3: Friend?

***

Hari ini karena masalah kemarin, Tea dan Anantha terpaksa harus tidak mengikuti praktik tumbuhan yang dijanjikan Ms. Vanessa. Sedangkan yang kita mengetahui jika pelajaran itu adalah pelajaran favorit Tea, dengan sangat terpaksa juga keduanya menerima tugas yang cukup berat yang hari ini harus dikumpulkan.

Anantha yang melihat raut berubah dari Tea pun benar-benar merasa bersalah. "Maafkan aku, seharusnya aku tidak melakukan hal itu, sungguh," ujar Anantha dengan pandangan memohon.

Mendapati hal itu Tea menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya. "Maafmu tidak akan mengembalikan keadaan seperti semula, jadi untuk apa minta maaf," ucap Tea yang sedang sibuk membawa banyak buku.

Anantha yang melihat beberapa buku di tangan Tea, menemukan sebuah ide yang cukup bagus walaupun tidak untuk dirinya. "Baiklah, bagaimana kalau aku temani kau di ruangan membosankan itu," cetus gadis itu dengan senyum lebarnya.

"Perpustakaan? Cukup baik," tandas Tea yang langsung beranjak.

Ruangan yang luas, meja-meja berjajar rapi lengkap dengan kursi sebagai pasanganya, rak-rak besar yang berdiri kokoh seolah membentuk sebuah labirin. Ruangan itu dilapisi dengan cat putih bersih yang dipadu-padankan dengan lantai kayu mengkilap, terlebih lagi dibalut oleh karpet merah yang lembut.

Dan jangan lupakan jendela kaca besar yang terletak di ujung ruangan, menghadap matahari langsung dapat membuat ruangan lebih hidup tanpa harus menyalakan lampu. Bisa dibayangkan jika ruangan itu sangat elegan dan menarik, dan karena itu juga Tea sangat betah berada di sana.

"Kau butuh buku apa?" tanya Anantha yang masih setia mengekor di belakang, sedangkan Tea mengamati ke sekelilingnya sampai akhirnya ia menjawab dengan mudah.

"Psikologi," balasnya.

"Kau sangat ingin mempelajari kejiwaan manusia, apa yang menarik dari hal itu?" tanya Anantha.

Tea hanya menghela napas kemudian menjawab dengan singkat dan jelas, "Menurutku bagus."

Keduanya jalan beriringan sembari mencari buku yang mereka inginkan. Lalu beberapa langkah kemudian. "Tahun depan kita sudah ujian, kau mau masuk universitas mana?" Lagi-lagi Anantha kembali melontarkan pertanyaan yang ketiga kalinya.

Tea menggeleng pelan. "Aku belum tahu, lagi pula masih satu tahun lagi."

"Ya, aku tahu. Kuharap, nanti aku bersama denganmu lagi," harap Anantha dengan nada yang sedikit menyentuh.

Namun, bagi Tea, ucapan Anantha tadi hanya dianggap angin. Gadis itu sama sekali tidak peduli. Jangankan peduli, ia menganggap itu sebagai omong kosong belaka.

"Nah, aku menemukannya!" seru Anantha dengan sangat germbira.

"Pelankan suaramu!" peringat Tea saat mendengar seruan yang terdengar seperti teriakan milik Anantha.

Gadis berambut hitam itu langsung menutup mulutnya dan mengerak-gerakkan kepalanya mencari sosok yang selalu membuatnya takut. "Astaga, aku lupa. Apa Mr. Yefers mendengarnya?" tanya Anantha dengan raut sedikit takut.

Tea menggeleng dan menunjuk sebuah bangku besar tempat pria itu berada. "Mungkin tidak, dia masih sibuk dengan Allana."

Anantha melihat ke arah meja besar Mr. Yefers dan benar, pria itu masih sibuk dengan si mayoret cantik bernama Allana-atau yang biasanya dipanggil Lana.

Gadis bermanik abu itu mengambil buku yang ia maksud tadi dan memberikan pada Tea yang masih mencari cari buku lain. "Kenapa gadis cantik selalu populer," gumam Anantha sembari terus mengekor di belakang.

"Mereka memiliki daya tarik sendiri," sahut Tea.

Mendengar balasan dari Tea membuat Anantha yang tadinya duduk di salah satu kursi, kini berdiri dan melihat dirinya. "Apa aku tidak memiliki daya tarik?" tanyanya masih memperhatikan tubuhnya yang ramping.

"Mungkin tidak."

