6: The Weekend
***
Minggu yang cerah menuntun seorang gadis untuk menikmati pemandangan kota yang tampak lebih segar dari sebelumnya, embun masih terlihat di mana-mana, suara kicau burung masih terdengar sebelum para kendaraan mengambil alih seluruhnya.
Langkah kecilnya membawa si gadis untuk memilah-milah bahan makanan yang terjangkau dan favoritnya.
Manik biru itu berkeliling mengamati setiap jengkal rak-rak yang menyimpan beberapa makanan instan, mengambil beberapa dan beralih ke rak lain. Hingga tanpa disadari keranjang yang ia bawa telah penuh, segera saja si gadis dengan setelan kasual itu menuju kasir dan membayarnya.
Selesai membayar, Tea memilih mampir ke sebuah kafe kecil yang tidak jauh dari tempatnya berada. Tepat di ujung jalan, sebuah kafe berdiri dengan mengusung tema 90an, tempatnya yang minimalis dan vintage mampu membuat siapa pun betah berlama-lama berada di dalamnya. Tidak terkecuali Tea yang sangat betah tinggal di sana.
"Selamat pagi, Nona Manis!" sambut seorang wanita dewasa dengan senyuman lebarnya.
Seulas senyum di tunjukkan Tea untuk sekedar balasan. "Pagi, Venic." Tea memilih mendudukkan dirinya di dekat jendela besar yang langsung tertuju pada jalanan kota. Tampak nyaman rasanya bisa menikmati secangkir kopi dan di suguhi pemandangan kota yang masih pagi.
Wanita dengan pakaian ala kafe itu berjalan mendekat. "Apa yang ingin kau pesan pagi ini? Secangkir kopi hangat atau cokelat panas yang di sajikan bersama sepotong sandwich telur?"
Senyuman hangat terlihat di wajah Tea, ia mengetuk-ngetukan tangannya di atas meja lalu kembali menatap Venic. "Baiklah, secangkir cokelat panas, itu cukup membuatku merasa nyaman," tandasnya.
"Segera aku siapkan."
Sambil menunggu pesanannya datang, ia membuka tas kecil miliknya dan mengeluarkan sebuah buku mini lengkap dengan bolpoin berkepala kelinci. Tea menunduk, menuliskan sesuatu di atas buku mini yang biasa di sebut sebagai diary. Sebuah angka tertulis di sana.
"22 21 4?" ucap Venic.
Karena terkejut Tea menutup buku tersebut dan mendongak menatap wanita yang tengah memandangnya dengan raut bingung.
"Hei, apa artinya itu?" tanya Venic sembari memberikkan pesanan si gadis.
Tea menarik napas dan mengembuskannya dengan sedikit kesal. "Venic, bukankah membaca diary orang lain itu adalah hal yang tidak baik." Ucapan Tea membuat wanita yang memiliki wajah cantik itu menempatkan dirinya di hadapan Tea.
"Oh, ayolah! Aku hanya tidak sengaja melihatnya," terang Venic.
Keduanya terdiam sejenak sampai akhirnya si wanita memberikan tatapan serius pada Tea.
"Hei, kurasa itu sebuah kode rahasia," lirih Venic.
Tea kembali mendongak dan memperhatikan wanita itu dengan serius. "Maksudmu?" Venic tertawa kecil dan mengalihkan pandangannya sebelum ia benar-benar menjelaskan.
"Aku pernah menjumpai hal semacam itu beberapa tahun yang lalu, saat peristiwa yang disebut sebagai Death Day," ujar Venic. Tea terdiam dan mencerna semua yang dikatakan oleh wanita itu. "Tahun-tahun yang kelam meneror kota lamaku, semua orang di temukan tewas dengan cara tragis dan misterius," lanjut si wanita, ia menatap Tea sekilas dan tersenyum paksa.
Saat menyadari ada raut ketakutan di wajah Venic, Tea menggengam tangan gadis itu. "Pasti itu kenangan yang sangan menyakitkan."
