5: Festival
***
Pagi cerah ini tak menjamin adanya kabar baik di setiap detik. Pasalnya, hari ini sebuah kabar mengejutkan sekaligus mendadak datang dari sekolah ternama milik Kota Bedlam, Atherty High School.
Seorang siswi kelas 2 ditemukan tewas di dalam toilet perempuan. Penemuan ini terjadi sekitar pukul 6.32 pagi ketiga salah seorang siswi hendak buang air kecil. Mayat itu ditemukan dalam keadaan kaku dan terdapat bekas goresan di tubuhnya.
Di tempat kejadian hanya ada beberapa barang bukti yang membuat penyelidikan tersebut sulit menemukan tanda akhir. Barang bukti yang pertama adalah sebuah pisau lipat yang berlumuran darah si korban, lalu ada sebuah alat perekam yang kasetnya telah hilang, sebuah sapu tangan dan yang terakhir adalah ukiran yang berada di lengan kanan si gadis, ukiran tersebut membentuk sebuah angka yang sama yaitu; 22.21.4
Sehari setelah kejadian itu para murid Atherty High School kembali di izinkan masuk, sebagian siswa memang masih ada yang membicarakan berita yang sengaja di tutup-tutupi itu, tidak terkecuali dengan adanya upacara bertajuk informasi yang diselengarakan hari ini.
Tea yang baru saja datang segera menghampiri Anantha yang tengah duduk bersantai di tempatnya sembari bermain ponsel. "Aku masih penasaran tentang siapa gadis itu," celetuk Tea saat dirinya baru saja duduk di samping Anantha.
Mendengar itu Anantha pun menoleh ke samping dan angkat bicara, "Kudengar siswi itu adalah Vica Eun Ae," balasnya dengan nada yang benar-benar lirih.
Tea menggeleng tidak percaya saat nama itu disebutkan oleh Anantha. "Sungguh? Tidak, tidak ada yang tahu tentang itu."
Anantha memutar bola matanya malas dan menunjuk ke arah seorang gadis yang tengah duduk di depan mereka. "Kau lihat siapa dia? Dialah gadis yang bertemu langsung dengan si mayat," ungkap Anantha.
Tea sempat melotot kaget dan mengangguk-angguk. "Emma?"
"Sebenarnya dia yang kedua, karena yang benar-benar membuka pintu toilet sedang liburan, ada yang mengatakan jika gadis itu di pindahkan ke New York," lanjut Anantha.
"Diharapkan semua siswa segera menuju ke halaman sekolah. Ada beberapa hal penting yang akan disampaikan!"
Anantha menoleh ke sampingnya. "Aku rasa mereka akan menerapkan peraturan dan semacamnya," ungkap Anantha. Gadis berambut kecoklatan itu hanya terdiam tanpa ada niatan untuk membuka mulut. "Baiklah kita pergi sekarang sebelum si tua Levendor datang dan menjemput." Tea mengangguk dan bangkit dari tempatnya duduk.
Kini beralih di halaman Atherty, di sana telah terkumpul seluruh siswa yang membentuk barisan rapi, di barisan lain terlihat juga para guru yang ikut hadir. Perhatian mereka teralihkan pada seorang pria yang tengah menempatkan dirinya di atas podium, ia tersenyum sebagai sebuah sambutan formal.
"Selamat pagi untuk seluruh siswa Atherty High School. Baik, langsung saja pada intinya agar tidak menunda waktu." Pria itu menjedak sejenak. "Jadi hari ini, saya selaku kepala sekolah sengaja mengumpulkan kalian di sini karena ingin memberitahukan bahwa sebentar lagi sekolah kita akan mengadakan sebuah festival besar seperti tahun-tahun sebelumnya," ujarnya, "Kita tahu jika event ini adalah acara yang sangat di nanti-nantikan, bahkan menjadi festival yang sangat wajib," jelas Mr. Mohan.