Anantha menghela napas dan mengembungkan pipinya. "Kurang apa diriku ini?" gerutu gadis itu dengan raut yang benar-benar menyerah. Ia kembali duduk dengan bibir yang tertekuk menandakan sedikit kekesalan.

Perhatian mereka teralihkan saat seseorang tiba-tiba datang dan berdiri di depan keduanya.

"What?" lirih Anantha yang seakan tak menerima kehadiran sosok itu.

Di hadapannya seorang gadis tengah tersenyum sangat manis, kemudian duduk di samping Tea. "Hai, aku lihat kalian membicarakan sesuatu dengan gembira," ungkap gadis itu masih dengan senyum yang memperlihatkan gigi indahnya.

Tea melihat ke arah Anantha dengan pandangan bertanya sekaligus bingung harus apa.

"Tentu, kami membicarakan tentangmu dan-"

"Kami hanya bercanda soal tingkah aneh Anantha hari ini," potong Tea buru-buru. Ia melirik ke arah Anantha dan memberikan kode agar gadis itu diam saja.

Melihat gelagat aneh itu Anantha kembali ingin berucap. Namun, mendadak berhenti karena rasa sakit di kakinya yang diinjak oleh Tea. Anantha hanya tersenyum kecil dan memberikan tatapan aneh sembari menahan perasaan sebal.

"Oh, seperti itu," ucap gadis berambut coklat kemerahan itu. Ia kembali tersenyum dan mengulurkan tangannya ke arah Tea. "Perkenalkan, namaku Allana," ucapnya yang memperkenalkan diri dengan cara cantik seperti pemilik namanya.

Tea tersenyum tipis dan menjabatnya sebentar. "Ya, Latea."

Gadis bernama Allana itu melihat ke hadapanya dan menjabat tangan Anantha. "Anantha Gacfen," ujar gadis bermanik abu-abu itu.

Ketiganya melanjutkan perkenalan mereka dan sesekali bertukar pikiran, walaupun Tea merasa sedikit tidak nyaman. Sebab, ya walau bagaimanapun Allana bukanlah anak seperti dirinya.

***

Beralih di sisi lain ruangan, lebih tepatnya di ruang laboratorium tempat kelas 2-2 melakukan prakteknya. Di sana, para murid masih disibukkan dengan praktikum mereka, tapi tidak dengan Hillen, ia bersama kedua temannya justru asik mengganggu murid lain yang berusaha menyelesaikan tugas mereka.

Perlu diketahui juga jika pemuda bernama lengkap Hillen Gordon itu adalah salah satu siswa yang berprestasi. Walaupun, ia menjadi sedikit nakal dan sangat jahil pada semua orang. Pemuda itu biasanya menjadi perwakilan dalam bidang matematika, tapi untuk sekarang mungkin dirinya harus bersaing keras dengan rivalnya yang setahun lebih tua yaitu Kleyfan.

Masalah itu kita akan membahasnya nanti. Kini pemuda itu tampak menyengol-nyengol kedua temannya. "Hei, di mana gadis membosankan itu?" lirih Hillen.

"Mungkin dia sedang repot dengan tumpukan bukunya," saut salah satu temannya yang bernama Stiv.

Pemuda itu tersenyum miring. "Ya, benar juga, baiklah kita cari dia!" perintah Hillen pada dua orang itu.

Mereka bertiga pun keluar dari laboratorium dan berjalan menyusuri korindor sekolah guna mencari sosok Tea. Yang aneh dari Hillen adalah, kenapa pemuda itu selalu repot-repot mencari Tea, lalu mengganggunya.

***

Kembali di ruangan penuh buku, tempat Tea dan Anantha berada. Satu jam berlalu dan Anantha sudah tidak sanggup berada di antara tumpukan buku di depannya, sedari tadi gadis itu selalu mengeluh dan merengek agar Tea mau beranjak keluar. Namun, tentu saja harapan itu tidak pernah dikabulkan oleh Tea, karena keduanya sudah janji jika ini waktunya untuk Tea.

Allana yang masih duduk di sana menatap Anantha yang ada di depannya dan membentuk sebuah senyum. "Kurasa kau memang benar-benar lelah dengan mereka."

Perkataan dari Allana berhasil mengalihkan pandangan gadis bermanik abu-abu tersebut. "Benar, sangat benar," sahutnya.

Dari tempat Tea berada, ia hanya mendengarnya tanpa berniat menjawab atau bertannya. Anantha sesekali menguap dan benar-benar frustasi.