Wanita yang selalu membawa nampannya tersebut menggelengkan kepalanya dan membentuk sebuah senyum lebar. "Ada yang menyebutkan pelaku pembantaian itu seorang pria yang menghianati keluarganya. Pria yang dengan tega menunjukkan rahasia dan membantai keluarganya sendiri."
Tea yang mendengar hal itu menganggukkan kepalanya, berterima kasih karena dengan senang hati Venic memberikan secuil informasi yang lumayan penting. Kini pikirannya berkelana jauh, mengaitkan antara pembunuh berantai itu dengan kematian Vica.
Venic berdiri dan membelai pelan tangan Tea. "Aku harap kau tidak mencari tahu tentang dirinya. Mereka memiliki kesatuan gelap, tidak semua orang mengenal pria itu," pesan Venic yang akhirnya memilih pergi untuk melanjutkan pekerjaannya.
Sedetik setelah kepergian Venic seseorang muncul dengan membawa sebuah tas berukuran sedang dan langsung mendekati Tea. "Hei, bolehkah aku duduk denganmu?" tanyanya.
Tea yang tadinya tengah melamun mendadak mendongak menatap siapa gerangan. "Oh, kau rupanya, duduklah!"
Pemuda itu langsung duduk tepat di depan Tea. "Kau suka datang kemari?" tanya Dich sesaat kemudian. Si gadis membalas dengan anggukan samar dan hanya tersenyum.
Hening.
"Ada yang mengusik pikiranmu, Tea?" tanya Dich saat melihat raut penuh pikiran yang di tunjukkan Tea.
Gadis beramanik biru itu kembali menatap pemuda di hadapannya dan membenarkan posisi duduknya. "Apa terlihat begitu jelas?" tanya Tea sedikit berbisik.
Melihat tingkah aneh gadis di hadapannya berhasil membuat Dich tertawa. Merasa bingung pun Tea mengendikkan bahunya.
"Kenapa kau sangat aneh, huh!" celetuk si pemuda yang kini telah menghentikan suara tawanya.
Tea mengabaikan hal itu dan mengubah rautnya menjadi sedikit serius. "Dich, aku mendapatkan sebuah informasi," ungkap Tea sembari memajukan tubuhnya ke depan agar pemuda itu mampu mendengarnya dengan jelas.
Dich mengernyit dan ikut mendengarkan. "Apa?"
Kepala si gadis tampak celingak-celinguk menatap sekitarnya, berharap jika tidak ada seseorang yang mampu mendengar pembicaraan sensitif tersebut. "Ini tentang kematian Vica dan angka misterius. Aku mendapat informasi dari Venic bahwa angka yang sekarang ini muncul persis seperti angka yang muncul beberapa tahun silam," jelas si gadis.
Sempat Dich terdiam. Tapi beberapa detik kemudian ia membuka suara, "Kematian Vica, ya?" Dich melipat tangannya untuk menumpukkan kepalanya, Tea mengangguk dengan perlahan.
"Apa kau merasa ada yang aneh?" tanya Tea kemudian.
Tampaknya pemuda dengan setelan kasual yang ia kenakan sekarang tidak terlalu menyukai pembicaraan mereka. "Aku hanya bingung saja, kenapa ada yang berbuat sekeji itu."
Gadis itu mengangguk setuju dengan ucapan Dich. Sesekali si gadis menyeruput cokelat panasnya. "Apa kau melihatnya, Dich? Maksudku ... saat Vica ditemukan?"
Pemuda bermanik abu-abu itu mengendikkan bahunya dan membalas, "Sempat aku berada di barisan paling depan untuk melihatnya. Tubuhnya banyak sekali sayatan-sayatan dari pisau, lalu ada sebuah luka bakar juga pada bagian tangannya," terang Dich.
"Sungguh mengerikan," timpal Tea bergidik ngeri, betapa mengerikannya menemukkan mayat seperti itu. Apalagi Dich yang menatapnya secara langsung.
"Aku rasa si pembunuh sengaja membuat Vica menderita terlebih dahulu dan membuat gadis itu merasakan rasa sakit sebelum kematiannya," imbuh pemuda itu.
Tea tertawa kecil. "Ingin menjadi detektif, Dich?"
