4: The Gang's

***

Pada jam istirahat kali ini Tea memilih menyendiri di dalam kelas guna mempelajari beberapa buku kimia dan psikologi, dua hal yang dapat menarik gadis itu ke dalam dunianya sendiri. Kejiwaan manusia dan bahan kimia.

Untuk Anantha sendiri memilih pergi sebentar yang katanya akan membeli makanan. Keheningan yang dirasakan Tea mulai pudar saat sekelompok gadis datang dengan dipimpin oleh Luvena.

"Hei! Bitch!" seru Luvena dengan mengunakan kata yang kasar. Gadis berambut pirang itu berjalan bak seorang model, menyederkan tubuhnya di salah satu meja dan menatap Tea dengan pandangan jijik sekaligus sinis. "Bagaimana kabarmu?" tanyanya dengan nada yang terdengar seperti ejekkan.

Tidak ada jawaban sama sekali dari Tea, ia diam menunduk dan memfokuskan diri pada bacaannya. Luvena menatap sebuah buku yang tengah dibaca oleh Tea. Perlahan senyumnya terangkat, ide jahil muncul begitu saja. Dengan senyum miring ia merebut buku tersebut dan melemparnya.

"Di mana teman baikmu itu? Ups! Apa kau memiliki teman?" ejek Luvena. Kedua gadis yang berada di belakangnya ikut tertawa dengan penuh kebahagiaan.

Tawa mereka berhenti, gadis yang berada di belakang Luvena mulai maju dengan pandangan menyebalkan. "Tidak seorang pun mau berteman dengan seorang pelacur," bisik gadis bernama lengkap Vica Eun Ae. Nama yang sangat cantik untuk seorang gadis berdarah campuran seperti Vica. Namun, tidak dengan sifatnya yang suka merendahkan.

"Kau benar, tidak akan ada yang mau berteman ataupun mendekatinya." Luvena tersenyum, memberikan kebahagian yang sangat jelas di atas kepedihan Tea.

Ketidakpedulian anggota kelas Tea semakin membuat mereka merasa memiliki klaim kekuasaan, itu artinya semua siswa di kelas Tea memang sudah tidak peduli atau sebagian dari mereka juga ada yang takut.

"Berapa banyak pria yang sudah menidurimu?"

Tea mendongak, membalas dengan tatapan menusuk. Luvena yang menyadari tatapan itu langsung menetawakannya. "Cukup! Kau telah melampaui batas." Ucapan untuk yang pertama kalinya dari Tea disambut dengan sebuah senyum lebar, hal itu juga berhasil membangkitkan sisi kejam dari sosok Luvena.

Dengan sekali tarikan Luvena membuat rambut cokelat milik Tea rasanya hampir terpisah dari pangkalnya. Si gadis meringis kesakitan, menahan air mata dan rasa sakit itu.

Flysi yang tahu harus berbuat apa segera mengambil sebuah mangkuk berisi kuah panas milik salah satu siswa. Segera saja ia angkat tinggi-tinggi mangkuk itu dan menuangkan isiannya ke tubuh Tea.

"Bukankah itu cukup, seharusnya kau tahu jika hanya diriku yang pantas berada di sana!" tegas Luvena yang mengisyaratkan bahwa satu-satunya yang berada di peringkat utama adalah dirinya.

Diamnya Tea bukanlah bentuk dari kekalahan yang sesungguhnya. Namun, upaya dalam mengumpulkan kekuatan yang entah kapan datangnya. Berharap jika di kemudian hari akan ada sebuah babak baru dan juga keberanian untuknya, bukan lagi diam tapi membuat diam seseorang.

Sebuah suara yang berasal dari arah pintu kelas membuat mereka menoleh, di sana menampilkan sosok gadis bernama Anantha. Senyum lebarnya perlahan pudar dan digantikan dengan raut terkejut sekaligus khawatir. Segera saja ia menghampiri Tea, napasnya memburu menahan amarah yang kapan saja bisa meledak-ledak. Sekarang manik cokelatnya menatap tajam ke arah Luvena. "Kau benar-benar IBLIS!" murka Anantha, "Manusia tidak akan berbuat sekejam itu, hatimu itu bukan milik manusia," lanjut Anantha. Tatapannya tajam bagaikan pisau yang siap menusuk-nusuk tubuh musuhnya.