Pria itu berdehem. "Festival ini memang selalu dilaksanakan setiap tahun, jadi aku harap semua siswa mengikuti kegiatan besar ini. Seperti sebelum-sebelumnya kita selalu mengundang sekolah-sekolah lain. Jadi aku harap kita semua bisa mewujudkan festival besar ini dengan sangat baik," terang pria yang memiliki kekuasaan paling atas tersebut.
Seluruh murid mendengarkan dengan baik, dan ada pula yang masih berbicara sendiri karena jenuh dengan ucapan panjang lebar dari kepala sekolahnya.
"Setelah upacara selesai, ketua kelas harap berkumpul di ruang utama. Karena akan ada info lanjutan dan undian untuk tema yang akan digunakan setiap kelas," pungkasnya disertai sebuah tepuk tangan dari para guru.
Lain halnya dengan para siswa yang saling berbisik mengenai masalah besar yang terjadi kemarin, pasalnya mengapa mereka malah membicarakan event yang dianggap kurang sopan di saat-saat seperti ini. Ya, walaupun memang benar acara itu sudah ada sejak puluhan tahun lalu. Dan sempat direncakan beberapa bulan sebelum peristiwa naas ini.
Tapi, hal ini masih juga menimbulkan beberapa spekulasi dari beberapa orang, mereka akan berpikir jika pihak sekolah sengaja menutup-nutupi hal tersebut.
"DIAM!" perintah Mr. Trent dengan suara yang sangat keras melalui mikrofon. Seluruh siswa langsung terdiam seketika. Pria itu menatap seluruh barisan dengan pandangan tajam seperti mulutnya. "Baiklah, kalian bisa kembali!" lanjut pria beruban yang memiliki tampang bak seorang miliader tua dengan tampilan nyetrik.
Seluruh siswa perlahan meninggalakan halaman sekolah, Tea dan Anantha berjalan bersama menuju kelas mereka, tidak ada percakapan sama sekali karena mereka berdua masih sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Hingga akhirnya Anantha memperlambat langkahnya. "Aku rasa para guru sengaja menutupi kasus besar ini," katanya.
Tea menoleh sekilas dan menyetujui akan hal itu. "Aku juga sempat berpikir seperti itu."
Anantha menghentikan langkahnya, begitu juga Tea yang mendadak berhenti karena gadis di sampingnya. "Apa kau mencurigai seseorang?" tanya Anantha. Entah kenapa yang Tea lihat sekarang raut gadis itu tampak berubah drastis.
Tea menggeleng dan membalas, "Aku belum memastikannya."
Mendengar itu Anantha mengangguk dan kembali menunjukkan senyuman indah yang selalu memancarkan energi positif. "Lupakan saja! Karena sebentar lagi kita akan bersenang senang!" seru Anantha. Ia menarik tangan Tea dan kembali melanjutkan langkah mereka. "Kau tahu? Aku selalu menantikan festival ini di setiap tahun karena ini festival yang benar-benar menakjubkan."
Tidak ada yang tahu bagaimana kasus itu, entah berlanjut atau tidak karena orang tua dari Vica saja sama sekali tidak menghubungi pihak sekolah atau para penyelidik. Tidak adanya berita dan suara dari pihak keluarga membuat sebagian masyarakat bingung sekaligus miris. Bagimana tidak? Karena yang mereka pikir sekarang adalah kemungkinan jika seluruh keluarga Eun Ae telah dihabisi oleh si pembunuh misterius.
Apakah itu tidak terlalu dibesar-besarkan? Jawabannya memang sedikit, tapi tak banyak fakta yang membuktikan hal ganjil ini. Terlebih ketika si gadis dipulangkan ke rumahnya, keluarga yang datang pun hanya segelintir, padahal yang diketahui keluarga Eun Ae termasuk keluarga berada yang sangat disegani dan dikenal banyak orang.
