8: The Secret Book
***
Malam ini Tea berada di kediaman Rafles, rumah tempat Venic dilahirkan dan tinggal hingga saat ini. Rumah kecil dengan desain minimalis itu terletak tidak jauh dari tempat si gadis tinggal, alhasil dapat dengan mudah ia datang dan pergi.
Kita tahu bahwa hubungan antara Venic dan Tea itu cukup dekat, walupun si gadis sendiri jarang mengunjungi, mungkin hanya berbicara melalui interaksi di kafe, ya hanya itu saja kesempatan mereka untuk berbincang.
Tapi malam ini berbeda, Venic sendiri yang mengajak Tea untuk menikmati malam ini dengan secangkir kopi dan beberapa tontonan yang bisa menenangkan pikiran. Di ruang tamu yang tidak terlalu besar itu hanya ada Tea dengan beberapa cemilan dan sebuah remote yang tergeletak begitu saja, sedangkan Venic sedang menyibukkan diri di dapurnya, membuat beberapa makanan yang bisa menghangatkan tubuh.
Karena bosan Tea beranjak dari tempatnya duduk dan menghampiri wanita berambut blonde tersebut, melihat sosoknya dari jauh dan menyunggingkan sebuah senyum. Rasanya Tea beruntung memiliki orang-orang terdekat yang sangat baik dan ramah padanya. Ya, seperti Anantha, Nyonya Revelin, Dich dan Venic. Mungkin hanya itu yang Tea miliki setelah sosok Laudya—sang ibu—meninggalkannya.
"Tea? Apa aku membuatmu menunggu terlalu lama?"
Tersadar, Tea menoleh dan menggeleng pelan. "Tidak, aku hanya sedikit bosan, jadi menghampirimu kemari," balas si gadis.
Melihat Venic yang agak kesulitan membuat Tea bergerak untuk membantu membawakan beberapa camilan yang sempat di buat oleh wanita itu.
Maniknya sedikit terbuka saat sadar berapa banyak makanan yang Venic buat hanya untuk mereka. "Venic, apakah kau akan kedatangan tamu selain diriku?" tanya Tea. Gelengan dari Venic kembali membuat Tea membuka suara kembali, "Aku rasa kau membuat terlalu banyak makanan jika hanya ada kita berdua di sini."
Wanita itu menunjukkan senyum. "Aku jarang mendapat tamu, kau adalah tamu pertamaku. Jadi ... kupikir mereka akan menyambut tamu dengan seperti ini." Ia melihat kembali meja yang kini penuh dengan makanan. "Ya, aku sadar ini terlalu berlebihan untuk dua orang," lanjutnya sembari menggaruk belakang kepala yang tidak gatal.
Karena tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Venic segera duduk, di susul dengan Tea yang sedikit tidak enak hati.
"Makanlah, kau bisa membawanya pulang jika mau, tapi itu hanya berlaku setelah kita selesai," ujar Venic sembari mulai mengambil beberapa makanan yang menjadi favoritnya. "Jika kau mencari sandwich telur, maka jawabannya tidak ada, makanan itu hanya ada di pagi hari terutama di kafeku."
Mendengar hal itu mampu membuat Tea tertawa pelan. "Ya, aku tahu jika makanan itu tidak gratis," imbuh Tea.
Keduanya sama-sama tertawa dan menikmati makanan tersebut di tengah dinginnya malam. Hujan sempat turun malam ini, walaupun hanya rinti- rintik saja. Meskipun hanya rintik-rintik saja, hawa yang dikeluarkan melebihi saat hujan badai tiba, dingin.
Sebuah acara televisi mereka dengarkan secara seksama, keduanya hanya hening menikmati beberapa film dan berita yang muncul di malam tersebut. Hingga akhirnya Tea tersadar akan tujuannya kemari, ia menoleh menatap Venic yang masih terpaku pada acara di televisi.
"Venic," panggilnya.
Merasa dipanggil wanita yang memiliki manik cokelat terang itu menoleh. "Ya? Ada apa, Tea?" tanya venic.
Si gadis meletakkan mangkuk berisi sup yang sempat ia santap tadi dan berdehem. "Sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan denganmu. Ya, ini sedikit mengganggu, tapi aku sangat membutuhkan informasi darimu."
