak terlalu menyukainya," ungkap Anantha. Mereka melangkah perlahan ke arah kasir. Gadis berambut hitam itu kembali menoleh. "Kalau kau suka, ambil saja! Akan kuberikan secara gratis untukmu," lanjut Anantha dengan ramahnya.
Merasa tidak enak, Tea segera menghentikan langkahnya dan menggeleng dengan keras. "Tidak. Aku akan tetap membayarnya. Tidak ada perdebatan, oke?"
Karena tak lagi bisa membalas akhirnya Anantha mengalah dengan membiarkan Tea menuju ke kasir untuk melakukan pembayaran.
Keduanya akhirnya beranjak dari sana dan berjalan beriringan menuju kafe favorit Tea, Grillsy Café. Tentunya tempat Venic bekerja sekaligus mengawasi karyawannya. Aneh memang, wanita itu pemilik kafé, tapi ia juga ikut membantu padahal karyawan di sana cukup banyak.
Seolah baru pertama kali melihat, Anantha tampak terpukau dengan tempat tersebut. Dari luar memang kafé itu terlihat sangat membosankan. Namun, begitu masuk ke dalam, suasana akan terlihat berbeda.
"Waw, tempat ini memang menarik!" seru si gadis bermanik abu.
"Kau benar, inilah yang menjadi favoritku," sahut Tea yang berada di belakang Anantha.
Mereka pun mencari tempat duduk yang sekiranya nyaman. Sampai seorang wanita muncul dengan pakaian ala barista. Seulas senyum tercetak di wajah cantik dan anggun tersebut. "Selamat pagi, Nona-nona!" sapa Venic dengan gembira.
"Pagi, Venic," balas Tea yang tak lupa memakai senyum indahnya.
"Hmmm ... untuk pertama kalinya aku melihatmu membawa seorang teman, pasti kalian benar-benar akrab." Kedua gadis yang tengah duduk itu sama-sama menatap satu sama lain dan tersenyum.
"Ya, aku memang tidak begitu akrab dengan orang, tapi kurasa Anantha berbeda."
Venic mengacungkan jempolnya dan memberikan buku menu pada mereka. "Jadi?" tanyanya.
Tea memberikan kembali buku menu tersebut. "Aku akan memesan seperti biasa, sebuah sandwich telur dengan cokelat panas," tandas gadis itu.
Anantha memandangnya sekilas lalu ikut mengangguk. "Biarkan aku sama."
Wanita berambut blonde itu mengangguk dan mencatat pesanan. "Akan segera sampai," ujarnya. Kemudian ia berbalik arah dan berjalan menuju dapur kafé dengan pinggul yang bergoyang ke kanan dan ke kiri.
Kepergian Venic menyisakan kedua gadis yang kini duduk berhadapan. "Jadi dia yang bernama Venic," celetuk Anantha.
Tea menoleh dari pandangan pada jalanan kota yang tampak tenang dan sepi. "Ya, seperti yang kau tahu," timpalnya.
"Cantik dan ramah," puji Anantha.
Si gadis bermata biru cerah dengan rambut kecokelatan yang terkena sinar mentari itu tampak mengangguk, lalu menoleh ke arah dapur, memastikan jika Venic belum muncul. "Betul, tapi yang aku dengar ia tidak ingin menikah," bisik Tea berusaha untuk memastikan jika tak ada yang mendengarnya.
"Benarkah? Kenapa?" tanya Anantha setengah berbisik.
"Masa lalunya," balas Tea, "Aku mendengar banyak hal tentangnya dari Nyonya Revelin. Venic kehilangan calon suaminya saat hendak melangsungkan pernikahan," terangnya. Mendengar hal itu dari Tea membuat Anantha mengerti apa makna dibalik tatapan sendu wanita bernama Venic itu.
Tidak lama setelah pembicaraan mereka selesai, Venic datang dengan membawa nampan berisi dua cangkir coklat panas dan dua sandwich telur pesanan dua gadis remaja yang kini saling berbagi pendapat.
"Baik gadis-gadis remaja, silakan nikmati makanan lezat ini," kata Venic.