Berita-berita pun mulai mendadak menutup seluruh informasi yang ada. Entah ini kebetulan atau memang iya, semua seakan tertutup rapat dari muka umum. Seolah-olah telah direncanakan dengan baik untuk menutupi kasus mengerikan itu.
Dan pada akhirnya seiring berjalannya waktu. Semua terlupakan begitu saja. Karena media masa telah teralihkan oleh event besar-besaran yang setiap tahunnya selalu diadakan oleh satu lingkaran luas sekolah-sekolah bergengsi. Hal inilah yang mungkin akan menjadi momen terbaik para wartawan untuk meliput sekolah besar dan unggulan tersebut.
Atherty selalu melangsungkan event besar-besaran yang berhasil mendatangkan seluruh murid dari berbagai sekolah. Tidak perlu ditanyakan lagi jumlah tamu undangan dan para pengunjungnya, karena memang setiap tahunnya mereka selalu memberikan kesempatan pada seluruh murid-murid sekolah lain berserta warga biasa untuk datang dan menikmati festival tersebut.
Atherty Bazaar atau bisa disebut juga Atherty Festival World, dengan berbagai tema yang ada mereka menyajikkan barang-barang unik yang dirancang dan didesain sendiri. Bukan hanya barang-barang unik, tapi juga ada berbagai macam makanan dari seluruh penjuru dunia, bahkan di sana juga akan ada pertunjukkan dari kesenian-kesenian yang dimiliki sekolah lain.
Itu mengapa festival ini sangat keren, karena bukan hanya murid Atherty saja yang dapat tampil. Namun, murid-murid lain bisa mendaftarkan diri dan ikut tampil dalam acara tersebut. Dan kali ini juga Tea mendapat sebuah undangan khusus yang mengharuskan dirinya tampil di atas sana.
"Astaga! Dari tadi aku mencarimu dan kau malah asik di sini?!" seru seseorang dari arah belakang. Gadis dengan gaun berwarna peach itu menoleh dan tersenyum paksa. "Apa yang kau lakukan di sini? Ayo ikutlah denganku!" ajak Anantha.
Tea menggeleng. "Tidak, aku di sini saja," lirih Tea.
Helaan napas terdengar dari mulut Anantha, sempat ia merasa kesal pada gadis itu karena terlalu pendiam dan penyendiri. "Malam ini kita harus bersenang-senang, oke?" Anantha menghampiri Tea dan mencoba membujuknya.
Gadis yang tengah berdiri di samping jendela itu sesekali menoleh ke bawah, betapa ramainya susana di sana. "Aku benci keramaian," gumam Tea, tangannya sedikit berkeringat karena terlalu panik.
"Oh, ayolah! Lihat betapa indahnya gaun yang kau pakai, apa kau hanya akan berdiri dengan gaun secantik itu? Tanpa memamerkannya pada mereka?"
Tea tersenyum kecut dan menatap gaun yang ia pakai. "Ini bukan milikku, Mrs. Eucharist memberikan ini padaku untuk penampilan nanti."
Anantha menatap tidak percaya. "Waw, itu mengagumkan, kau akan bersinar malam ini, Tea."
Pujian dari gadis di hadapannya itu hanya membuat Tea semakin panik, ia sangat membenci sebuah pertunjukan. Entah kenapa setiap kali dirinya tampil, seluruh pasang mata itu seakan menatapnya dengan penuh kebencian.
"Baiklah."
Melewatkan itu, kini mereka berdua berjalan menyusuri halaman sekolah yang sudah berubah menjadi tepat penuh gemerlap cahaya. Tenda-tenda di sana dihias dengan sedemikian rupa, beberapa lampu bergantungan dan banyak sekali berbagai macam hiasan-hiasan yang mampu menghilangkan rasa kantuk.
"Mari kita pergi ke tempat Dich!" celetuk Anantha seraya menarik Tea agar tidak tertinggal.