Luvena menggeleng tidak percaya, tidak habis pikir ada yang berani menyebutnya dengan demikian. "Kau menantangku?!" geram Luvena. Tapi bukan Anantha namanya kalau ia sama sekali tidak takut dan tidak akan pernah diam.

"Tentu!" tandas Anantha.

Keduanya berhadapan satu sama lain, Luvena tersenyum miring. Tea yang melihat akan hal itu segera menyadari akan ada hal buruk yang akan terjadi, ia pun segera memegang tangan Anantha dengan erat, berharap jika gadis itu memilih mengabaikannya.

"Jangan. Cukup aku saja, tidak dengan yang lain, terutama Anantha," ucap Tea menyela.

Anantha menoleh dengan tatapan tak percaya.

"Kalau itu kemauanmu tidak masalah." Luvena kembali menarik rambut Tea, mendekatkan mulutnya pada telinga Tea kemudian membisikkan sebuah kalimat bernada pelan, tapi terasa sangat menusuk. "Perempuan jalang." Setelah apa yang dilakukan oleh Luvena, ketiga gadis itu beranjak pergi dengan sebuah tawa sebagai alunan kepergian.

Di tempatnya saat ini Tea terdiam sembari melamun, sampai tanpa di sengaja tatapannya tertuju pada seorang pemuda yang tengah berdiri di depan pintu kelas dan menatap ke arahnya. Keduanya sama-sama melempar pandang, ada tatapan penuh tanya dan bermakna misterius. Namun, sangat disayangkan bagi Tea, karena kegiatan itu hanya berlangsung beberapa detik, sampai si pemuda memilih pergi.

Ada hal aneh yang Tea lihat. Beberapa saat sebelum pemuda itu pergi, ia sempat melihat jika si pemuda memberikan sebuah isyarat dengan gerakan yang cukup aneh dan cukup membingungkan.

***

Mungkin saja hari menjadi hari yang cukup melelahkan untuk gadis yang biasa dipanggil dengan nama Tea. Namun, entah itu melelahkan atau tidak yang pasti semuanya terasa sama, karena hampir setiap hari ia selalu merasakan penindasan semacam itu.

"Aku pulang!"

Lagi-lagi tidak ada jawaban, seharusnya gadis itu sadar jika kehidupannya sekarang telah berubah.

Kini manik biru itu melihat kesekelilingnya, suasana yang sepi dan gelap menjadi bagian penting di setiap ketenangan. Langsung saja Tea mendudukkan badannya di sofa panjang yang berada di ruang tengah. Menatap sekitar keadaan rumahnya dan menghela napas.

Perlahan-lahan matanya tertutup, merasakan sejenak artinya ketenangan. Napasnya perlahan terdengar lebih teratur dan terasa lebih rileks daripada sebelumnya.

Sayangnya itu mungkin bukan waktunya untuk Tea istirahat, karena tiba-tiba pintu depan dibuka dengan kasar. Menampilkan sosok Adilson yang masuk dengan keadaan mabuk berat.

"Hei anak biadab ... pergi kau!" teriak Adilson dengan menunjuk-nunjuk ke arah Tea. Perlahan ia menghampiri Tea dengan berjalan sempoyongan dan berusaha menahan beban tubuhnya sendiri.

Gadis berambut cokelat itu hanya diam di tempatnya berada, ia sama sekali tidak menghiraukan keberadaan Adilson yang hanya akan menganggu pikirannya saja.

Tanpa diduga sebuah berhasil membuat Tea membuka matanya, ia menoleh dan melihat beberapa pecahan kaca dari botol yang Adilson bawa jatuh berserakan di atas lantai. Helaan napas terdengar dari mulutnya. Ia lelah, sungguh! Sekali saja biarkan dirinya menenangkan jiwa dan tubuhnya, sekali saja.

"Kenapa orang-orang ini tidak bisa membiarkanku istirahat, walau hanya sebentar," gumam Tea yang hendak berjalan menuju tangga.

"Dasar pembunuh!" teriak Adilson sembari melemparkan pecahan kaca ke arah Tea dan tepat sasaran.

Kepala gadis itu kini mengeluarkan cairan merah. Tea menyentuh kepalanya yang tidak terasa sakit, mungkin karena sering mendapatkan rasa sakit sampai-sampai luka kecil semacam itu tidak ada artinya sama sekali.

"Terima kasih," ucap Tea lirih. Ia tersenyum kecut dan melanjutkan langkahnya.