Ketiganya duduk berhadapan, menikmati makanan yang tersaji di depan mereka dengan nikmat. Pada akhirnya Anantha membuka mulut untuk memperkenalkan diri. "Hai, namaku Anantha, Anantha Gacfen."
Dengan senang hati wanita blonde itu menjabat tangan si gadis dan memberikan senyum terbaiknya. "Senang bertemu denganmu, namaku Venic Rafles," ucap Venic.
Sesi perkenalan itu ditutup dengan sebuah keakrab kecil dari keduanya. Mereka saling membagi cerita kecil dan candaan akan kesendirian Tea. Bahkan beberapa kali mereka membahas para lelaki yang bekerja di kafe itu.
"Aku baru menyadari jika kau putri dari pemilik Gacfen's Store," ungkap Venic beberapa menit setelah ia melihat sebuah liontin bermata ungu yang identik dengan toko berwarna serba ungu itu.
Anantha mengangguk dan menyunggingkan senyum. "Ya, benar," balasnya.
Dirasa perkenalan mereka telah selesai, Tea menatap Venic dan mengajukkan sebuah pertanyaan yang memang sudah ia rencanakan beberapa saat sebelum ia datang kemari. "Oh iya, Venic aku ingin menanyakan soal buku yang kau berikan padaku beberapa hari yang lalu," ucap Tea memulai.
Wanita itu menoleh dan mengerutkan keningnya. "Ya, adakah kendala atau sesuatu yang salah?"
"Tidak, hanya saja, kenapa aku sama sekali tidak menemukkan apa pun tentang Hans di dalam buku itu? Bukankah dia bagian dari keluarga Raltfoy?"
Mendapati pertanyaan semacam itu dari Tea membuat Venic menghela napas panjang dan membuka suara, "Maaf jika aku belum memberitahumu soal ini. Buku biografi itu hanya memuat para pemimpin gangster milik keluarga Raltfoy, Antraxs. Dan sayangnya, Hans bukanlah seorang pemimpin, ia tidak pernah menjadi pemimpin Antraxs semenjak kematian kakaknya, Arthur Raltfoy."
"Kenapa?" tanya Tea sekali lagi.
"Aku tidak tahu, entah apa tujuan Hans membunuh keluarganya. Mereka bilang pria itu tidak waras, semacam gangguan psikologi yang memiliki nafsu membunuh."
Kedua gadis itu menganggukkan kepalanya, mengerti maksud dari ucapan Venic. Namun, sepertinya Anantha sedikit heran kenapa bisa wanita bernama Venic ini mengetahui semua informasi yang bahkan orang lain pun tidak mengetahuinya. "Venic, bagaimana bisa kau mengetahui semua ini?" tanya Anantha untuk memuaskan rasa penasarannya.
Wajahnya tampak tegang dari sebelumnya, ia mengalihkan pandangan dan bingung harus menjawab apa. Hingga akhirnya. "Aku sama seperti kalian yang berusaha memecahkan kasus ini, mencari tahu apa pun informasi yang ada dan mengumpulkannya menjadi satu. Karena aku sendiri mengalami hal menyakitkan yang menimpa keluargaku," jelasnya.
Tea yang merasa simpati memberikan dukungan dengan menggenggam tangan wanita di hadapannya dengan tulus. "Aku tahu itu menyakitkan, Venic."
Anantha yang ikut merasa kasihan pun menepuk pundak Venic dan meyakinkan untuk tetap menatap ke depan, walaupun itu menjadi hal yang menyakitkan di masa lalu.
"Akan aku ceritakan sedikit hal yang aku ketahui jika kalian menginginkan informasi lebih. Dulunya di kota seberang, wilayah Broadmoor ada sebuah pembunuhan berantai yang terjadi dengan sangat misterius seperti yang saat ini terjadi di Atherty. Karena temanku seorang detektif, ia akhirnya terjun langsung ke tempat itu dan menemukan sebuah kertas bertuliskan angka-angka aneh," terang Venic, "Kau tahu? Di samping kertas itu di temukan juga sebuah noda darah dari korban pembunuhan dan satu peluru yang sampai sekarang masih belum terungkap siapa pemilik peluru itu," lanjut Venic.