Paham apa yang akan dibicarakan gadis di sampingnya, Venic pun beranjak dari tempatnya duduk. Tea hendak menghentikan wanita itu. Namun, telat karena ia telah menghilang dibalik tembok. Entah apa yang dilakukan Venic, tapi itu sangat membuat Tea penasaran. Apakah wanita itu merasa kecewa karena mengganggu momen ini atau karena Venic masih mengambil sesuatu? Baru saja Tea merasa bersalah, seorang wanita berambut blonde tersebut muncul dari balik tembok dengan membawa sebuah buku yang entah untuk apa.
Wanita itu mendudukkan dirinya di samping Tea dan memberikan buku tersebut padanya, merasa aneh Tea pun bertanya, "Tunggu, Venic. Ini apa?"
Venic memberikan seulas senyum dan menunjuk judul yang terpampang jelas di sana. Sebuah judul tertulis dengan tebal. The Raltfoy; Every inch, Every second and Every step.
Kerutan samar terlihat di wajah si gadis, ia kembali menoleh. "Ini tentang Hans Raltfoy?" tanyanya tidak yakin.
Venic menganggukkan kepalanya. "Ini bukan hanya tentang Hans, tapi mencakup seluruh keluarga yang terlahir di sana," jelasnya, "Setelah keluarga itu tidak tersisa sama sekali, seorang juru tulis yang katanya dekat dengan keluarga Raltfoy menulis buku tersebut. Ia membentuk sebuah kisah dari keluarga legendaris itu, merangkum setiap peristiwa yang dialami para pemimpinnya," lanjut Venic.
Tea mendengarkan itu dengan seksama, lalu kini fokusnya tertuju pada buku tebal yang ada dipangkuannya. Buku bersampul hitam dengan judul tebal berwarna emas itu sangat menarik. Ya desain yang dihasilkan memang mampu menarik siapa pun untuk membelinya.
"Dari mana kau mendapatkan buku ini, Venic?" tanya Tea kemudian.
"Aku tahu, buku ini memang tidak dijual dengan sembarangan, pemerintah bahkan melarangnya untuk diedarkan."
"Apa? Tapi kenapa?" raut Tea berubah.
Venic menghela napas panjang dan kembali menjelaskan, "Kau tahu sendiri jika buku biografi itu identik dengan para tokoh-tokoh hebat, memotivasi pembacanya dan membuat kagum semua orang. Namun, itu tidak berlaku untuk keluarga Raltfoy, walaupun mereka berasal dari keluarga yang benar-benar terhormat."
"Lalu?"
Venic menoleh menatap gadis di sampingnya dan kembali melanjutkan apa yang ia ketahui selama ini. "Pemerintah hanya menyita beberapa buku yang dijual. Untuk penulisnya sendiri kini berada di Harlem Valley, mereka mengirim pria itu ke sana untuk dijauhkan dari para penentang The Raltfoy Book. Tapi entah bagaimana buku yang sempat tersisa hilang begitu saja, tidak ada yang tahu ke mana perginya. Ada yang mengatakan jika buku tersebut sengaja dihanguskan oleh pihak yang berwenang dan ada juga yang mengatakan jika buku tersebut diambil oleh para musuh keluarga Raltfoy dan memusnahkannya untuk selama-lamanya, karena di dalam buku ini memang dijelaskan dengan detail konflik-konflik dengan beberapa nama besar."
Tea yang sedari tadi diam pun kini mengangguk mantap tentang informasi tersebut. "Baiklah, kurasa itu cukup membantu, kau orang yang sangat baik," ucap Tea kemudian ia menatap jam yang berada di pergelangan tangannya. "Venic, ini sudah larut, aku rasa akan pulang sekarang."
Wanita itu bangkit, begitu pula dengan Tea. Venic dengan setelan santainya itu mengambil sebuah kotak yang ia siapkan tadi dan memberikan pada gadis di hadapannya. "Hanya sebuah permen, ini cocok untuk melepas stress," ungkapnya.
Tea menerima kotak tersebut dan mengulum senyum. "Terima kasih."
Tea tersadar, ia memberikan kembali buku yang ada di tangannya. Namun, Venic menolak dan berkata demikian, "Tidak masalah, kau bisa memilikinya."