Mendengar itu Dich ikut tertawa. "Mungkin?"
Tawa mereka perlahan berhenti saat Dich seakan tersadar akan sesuatu, dilihatnya jam tangan yang bertenger di pergelangan tangannya. "Astaga! Aku lupa jika ada pertemuan dengan seseorang," celetuknya, "Ah, maafkan aku, Tea. Kurasa aku harus pergi ke suatu tempat," kata Dich kemudian.
Si gadis mengangguk setuju. "Tidak masalah, Dich. Kita bisa bicarakan hal ini di lain waktu."
Dich tersenyum, sedikit merasa bersalah jika meninggalkan pembicaraan begitu saja. Ia mengambil tasnya dan bangkit. "Sampai jumpa besok, Tea!" pamit Dich.
"Ya, sampai jumpa besok," balas Tea beserta senyuman.
***
Akhir pekan menjadi waktu yang dinantikan setiap orang, karena di waktu itu semua yang kita rencankan bisa terwujud. Seperti halnya berlibur, bercengkrama dengan orang terkasih, membuat pesta kecil dan masih banyak hal yang dapat dilakukan. Namun, setiap waktu pasti memiliki batas akhir, ketika waktu libur telah berakhir maka setiap orang akan melakukan aktivitas rutinnya.
Murid yang kembali bersekolah, mahasiswa yang disibukkan dengan skripsinya dan para pekerja yang sibuk mencari yang terbaik.
Seperti murid pada umumnya, kini Tea telah kembali bersekolah, walaupun itu hal yang sangat menyebalkan. Maksudnya menyebalkan dalam artian tindasan yang ia terima, bukan masalah belajar atau tugas. Ya, masalah belajar itu cukup menyenangkan bagi si gadis, oleh karena itu sebutannya menjadi si kutu buku yang buruk rupa.
Di dalam perpustakaan yang tenang itu tiba-tiba Anantha berseru dengan wajah yang sangat terkejut. "Hah! Kode rahasia?! Yang—" Tea membekap mulut gadis di hadapannya dan menatapanya dengan pandangan geram.
"Kecilkan suaramu," lirih Tea sembari mengangkat telunjukkan sejajar dengan bibir.
Anantha tertawa kecil karena merasa bersalah. "Oh, maaf," ucap Anantha setengah berbisik. "Kau tahu dari mana kalau itu kode rahasia?" tanyanya.
Tea berjalan menjauh, melangkah pada setiap lantai mamer berlapis karpet merah elegan. "Aku hanya menebak-nebak saja."
Siang ini mereka berdua tengah berada di perpustakaan besar milik Atherty. Seperti biasa, selain membaca buku mereka juga sering berbicara akan hal-hal penting. Karena bagi mereka di perpustakaan adalah tempat yang paling aman dan juga sepi. Jadi tidak masalah jika mereka membahas hal-hal rahasia seperti itu.
"Kalau begitu tugas kita adalah ... memecahkannya?" cetus Anantha
Tea mengendikkan bahunya dan duduk di salah satu kursi. Pembicaraan mereka sempat hening karena Tea sendiri tidak tahu harus memecahkannya atau tidak. Sempat saja ia terpikirkan dengan ucapan Venic kemarin, tentang tidak ada satu pun orang yang mengenal dengan jelas latar belakang si pria. Terlebih Venic sempat menyinggung soal kesatuan gelap.
Keduanya sama-sama menoleh saat seseorang berucap dari arah belakang, "Untuk apa kalian memecahkan kode rahasia itu, bukankah selama ini Vica itu jahat."
Dich berjalan dengan santainya sembari membawa sebuah buku yang berada di tangannya, "Nah, aku setuju dengan Dich," timpal Anantha.
"Bukannya kau tadi mau membantuku?" tanya Tea dengan raut tidak percaya.
Anantha tersenyum canggung dan mengaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ya, aku baru sadar jika yang kau bahas adalah Vica," ujarnya berusaha membela. Padahal yang kita ketahui gadis itu hanya menyetujui apa pun yang dilakukan dan diucapkan di pemuda bernama Dich.