"Baiklah aku akan bergegas, sepertinya kelasku akan mulai lebih awal," kata Allana yang memecah keheningan di antara mereka. Ia menumpuk beberapa buku yang baru dibaca dan berpamitan pada dua teman barunya.

Sedetik setelah kepergian sosok Allana, gadis berrambut hitam itu menghadap Tea dengan pandangan memohon. "Bosan tidak?" tanya Anantha. Belum sempat Tea menjawab gadis itu sudah mendahului dengan nada berbicara yang hampir mirip seperti Tea. "Tidakkah kau mengerti jika informasi berasal dari buku yang tepat."

Mendengar itu Tea hanya menggeleng-geleng tidak percaya.

"Rasanya ingin muntah jika lama-lama melihat tumpukan di depanku," gumam Anantha atau lebih tepatnya gerutuannya. Ia buru-buru menutup bukunya dan menaruh kepalanya di atas beberapa tumpukan buku.

Tea yang melihat akan hal itu pun merasa sedikit bersalah. "Kau boleh kembali, aku akan menyusulmu nanti," ucap Tea yang masih fokus pada buku yang ia baca.

"Benarkah? Apa tidak masalah jika aku tinggal sendiri?" tanya Anantha dengan raut sedikit cemas.

"Tidak akan ada yang menggangguku selama ada Mr. Yefers." Tea berusaha meyakinkan, mendengar itu Anantha sedikit tersenyum dan menepuk dahinya.

"Aku sampai melupakan hal itu." Gadis itu membereskan beberapa buku yang ia baca dan bangkit dari tempat ia duduk. "Baik, aku hanya akan ke kantin sebentar," lanjutnya yang kemudian berjalan pergi dengan membawa buku yang sekalian ia kembalikan.

Hingga beberapa detik suasana di sana hening. Namun, keheningan itu berubah ketika seorang pemuda datang dan langsung menyapa gadis yang tengah asik membaca tersebut.

"Selamat siang, Ms. Quinnzel." Seorang pemuda berambut hitam legam berdiri tepat di depannya dengan sebuah senyum.

"Siang, apa aku mengenalmu?" tanya Tea sedikit mengerutkan keningnya, mencoba mengingat-ingat jikalau ia lupa atau semacamnya. Namun, ia sama sekali tidak pernah menemukan sosok ini dalam berkas di otaknya.

"Apa kau tidak akan mempersilakan aku duduk terlebih dahulu?" tanya pemuda itu masih dengan wajah yang sangat friendly.

Tea kemudian mengangguk dan mempersilakanya. "Ah, ya... silakan!"

Pemuda itu tertawa kecil saat melihat wajah penuh tanda tanya milik Tea. "Nah, perkenalkan namaku Dich Griden, kau bisa memanggilku Dich," ujar pemuda itu memperkenalkan diri. Ia mengulurkan tanganya dan dibalas dengan uluran ramah dari Tea.

Tunggu dulu, gadis itu sepertinya pernah melihat pemuda ini, tapi di mana? Ah iya! Tea baru ingat jika orang di depannya ini adalah orang yang sama, teman dari si pemuda berambut pirang. Baru saja setelah ia mengingatnya, gadis itu tersenyum dan mengangguk-anggukan kepalanya.

"Senang bertemu denganmu, Dich."

Pemuda itu mengambil sebuah buku yang ada di depannya dan mengernyit. "Kejiwaan?" tanya Dich.

"Kenapa? Adakah masalah dengan itu?" Tea balik bertanya. Ada sedikit kekesalan dalam dirinya. Bagaimana tidak, sedari tadi banyak yang mempertanyakan jurusan yang akan ia tempuh nanti.

"Aku tidak mempermasalahkannya, menurutku itu bagus dan ... keren," terang Dich. Ia mengembalikan buku itu ke asalnya dan menatap gadis di depannya dengan sedikit aneh.

Tea yang ditatap seperti itu pun semakin merasa tak nyaman. "Kenapa?" tanya si gadis saat mengetahui pandangan aneh dari orang di hadapanya.

"Aku baru sadar jika kau gadis yang menduduki peringkat kedua itu," ungkap Dich yang menjelaskan tatapannya. "Kau benar-benar hebat."

Detik selanjutnya Tea hanya tersenyum singkat dan menggeleng. "Aku tidak pernah merasa seperti itu, biasanya hanya keberuntungan atau sebuah hadiah dari usaha keras," balas Tea.