Si gadis tampak masih ragu. Bagaimana tidak? Venic bilang buku ini sangat dilarang oleh pemerintah. Bagaimana kalau tanpa sengaja Tea membacanya di depan umum dan ketahuan akan hal itu. "Tapi Venic—"
"Bawalah, mereka tidak akan tahu, kau bisa menyimpan hal itu di dalam rumah, kan?" potong wanita berambut blonde tersebut.
Tea pun akhirnya menyetujui dan memasukkannya ke dalam tas. Karena merasa terlalu lama akhirnya si gadis bermanik biru itu memilih untuk pamit.
***
Di pagi yang cukup cerah ini membuat sang mentari tampak bersemangat untuk menyambut para umat manusia. Begitu pula dengan seorang gadis yang tengah melangkahkan kakinya di halaman luas sekolah yang menjadi tempatnya menuntut ilmu. Ada satu hal yang membuatnya berangkat lebih awal, siang ini akan ada ujian dari Mr. Trent, dan oleh karena itu ia harus mempelajari ulang beberapa materi yang dirasa kurang paham.
"Wah, wah! Pagi ini ada si kutu buku yang selalu ingin menjadi nomor satu," ejek seorang pemuda bermata biru yang baru saja datang bersama dua orang temannya.
"Ya, nomor satu dalam ujian. Bukan untuk salah satu siswa popular," sahut seorang pemuda yang berada di sebelah Hillen, Revt.
Ketiganya tertawa mengejek, sedangkan si gadis sama sekali tidak menghiraukan para pemuda usil tersebut. Hingga akhirnya Hillen membuka mulut, "Apa ayahmu itu masih suka mabuk-mabukan?" tanya Hillen dengan nada merendahkan.
"Ya, apa lagi yang akan dia lakukan selain berjudi dan mabuk," sahut pemuda yang memiliki rambut hitam keriting tersebut, Revt.
"Orang yang seperti itu hanya akan menjadi sampah kota saja, atau lebih baik berada di Eventhres," imbuh pemuda bermarga Gordon itu.
Tea yang tadinya hanya diam, pun langsung berdiri dan menatap mereka dengan tajam. "Hentikan!" teriaknya yang sudah muak. Ingin sekali ini saja ia konsentrasi, tapi semua itu mendadak hancur karena ulah mereka bertiga.
Sebuah senyum jahil terlihat di wajah tampan milik Hillen, ia maju selangkah,."Wah! Kau mulai berani ternyata."
Entah apa yang membuat Tea berani menampar pipi pemuda yang sangat menyebalkan itu, mungkin rasa muak sekaligus dendam yang membuat si gadis dengan berani melakukan hal tersebut. Terlebih lagi di hadapan kedua teman Hillen.
Tampak sekali, pemuda berambut coklat kemerahan itu menatap tajam ke arah Tea dan mulai berjalan mendekati gadis berkacamata itu. Kini tatapan jahil itu berubah menjadi tatapan dingin yang seolah mampu membekukan Tea dalam sekejap.
"Kau menamparku. Larva?"
Menyadari jika pemuda itu semakin mendekat ke arahnya, segera si gadis menghindar dengan berjalan mundur.
"Kau berani menamparku?" tanya Hillen sekali lagi dengan menekankan setiap kata. Kini jarak di antara mereka sangat dekat. Tea tidak bisa lagi menghindari Hillen, karena ia sudah benar-benar terpojok sekarang.
"Ya ... lalu ... kenapa?" tanya si gadis yang berusaha berbicara dengan tegas, manik biru mereka beradu dengan sengit.
Pemuda itu menyunggingkan sebuah senyum miring. "Kau harus membayarnya," ucap Hillen yang kemudian menatap ke arah bibir mungil milik Tea. Pemuda itu semakin dekat, hingga Tea saja dapat merasakan embusan napas miliknya. Namun, aksi jahat Hillen itu terhenti saat sebuah teriakan datang dari arah belakang.
"Hei!" Seorang pemuda berdiri menatap mereka dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku celananya, posisi yang sangat santai.
Mereka betiga—Hillen, Revt dan Stiv—menoleh. Pemuda berambut hitam yang biasa di panggil dengan nama Dich itu perlahan melangkah maju. Tatapannya masih tertuju pada sosok Hillen.