Kini di dalam kamar yang hanya disinari beberapa cahaya kecil saja, seorang gadis tengah duduk meringkuk di pojok ruangan sembari memeluk sebuah bingkai foto yang menampilkan sesosok wanita cantik dengan pose elegan bagaikan wanita kerajaan. Tea sesekali membelai foto itu, mungkin kerinduannya tidak akan pernah pudar.

"Menyulitkan, mungkin Tea akan menyerah," gumamnya.

Gadis itu sama sekali tidak menangis, ia hanya menatap bulan dengan pandangan kosong. Pikirannya berkelana jauh di luar sana, mencari berbagai macam cara agar ia bisa menikmati dunia ini dengan sangat mudah.

"Aku tidak mengerti apa kesalahan yang aku perbuat sampai engkau memberiku kehidupan seperti ini," ucapnya sembari menatap langit gelap yang berhias bintang-bintang kecil.

***

Malam yang sama dengan latar tempat berbeda. Tepatnya di sebuah bangunan tua tidak berpenghuni, hanya ada rumput-rumput liar, tanaman rambat dan serangga-serangga yang suka bersarang. Bisa terbayangkan betapa mengerikannya gedung itu, belum lagi di bawah sana terdapat beberapa lubang-lubang besar yang berisi air yang sudah tidak jernih lagi.

"Kurasa waktunya telah tiba," ujar pemuda yang berada di belakang. Dengan setelan rapi ia berjalan mendekati pemuda lain yang tengah berdiri di ujung gedung sembari membawa segelas minuman berwarna gelap.

Pemuda di tepian gedung sempat tersenyum, sebuah senyum di antara gelapnya malam. "Kau benar, tapi ada satu hal yang ingin aku lakukan," ujarnya.

Si pemuda yang berada di belakang tadi sempat mengernyit. "Apa itu?" tanyanya.

Ia berbalik menatap kawannya tersebut dan menunjukkan senyum yang lebih tepatnya seringai. "Apa yang lebih menyenangkan selain membuat beberapa dari mereka bangun."

Balasan dengan bentuk teka-teki itu berhasil membuat si kawan sedikit kebingungan. Belum sempat ia menjawabnya, pemuda yang tengah membawa minumannya itu segera meneguknya sampai habis dan melempar gelasnya ke bawah.

"Pelacaknya berbunyi, akan ada pemeriksaan di sekitar jalan ini," ucap pemuda bermanik hijau itu sembari menatap pecahan kaca di bawah sana. "Kita akan bertemu di kordinat 08, beritahu yang lain dan berpencar," bisiknya pada sang kawan.

Mengerti akan kode itu, segera saja keduanya menghentikan percakapan mereka dan mulai turun ke bawah. Dengan mobil yang sudah terparkir di sana, keduanya pergi dengan cara berpisah sesuai dengan rencana.

***

Di kala mentari menunjukkan sinarnya dengan sangat terang, saat itu juga seorang gadis terbangun dari tidur tenangnya. Entah kenapa pagi ini Tea merasa ingin sekali untuk absen, tentu saja alasannya bukan karena ia takut pada Luvena dan Hillen, tapi karena ia sangat-sangat lelah. Andai saja ada hari di mana ia bisa tenang tanpa gangguan dari mereka, andai saja Tea bisa merasakan sesuatu yang bisa disebut sebagai ketenangan yang abadi kecuali kematian.

Setelah memakai jas almamaternya, Tea berjalan turun dan segera menyiapkan sarapan pagi untuk dirinya, ya untuk dirinya sendiri. Karena kini hanya tinggal sepotong roti dan juga selai yang hampir habis.

Mungkin memang sudah waktunya untuk membeli kebutuhan bulanan, walau bagaimanapun Tea masih memiliki tabungan, tapi itu juga hanya cukup untuk membeli makanan. Dan masalah biaya sekolah beserta uang Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) sudah ditanggung oleh pihak sekolah. Bisa di bilang Tea mendapatkan beasiswa karena prestasinya.

"Aku berangkat!" pamit Tea. Bukanya jawaban yang ia dapat tapi sebuah gelas terlempar dari atas dan mendarat tepat di sebelahnya.

"Pergi saja kau!" teriak Adilson dari lantai atas.

Si gadis hanya mengendikkan bahunya dan begegas pergi dengan tak peduli. "Huh!" Lebih baik ia segera menaiki bus sekolah yang sudah menunggu dirinya di tempat pemberhentian.