Dich seperti memandang ke luar jendela, ia menghirup udara yang keluar masuk dari sana. "Bagaimana bisa masih ada sosok gadis seperti dirimu?" Tea yang tadinya membaca, pun menutup bukunya dan ikut memandang ke luar jendela. "Beberapa yang kutemui hanya mereka yang suka membuang-buang waktu," lanjut si pemuda.

"Tentu saja ada banyak, jangan melihat mereka dari satu sisi, tapi lihat juga sisi yang lain." Ungkapan dari Tea itu berhasil membuat Dich menoleh dan menatapnya tak percaya.

"Positif, kau selalu berpikir seperti itu? Sekarang aku tahu kenapa kau selalu menjadi yang terbaik."

Tea tertawa kecil. "Tebaik dalam hal apa? Bahkah mereka saja tidak pernah mengenalku, jangankan mengenal, berbuat baik saja tidak," ucap gadis itu sembari menunjuk ke arah beberapa siswa yang membaca di sisi lain ruangan.

"Aku berani bertaruh, kelak mereka akan selalu mengingat namamu," tandas Dich dengan senyuman yang sangat sulit diartikan.

Percakapan mereka memang berlanjut, tapi tidak lama kemudian seorang gadis berambut hitam panjang yang terucir rapi menghampiri mereka berdua dan langsung menepuk pundak Tea.

"Aku kembali!" serunya dengan membawa sebuah permen lolipop besar di tangan kanannya.

"Oh, Anantha."

Anantha mengalihkan perhatianya ke pemuda di hadapan Tea. Mendadak raut gadis itu berubah sekaligus terkejut bukan main. "Astaga!" gumam Anantha. Ia masih tidak bisa berkata apa-apa dan hanya terdiam mematung menatap si pemuda.

"Hai, Ms. Gacfen," sapa Dich dengan melambai-lambaikan tanganya di depan gadis itu.

"Halo," balas Anantha dengan sedikit gugup, terlihat sangat jelas jika wajah gadis itu sangat memerah entah karena apa.

"Kau baik-baik saja, Ms. Gacfen?" tanya pemuda bermanik cokelat yang selalu tampak bersinar. Anantha hanya diam karena tidak tahu harus menjawab apa, sampai akhirnya Dich kembali bersuara, "Kurasa kita bisa membahas lagi di lain waktu, Tea." Ia berdiri dan menangguk ramah pada kedua gadis di hadapanya.

"Yes, of course," balas Tea tidak lupa dengan seyuman tipis yang selalu ia gunakan.

"Aku pergi dulu, sampai jumpa!" pamit Dich yang kemudian pergi dan hilang di balik rak-rak buku.

Setelah kepergian pemuda itu, Anantha segera mengambil tempat duduk di depan Tea. "Kau tahu siapa dia?" tanya Anantha dengan raut kegirangan.

Tea menggeleng, karena jujur saja gadis itu sama sekali tidak tahu siapa pemuda itu. "Aku baru mengenalnya."

"Dia Dich! Dich Menevy Griden," ungkap Anantha dengan nada gembira. Lain hal dengan Tea yang tidak peduli akan hal itu. "Oh, astaga! Apa aku bermimpi? Aku disapa oleh orang paling tampan di Atherty?" lanjut gadis bermanik abu-abu itu dengan nada yang terlewat bahagia.

"Kau tidak bermimpi, ini nyata," kata Tea yang merasa risih dengan ungkapan-ungkapan berlebihan dari Anantha.

Anantha hanya memberikan tatapan tak percaya pada Tea. "Setidaknya kau juga harus histeris sepertiku, Tea," keluh gadis itu saat Tea hendak beranjak keluar.

Tea lebih memilih membereskan sisa bukunya dan menggembalikannya pada rak semula daripada harus mendengarkan celotehan tak bermakna itu. "Apa aku harus berucap; oh my god, Dich sangat terkenal, dia berbincang banyak denganku," ujar Tea dengan nada terpaksa sekaligus berbentuk sindiran.

"Itu tidak natural, kau harus menjiwai-" Tea segera bergegas pergi meninggalkan gadis itu dengan urusan dan pikirannya sendiri, malas jika harus mendengarkan celotehan tidak bermutu dari gadis yang sedang jatuh cinta. "Hei, tunggu aku!" teriak Anantha.

Anantha berusaha menyejajari langkah kakinya dengan Tea. Ia melihat ke arah teman di sebelah, mengamati lebih teliti.