"Setidaknya jika mau mencium seorang gadis harus menyesuaikan tempat, kau tahu jika ini tempat belajar, bukan tempat untuk mencari kesenangan," ucap Dich. Tergambar jelas jika pemuda itu sedikit meredam emosinya, walaupun masih sangat sulit.
"Siapa kau, yang dengan berani menasehatiku."
Senyum tipis terbentuk di bibir Dich, ia menatap sekilas teman-teman Hillen. "Pertama, aku adalah seniormu. Kedua, aku hanya murid biasa. Dan ketiga, aku adalah anak dari keluarga Griden," jelas pemuda bermanik abu-abu tersebut.
Mendengar hal itu dari Dich tampaknya hanya sebagai lelucon untuk ketiga anak laki-laki yang memiliki sifat jelek itu, terbukti bahwa mereka bertiga tertawa dengan suara mengejek.
"Apa pedulinya aku jika kau senior," cemooh Hillen yang diiringi tawa dari kedua pengikutnya.
Stiv pun ikut maju dan menunjukkan wajah mengejeknya. "Dan siapa tadi? Anak keluarga Griden? Hei, siapa itu?" ejeknya, tampang menyebalkan itu terpasang jelas.
Pemuda lain yang berada di belakang mereka ikut menyahut, "Apakah dia seorang pengusaha permen? Atau—"
Senyum Dich belum pudar, Tea saja dapat melihat jika pemuda itu menanggapi mereka dengan tatapan santai seolah tidak merasa tersinggung sama sekali. "Ya, permen. Sebuah permen yang dicampur dengan Heroin?"
Mendadak mereka menghentikan tawanya. Tea yang ada di belakang sana pun sedikit terkejut dengan ucapan Dich, entah itu hanya gurauan semata atau ada unsur nyata.
"Kenapa? Ada yang salah?"
Hillen perlahan menghampiri Dich dan tatapan mereka beradu, tatapan dingin dan kebencian. "Sekarang kau tahu dengan siapa kau berbicara?"
Mendapat pertanyaan semacam itu membuat Dich hampir tertawa keras, ia memejamkan matanya sejenak. "Ya, dengan seorang Hillen Gordon, anak kepala sekolah Atherty, Mohan Gordon," jawab Dich dengan nada datar.
Tangan Hilen mengepal. "Kau—" Ucapannya terpotong oleh Dich yang sudah berbicara terlebih dahulu.
"Apakah kau ingin membuat laporan dan membuatku dikeluarkan?"
Karena emosi Hillen pun mencengkram kerah seragam Dich dan membisikkan sesuatu. "Ingat, kau pasti akan menyesal tentang hari ini," ancamnya dengan menekankan setiap kata. Hillen melepaskan cengkeramannya, karena seseorang secara tiba-tiba muncul.
"Dich," panggil seorang pemuda yang berada di ambang pintu, pemuda dengan kancing jas yang terlepas dan rambut pirang yang tertata cukup rapi.
Tea melirik ke arah sumber suara. "Zack," gumam si gadis saat menyadari siapa pemilik suara tersebut.
Pemuda itu seperti menunjukkan raut terkejut yang dibuat-buat. "Maafkan aku, kurasa sebentar lagi para siswa akan datang dan aku masih ada urusan dengan temanku." ujar Zack sembari menunjuk ke arah lorong.
Hillen memberikan senyum remeh. "Ada apa, K? Apa kau juga ingin mencari masalah denganku?" tanya Hillen. Pasalnya Hillen tahu jika K atau yang sekarang kita panggil dengan nama Zack ini adalah saingan utamanya dalam bidang matematika.
"Come on, Hillen. Aku tidak ingin mencemari persaingan sehat kita," balas Zack. Ia mendekati Dich dan menatap sekilas gadis yang berada di belakang Hillen. "Apakah dia objekmu?"
Kini tatapan para lelaki itu mengarah pada Tea yang sedari tadi terdiam di tempatnya berada. Sedangkan si gadis yang merasa tak enak hanya menunduk dan diam tanpa ada niatan untuk mengeluarkan sepatah kata pun.
"Tidak ada urusannya denganmu!" tegas pemuda berambut cokelat kemerahan tersebut.