Dich mendekat dan mengambil tempat duduk di seberang. "Apa yang ingin kau ketahui tentang angka-angka itu?"
Pertanyaan dari Dich berhasil membuat Tea terdiam. Ya, gadis itu sadar, kenapa dirinya sangat ingin memecahkan sesuatu yang bukan urusannya.
"Aku hanya ingin tahu saja, bukan berarti aku membantu atas kematian misterius Vica," papar Tea pada akhirnya.
Mereka bertiga sama-sama diam dalam pemikiran masing-masing, hingga pada akhirnya Dich bangkit. "Aku sama sekali tidak menyetujui penyelidikkan konyolmu itu, maaf," ucap si pemuda.
Tea mendongak menatapnya. "Bukankah kau ingin membantu kami? Mengapa secara tiba-tiba berhenti begitu saja?" Kini tatapannya beralih pada gadis yang duduk terdiam di sebelahnya. "Apa kau ingin berhenti, Anantha?"
Merasa disebut, Anantha tampak menatap kedua orang yang berada di depannya. Ada rasa bimbang di hati gadis itu. "Aku ... aku akan membantumu," tandas Anantha pada akhirnya.
Dich yang mendengar itu menghela napasnya dan memberikan buku yang ia bawa kepada Tea.
"Dengar, bahkan pihak kepolisian saja telah menutup kasus ini, mereka sama sekali tidak menemukan apa pun sebagai bukti penangkapan pelaku." Pemuda itu memalingkan wajahnya sekilas. "Kau mengerti maksudku, kita saja tidak tahu tentang siapa dan apa," lanjut Dich yang berusaha menjelaskan jika yang mereka lakukan nantinya akan sia-sia saja.
Tea bangkit dari duduknya. "Aku merasa pembunuhan ini berkaitan dengan seseorang di masa lalu. Mereka menutupinya karena tidak ingin masyarakat gempar tentang kembalinya pembunuh berantai itu," terang gadis bermanik biru.
Karena terkejut Anantha ikut berdiri dan menyentuh pundak Tea agar menatapnya. "Apa maksud dari ucapanmu?" tanyanya.
Tatapan intens dari Anantha itu berhasil membuka mulut Tea untuk menjelaskan, "Aku mendapat informasi dari seorang wanita kenalanku, ia pernah menemukkan kasus yang sama beberapa tahun yang lalu. Ia juga berbicara soal pembunuh berantai yang sempat meneror kota seberang," terang Tea.
Paham apa yang dibicarakan Tea, Anantha membalas anggukan. "It's so scary!"
"Baiklah, itu terserah pada kalian. Aku akan sedikit membantu jika kalian memang membutuhkannya," pungkas Dich pada akhirnya.
"Akan lebih—" Ucapan Tea mendadak berhenti saat maniknya melihat sosok tengah berdiri tidak jauh dari tempat mereka berada.
Dich dan Anantha melihat Tea menghentikan bicara pun sama-sama melihat arah yang dituju oleh Tea.
"Sejak kapan pemuda itu ada di sana?" gumam Anantha.
Dich tersenyum dan mengangguk ke arah temannya itu. "Hei, kemarilah K!" seru Dich.
Gadis bermanik biru itu sempat mengernyit. "Key?" ulangnya.
Pemuda yang ada di sampingnya itu menoleh dan tertawa. "No, just K."
Kini pemuda yang di panggil dengan nama K itu berjalan mendekat ke arah mereka bertinga, tatapan dingin dan wajah yang tegas itu seolah mengambarkan sosok lain. Aura yang di hasilkan pemuda itu seperti bukan siswa lagi. Namun, entahlah.
"Hai. Aku tidak ingin mengganggu kalian, jadi kurasa akan lebih baik menunggu," ucap pemuda itu saat ia berada di antara mereka.
Dich mengangguk dan menepuk-nepuk pundak si pemuda berambut pirang. "Tidak masalah."
Anantha menatap gadis yang ada di sampingnya yang kini pandanganya hanya tertuju pada buku di tangannya. "Tidakkah kau ingin memperkenalkan kami, Dich?"