Tea sempat bingung. "Peluru? Apa yang ada di peluru itu? Apa kau tahu?"
Venic menoleh sekilas. "Logo, ada sebuah logo, sepertinya inisial, huruf R."
Yang sedari tadi diam akhirnya Anantha ikut mengutarakan isi hatinya. "Jadi kau berpikir pembunuh berantai itu sekarang ada di Kota Bedlam? Hans ada di sini?"
Venic tampak mengendikkan bahunya, begitu pula Tea yang tampaknya belum tahu pasti akan hal itu. "Aku rasa dia masih ada di suatu tempat, entah itu di sini atau bukan," sahut Tea. Ia mengalihkan pandangannya ke luar jendela, menerawang jauh langit biru yang tampak tenang itu.
"Tapi kejadian itu sudah dua tahun yang lalu dan aku tidak tahu apakah pembunuh itu masih bisa berkeliaran atau sudah tiada. Menurutku pribadi, seorang seperti dirinya kemungkinan bisa saja mempalsukkan kematiannya," imbuh Venic.
Anantha menganggukkan kepalanya dan menyeruput cokelat panas yang kini telah hangat. Tea tampaknya sedikit berpikir, sampai-sampai makanan yang ia pesan belum tersentuh sama sekali.
"Venic, lalu temanmu? Bukankah seharusnya dia tahu?" tanya Tea
Wajah Venic berubah lesu. "Aku tidak pernah mendapat kabar darinya, setelah ia pulang dan memberikan banyak hal tentang temuan barunya dari rumah besar itu, begitu keesokan harinya dia menghilang. Sampai saat ini tidak ada seorang pun yang tahu akan keberadaannya," jelas wanita berwajah cantik itu.
"Tunggu, rumah besar? Milik siapa?"
Venic menoleh ke arah Tea. Mengendikkan bahu dan membentuk lengkungan ke bawah di sudut bibirnya. "Aku tidak tahu, aku dengar rumah itu milik salah satu kaki tangan dari seorang mafia, musuh utama Antraxs," balasnya.
Mereka terdiam sejenak meresapi setiap ucapan yang tersampaikan. Di luar sana langit yang tadinya cerah berubah menjadi sedikit gelap, awan hitam perlahan menutupi langit biru yang masih terlihat jelas.
Kembali lagi pada topik, Tea kemudian mengambil sandwich telurnya dan memakannya sedikit demi sedikit. Ia tatap lagi dua perempuan yang berada di depannya. "Kau tahu letaknya?"
Venic yang tadinya melamun tiba-tiba tersadar dan menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu lebih, yang aku tahu hanya rumah itu dekat dengan pesisir pantai." Mendengar itu Tea mengembuskan napas sedikit kesal, bukankah itu artinya Venic tahu.
"Baiklah terima kasih, Venic." Tea mengakhiri. Gadis berambut panjang dengan warna sedikit kecokelatan tersebut bangkit dari duduknya dan menatap Anantha yang masih menghabiskan cokelat panas miliknya
Menyadari tatapan dari Tea akhirnya Anantha paham dan ikut bangkit. "Oke, kami akan pamit, aku rasa rasa," ujar Anantha sembari tersenyum canggung.
Sepulang dari tempat Venic tadi sore, Tea masih merenungkan banyak hal yang sempat ia dengar. Ya, tentang pembunuh berantai bernama Hans yang entah masih hidup atau tidak. Kota sebrang tempat seorang keluarga terpandang. Kaki tangan mafia dan kode rahasia lagi. Jangan lupakan soal peluru yang memiliki simbol itu. Sungguh, hal itu membuat pikiran Tea terganggu. Bagaimana tidak, karena kemarin saja ia menemukan angka di papan pengumuman, ia takut jika ada korban selanjutnya.
"Astaga! Sebenarnya apa ini?" gumam Tea sembari mengacak-ngacak rambutnya karena kesal.