Cukup lama rasanya untuk mereka menemukan tenda milik kelas Dich yang diketahui jika pemuda itu telah menduduki kelas akhir, dan tenda untuk para senior yang sudah akan lulus itu pastinya berada di bagian paling barat. Di bagian barat sendiri tenda yang di pasang memiliki desain-desain elegan dengan barang-barang antik dan unik pastinya.
Kedua gadis itu dengan santainya menghampiri tempat berkumpulnya para anak lelaki yang saling berbicara. "Hai, Dich!" sapa Anantha.
Pemuda yang dipanggil itu menoleh dan menampilkan sebuah lengkungan lebar di wajahnya. "Hai, malam yang indah, bukan?" celetuk pemuda itu saat sampai di hadapan kedua gadis cantik yang sangat ia kenal.
"Kau benar, malam ini bintang bersinar sangat terang. Bukankah begitu, Tea?"
Gadis bermanik biru itu menoleh dan tersenyum tipis, ia mengeleng pelan. "Aku lebih menyukai bulan dibandingkan bintang," sahut Tea.
Mendengar balasan membuat Anantha menunjukkan senyum manis dan menggelengkan kepalanya. "Ya, terserah padamu."
Malam itut perbincangan kecil terjadi antara ketiganya. Namun, tampaknya Tea tidak terlalu fokus pada kedua temannya, karena tampak dari gelagatnya seperti sedang mencari-cari seseorang.
Melihat itu membuat Dich ikut melihat ke arah yang terus saja dipandang oleh Tea. "Mencari seseorang?" tanya si pemuda.
Tea menoleh dengan sedikit terkejut, mungkin karena dirinya kepergok oleh Dich. "Eh, tidak! Aku hanya ... hanya mencari orang yang aku undang," balas si gadis dengan nada bicara yang gugup.
Anantha yang menyadari itu berjalan mendekat dan meraih kedua tangan Tea. "Benarkah? Siapa yang kau undang ke sini?" tanya gadis dengan gaun ungunya yang tampak indah.
"Yang aku undang? Eee ... ya, aku mengundang Nyonya Revelin, guru pianoku," terang Tea yang berusaha menutupi sesuatu. Ketika ia mengalihkan pandangannya, secara tidak sengaja manik biru itu melihat sosok yang mampu menarik perhatiannya. Karena merasa penasaran ia segera menyusul sesosok yang sedang menjauh dari keramaiaan tersebut.
"Tea? Kau mau pergi ke mana?" tanya Anantha sembari mencekal tangan gadis yang tengah buru-buru itu.
Tea memutar semua ide agar terlepas dari Anantha tanpa rasa curiga. "Aku akan pergi sebentar saja untuk menemui Nyonya Revelin." Anantha sempat mengernyitkan dahinya. Namun, sedetik kemudian ia mengangguk dan mengizinkan hal itu.
Segera saja Tea berlari mencari sesosok yang sempat menghilang dari peredarannya. Hingga akhirnya di sinilah Tea berada, berjalan di dalam kegelapan hanya demi mengikuti orang yang selama ini membuatnya penasaran. Terus saja ia awasi orang tersebut sampai akhirnya ia berjalan berbelok dan menaiki tangga menuju lantai tiga, lantai tempat kelas senior berada.
"Untuk apa dia ke sana?" gumam Tea.
Mendadak Tea menghentikan langkahnya karena orang yang ia ikuti sekarang ini juga melakukan hal serupa, dengan cekatan ia menyembunyikan diri dibalik pilar besar yang berdiri kokoh di sana. Dirasa sudah aman gadis itu kembali mengikutinya dengan lebih hati hati.
"Sebenarnya apa yang akan dia lakukan?" gumam Tea tidak habis pikir saat sebuah bayangan berbelok ke arah laboratorium. "Di laboratorium?"
Saat ini gadis dengan gaun peach itu berada di depan pintu ruang laboratorium, tanganya terulur membuka ruangan tersebut dan betapa terkejutnya dia saat menyadari ruangan yang ia masuki sekarang dalam keadaan yang gelap dan sunyi.