Maniknya melihat keseluruhan tempat, berharap menemukan satu tempat yang mampu membuatnya nyaman. Hingga dari sebelah kirinya sebuah seruan datang dari sosok yang tidak pernah ia harapkan.

"Hai!" sapa Anantha yang sudah duduk rapi di salah satu kursi penumpang.

"Oh, hai," balas Tea. Anantha segera bergeser dan menepuk tempat di sebelahnya.

Gadis berambut kecoklatan itu tersenyum paksa dan menempatkan diri di samping Anantha. "Terima kasih," ucapnya dengan raut sedikit kikuk.

Anantha tersenyum kecil dan mengangguk. "Tidak masalah." Gadis berambut hitam itu hanya melihat sekilas temannya dan kembali memandang ke luar jendela. Beberapa detik kemudian Anantha melihat ke arah Tea dan mulai membuka mulutnya. "Kita tahu jika kota ini terlalu besar dan kejam."

Tea menoleh, pandanganya ikut serta pada jalanan kota yang mereka lewati. "Mungkin."

"Sadar tidak, jika mereka semua terlalu egois dan mementingkan urusan pribadi mereka, tidak ada yang namanya manusia baik di kota ini." Ucapan dari Anantha itu berhasil membuat Tea kagum, untuk pertama kalinya dirinya mendengar Anantha berucap dengan nada seperti itu.

"Aku sudah berpendapat seperti itu sejak pertama kali menginjak jalanan kota," imbuh Tea.

Anantha menatap Tea dengan seulas senyum penuh arti. "Mungkin benar jika menyebut Bedlam dan Gotham itu sama, keadaan yang kacau dan gila."

Tea mengangguk setuju, ternyata dirinya benar soal kota yang selama ini menjadi tanah kelahirannya. Tempat yang kacau dan gila, itu memang cocok.

Anantha secara tiba-tiba menatap Tea dengan pandangan terkejut, saat mendapat tatapan semacam itu dari gadis di sampingnya, seketika membuat Tea berpikir kesalahan yang ia ucapkan.

"Tunggu, apa kau sudah makan?"

Helaan napas terdengar dari mulut gadis bermanik biru itu, sempat ia kira jika ada ucapan yang menggangu Anantha tapi kenyataannya hanya makanan.

"Ini, makanlah!" pinta Anantha sembari menyodorkan kota bekalnya.

"Aku sudah makan, kau makan saja," balas Tea yang merasa tak enak jika harus makan bersama dengan Anantha, lagi pula dia pun juga sudah mengisi perut walau hanya dengan selembar roti tanpa selai.

Anantha menghela napas pelan, ia kembali menutup kotak tersebut dan memasukkannya ke dalam tas. "Aku juga tidak akan makan" tandasnya.

Mendengar ucapan Anantha tadi membuat Tea memutar bola matanya. "Baik, aku akan memakannya jika kau juga."

Perjalanan mereka berhenti tepat di depan gerbang sekolah, seluruh murid sangat bersemangat menyambut hari dengan senyuman. Selain belajar, tujuan mereka datang ke sekolah tak lain dan tak bukan untuk bertemu teman-teman, itu memang menyenangkan. Bersenda gurau, berbincang masalah dan berdebat hal-hal sepele.

Pagi ini, hampir seluruh murid Atherty dihebohkan dengan tulisan-tulisan besar yang ada pada setiap papan tulis di semua kelas. Lebih tepatnya itu sebuah angka acak yang tampak aneh dan sulit diartikan. Dan, angkat itu tidak pernah diketahui asalnya, dalam kata lain muncul tiba-tiba.

Tea dan Anantha yang baru saja datang tampak saling bertatap penuh tanya. "Apa maksudnya?" tanya Anantha yang tampak mengernyit heran.

Tea menggeleng saat Anantha melotarkan pertanyaan semacam itu, karena ia sendiri tengah berpikir keras. "22.21.4?" gumam Tea. Kini sorot matanya masih saja tertuju pada papan tulis yang berada di hadapannya. Pikirannya mengelana jauh keluar sana, menebak-nebak pelaku dan makna dibaliknya.

Sampai lamunanya itu hancur saat teriakan salah satu siswa. "Hei! Hapus itu sebelum Mr. Trent datang!"