Merasa risih, Tea menoleh dengan tatapan tajam. "Kau lihat apa?" tanya Tea. Tatapannya yang seolah mampu menembus tubuh sang lawan masih terpancarkan di sana.

"Aku hanya mengamatimu, bagaimana kau bisa menarik perhatian si pangeran kedua Atherty?" tanya Anantha dengan raut curiga.

"Kedua? Memang siapa yang pertama?" tanya Tea. Jujur saja, gadis berkacamata itu bahkan sangat kurang update dan tak tahu apa pun kecuali hanya pelajaran dan pelajaran.

"Seorang pemuda berambut pirang, orang yang kau kira dia adik kelasmu," balas Anantha, akan tetapi beberapa saat kemudian ia menggelengkan kepalanya tidak yakin. "Tapi aku tidak yakin dia masih menjadi yang pertama, karena dia itu pemuda yang ... sulit dicari," imbuh Anantha dengan mengecilkan kata terakhir.

"Kurasa Dich memang tertarik padamu," sela Anantha sebelum Tea sempat berbicara.

"Dan yang kulihat kau menyukainya," timpal Tea yang kemudian ia berjalan mendahului Anantha. Tidak perlu ditanya pun sudah jelas jika gadis bernama Anantha itu sangat menyukai Dich.

"Hei! Aku tidak menyukainya!" sergah Anantha yang masih berusaha mengejar Tea.

Hal yang selanjutnya terjadi, mereka melanjutkan perjalanan menuju kelasnya dengan pembicaraan kecil tentang Dich Griden. Namun, senyum Tea perlahan pudar saat secara tidak sengaja maniknya bertemu dengan manik biru milik Hillen. "Rupanya kau di sini," ujar Hillen dengan senyuman yang terkesan menjengkelkan.

"Memangnya apa urusannya dengamu?" sahut Anantha yang merasa geram dengan pemuda menyebalkan itu.

"Aku tidak berbicara denganmu, dasar cengeng!" ucap Hillen dengan sebuah senyum miring, ia kemudian maju selangkah dan menatap tajam gadis itu. "Urus dia!" titah Hillen pada kedua temannya.

Kedua pemuda itu menurut dan mengunci pergerakan Anantha. Sedangkan Hillen, ia menatap ke arah Tea dan mulai mendekati gadis yang selalu mencepol rambutnya itu, perlahan dan perlahan.

"Kau tahu, Larva?" ucap Hillen dengan nada yang sedikit terbilang ... aneh. Hillen juga memojokkan gadis itu hingga menyentuh dinding belakangnya. Raut wajah Tea mulai khawatir dan takut. Bagaimana tidak? Posisinya ini sangatlah terdesak, terlebih lagi orang di depannya adalah orang yang sangat ia benci.

"Hei! Lepaskan aku!" teriak Anantha sembari meronta-ronta mencoba melepaskan diri. Namun, percuma karena yang ia hadapi sekarang adalah dua orang pemuda. Untuk itu Anantha mencoba mencari peluang lain untuk melepaskan diri.

Kembali pada posisi Tea dan Hillen sekarang.

"Latea Valerie Quinnzel." Hillen menatap manik biru milik Tea, ada sesuatu yang terbentuk di sana, tapi entah itu apa. "Aku sangat ... sangat membenci dirimu," bisiknya. Hillen tersenyum, lalu mengubah posisinya untuk berbalik dan memerintahkan kedua tamannya untuk melepaskan Anantha.

Tea menghela napas panjang dan memegang dengan erat beberapa buku yang ada di tangannya, tatapan kebencian itu sangat terlihat jelas.

Hillen hanya tersenyum miring. "Bagaimana? Apa kau menyukainya?" Ketiganya kemudian berlalu pergi, meninggalkan sosok Tea bersama Anantha.

"Tea, apa kau baik-baik saja?" tanya Anantha dengan raut yang benar-benar cemas.

Gadis bermanik biru itu melirik sekilas Anantha dan mengangguk. "Yeah, I'm fine," balas Tea masih menetralkan napasnya.

Di balik koridor tempat Tea dihadang Hillen tadi ada seseorang yang mendengar dan menyaksikannya, mata hijau menyala itu masih menatap tajam ke arah sana. "Latea," gumamnya. Langkahnya membawa kepergian yang hening dan penuh misteri.

***

Sepulang sekolah kali ini Tea inginnya tidak langsung pulang, alasannya karena ia masih ada suatu tugas yang harus diselesaikan, yang pasti itu tugas rahasianya.