Perlahan-lahan ia masuk, manik biru itu menerawang ke seluruh ruangan dengan bantuan pencahayaan yang ada di ponselnya. Suasana yang hening menambah kesan mencekam dalam dirinya, hawa dingin menjalar ke seluruh tubuh, merasakan betapa banyaknya kehadiran mereka yang ada di dalam ruangan tersebut.
Hingga tiba tiba.
"Aaa ...!"
Tangannya ditarik oleh seseorang. Tea sempat ketakutan setengah mati. Kini tubuhnya beradu dengan tembok yang dingin dan tepat di hadapannya ada sesosok yang tampak tidak terlalu jelas karena gelap, belum lagi kini ponsel si gadis terjatuh.
Gadis itu memberontak. "Lepaskan! Lep—" Ucapannya terpotong. Entah kenapa terasa aneh ketika tangan orang tersebut membekap mulut Tea yang sudah ingin berteriak.
"Diam untuk sekali ini saja!" perintahnya. Nada bicaranya terdengar dingin dan tegas sampai Tea bahkan mengikuti perintah orang tersebut.
Sampai beberapa saat kemudian, dari luar sana terdengar sebuah suara langkah kaki. Sosok itu sepertinya sedang berkeliling untuk mengawasi setiap ruangan. "Ada orang di sana?!" serunya sembari mengarahkan senternya ke seluruh ruangan. Pria yang memiliki jabatan sebagai penjaga gedung itu segera menutup kembali ruangan dan pergi bersama kucing peliharaannya.
Setelah kepergian Levendor, Tea mencoba melepaskan tangan dari orang yang berada di hadapannya. Namun, usaha itu hanya sia-sia saja. Orang itu justru menoleh kembali ke arah Tea dan menunjukkan senyum.
"Kau mencariku, Ms. Quinnzel?" bisiknya dengan nada yang sama seperti sebelumnya, dingin dan terkesan tegas.
Tea bernapas lega saat tangan yang membekapnya terlepas, ia dapat melihat orang itu juga mengamil ponsel milik Tea yang sempat terjatuh beberapa meter dari tempatnya.
Deheman terdengar dari orang yang kini berjalan menuju ke arahnya. "Jadi, kenapa kau mengikutiku?" tanya sosok itu sembari memainkan ponsel yang ia bawa, kini ia mengarahkan lampu ponsel itu pada wajahnya.
Tea sempat terpaku pada sosok itu, tatapan dingin itu seakan mampu menjatuhkan dirinya dalam lubang hitam yang dalam. Namun, tak beberapa lama si pemuda mematikan lampu flash dan mengembalikan ponsel itu.
"Aku hanya ... tidak sengaja berjalan ke sini," ucap si gadis beralasan, tidak mungkin rasanya ia menjawab bahwa ia kemari karena penasaran dengan pemuda itu, kan?
Sebuah tawa terdengar dari si pemuda. "Kau pikir aku akan percaya?" tanyanya. Entah mengapa, suara dari sosok itu terdengar candu. Ada nada tegas, dingin dan begitu dalam.
Tea menggeleng dan memikirkan lagi alasan yang tepat, tapi tampaknya percuma saja karena tatapan pemuda itu mengisyaratkan bahwa ia tahu semuanya. "Tolong lepaskan aku," pinta si gadis dengan keringat dingin.
Bukannya melepaskan, pemuda itu malah semakin mendekatkan tubuhnya ke arah Tea. Si gadis dapat dengan jelas merasakan embusan napas milik si pemuda yang kini tengah menatap dirinya dengan pandangan intens.
"Kau belum menjawab pertanyaan dariku, Valerie."
Entah kenapa perlahan demi perlahan pemuda itu semakin mengikis jarak di antara mereka. Tea memilih memalingkan wajahnya kesamping guna menghindari hal yang tidak terduga.