Dan belum sempat tulisan itu terhapus, seorang pria dengan raut dingin masuk begitu saja ke dalam kelas. Menyadari ada coretan semacam itu di dalam kelasnya membuat pria berusia 40 tahun tersebut kembali menunjukkan sorot tajam bak busur panah yang siap terlepas.

"Siapa yang membuat kekotoran ini!" seru Mr. Trent dengan nada tinggi.

Semua siswa terdiam, tidak akan ada yang berani menjawab. Keheningan itu membuat pria yang mengajar mata pelajaran matematika tersebut melemparkan penghapus papan tulis ke sembarang arah. Sedetik kemudian Mr. Trent menunjuk seorang siswa untuk maju ke depan dan menghapus angka-angka tersebut.

"Pelajaran kita mulai!" ujar pria itu dengan nada melengking.

Kelas matematika dimulai dengan keadaan yang benar-benar hening, seluruh siswa tahu jika ada suara sedikit saja maka pria berwajah tegas itu pasti akan berteriak dan melemparkan benda-benda yang berada di sekitarnya. Aneh saja sekolah ini mempekerjakan seorang guru tempramental seperti dirinya. Belum lagi peraturan yang ia buat cukup ketat dan menyiksa.

Namun, dengan kesabaran ektra kelas yang Tea tempati itu akhirnya berhasil melalui siksaan dari sosok seperti Mr. Trent.

Kini saat jam istirahat tiba, waktunya seluruh murid untuk menikmati waktu luang mereka, tidak terkecuali dengan Tea yang tengah mengeliling ruang berlabirin buku bersama Anantha. Entah kenapa tidak ada habisnya tugas yang diberikan oleh Miss. Vanessa, pasalnya kemarin saat mereka mengumpulkan tugas wanita itu kembali memberikan sebuah proyek yang sangat berat pada keduanya.

"Kau tahu, jika saja aku memiliki kekuatan aku pasti akan mengubah wanita itu menjadi seekor keledai," gerutu Anantha. Ia sesekali menghela napas dan menarik-narik rambutnya sendiri karena rasa kesalnya tersebut.

"Aku setuju denganmu." timpal Tea.

Anantha menatap gadis di hadapannya dan tersenyum. "Bagaimana dengan keledai ber-high heels dan tampang koyolnya." Untuk kali ini Tea ikut tertawa kecil, membayangkan bagaimana gurunya menjadi seekor keledai.

"Bolehkah aku bergabung?" tanya seseorang.

Keduanya menoleh serentak dan menadapati sosok pemuda berambut hitam dengan tampilan rapi yang jauh berbeda dengan siswa lainnya.

"Oh ... Dich." Pemuda itu hanya tersenyum hangat sebagai balasan. "Ayo, silakan duduk!" ujar Anantha.

Dich segera memposisikan dirinya di samping gadis berambut hitam itu. Anantha sempat tersenyum. Namun, dengan segera ia mengubah rautnya dan menoleh ke arah si pemuda.

"Dich, apa kau tahu soal angka-angka yang ada di papan tulis itu?" tanya Anantha memulai pembicaraan.

Mendengar pertanyaan dari Anantha membuat Tea ikut menoleh, karena cukup menarik.

"Aku juga tidak mengerti akan hal itu, kurasa itu ulah orang iseng," balas Dich. Tatapannya sesekali tertuju pada kedua gadis di hadapannya.

"Tidak mungkin, ini seperti terencana, terlebih di setiap kelas terdapat hal semacam itu," sahut Tea, "Ya, mungkin sebuah rencana atau misteri." Tea sedikit membenarkan kacamatanya, memikirkan lagi hal tersebut.

Dari tempatnya berada pemuda berambut hitam itu membuka suara lagi, "Coba saja kalian terjemahan artinya, kemungkinan besar ada arti dibalik angka-angka itu," saran Dich.

Ketiganya menatap satu sama lain, tidak mengerti apa yang harus mereka lakukan saat ini. Di dalam ketiga otak itu masih bersarang berbagai macam pertanyaan yang belum diketahui jawabannya. Hingga beberapa saat kemudian Tea kembali bersuara, "Apa kau mau membantu kami Dich?"

Pemuda yang tengah membaca itu terdiam sejenak. "Bukanya aku tidak mau, tapi sebentar lagi akan ada ujian akhir sekolah. Jadi ... maaf," jawab Dich dengan raut wajah yang benar-benar merasa bersalah.