Tersadar akan hal itu Dich sempat menepuk dahinya. "K, perkenalkan ini Anantha dan ini ... kau pasti sudah mengenalnya, kan?"
Pemuda itu mengangguk. "Tentu saja, Valerie?"
Tea mendongak menatap langsung manik yang selalu menarik perhatiannya. Dia hanya bisa diam, tak mampu mengucapkan kata apa pun.
"Maksudmu Tea, kan?" sahut Anantha yang sedikit aneh.
K menoleh sekilas lalu menunjukkan senyumnya yang sangat jarang terlihat. "Aku lebih tertarik untuk memanggilnya Valerie," pungkasnya. Anantha mengendikkan bahunya tak peduli.
Kini ketiganya sempat bercengkrama sebentar sebelum akhirnya Dich dan K memilih pergi untuk beberapa keperluan lain. Sementara Tea, ia memilih mengajak Anantha untuk menemaninya ke suatu tempat.
"Apa aku tidak salah dengar? Kau mau mendatangi kantor polisi? Untuk apa?" tanya Anantha sedikit heran dengan jalan pikiran temannya.
Tea mengemasi bukunya dan melangkah keluar bersama gadis bermanik abu tersebut. "Tidak, kau memang mendengarnya dengan jelas. Aku ingin menanyakan sesuatu pada mereka," balas Tea dengan sangat yakin.
Keduanya kini menaiki bus kota yang kebetulan berhenti di sana. "Aku tidak yakin mereka mau menganggap kita, dengan seragam sekolah seperti ini pula."
Ditatapnya gadis di sampingnya dengan raut kesal. "Diamlah jika ingin ikut, jika tidak kau bisa pergi!" tegas Tea.
Mendapat tatapan itu membuat Anantha terdiam dan mengalihkan pandangannya ke luar jendela.
Bus berhenti tepat di pusat kota, tempat di mana semua bangunan penting berada. Termasuk gedung kepresidenan, gedung rumah sakit terbesar di Bedlam dan yang Tea cari saat ini, kantor kepolisian.
Keduanya melangkah beriringan, halaman yang luas dengan beberapa pohon dilewatinya, kemudian mereka menaiki beberapa tangga dan membuka pintu kaca yang tampak mengkilap. Keduanya kini menuju meja resepsionis dan menanyakan langsung ruang kepala kepolisian.
"Apa keperluan kalian?" tanya si wanita.
"Kami ingin menemuinya, ini cukup penting," balas Tea yang tampaknya sedikit kesal dengan tatapan penuh selidik dari si wanita.
"Jika itu penting, kalian bisa menemui bagian penerima laporan."
Gadis bermanik biru itu menghela napas pelan. "Kami tidak membuat laporan, kami hanya—"
"Kami masih saudara dengan beliau, dan kami hanya ingin menemuinya sebentar untuk sekadar melepas rindu. Lagi pula kami hanya sebentar kok," sela Anantha dengan wajah ceria yang tampak meyakinkan.
Wanita cantik itu hanya bisa terdiam sejenak, kemudian kembali berucap, "Kalian bisa ke lantai atas bagian 3," ujar wanita tersebut dengan tatapan sedikit heran.
Setelah mendapat infromasi tersebut mereka segera bergegas menemui kepala kepolisian, berharap jika ada sesuatu yang mereka dapatkan atau berikan. Ketika lift berhenti tepat di lantai dua, terbukalah lorong panjang yang seolah-olah tidak berujung, mereka menghitung sampai tiga tempat dan menemukkan ruang bertulis; Police Chief (Kepala Polisi).
Tea mengetuk pintu tersebut dan membukanya, sebuah ruang yang cukup besar dengan sebuah meja yang bercorak elegan, beberapa tumpukkan kertas berada di sana. Namun, tampak sekali ruang itu sepi seolah tidak berpenghuni, kedua gadis tersebut masuk dan menatap keseluruhan ruangan yang memiliki aroma lemon balm.
Suara deheman dari arah samping membawa tatapan mereka tertuju pada seorang pria berbadan kekar yang muncul dengan seragam kepolisiannya.