Si gadis yang merasa terpojok pun mau tak mau harus pasrah dan menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Aku hanya ... aku hanya penasaran padamu," ungkap Tea pada akhirnya.
Pemuda itu menunjukkan lengkungan kecil di bibirnya dan merogoh sesuatu dari dalam saku jasnya. "Ambil ini."
"Apa?" tanya Tea tak mengerti.
"Ini hadiah untukmu," kata si pemuda membalas.
Tea tersenyum paksa dan mengambil kartu tersebut. Kembali di tatapnya manik hijau kelam miliki si pemuda yang mampu menghipnotis siapa pun yang menatapnya, bahkan Tea sendiri.
Menyadari tatapan tersebut pemuda berambut pirang itu kembali membuka mulut, "Kau mau pergi atau ingin berdua bersamaku di sini, Valerie?" Senyuman miring terlihat di wajahnya, ada sesuatu yang aneh dan Tea bergidik melihat itu
"Aku akan—"
Pemuda dengan setelan jas rapi itu kembali tersenyum dan memajukkan wajahnya. "Apa kau akan melewatkan kesempatan ini?"
Tea mengernyit bingung. "Kesempatan?"
"Valerie, aku ingin kau bisa mengerti ini, kita memiliki keterkaitan satu sama lain," ujar si pemuda. Ia menggengam tangan Tea dan menempatkannya pada dada si gadis. "Di sana, kau harus yakin akan hal itu."
"Aku sama sekali tidak mengerti," lirih Tea.
Pernyataan itu membuat pemuda dengan manik hijau kelamnya mengalihkan pandangannya. "Ini belum waktunya untuk kita bertemu, aku memberimu kesempatan untuk melewati semua yang aku berikan," jelas si pemuda. Ia menunjukkan senyum yang tertutup kegelapan. Senyum manis dan tatapan dingin itu mampu melarutkan hati yang beku.
Si gadis tersadar dan mengalihkan pandanganya dengan sedikit kikuk. "Aku ... tolong biarkan aku pergi," pinta Tea.
Pemuda itu menjauhkan tubuhnya dan membiarkan Tea pergi. "Baiklah, kali ini aku melepaskanmu," ujarnya.
Tea menatap sekilas pemuda tersebut dan langsung memasukkan kartu yang ia dapatkan ke dalam tas kecilnya. Dengan segera gadis berambut kecokelatan itu berlalu pergi dari tempat yang bisa membuatnya kehilangan napas.
"Hei!"
Tea terkejut setengah mati dengan tepukan di pundaknya, ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya, berusaha menetralkan napasnya.
"Kau kenapa, Tea?" tanya Anantha.
Gadis bermata biru itu menggeleng. "Yeah, I'm fine."
Anantha mengangguk dan memberikan segelas jus kepada si gadis. "Aku mencari kau ke mana-mana, sebenarnya ke mana kau pergi?"
Tea menoleh ke arah Anantha dengan wajah yang sulit diartikan.
Anantha yang melihat itu pun mengernyit heran. "Hei, kenapa kau malah menatapku seperti itu?" Menyadari ada yang aneh membuat Anantha menarik tangan Tea ke tempat yang sedikit sepi. "Ada apa denganmu? Apa ada yang mengganggumu?" Kini raut wajah Anantha berubah drastis menjadi sedikit cemas.
"Tidak, aku hanya—" Tea menatap Anantha sekilas. "Hanya sedikit gugup," Anantha bernapas lega dan menepuk-nepuk pundak Tea.
"Jangan khawatir, aku akan membuatmu lebih tenang sebelum pertunjukan. Sekarang, mari kita lihat pertunjukan spesial Mrs. Eucharist!" ajak Anantha sembari membuka telapak tangannya.
Tea tersenyum manis dan mengangguk. "Ya, itu lebih baik."