"Baik, ayo Dich!" ajak Zack seraya menarik lengan temannya. Mereka berdua kini berlalu pergi, tapi mendadak Zack menghentikan langkahnya dan kembali bersuara, "Hei, kawan! Tolong maafkan ucapannya, dia memang selalu berkata jujur," ucap Zack kepada Hillen, yang akhirnya keduanya menghilang dari balik tembok.
Setelah kepergian dua pemuda itu, sesuai ucapan Zack tadi, para siswa mulai berdatangan, tidak terkecuali si gadis berambut hitam panjang yang selalu merepotkan Tea, Anantha Gacfen. Melihat kedatangan Anantha membuat si gadis yang memakai kacamata besar itu tampak lebih lega dari sebelumnya.
Anantha memeluk erat temannya itu. "Selamat pagi, Tea!" sapa Anantha dengan senyum lebarnya.
Tea tidak dapat membalas itu dengan baik, terbukti jika dia hanya memberikan senyum simpulnya dan membalas, "Pagi" balas Tea lirih.
Anantha yang sangat peka dengan hal-hal kecil pun kembali menanyakan sesuatu. "Ada yang mengusik pikiranmu hari ini?"
"Tidak," balas Tea seraya membenarkan kacamata besarnya, dengan sekejap ia mengubah rautnya menjadi lebih baik. Dirinya tidak ingin membuat siapa pun merasa kasihan atau merasa tidak nyaman dengan sikapnya, jadi hal-hal yang bersifat pribadi lebih baik terpendam jauh di dalam sana.
Mengangguk mengerti, Anantha pun menyiapkan peralatannya dan siap menyambut pelajaran di pagi ini. "Hari ini aku mempunyai rencana bagus, kau mau tahu?"
Tea menoleh sekilas. "Ya?"
Gadis bermanik abu tersebut mendekatkan wajahnya sedikit kepada Tea dan berbisik, "Bagaimana kalau sepulang sekolah kita pergi ke tempat temanmu?"
Tea sedikit terkejut, pasalnya saat itu ia hanya bergurau saja, tapi kenyataannya Anantha benar-benar serius. Karena merasa tidak yakin Tea mencoba menjelaskan, "Kurasa—"
"Selamat pagi!" sapa seorang guru dengan wajah serius dan tegas, Mr. Trent. Pria itu mengambil tempat duduk dan menatap pada muridnya dengan pandangan tajam seperti malaikat pencabut nyawa yang siap menyambut kematian pada manusia.
Anantha menggeleng tidak percaya. "Kita lanjutkan nanti saja, oke?" bisiknya.
***
Syukurlah ujian pagi tadi cukup lancar dengan Tea yang berhasil menyelesaikannya terlebih dahulu, sebelum akhirnya disusul pemuda bernama lengkap Hillen Andrew Gordon. Ya, mungkin saja pemuda itu memang tidak ingin kedudukannya sebagai murid kesayangan Mr. Trent hilang begitu saja diambil oleh Tea.
Pada jam istirahat ini mungkin sebagian besar bertanya kenapa Tea jarang sekali ke kantin sekolah. Alasannya karena dia malas dengan antrian panjang dan tempat duduk yang pastinya selalu penuh, belum lagi para murid yang suka memperhatikan orang-orang seperti Tea ini. Mereka dengan sama-sama mempermalukan orang-orang yang memiliki gaya culun dan kuno semacam Tea.
"Anantha, apakah kau tidak ingin ikut bersama kami?" ajak gadis berambut pendek, dia Meira.
Anantha menoleh saat namanya tersebut. "Oh, Meira. Maafkan aku, tapi aku tak bisa," tolak Anantha dengan senyum simpul yang manis.
"Baiklah, sekarang kau sudah memiliki teman tetap, ya?" Meira menatap sekilas Tea yang duduk bersama Anantha.
Salah seorang siswi pun ikut menyahut dengan nada yang cukup pelan. "Dengan gadis culun si kutu buku itu."
Anantha dapat mendengarnya dengan baik, ia tidak ada niatan untuk menjawab, hanya saja sebuah lirikan tajam ia lontarkan pada mereka. Merasa tidak diperlukan lagi akhirnya gadis-gadis tadi pergi.
Ketika Anantha kembali melanjutkan pembicaraannya dengan Tea secara tiba-tiba seorang siswa laki-laki berlari dengan napas tersengal-sengal dan menatap seluruh anggota kelas. "Hei, apa kalian melihat papan pengumuman?!" seru siswa tersebut sembari menunjuk-nunjuk ke arah luar.