Ia mengambil tempat duduk di tepian jendela kamarnya dan menatap suasana di luar. Betapa besarnya dunia tempatnya tinggal ini, tempatnya berpijak kini menjadi sebuah tempat utama bagi manusia. Mereka ada dan tiada, mereka hanyalah seseorang yang nantinya akan kembali.
Karena lama melamun akhirnya ia tersadar jika masih ada petunjuk yang ia dapatkan dari pesan misterius kemarin, ya tentang V20X. Sempat si gadis bingung harus bagaimana dan apa, karena petunjuk yang diberikan saja masih menjadi pertanyaan berat bagi dirinya. Maksudnya, apa itu singkatan dari sebuah tempat? Atau sebuah organisasi? Atau mungkin sebuah inisial? Entah.
Membicarakan tentang tepat, ia baru saja sadar jika dirinya pernah mendapatkan kartu yang diberikan oleh Zack. Ya, sebuah kartu yang berisi alamat, entah kenapa Tea bisa melupakan hal itu saking sibuknya.
Tea beranjak dari duduknya dan mengambil buku catatan yang ada di meja kerjanya. "Jalan 01 Walfrost?" Hening, ia sendiri tidak paham harus melakukan apa terlebih dahulu. Antara datang atau tidak. Namun, untuk apa? Zack, apakah pemuda itu tahu sesuatu?
***
Ketika malam semakin larut, tubuh akan lebih lelah. Itu semua akan membawa kita pada alam bawah sadar, memberikan kita mimpi agar lebih menikmati indahnya dunia. Pada akhirnya si gadis memilih memejamkan matanya, menikmati setiap detik di bawah sana, menikmati setiap detik tanpa adanya masalah. Hanya sebuah mimpi, antara dirinya dan sang ibu.
Karena ketika mata itu kembali terbuka, Tea akan sadar jika masih ada banyak hal yang harus ia kerjakan. Ya, seperti pagi ini saat tanpa di sengaja ia bertemu dengan pemuda berambut pirang yang tengah mencari-cari tempat kosong. Awalnya Tea menghiraukannya, ia enggan menawarkan bangku di sebelah kirinya karena sedikit ... malu? Namun, pada akhirnya si gadis memanggil Zack saat pemuda itu berada dekat dengannya.
"Hai," sapanya dengan sebuah senyum yang tipis.
"Hai, Valerie," balas si pemuda.
"Aku lihat kau kesulitan mencari tempat duduk, kau bisa duduk bersamaku," ucap Tea. Keduanya sempat hening beberapa detik. Karena merasa tidak enak Tea kembali bersuara, "Ya ... itu pun jika kau mau," lanjutnya kemudian.
Zack tersenyum kecil dan mengangggukan kepalanya, karena pemuda itu setuju akhirnya Tea mengeser tubuhnya ke samping kiri dan mempersilakan si pemuda untuk duduk. Zack menoleh ke samping, ke arah Tea duduk. "Terima kasih, kau baik juga," ucapnya.
Tea menoleh, pandangan mereka bertemu seperkian detik sampai akhirnya si gadis memutuskan kontak mata di antara mereka. "Tidak masalah," balas gadis berambut cokelat tersebut.
Perjalanan itu dilalui dengan keheningan di antara keduanya. Namun, tampaknya Zack meruntuhkan dinding keheningan itu dengan cara mendekatkan tubuhnya sedikit ke arah Tea dan membisikkan sesuatu. "Dengar, aku tahu jika selama ini kau sedang mencari informasi tentang keluarga Raltfoy,"
Si gadis menoleh dengan pandangan terkejut, benar-benar terkejut malahan. Tapi, ia berhasil menetralkannya dan berusaha tenang.
"Apa Dich memberitahumu akan hal ini?"
Zack menggeleng dan menarik sudut bibirnya, membentuk sebuah lengkungan tipis yang tampak indah. "Tidak, bahkan dia tidak pernah mengucapkan apa pun," tuturnya.
Tea sempat menatap Dich yang kini duduk berdua bersama Anantha di kursi depan mereka, keduanya terlihat cukup bahagia. "Ditinggal kencan temanmu, hah?" bisik Zack.