Selesai membereskan semuanya, Anantha menatap Tea yang masih duduk tenang di tempatnya. "Ayo! Kau tidak akan tinggal di sini, kan?" ajak Anantha.

"Maaf, tapi aku ada urusan hari ini," tolak Tea.

Kerutan samar terlihat di dahi Anantha. "Urusan apa?" tanya gadis itu.

Tea tersenyum paksa dan menggeleng pelan sembari menunjuk ke arah buku di hadapannya. "Suatu yang... yang sulit dijelaskan," balasnya yang berusaha memberikan kode pada gadis berambut hitam itu.

"Oke aku ikut denganmu," ujar Anantha seakan tidak terbantahkan.

Mendengar hal itu membuat Tea sedikit tersentak. Anantha yang sudah bersiap mengekor pun terpaksa dihentikan oleh gadis berrambut cokelat itu. "Tidak, kali ini berikan aku waktu sendiri," pinta Tea. Tatapannya seolah memohon agar Anantha mengerti, untuk kali ini saja.

"Kalau Hillen mengganggu bagaimana?" cemas Anantha.

Tea berjalan mengarah pada jendela besar yang ada di kelasnya. "Pemuda itu mungkin sudah berada di rumah sebentar lagi," ujar Tea yang melirik ke bawah, memperhatikan sosok pemuda berambut kemerahan yang sudah berada di depan gerbang.

Anantha menghampiri tempat di mana Tea berdiri, maniknya langsung mengarah pada sosok menyebalkan yang selalu ia benci. "Ah ... ya, kau betul," ujarnya kemudian. "Baiklah, aku pulang. Kau harus hati-hati, oke?!" tutur Anantha saat ia sudah berada di ujung pintu.

Tea menoleh dan tersenyum tipis. "Pasti," tandas si gadis.

"Sampa jumpa!" Anantha melambaikan tangannya dengan tinggi-tinggi, berharap jika Tea membalasnya walau sekali.

Namun, itu hanya angan-angan yang sulit digapai. Tea hanya membalas dengan kata, "Ya." Dan perlahan senyum milik gadis bermanik biru itu mulai pudar seiring kepergian Anantha. "Sebaiknya aku harus cepat," gumam gadis.

Segera saja ia bergegas keluar dan melangkahkan kaki jenjangnya di lorong-lorong tidak berpenghuni milik Atherty High School. Sampailah dirinya di ruangan besar yang penuh dengan botol-botol kaca serta cairan-cairan kimia yang beragam warna.

Di sanalah, tengah berdiri seorang gadis berambut coklat yang selalu dicepol, dan jangan lupakan kacamata bundarnya itu. Ia berdiri dengan membawa sebuah buku tebal di tangan kanannya. Dengan langkah perlahan, Tea mendekati lemari kaca yang penuh botol-botol dengan cairan yang memiliki berbagai macam warna.

"Kurasa ini yang tepat," ucap Tea.

Dengan pengetahuan yang sudah terkuasai, ia mengambil beberapa bahan dan keperluan. Tangan itu seolah tahu mana yang tepat dan mana yang salah. Maniknya yang berwarna biru mulai bergerak-gerak meneliti hasil demi hasil yang tentunya butuh waktu. Kepulan asap, bau-bau bahan kimia dan juga suara-suara detingan kaca yang terkadang beradu dengan alat pengaduk.

Detik demi detik berlalu, mengubahnya menjadi menit begitupun seterusnya. Pada akhirnya, Tea mendapatkan hasil yang entah kenapa masih belum bisa membuat si gadis merasa bahagia. Kembali lagi pada langkah awal yang ia lakukan, Tea mulai merancang susuan baru demi mendapat sebuah kesatuan yang kuat.

Kalian pasti tahu apa yang akan dibuat sang gadis. Tepat sekali! Gadis itu sibuk membuat berbagai macam cairan-cairan aneh dengan berbagai bahan yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri.

Sampai beberapa menit berlalu, ia sudah mendapatkan sebuah hasil yang cukup memuaskan. Sebotol cairan berwarna merah dan satunya berwarna hitam pekat.

"Menarik," gumamnya sembari mengamati lebih dalam botol-botol yang ia bawa. Gadis itu tersenyum miring dan segera memasukkannya ke dalam tas, mematikkan seluruh lampu dan pergi meninggalkan kekosongan ruang tersebut.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top