"Ada apa dengan papan pengumuman?" tanya seorang siswa yang masih satu kelas dengan mereka.
"Ada angka-angka rahasia lagi, lebih mengerikannya angka itu ditulis dengan darah," jelasnya dengan raut wajah bergidik ngeri.
Mereka semua yang berada di kelas saling menatap satu sama lain dan berbisik-bisik. Tidak lama setelah itu ada sebagai siswa yang keluar demi memastikan adanya hal tersebut.
Untuk Tea sendiri ia masih saling melempar tatapan tanda tanya pada Anantha yang sama sama melakukan hal tersebut. "Anantha, kau mendengarnya, kan?" tanya si gadis berambut cokelat. Anantha hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Tea.
Karena penasaran juga akhirnya Tea menyeret Anantha untuk bersamanya. "Ikut denganku!" ajak Tea.
Mereka berdua tampak berjalan mengarah ke perpustakaan. Mungkin kali ini Tea benar-benar akan memecahkan misteri yang selalu mengganggunya ini. Gadis itu mencari-cari mengenai buku tentang kode rahasia dan hal yang bisa membantunya saat ini.
Sampai saat ditengah pencariannya si gadis menemukan satu buku dengan sampul yang sudah hampir rusak. Ya, keadaan buku tersebut memang layak disebut sebagai buku yang waktunya dikemas, jikalau Mr. Yefers melihat mungkin akan langsung dibawa tanpa tahu isinya yang masih terlihat jelas dan rinci.
Si gadis membaca sebagian judul yang masih terlihat. "The Secret Books," gumamnya saat membacanya. Tea pun membawa buku tersebut kepada Anantha untuk dilihat lebih dalam apa isinya. Siapa tahu ada informasi tambahan tentang apa yang mereka cari selama ini. Atau siapa tahu juga ada cara untuk memecahkan kode rahasia.
"Buku apa ini? Usianya tidak lama lagi, mungkin?"
Tea menyetujui ucapan temannya. "Ya aku harap ada beberapa petunjuk-petunjuk mengenai kode-kode rahasia para criminal," imbuh gadis bermata biru cerah itu.
"Aku tidak tertarik dengan buku tua itu, kau baca dulu saja. Aku akan pergi mencari buku lain," ujar Anantha yang kemudian pergi mencari buku lain.
Sebuah kerutan pada wajah terlihat, ia tidak mengerti maksud dari bacaan yang ada di sana. "Tentang apa ini?" tanya Tea pada dirinya sendiri. "Baiklah, kurasa akan aku diskusikan ini dengan Venic atau aku baca sendiri dengan secangkir teh hangat." Tea menutup buku itu dan mencari si gadis berambut hitam legam.
Kepalanya kembali menoleh saat derap langkah kaki mengarah padanya, dibalik rak buku muncul seorang gadis yang sempat ia cari beberapa detik yang lalu. Tea mengerutkan kening saat Anantha menatapnya dengan pandangan bahagia.
"Apa kau menemukan sebuah buku?" tanyanya sesaat setelah gadis di hadapannya itu mengatur napasnya yang memburu. "Ya, aku menemukan sesuatu." Anantha menyodorkan sebuah buku bersampul merah tua.
Tangan Tea terulur menerimanya, mengamati sekilas bagian belakang dan samping sampul buku yang kini berada di dalam genggamannya. "Rahasia Dunia?" gumamnya kemudian, ia memandang sekilas Anantha dan memberikan buku tersebut. "Cukup bagus, walaupun kita tidak tahu itu memuat informasi akurat atau tidak." Ucapannya membuat gadis berambut hitam itu kembali merasa tidak yakin.
Karena merasa cukup, akhirnya mereka memilih meminjam buku yang berhasil membuat keduanya tertarik. Meja besar milik Mr. Yefers kini menjadi tempat Tea dan Anantha bersinggah, keduanya tengah mengantri, menunggu giliran untuk mendapat setempel tanda meminjam. Tampaknya hari itu tidak terlalu ramai, terbukti dengan urutan mereka yang kini berada tepat di hadapan pria berwajah dingin, tapi menenangkan tersebut.