Suara tepuk tangan terdengar saat pertunjukkan dari Mrs. Eucharist selesai. Tea tampak terdiam selama pertunjukkan dibuka, gadis itu terlihat melamun memikirkan kejadian beberapa jam yang lalu. Tentang dirinya dan pemuda misterius yang bahkan Tea belum menegetahui namanya.
"... Tea?!"
Suara itu membuyarkan lamunan Tea, ia menoleh menatap gadis yang kini menatapnya dengan raut bingung.
"Ada apa denganmu? Sebentar lagi giliranmu untuk tampil, ayo!"
Ucapan Anantha berhasil mengembalikkan diri Tea yang tengah mengelana jauh keluar sana. "Oh, oke."
Kembali merasa khawatir, Anantha selaku orang yang peduli akan hal itu segera menuntun Tea ke belakang panggung. "Tea? Ada apa denganmu? Ayolah, kau fokus pada acara ini," tutur Anantha.
Gadis dengan gaun berwarna peach yang memiliki model panjang pada bagian belakang itu mengangguk dan menghela napas. "Baik, aku akan tetap fokus."
Dance, drama, band dan lain-lain telah dibawakan para siswa-siswi. Kini tinggal waktunya untuk Tea menunjukkan aksi dalam memainkkan pianonya. Dari hari sebelumnya ia memang telah membuat lagu khusus yang akan ia bawakan malam ini, jadi Tea harap dirinya akan berhasil.
Keringat dingin menetes dari pelipisnya, kini rasa panik menyerang secara tiba-tiba tanpa tahu waktu dan tempat.
Melihat temannya yang gugup segera saja Anantha menghampiri dan memberikkan sebotol air pada Tea. "Tarik napas dan pejamkan matamu, Tea," ucap gadis yang memiliki rambut hitam nan panjang tersebut.
Tea menuruti ucapan Anantha, ia pejamkan matanya perlahan.
"Kini bayangkan jika kaulah satu-satunya orang yang berada di sana, hanya kau yang menguasai panggung itu," bisik Anantha. Ia tersenyum saat Tea dengan yakin menganggukan kepalanya.
"Yeah, aku bisa," ungkapnya sembari menyemangati diri sendiri.
"Mari kita beri sambutan pada gadis cantik kebanggaan Atherty; Latea Valerie Quinnzel!"
Tea menoleh ke arah Anantha dan seorang pemuda yang baru saja datang, Dich. Pemuda itu tersenyum dan memberikkan anggukan keyakinan. "Aku tahu kau bisa, Tea," katanya.
Anantha juga tersenyum dan memberikkan kepalan tangan. Si gadis berambut cokelat itu pun tersenyum dan meyakinkan dirinya untuk tetap bisa melakukan tampilan terbaiknya malam ini.
"Tea, tunggu!" cegah Anantha. Ia mendekat dan melepaskan kacamata bundar milik Tea. "Kau akan lebih cantik jika seperti ini," lanjutnya.
"Tapi—" Belum sempat ia melanjutkan ucapannya Anantha buru-buru pergi bersama Dich.
Panggung besar itu menjadi impian sejak awal, sorot lampu kini hanya tertuju pada gadis bergaun peach yang tampak memukau tanpa tampilan culunnya. Perlahan ia memposisikan diri pada piano berdesain elagan bercorak putih tersebut, ia memejamkan matanya mencoba meyakinkan dirinya agar bisa melewati rasa panik tersebut.
Alunan pianonya mulai terdengar, membangkitkan memori-memori terpendam dari pendengar. Ketika jemari lentik itu mulai bermain, si gadis tampaknya mampu menengelamkan para penonton pada masa lalu mereka. Membuka kepingan memori kesedihan yang seberusaha mungkin mereka pendam jauh-jauh. Alunan menyayat hati itu mengema, membuat air mata mereka perlahan luluh.