"Baiklah, itu tak masalah, sebaiknya kau memang fokus," ucap Tea sembari menunjukkan senyum lebarnya.

"Tapi aku bisa membantu sedikit-sedikit jika kalian kesulitan, jangan sungkan-sungkan." sahut Dich. Kedua gadis tersebut mengangguk setuju.

"Waw, kita akan menjadi detektif?! Seperti Sherlock Holmes? Aku sangat mengaguminya, sungguh," ungkap Anantha yang sedari tadi terdiam. Tea dan Dich hanya menangapi ungkapan itu dengan tawa kecil sebagai bentuk apresiasi.

"Ngomong-ngomong, Dich. Gadis di sampingmu ini sangat mengangumimu. Jika tidak percaya kau bisa melihat lokernya," celetuk Tea sembari menatap si gadis dengan senyum jahil.

Seketika wajah Anantha yang tadinya datar, kini berubah drastis dari sebelumnya.

Pemuda bernama lengkap Dich Griden itu menoleh menatap gadis yang duduk di sampingnya. "Benarkah itu?" tanyanya. Anantha tersenyum canggung dan memalingkan wajahnya yang sudah seperti kepiting rebus.

Dari tempatnya berada, Tea hanya menatap kedua orang itu dengan senyum lebar yang tampak manis. "Kurasa kalian ini memang cocok," timpal Tea.

Dich membalas dengan sebuah lengkungan kecil di wajahnya. "Kurasa begitu," gumam Dich.

Ketika bel sekolah telah berbunyi, maka itulah saat untuk kembali ke dalam kelas. Kedua gadis yang tengah berjalan itu mendadak menghentikan langkahnya tepat di depan pintu kelas.

Anantha menatap tajam gadis yang tengah duduk di atas mejanya, dengan penuh amarah ia menghampiri Luvena dan kedua temannya. "Hei, apa yang kau lakukan!" teriak Anantha. Emosinya meluap-luap, ia sudah tidak tahan dengan kelakuan semena-mena dari Luvena.

"Akhirnya kalian datang," ucap Luvena dengan nada sinis. Ketiga gadis itu berdiri dan menatap Anantha yang berdiri paling depan dengan pandangan kebenciaan.

"Tidak akan ada yang mengharapkan dirimu datang, dasar cacing-cacing kecil!" lirih Anantha dengan nada tajam yang menusuk.

Luvena menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya. "Oh, kau berani denganku ternyata."

Anantha membalas dengan tawa kecil. Di tatapnya dalam-dalam manik cokelat milik lawannya. "Apa yang aku takutkan dari sosok Luvena Aerys?"

Mendengar pernyataan dari Anantha berhasil membangkitkan emosi Luvena, tanpa aba-aba ia langsung menarik rambut Anantha lalu berbisik. "Kau akan membayarnya, bodoh!" Kemudian didorongnya Anantha sampai tersungkur ke belakang. Tidak cukup sampai di situ, gadis berambut pirang tersebut menendang tubuh Anantha dengan keras.

Tea sedari tadi berada di belakang segera menghampiri Anantha yang hanya meringkuk menahan sakit. Inilah yang Tea takutkan selama ini, ketika orang-orang terdekatnya ikut menjadi korban karena harus berteman dan melindunginya.

"Rasakan itu, Jalang!" pungkas Luvena dan diakhiri dengan suara tawa dari ketiganya. "Oh iya, lupa!" Penderitaan mereka tidak berhenti sampai di situ saat Luvena menumpahkan saus tomat pada seragam Anantha. Tanpa sepatah kata pun ketiganya berjalan keluar dengan tertawa puas.

Tea membantu Anantha untuk berdiri. "Ayo, kita bersihkan bajumu!" ajak Tea yang merasa kasihan akan kondisi Anantha yang tampak menyedihkan hanya untuk melindunginya.

Kedua gadis itu berlalu pergi meninggalkan tatapan miris dari seluruh siswa yang berada di kelasnya.

Ketika tingkat kepedulian siswa merosot hingga 70%, ketika itu juga keragaman manusia semakin punah, jalinan yang semenjak dahulu terbuat perlahan runtuh dengan sendirinya. Entah apa yang membuat mereka tidak peduli, mungkinkah karena sosok Tea hanya gadis culun, lugu, jelek dan ketinggalan zaman?