Tatapan dinginnya, jubah panjang dan berdebu, serta kacamata kecil yang bertenger di atas hidung yang mancung. Tampilan sempurna untuk orang semacam Mr. Yefers.
"Hallo, Ms. Gacfen," sapa pria yang sudah memiliki uban di rambutnya. Entahlah, itu uban atau bukan, yang pasti terlihat seperti uban. Tapi anehnya, usia pria itu tidak terlalu tua, bahkan ia lebih muda dari Mr. Trent yang jauh terlihat keren dan nyentrik.
Anantha menarik sudut bibirnya dengan kaku saat tatapan mereka bertemu.
"Apa yang akan kau pinjam kali ini?" tanya Mr. Yefers.
Si gadis menyodorkan sebuah buku bersampul merah yang tadi ia temukan. Kini tangan itu tampak berkeringat, manik abunya bahkan menghidar dari tatapan tajam yang menjadi ciri khas guru di hadapannya ini. "Apa aku bisa membawanya pulang?" tanyanya setelah beberapa waktu yang lalu ia menyiapkan pertanyaan tersebut, dengan susah payah.
"Tentu saja."
Pria itu mengambil buku tersebut dan membuka bagian belakang, mengambil sebuah pena bulu dan mencelupkannya ke dalam tinta biru yang ada di sampingnya. Tangan pucat dan kering itu mengukir sebuah nama sekaligus tanda tangan di atas kertas yang ada dibalik buku. Kemudian ditatapnya Anantha yang ada tengah menunduk sembari memainkan tangannya. Berdehem dan memberikkan buku beserta sebuah kartu pada si gadis, "Untukmu, Ms. Gacfen."
Dengan sedikit ragu ia menerimannya dan berbalik melihat Tea yang setia menunggu di belakang. Pandangan mereka beradu, seperti memberikkan isyarat. "Terima kasih, Mr. Yefers," ungkap Anantha saat ia sadar dan sempat berbalik lagi.
Setelah drama panjang yang dilalui Anantha, kini giliran Tea untuk meminta izin pada pria yang menjabat sebagai kepala perputakaan tersebut. Sempat si gadis meneteskan keringat dingin karena takut jika buku yang ada di tangannya saat ini tidak bisa dibawa pulang karena kondisi yang sudah sepatutnya di kemas.
"Hallo, Ms. Quinnzel," sapa pria itu. "Apa yang akan kau pinjam?"
Tea menyodorkan buku bersampul hitam yang hampir tidak terlihat sampulnya, menaruhnya di atas meja dan melihat raut Mr. Yefers yang tampak lebih menyeramkan dari sebelumnya.
Pria itu menggeleng keras dan menatap Tea kembali. "Buku tua tidak diizinkan untuk dibawa pulang oleh siswa!" ucap Mr. Yefers dengan tegas.
"Tapi—" Si gadis tidak dapat lagi berbicara saat pria beruban itu kembali mengucapkan sebuah kalimat degan nada yang dingin dan tegas.
"Tolong kembalikan buku itu pada tempatnya! Setelah ini aku akan mengemasnya."
Karena tidak bisa lagi membantah akhirnya Tea berbalik dan melangkahkan kaki jenjang itu kembali pada rak tempatnya menemukkan si buku. Anantha mengekor dari belakang, menunjukkan senyum kecut. "Aku sudah bilang padamu, kan."
Karena kecewa akhirnya Tea memilih buku lain dengan asal-asalan. Dan ditatapnya gadis bernama Anantha itu dengan sekilas. "Ya, aku tahu. Aku akan meminjam buku lain," ucapnya yang kemudian kembali lagi pada meja besar milik pria beruban bernama lengkap Mr. Yefers Chromirn.
Setelah selesai meminjam buku, Anantha langsung saja menarik tangan Tea menuju ke arah papan pengumuman. Benar yang dikatakan siswa tadi, tulisan ini terbuat dari darah. Tea melihat angka-angka itu dengan teliti. "6.21.5?" gumamnya heran.
Karena merasa ada yang aneh Anantha ikut mensuarakan isi hatinya. "Hei, kenapa selalu ada angka 21?"
Keduanya saling menatap satu sama lain. "Ya, itulah yang harus kita cari. Mungkin kuncinya adalah angka 21."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top