Sampai waktu berlalu, alunan itu selesai disertai dengan suara tepuk tangan yang sangat meriah. Tea membuka matanya menatap ke seluruh penonton dan tersenyum di kala manik itu bertemu dengan sosok orang yang membuatnya seperti ini, Nyonya Revelin pastinya.
Tea membungkukkan tubuhnya untuk menutup penampilan. "I hope this never ends."
Si gadis berjalan meninggalkan panggung, mengiringi langkah pelannya masih dengan tepukan tangan dari orang-orang.
"Kau sangat memukau, Tea!" seru Anantha saat keduanya bertemu.
Tea tersenyum bahagia dan memeluk gadis itu. Namun, mendadak gadis bermanik biru itu tersenyum canggung dan melepaskan pelukannya. "Terima kasih," ungkap Tea.
Dari jauh tampaknya Dich berdiri bersama dua pemuda lain yang salah satunya Tea kenal sebagai si misterius.
Anantha menoleh ke arah Dich dan menarik Tea untuk ke sana. "Lihat apa yang kau lakukan, membuat seluruh penonton menangis, huh!" cetus Dich saat mereka bertemu. Ia mengulurkan tangannya, Tea menanggapi itu dengan senyum simpul dan membalas uluran tangan Dich.
"Hanya itu yang dapat aku lakukan."
Pandangan gadis bergaun peach itu kini teralihkan pada sosok di belakang Dich, pemuda dengan setelan jas rapi dan rambut pirang yang tampak mencolok. Tampaknya sangat mudah menemukkan sosok itu di kegelapan sekalipun.
"Tampaknya kedua temanku juga ingin mengucapkan selamat padamu," celetuk Dich ketika ia sadar tatapan Tea yang sedari tadi masih bertumpu pada si pirang.
"Ya, selamat atas permainan indahmu," ujar pemuda lain yang memiliki rambut hitam bergelombang. Pemuda berkulit gelap dengan senyum manisnya.
"Terima kasih," balas Tea disertai seulas senyum yang perlahan pudar.
Malam semakin larut saja, festival mulai sepi karena peampilan Tea tadi adalah bagian penutup dari pertunjukkan. Jadi kini waktunya mereka semua menutup semua kedai dan bergegas pulang.
Si gadis yang masih menunggu kendaraan untuk pulangnya itu sesekali menunjukkan senyum saat beberapa orang menyapanya.
"Sampai jumpa," ucap Tea pada Anantha yang sudah mendapatkan jemputan mewahnya.
"Sampai jumpa juga, berhati-hatilah di jalan, Tea!"
Mengangguk, Tea melambaikan tangannya. Sekarang gilirannya untuk pulang saat sebuah taksi yang ia pesan datang. Namun, mendadak sebuah tangan seolah mencegah Tea untuk membuka pintu taksi.
Ditatapnya orang itu. "Kau?" Ia mengernyit saat menyadari siapa si pelaku.
"Penampilan yang bagus. Lain kali aku akan memilihkan gaun untuk beberapa acara ke depan."
Ucapan dari pemuda itu membuat Tea menatap gaun yang ia pakai sekarang. "Ini—" Belum sempat ia meneruskan ucapannya, pemuda itu berlalu pergi dengan pertanyaan yang menumpuk di kepala Tea, aneh sangat aneh.
Tea hanya bisa menatap penuh kebingungan kepergian sosok itu. Sampai akhirnya dia menggeleng pelan dan masuk ke dalam taksi sebelum si supir memarahinya karena terlalu lama.
Rumah yang menjadi tempat berpulang si gadis tampak sepi, ia segera menaiki tangga dan masuk ke dalam kamar. Dengan cekatan Tea mengganti pakaiannya dan bersiap melihat apa yang diberikan oleh si pemuda kepada dirinya.
"Apa?!" Kartu yang diberikan si pemuda bukanlah sebuah kartu nama, melainkan kartu yang menuliskan sebuah jalan. Dan itu benar-benar keganjilan yang kesekian kalinya.
01walfrost. 8pm
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top