***

Beralih pada tempat Tea sekarang berada, kini gadis berambut kecoklatan yang selalu mencempol rambutnya itu tengah berdiri di depan wastafel sembari menatap pantulan wajahnya.

Tangannya mulai terangkat untuk menyentuh sosok yang berada di hadapannya, ia menyadari betapa kunonya penampilannya sekarang. Namun, betapa terkejutnya si gadis saat sosok lain muncul di hadapannya.

"Suatu saat nanti mereka akan merasakannya."

Tea melotot kaget dan mundur beberapa langkah, napasnya tersengal-sengal seperti baru saja mengikuti lari maraton. Ditatapnya cermin itu lagi, perlahan Tea memberanikkan diri dan kembali menyentuh cermin di hadapannya, memastikan jika yang ia lihat tadi hanyalah ilusi. Benar saja, tidak ada apa pun di sana, Tea menghela napas dan membasuh wajahnya. Tapi mengapa gadis itu seperti merasakan kehadiran seseorang dalam dirinya.

"Cukup."

Ia menggeleng keras dan memilih menunggu di luar, kepalanya ia tolehkan ke kanan dan kiri, koridor itu sepi bahkan sangat sepi. Rasanya menyenangkan bisa merasakan keheningan walaupun hanya sebentar saja, di hirupnya dalam-dalam udara segar yang menjadi favorit semua orang lalu kembali mengembuskannya. Namun, seketika suasana tenang itu hancur saat suara dari samping membuatnya tersentak.

"Di sini rupanya!"

Tea memejamkan matanya sejenak dan mengalihkan pandangan.

"Wah, ternyata kau sudah berani membolos pelajaran, ya," sindir Hillen. Sungguh raut milik pemuda itu sangat menyebalkan bahkan sangat menyebalkan.

"Kita laporkan saja dia ke Mrs. Mezlher supaya dihukum," sahut pemuda bernama Revt yang menjadi bagian dari geng Hillen.

Si gadis terdiam, ia sama sekali tidak menghiraukan ucapan dari ketiga pemuda menyebalkan itu.

Hillen tertawa dan berjalan ke arah Tea. "Ide bagus, mungkin saja dia akan langsung dibuang dari Atherty," ujar Hillen. Tea mendongak menatap bola mata berwarna biru milik Hillen, manik yang sama seperti milik Tea. "Tatapan semacam apa itu, dasar upik abu," sinisnya sembari menunjukkan sebuah senyum miring yang tampak menjengkelkan.

Pemuda lain yang memilik rambut hitam sedikit keriting mulai maju dan menatap gadis yang ada di hadapannya. "Kalau kau dibuang dari Atherty, ke mana kau akan sekolah? Bukankah ayahmu seorang pemabuk," ujar pemuda yang sering dipanggil dengan nama Revt.

Tea menunjukkan sorot tajamnya kearah dua pemuda yang berada di hadapannya. "Jangan pernah menghina ayahku!" ucapnya dengan menekankan setiap kata.

Hillen tersenyum. "Memang apa yang akan dilakukan ayahmu selain bermabuk-mabukan? Karena dia hanya seorang pengganguran, kan?" hina Hillen.

Jujur saja, Tea sangat membenci orang yang berani menghina anggota keluarganya, tidak terkecuali sang ayah, walaupun ia sendiri tahu jika pria itu membenci dirinya.

Belum sempat Tea menjawab dari arah samping seorang gadis muncul. "Hei! Pergi kalian!" teriak Anantha.

Hillen menelengkan kepalanya dan tertawa. "Oh ternyata kau, gadis cengeng yang berlagak seperti pahlawan."

Anantha menatap tajam Hillen, begitu juga dengan pemuda itu. "Jika saja ayahmu bukan kepala sekolah di Atherty, kemungkinan aku sudah memasukkan tubuh kotormu itu ke dalam mesin penggiling, Hillen!" kesal Anantha.

"Benarkah?" Hillen berjalan mendekati Anantha. "Maka coba lakukan itu kalau kau bisa," tandasnya yang kemudian memilih pergi.

"Aku harap manusia seperti itu tidak pernah lahir di dunia ini," gumam Anantha dengan geram. Sekarang ia menatap gadis yang berada di sampingnya. "Kau baik-baik saja, kan?"

Sebagai balasan, Tea menganggukkan kepalanya dan tersenyum tipis. "Jangan kau pikirkan," tandas Tea.

***

Mohon dukungannya dengan memberikan vote dan komen :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top