"Senang menerima tamu di sore hari," ujarnya sembari menampilkan senyum yang tertutup dengan wajah tegasnya. Pria itu mempersilakan mereka duduk dan mulai menyeduh tehnya. "Apa yang membuat kalian datang kemari?"
Tea membenarkan posisi duduknya dan menoleh sekilas ke arah Anantha. "Aku ... jadi kami ingin menanyakan kelanjutan kasus kematian putri keluarga Eun Ae," ujar Tea kemudian.
Pria tersebut mengangguk-anggukan kepalanya dan mencodongkan tubuhnya ke depan. "Itu bukan kasus yang bisa dibahas sekarang."
Gadis itu mengernyit. "Please, Sir. Mengapa kalian semua seolah menyembunyikan hal ini? Bukankah ini hal yang besar?"
Mendapati hal itu, pria yang menjabat sebagai kepala kepolisian tersebut mengalihkan pandangannya dan tersenyum simpul. "Jadi? Apa yang ingin kau ketahui?" tanyanya.
Tea sempat merasa senang akan tanggapan dari pria itu. "Kami hanya ingin tahu bukti apa saja yang para kepolisian temukan."
Pria bernama tag Baron Ramsey itu berdiri dan melangkahkan kakinya. "Apa yang kau harapkan? Hanya sapu tangan bekas, pisau lipat, alat perekam yang sudah rusak dan ukiran di tangan," ujarnya sembari melihat lihat koleksi miliknya.
"Sir, aku mendapatkan informasi, ini tentang kaitannya dengan peristiwa Death Day."
Mendadak pria itu menoleh dengan pandangan terkejut, ia berjalan mendekat. "Dari mana kau tahu tentang hal itu?"
Si gadis sempat mengernyit bingung. "Maksudmu Death Day?" ulang Tea.
Baron mengisyaratkan untuk memelankan suara dari si gadis. Tea membenarkan helaian rambutnya yang berantakan dan kembali berucap, "Tidak, aku tidak terlalu mengetahui akan hal itu, hanya saja sebuah kabar membuktikan jika kasus ini mirip dengan kejadian di masa lalu," terang si gadis berambut cokelat tersebut.
Penjelasan dari si gadis dibalas dengan anggukan oleh Baron. "Yang aku tahu pria yang kau sebut dalam peristiwa Death Day itu telah tiada, dia ditemukan tewas di kawasan Fudson," papar si pria sembari tertawa kecil, tapi mendadak ia mengubah rautnya kembali serius. "Dan ya, dia bukan pria yang bisa dengan mudah berteman, bahkan keluarganya saja dibantai habis, jadi jangan ragu jika para temannya mati."
"Apa kau tahu soal latar belakang kehidupannya? Siapa dia sebenarnya dan bagaimana kisahnya?" tanya Tea lagi.
Baron tersenyum paksa dan mengangguk. "Sepertinya sudah cukup untuk hari ini, masih banyak yang harus aku kerjakan," tandasnya dengan nada yang tegas.
Tea berdiri. "Tunggu, Sir. Kau bahkan belum memberikan aku informasi tentangnya secara detail," ucap Tea berusaha membujuk.
Pria itu membukakan pintu dan meminta agar kedua gadis berseragam SMA itu keluar.
"Tolong, aku sangat ingin tahu tentang ini," pinta gadis bermata biru indah itu. Tatapan penuh mohon itu seakan ingin meminta kelanjutan informasi yang diketahui oleh Baron.
"Tidak ada pembicaraan lagi, untuk apa mempercayai gadis SMA seperti kalian," sergah Baron saat Tea hendak membujuk.
Anantha pun maju dan melepaskan cekalan pria itu. "Aku mengingatkan padamu, ini akan menjadi masalah yang berbuntut panjang jika terus kau hindari," ujar gadis itu dengan menekankan setiap kata yang keluar.
Tatapan antara mereka beradu sengit. "Apa kau ingin mengancamku?" tanya si pria.