Gadis bermanik biru itu menoleh sekilas ke arah pemuda yang ada di sampingnya dan kembali bertanya, "Bagaimana kau tahu tentang keluarga Raltfoy?"
Sebuah tawa kecil terdengar bersamaan dengan suara burung-burung yang berkicau di luar sana. "Tidak seorang pun yang ada di kota ini tidak mengenal keluarga itu, semua orang pun tahu tentang mereka."
Untuk kesekian kalinya si gadis dibuat terpukau dengan senyum manis dan tatapan dingin itu, pemuda ini sangat berbeda. Tea memejamkan matanya berkali-kali, menghilangkan sesuatu yang aneh pada dirinya.
"Boleh aku bertanya satu hal padamu, Zack?" tanya Tea. Pemuda bermanik hijau gelap itu menoleh, menunggu ucapan selanjutnya dari si gadis. "Ini tentang kartu, maksudku alamat yang kau berikan padaku di malam itu," lanjut Tea.
Tepat saat itu juga bus berhenti di halte tempat turunnya para siswa. Zack melihat ke sekelilingnya dan kembali berhadapan langsung dengan gadis bernama Tea yang ada di sampingnya.
"Itu jalan rahasia milik kita, sayangnya kau tidak menghadiri pertemuan itu," balasnya.
Tahu apa yang dirasakan si gadis? Benar, ia benar-benar berada di antara dua perasaan, antara bingung dan ... bahagia? Eh, bahagia? Itu hanya perasaan Tea untuk yang pertama kalinya. Karena pertama kalianya ada sosok manusia yang berhasil mengucang seluruh kehidupan datar miliknya.
"Kurasa waktu kita sudah habis, Valerie. Kalau kau ada pertanyaan, kau bisa temui aku di sana," tandas si pemuda sembari bangkit dari tempatnya duduk, ia menatap sekilas Tea dan memberikan senyumnya, setelah itu pergi.
Untuk Tea sendiri, ia masih menunggu antrian agar tidak berdesak-desakan. Dirasa cukup sepi akhirnya Tea keluar dan menemukan sosok Anantha yang tengah menunggunya.
"Selamat pagi, Tea!" sapa Anantha saat gadis bermanik biru itu baru saja menginjakkan kakinya.
"Oh, hai! Selamat pagi," balas Tea dengan senyum merekah.
Keduanya berjalan bersama, angin di pagi itu sepertinya menambah suasana untuk tetap nyaman. Anantha melambatkan langkahnya. "Maafkan aku karena tidak duduk di sebelahmu, Tea," ujar gadis berambut hitam legam dengan sebuah pita ungu bertenger dengan indahnya, raut bersalahanya membuat Tea tersenyum.
"Tidak masalah, kau juga harus menghabiskan waktu bersama Dich, kan?"
Saat mendengar ucapan dari gadis di sebelahnya membuat Anantha memberikan senyum terbaiknya. "Terima kasih, kau benar-benar pengertian." Gadis itu memeluk erat tubuh Tea. Sungguh, ia benar-benar bahagia dan beruntung memiliki seorang teman seperti Tea. Tapi senyum itu pudar saat ia sadar satu hal. "Tunggu, lalu kau duduk dengan siapa? Karena aku sempat melihat si pirang sibuk mencari tempat kosong di dalam bus."
Tea mengendikkan bahunya dan tersenyum. "Kurasa ia memang duduk di sebelahku," jawab Tea sesaat kemudian. Tea menutup mulutnya tidak percaya dan menghentikan langkah mereka.
"Benarkah?! Astaga! Ini babak baru dalam hidupmu, Tea!" seru Anantha dengan nada yang teramat bahagia.
Tea menatap aneh gadis di hadapannya dan mengerutkan kening. "Hei, lupakan, itu hanya sesuatu yang tidak pernah ada di dalam scenario."
Anantha menelengkan wajahnya. "Sungguh? Jadiitulah yang dinamakan dengan takdir," pungkasnya kemudian.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top