Anantha menarik seulas senyum dan menggeleng pelan. "Aku hanya ingin kalian membuka mata, melihat yang sesungguhnya terjadi di luar sana. Bagaimana mungkin kalian bisa terus menutupinya, sedangkan nyawa mereka terus terancam," lanjut si gadis berambut hitam legam tersebut.
Akhirnya kedua gadis itu keluar dengan Anantha yang sudah kesal dan kecewa. Tea yang berada di belakang pun segera menyusul dan menepuk pundak gadis itu dengan pelan.
"Anantha, maaf jika hari ini membuatmu kesal," ucapnya.
Anantha menoleh. "Hei, ini bukan salahmu, pria bodoh itu yang salah," terangnya, "Tapi, Tea. Maaf, aku tidak bisa menemanimu pulang, keluargaku kebetulan berada di sekitar sini."
"Oh, baiklah. Itu tidak masalah sama sekali," kata Tea yang memerikan tanda bahwa dia akan sangat baik jika tanpa Anantha.
Anantha menggenggam tangan Tea dan tersenyum. "Atau kau mau ikut bergabung bersama kami? Aku akan sangat senang jika kau mau."
Mendengar itu dari Anantha membuat Tea ikut tersenyum. "Terima kasih, tapi rasanya aku akan pergi ke Ruang Baca untuk sore ini. Aku rindu bagunan itu."
Anantha sempat mengerucutkan bibirnya. "Alright, I can't stop you."
Keduanya melempar senyum untuk beberapa saat. Sampai akhirnya Anantha pamit dan pergi ke arah lain. Setelah itu kepergian Anantha menyisakan kesendirian bagi Tea, ia segera berjalan menuju Ruang Baca yang tidak jauh dari tempatnya berada.
Gedung dengan desain unik dan modern ini memiliki luas yang sangat besar, berbagai macam buku pastinya berada di dalam sana. Dengan gaya yang cukup modern dan unik inilah yang mampu menarik pengunjung untuk datang dan membaca. Selain itu juga semua fasilitas sangat mendukung. Alhasil setiap orang pastinya betah berlama-lama untuk sekadar membaca ataupun mengerjakan tugas.
Langkah kakinya menuntun si gadis untuk mencari beberapa bacaan yang cocok untuk dirinya yang sekarang ini. Bagian utara tepatnya di lantai tiga adalah tempat informasi serta bacaan khusus orang dewasa, sedangkan bagian timur di lantai dasar untuk para anak-anak, dan untuk remaja sendiri berada di bagian barat yang menduduki lantai dua.
Jangan harap kalian bisa masuk ke bagian dewasa saat belum cukup umur, karena di sana sudah terdapat penjaga yang akan menanyakan beberapa hal terkait syarat untuk masuk. Ada juga sebuah alat canggih yang akan mendeteksi setiap usia dengan tepat dan akurat. Memang di zaman sekarang ini banyak sekali alat-alat canggih yang sangat bermanfaat.
Kini Tea tengah mencari cari beberapa informasi, lebih tepatnya kini gadis itu berada di bagian 2016. Sebuah bagian bacaan yang memuat apa saja novel, majalah dan koran-koran yang sempat di terbitkan di tahun tersebut.
Dengan teliti ia mengamati satu persatu judul koran yang ada di sana sampai terdapat sebuah artikel tentang pembunuhan satu keluarga miliader.
"Raltfoy?" gumam Tea saat membaca beberapa bagian tentang keluarga yang di bantai habis tersebut.
Ia membalikkan beberapa halaman dan menemukan fakta jika pembunuh keluarga itu adalah salah seorang anggotanya sendiri. Tidak habis pikir dengan jalan pikiran orang itu yang dengan tega menghabisi nyawa mereka yang masih memiliki hubungan darah.
Kemudian Tea beralih pada bagian selanjutnya, saat peristiwa Death Day. Beberapa artikel memang memuat hal tersebut, akan tetapi ada sebuah artikel yang memuat dengan jelas berita mengenai peritiwa Death Day.
"Jadi, inilah sang pelaku," ucap si gadis sesaatsetelah ia membaca tuntas semua artikel tersebut. "Hans Raltfoy."
***
Jangan lupa vote and comment ya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top